Leher Beryl bersimbah peluh. Udara siang itu terasa panas dan pengap. Mobil yang dikemudikannya telah melintasi kampus Unair. Beryl ingat beberapa temannya yang sama-sama aktivis kampus. Lama mereka tak mengadakan acara kumpul-kumpul bersama untuk berdiskusi seperti dulu lagi.Kegiatan diskusi seperti terabaikan. Hari-hari Beryl dilanda kesibukan memikirkan Widya. Widya, sic ewe bermata teduh. Widya yang punya wajah selembut kain sutera. Widya yang begitu halus. Widya yang kini lemah dan rapuh.Beryl membelokkan mobilnya menuju kontrakan Joni. Matahari terasa semakin membakar ubun-ubun. Begitu pintu kontrakan Joni terbuka, Beryl langsung masuk begitu saja.Beryl sedang membersihkan ruangan tamu kontrakannya. Kendati kontrakan Joni tak ber-AC, namun udara di tampat kontrakan Joni tak terasa begitu panas.“Rajin sekali?”“Biar gak terasa pengap saja,” jawab Joni.“Tumben kamu gak sedang belajar
Damar mengetuk-ngetuk meja kerjanya dengan pulpen yang dipegangnya. Damar mengusap-usap rambutnya yang rapi. Udara di ruangannya terasa sejuk. Kesejukan di ruangan Damar juga didukung oleh keharuman parfum yang dipergunakannya.Seperti film yang tengah diputar saja satu per satu wajah para gadis melintas dibenaknya. Entah, sudah berapa orang yang melintas di benaknya, karena Damar pun tak bisa mengingatnya satu per satu jumlahnya ada berapa. Bayangan gadis-gadis itu melintas silih berganti. Hanya beberapa gadis saja yang begitu tajam terbayang oleh Damar. Semua mungkin dipengaruhi karena memiliki pengalaman yang istimewa dan luar biasa dengan mereka. Gadis-gadis tersebut tentunya yang memiliki pesona luar biasa juga. Itulah yang mengendap dalam kenangan Damar. Sementara yang lainnya hanya biasa saja.Gadis-gadis yang punya kenangan kuat dalam ingatan Damar tentunya mereka yang pernah punya pengalaman main yang luar biasa. Pengalaman main seperti kud
“Terlalu sulit buat saya untuk menjelaskan. Yang jelas saya hanya ingin kamu tidak terlalu banyak tahu tentang diri saya. Yang terbaik, biarlah kita hanya bersama di jalanan saja. Terserah kamu menilaiku bagaimana. Itu hak kamu. Selama kamu mau berteman dengan cara seperti itu, hati saya sudah cukup senang. Barangkali kamu hanya menganggapku sebagai perempuan jalanan, itu juga terserah. Hanya itu pilihan yang bisa saya lakukan dan yang bisa saya berikan,”“Apa sebenarnya yang kamu rahasiakan dariku, Wid?” Tanya Beryl.“Sudahlah!” mata Widya memandang dengan gelisah.Widya seperti masuk pada perangkap jebakan. Hatinya merasa sangat ketakutan, was-was, dan juga bingung, yang bercampur menjadi satu.“Sampai kapan kita harus tetap begini?”“Terserah kamu, sampai kapan kamu ingin berteman dan bergaul dengan saya. Kalau memang kamu sudah bosan, dan merasa tak nyaman kamu bebas untu
Sore itu akan menjadi sore yang sepi buat Widya. Beryl tak pernah muncul lagi. Sejak sore di restoran Cina itu, Beryl tak pernah lagi menunggunya di bawah pohon yang terletak di dekat kantor. Pun Beryl juga tak pernah lagi menghubunginya lewat telepon maupun media sosial lain.Sore itu menjadi sore pertama yang begitu sepi. Widya masih sangat mengharapkan kedatangan Beryl. Sangat jauh berbeda dengan yang sesungguhnya diucapkannya sewaktu ada di depan Beryl. Barangkali saja memang Beryl belum datang. Barangkali saja lalu-lintas kota Surabaya sedang macet. Barangkali saja aktivitas telepon dan media sosialnya sangat sibuk, hingga belum ada waktu untuk menghubungi Widya. Dan, sejuta barangkali yang lain masih menyelinap di benak Widya.Maka, begitu keluar kantor, Widya sengaja memperlambat langkahnya. Bahkan ketika tiba di bawah pohon di tempat Beryl biasa menunggu, sengaja Widya masih menunggu tegak.Tanpa disadari oleh Widya, sejak tadi Damar sengaj
Damar menarik nafasnya panjang-panjang. Di luar jendela mobil, rinai hujan berubah menjadi semakin deras. Wiper mobil tampak berderit-derit di kaca bagian depan. Damar bercerita tentang rencana-rencana yang jitu buat peruhasaannya. Widya sesekali hanya mengiyakan cerita Damar. Selebihnya, Widya hanya membisu. Matanya lurus memandang ke depan. Di sampingnya, Damar nerocos tanpa menghentikan ceritanya.Di luar jendela mobil, hujan bertambah lebat. Pandangan ke depan terasa semakin kabur. Di depan mereka, terlihat sebuah bus yang mulai oleng berjalan. Penumpang bus itu tampak penuh sesak, hingga ada yang berdiri di pintu. Asap hitam keluar dari knalpot bus. Bisa dipastikan di dalam bus itu udaranya sangat pengap dan gerah.Widya jadi teringat Beryl.“Kemana temanmu yang biasa jemput kamu itu?” pertanyaan Damar sangat mengejutkan Widya.“Iya? Ada apa?”“Kenapa temanmu yang biasa menjemputmu, sudah beberapa ha
Mahesa telah tegak berdiri di depan pintu kamar Beryl. Dengan tergesa-gesa Beryl bangkit.“Ada apa Mahesa?” Tanya Beryl terkejut.“Papa menyuruhmu datang.”“Aku pikir ada apa?”“Papa sedang kurang sehat. Beliau ingin bertemu kamu,”“Oh, begitu?”“Iya, Beryl,” kata Mehesa menegaskan.Mata Mahesa menatap tajam ke arah Beryl sebab Mahesa seperti menangkap sikap Beryl yang tak acuh.“Mungkin karena papa terlalu sock,” lanjut Mahesa.“Papamu sock karena ulahmu beberapa waktu lalu,”“Semua sudah terjadi. Sekarang papa sangat ingin bertemu kamu,”“Tapi, kalau sore ini aku belum bisa,”“Itu terserah kamu. Yang penting kamu menyempatkan diri untuk bertemu dengan papa,”“Iya. Aku akan mengusahakannya. Tapi, bukan sore ini.”“Terima kas
Joni sedang berselonjor nonton televisi di kamarnya. Laki-laki itu sedang nonton film laga. Di luar kontrakan Joni terdengar suara anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet.Kening Joni berkerut manakala melihat kedatangan Beryl dengan wajah yang sangat murung.“Sebentar. Aku mau bertanya sesuatu,” kata Beryl.“Serius amat kamu?”Beryl hanya membisu.“Ada apa Beryl?”Beryl duduk di tepi ranjang di kamar Joni. Sesaat Beryl masih menatap Joni.“Well. Ada apa?” ulang Joni.“Bagaimana hubunganmu dengan Ririn?” Beryl menatap Joni dengan tajam.“Biasa saja.”“Maksudmu dengan biasa saja?”“Kamu kenapa? Seperti terjadi sesuatu saja sama Ririn,”“Aku hanya ingin tahu saja. Sebenarnya sudah sejauh mana hubunganmu dengan Ririn. Lalu, kapan kamu ingin menikahi Ririn?”“Ya,
Widya baru saja menghempaskan pintu mobil. Dia baru saja kembali dari melaksanakan pekerjaan lapangan. Widya melakukannya bersama Damar, manajer perencanaan di perusahaannya. Untuk urusan pekerjaan kantor, Widya selalu mendampingi Damar dalam setiap rapat apa pun di perusahaannya. Rencananya, perusahaan tempat Widya bekerja akan melakukan perluasan usaha dengan menggabungkan beberapa usaha kecil yang selama ini manajemennya masih terpisah.Widya melangkahkan kakinya ke dalam kantor. Widya melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya.Damar berjalan sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar halaman kantor. Tak luput juga Damar menyinggahkan pandang pada sebuah pohon besar yang ada di tepi jalan di dekat kantornya. Di sana sepi dan kosong. Tak ada lagi lelaki yang menjemput Widya yang biasa menunggunya di bawah pohon besar di dekat kantor itu. Damar tersenyum kecil.Sejak Beryl tak lagi menjemputnya sudah beberapa kali, Damar mengantarkan Widya pulang
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang