Damar menarik nafasnya panjang-panjang. Di luar jendela mobil, rinai hujan berubah menjadi semakin deras. Wiper mobil tampak berderit-derit di kaca bagian depan. Damar bercerita tentang rencana-rencana yang jitu buat peruhasaannya. Widya sesekali hanya mengiyakan cerita Damar. Selebihnya, Widya hanya membisu. Matanya lurus memandang ke depan. Di sampingnya, Damar nerocos tanpa menghentikan ceritanya.
Di luar jendela mobil, hujan bertambah lebat. Pandangan ke depan terasa semakin kabur. Di depan mereka, terlihat sebuah bus yang mulai oleng berjalan. Penumpang bus itu tampak penuh sesak, hingga ada yang berdiri di pintu. Asap hitam keluar dari knalpot bus. Bisa dipastikan di dalam bus itu udaranya sangat pengap dan gerah.
Widya jadi teringat Beryl.
“Kemana temanmu yang biasa jemput kamu itu?” pertanyaan Damar sangat mengejutkan Widya.
“Iya? Ada apa?”
“Kenapa temanmu yang biasa menjemputmu, sudah beberapa ha
Mahesa telah tegak berdiri di depan pintu kamar Beryl. Dengan tergesa-gesa Beryl bangkit.“Ada apa Mahesa?” Tanya Beryl terkejut.“Papa menyuruhmu datang.”“Aku pikir ada apa?”“Papa sedang kurang sehat. Beliau ingin bertemu kamu,”“Oh, begitu?”“Iya, Beryl,” kata Mehesa menegaskan.Mata Mahesa menatap tajam ke arah Beryl sebab Mahesa seperti menangkap sikap Beryl yang tak acuh.“Mungkin karena papa terlalu sock,” lanjut Mahesa.“Papamu sock karena ulahmu beberapa waktu lalu,”“Semua sudah terjadi. Sekarang papa sangat ingin bertemu kamu,”“Tapi, kalau sore ini aku belum bisa,”“Itu terserah kamu. Yang penting kamu menyempatkan diri untuk bertemu dengan papa,”“Iya. Aku akan mengusahakannya. Tapi, bukan sore ini.”“Terima kas
Joni sedang berselonjor nonton televisi di kamarnya. Laki-laki itu sedang nonton film laga. Di luar kontrakan Joni terdengar suara anak-anak kecil yang sedang bermain petak umpet.Kening Joni berkerut manakala melihat kedatangan Beryl dengan wajah yang sangat murung.“Sebentar. Aku mau bertanya sesuatu,” kata Beryl.“Serius amat kamu?”Beryl hanya membisu.“Ada apa Beryl?”Beryl duduk di tepi ranjang di kamar Joni. Sesaat Beryl masih menatap Joni.“Well. Ada apa?” ulang Joni.“Bagaimana hubunganmu dengan Ririn?” Beryl menatap Joni dengan tajam.“Biasa saja.”“Maksudmu dengan biasa saja?”“Kamu kenapa? Seperti terjadi sesuatu saja sama Ririn,”“Aku hanya ingin tahu saja. Sebenarnya sudah sejauh mana hubunganmu dengan Ririn. Lalu, kapan kamu ingin menikahi Ririn?”“Ya,
Widya baru saja menghempaskan pintu mobil. Dia baru saja kembali dari melaksanakan pekerjaan lapangan. Widya melakukannya bersama Damar, manajer perencanaan di perusahaannya. Untuk urusan pekerjaan kantor, Widya selalu mendampingi Damar dalam setiap rapat apa pun di perusahaannya. Rencananya, perusahaan tempat Widya bekerja akan melakukan perluasan usaha dengan menggabungkan beberapa usaha kecil yang selama ini manajemennya masih terpisah.Widya melangkahkan kakinya ke dalam kantor. Widya melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya.Damar berjalan sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar halaman kantor. Tak luput juga Damar menyinggahkan pandang pada sebuah pohon besar yang ada di tepi jalan di dekat kantornya. Di sana sepi dan kosong. Tak ada lagi lelaki yang menjemput Widya yang biasa menunggunya di bawah pohon besar di dekat kantor itu. Damar tersenyum kecil.Sejak Beryl tak lagi menjemputnya sudah beberapa kali, Damar mengantarkan Widya pulang
Widya telah duduk di samping Damar. Mobil Damar meluncur dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman kantor.“Eh, kita mau kemana? Bukankah ini bukan ke arah rumah Tuan Stephani,” Tanya Widy ketika mobil Damar membelok ke arah Bypass.“Iya. Dia memang menginginkan pertemuan ini tidak di rumah. Dia ada di vilanya,” jawab Damar dengan santainya.Dada Widya tiba-tiba jadi tersentak. Angin yang berdesah kian masuk ke telinganya. Widya mendekap erat-erat file itu ke dadanya. Menekankan file itu erat-erat untuk meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menggeliat di dadanya.Mobil Damar masih meluncur dengan kecepatan tinggi. Jarum speedometer mobil melewati batas kulminasi. Pohon-pohon yang terlewati seperti berlari dengan cepat dalam bentuk baying-bayang yang begitu kabur.Matahari juga mulai bersembunyi di balik gunung. Sebentar lagi senja tiba dan membalut daerah pegunungan. Sementara, Widya semakin kuat menekankan f
Di dalam mobil yang ditumpanginya, tubuh Widya terasa hangat. Sedu yang ditahannya sedari tadi merambat ke dalam dada dan pecah dalam wujud tangis. Widya menutup mukanya dengan telapak tangan dan sesegukan menahan isak tangis.“Ada apa, Nak?” Tanya perempuan yang ada di sampingnya.“Ti…, tidak, ada apa-apa, Tante,” ujar Widya tersendat-sendat.“Kamu sebenarnya mau kemana?”“Mau pulang, Tante.”“Kamu tinggal di Surabaya?”“Iya, Tante.”“Lalu, laki-laki tadi siapa?”“Dia teman sekantor saya, Tante.”Perempuan yang dipanggil tante oleh Widya mengangguk. Perempuan itu kemudian melirik suaminya yang memegang stir mobil.“Apakah dia mengajakmu menginap?”“Iya, Tante.”“Lalu kamu tak mau?”Widya mengangguk mantap.“Lalu, sekarang bagaima
Di pintu terdengar suara Tuan Sethephani. Lelaki itu menggoda anak Widya, tetapi anak kecil itu berlari meninggalkannya.Tak lama kemudian rumah itu telah sepi. Anak Widya telah tidur di pelukan pembantunya. Perempuan tua asal Jawa itu mengusap-usap ubun-ubun anak kecil itu. Naluri perempuan tua itu bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan yang dialami anak kecil itu karena seringnya ditinggal pergi Widya.Hati perempuan tua itu merasa trenyuh. Anak itu tidak menangis.Di luar sana , Widya merasakan kehangatan dari tangan lelaki yang berbulu bertubuh besar dan tegap tengah melindunginya. Sedang angin yang tadi berhembus di mulut gang merasuk dengan dingin.Mereka sore itu ternyata pergi ke kebun binatang Surabaya. Mereka sedang menyaksikan acara pertunjukan musik yang tengah diadakan di area kebun binatang itu. Musik rock Amerika tengah mengheboh di area kebun binatang tersebut. Suara instrument yang mampu menghentak-hentakkan kaki mereka mem
Widya merapikan rambutnya. Rambut Widya yang hitam mengkilap tergerai semuanya ke bahu.“Apakah mau ke club malam?” Tanya istri Antonio.Widya mengangguk.“Tujuan kami ke sini tadi juga punya niat yang sama denganmu. Kami ingin mengajakmu menikmati hiburan di club malam. Tadi tiba-tiba istriku ingat kamu. Sekalian dia ingin tahu kontrakan kamu,” papar Antonio.“Kalau begitu kita bisa sama-sama,” kata Widya.“Apa tidak mengganggu acara kamu?” Tanya istri Antonio penuh selidik.“Oh, tidak. Sama sekali tidak.” Kata Widya dengan cepat.Di antara cahaya lampu night club itu berkali-kali Antonio menarik nafas dalam-dalam. Desahan Antonio yang berkali-kali sampai terdengar di telinga istrinya.“Ada apa?” Tanya istrinya sambail menggenggam jari-jari tangannya.Antonio hanya menggeleng. Telapak tangan istrinya semakin kuat menggenggamnya. Antoni
“Kalau memang kamu tak lagi percaya pada cinta, mungkin tak ada pilihan lain. Menikahlah dengan Tuan Setephani. Terimalah dia apa adanya.”Widya masih tak berucap.“Tapi, jika kamu masih percaya pada kata cinta, saranku jangan menikah dengannya. Wid, menikah tanpa cinta serupa hidup di neraka.”“Tapi, masih bisakah cinta itu singgah di hatiku lagi?” kata Widya setengah berbisik.Perlahan-lahan ada air hangat yang bergulir di pipi Widya.“Mengapa tidak, Wid? Mengapa kamu pesimis?” kata Antonio penuh semangat.Widya hanya menggeleng.“Kamu masih muda, Wid. Bukankah setiap orang bisa disentuh oleh cinta? Pastinya dengan kamu juga,”“Tapi, sungguh saya benar-benar tidak tahu perasaan apa yang sesungguhnya sedang saya alami. Apakah saya jatuh cinta atau saya apa?”Kini Antonio hanya diam. Laki-laki itu sedang melirik istrinya.“
Dalam hati, Beryl merasa senang dan puas ketika membuka ponsel Bu Liana, di sana hanya ada foto-foto Bu Liana dan suaminya. Ditambah juga yang ada foto-foto mesra Bu Liana dengan dirinya dulu, sebelum Bu Liana menikah dengan ketua jurusan.Ketika Beryl tahu bahwa foto-foto mesranya dulu dengan Bu Liana masih tersimpan, hatinya merasa berbunga. Dan hal itu dimanfaatkan Beryl untuk memandang wajah cantiknya Bu Liana. Diam-diam Beryl tersenyum. Beryl menikmati wajah Bu Liana di wajah terpaan cahaya matahari. Entah, mengapa Beryl merasa terpukau kembali dengan kecantikan Bu Liana.Beryl segera mengalihkan pandangannya ke depan kembali saat Bu Liana mulai menyadari kalau Beryl sering mencuri kesempatan untuk memandangnya.“Beryl. Ngapain dari tadi aku lihat kamu sering senyum-senyum sandiri? Kamu gak lagi sedang melihat Widya, bukan?” pertanyaat Bu Liana sempat membuat Beryl merasa terkejut.“
“Beryl, bisa gak sore ini jemput aku di bengkel mobil? Mobilku harus masuk bengkel.” Sebuah chat wa masuk ke ponsel Beryl.Sore itu, Beryl tengah berbaring di kamar kontrakannya sambil matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan yang kosong dan hampa. Begitulah yang dialami Beryl setelah kejadian di rumah sakit, bahwa Tuan setephani menyatakan dirinya dan Widya sudah bertunangan.“Bisa, Bu Lia. Siap. Pokoknya, oke deh.”Beberapa saat kemudian Beryl sudah meluncur di jalanan dengan menggunakan mobilnya untuk menuju ke sebuah bengkel mobil di mana mobil Bu Liana harus masuk ke bengkel itu.Senja itu Beryl mengenakan jaket berwarna hitam yang merupakan jaket kebesarannya, dipadu dengan mengenakan bawahan jeans berwarna biru tua, dan sepatu adidas warna putih yang sangat dibanggakannya.Setelah dulu hubungan Beryl dan Bu Liana sempat tidak baik, namun setelah semua kesalahpahaman di antara mereka ter
"Mengapa aku harus sekasar itu kepada Bu Liana? Pada hal ia sangat baik kepadaku. Kenapa aku jadi sekasar itu padanya? Mengapa aku harus marah-marah seperti itu hanya karena Bu Liana membicarakan Beryl?.Kemudian bayangan Beryl menggantikan bayangan Bu Liana. Rasanya tak sulit menukarkan lukisan bayangan itu. Sebabwajah Beryl sudah sangat dihafalnya selama ini. Mengapa aku harus semarah itu hanya karena Bu Liana mengatakan bahwa Beryl itumencintaiku? Haruskah aku marah hanya karena Beryl mencintaiku?Widya masih menelentang. Dia menatap langit-langit kamar. Dan, kesadarannya hinggap lagi.Kenapa sekarang semudah ini aku membalikkan tubuh? Padahal, hari-hari kemarin tubuhku terasa lemas danlunglai sekali.Kemudian sepanjang sore dan malam harinya Widya menimbang-nimbang pertanyaan demi pertanyaan yang muncul di kepalanya. Dia ingin hari cepat berganti. Ingin sore cepat datang. Kemudian ingin segera tergantikan oleh pagi. Widya
Dokter Rendra menatap keempat orang yang ada di hadapannya.“Saya sangat mengharapkan bantuan dari kalian semuanya,” kata dokter itu.Sesaat kemudian dokter itu diam. Hanya matanya yang memandang ke empat orang itu dengan berpindah-pindah.Beryl gelisah, dan keringat dingin itu mengalir di keningnya. Penyejuk ruangan itu tak mampu meredakan gemuruh yang bergolak dalam dirinya.Mata Dokter Rendra menghunjamkan pandangan matanya kepada Beryl. Hal itu membuat Beryl menjadi resah dan tak nyaman.“Kamu mencintainya, Beryl?” kata Bu Liana tiba-tiba.Tawa Antonio kemudian meledak.“Oh, iya, saya lupa. Belum saya perkenalkan. Ini Saudara Beryl,” kata Antonio kepada Dokter Rendra.“Dan, saya sendiri Antonio.”Dokter Rendra mengangguk-angguk, kemudian dokter itu berkata yang ditujukan buat Beryl.“Kalau Saudara dapatmengeluarkan dia dari keadaannya se
“Oh, ya, Beryl. Perempuan yang kamu cintai itu sangat cantik. Tubuhnya juga langsing.”“Masih lebih cantik, Bu Liana. Asal tak terlalu banyak makan coklat sama minum es KRIM saja.”“Sekarang aku mau minum jus advokat. Bagus, ‘kan?”“Yah,” kata Beryl sambil menjentik ujung hidung Bu Liana .“Hidung perempuan yang bernama Widya itu juga bagus sekali. Sangat mancung, juga sangat indah . Harmonis dan serasi dengan mulutnya. Kasihan sekali jika melihat dia menangis. Menangisnya nggak bersuara. Kalau aku nggak bisa nangis model dia. Kalau aku yang nangis pasti bersuara.”Beryl hanya merenungi gelas minuman yang ada di depannya.“Widya itu cantik sekali,” kata Bu Liana.“Tapi, wajahnya terlihat sedih sekali.Apakah anaknya hanya satu itu, Beryl?”“Katanya, iya.”“Lalu suaminya di mana seka
Mereka berdiri di dekat kamar pasien di tempat anak Widya berbaring.“Luka-lukanya telah kami obati,” lanjut dokter itu.“Tetapi, dalam kasus kecelakaan anak ini ternyata kepalanya terkena benturan benda keras.”Antonio dan Beryl sama-sama menahan nafas.“Kami sudah berusaha dengan maksimal. Kita tunggu hasilnya," kata dokter itu lembut.“Hanya, sembilan dari sepuluh orang yang mengalami kasus dan kondisi seperti kondisi yang dialami anak ini belum dapat dibantu oleh ilmu kedokteran modern kita.”Antonio dan Beryl saling pandang.“Maksud Dokter apa?” keduanya bertanya tak mengerti.“Tadi perawat sempat bilang, ibu dari anak itu kondisinya agak lemah. Maka dari itu kita harus bijaksana untuk memberitahukan kenyataan ini padanya. Kami masih berusaha sebisa mungkin. Tapi, perlu
Rumah sakit itu terlihat hening. Mereka berpapasan dengan perawat bermatabening dan berpakaian serba putih. Salah seorang perawat itu tadi membantu dokter yang merawat anak Widya.Perawat itu tersenyum ke arah tiga orang yang dipapasinya. Perawat itu mencoba menduga siapa ibu anak kecil yang terluka itu. Perawat itu agak bingung sebab kedua perempuan itu sama-sama berwajah rusuh.Perawat itu mengarahkan ucapannya kepada Anton“Apakah ada yang berdarah golongan A?”Antonio menggeleng.“Saya golongan O,” katanya sambil menoleh ke arah dua perempuan yang ada di sampingnya.Widya dan Istri Antonio hanya menggeleng.“Anak Tuan memerlukan transfusi darah. Kami memang punya persediaan, tetapi terbatas. Akan lebih baik kalauTuan menyediakan donor.”“Apakah parah keadaannya?” tanya Widya terbata-bata.Perawat itu tersenyum lembut.“Dia perlu banyak tam
Dan, tiba-tiba, suara jeritan anak Widya dari luar rumah mengagetkan mereka. Ketiganya terlompat bersamaan dari duduk mereka.Ketiganya berlarian ke halaman. Anak Widya tak kelihatan lagi. Kemanakah anak itu?Ketiganya ke luar halaman. Di gang, ada kerumunan orang. Sementara itu, suara derum mesin motor meninggalkan dan lenyap di mulut gang.Kerumunan itu tersibak oleh tangan Antonio. Dan, jantung Antonio seperti mau copot. Di gang itu terbaring anak Widya. Anak itu berlumuran darah. Saliva Antonio terasa pahit. Anak Widya mengalami kecelakaan.“Angga!” jerit Widya bersamaan dengan jerit istri Antonio.Kemudian, entah berapa kali Widya mendesahkan nama anaknya. Dan tidak lama kemudian Widya pingsan. Beberapa orang yangberkerumun menolong Widya, membawa tubuh Widya masuk ke kontrakannya.Antonio mengangkat tubuh anak Wid
Begitu tiba di kontrakannya, Widya langsung membenamkan tangisnya ke bantal. Tangis yang sebenarnya berusaha untuk ditahannya, tapi akhirnya pecah juga. Siang yang terik membuat kamarnya terasa bertambah pengap. Bukan hanya pengap, tapi juga terasa panas. Sedang dari luar terdengar suara anak nya yang begitu riang gembira dicandai oleh pembantunya. Maka, tangis Widya semakin tersekap. Widya tidak ingin tangis itu terdengar oleh anaknya.Widya merasakan semakin sempurnalah nestapa yang kini melandanya. Sempurnalah sudah semuanya. Widya mengeluh diam-diam. Ibaratnya dia terjerumus ke dalamjurang yang sangat terjal, seperti itulah rasa sakit yang kini diderita Widya. Setelah semua disadarinya betapa jauhnya langit, disadarinyalah pula bahwa jurang yang menjerumuskannya itu teramat dalam. Lalu, terasa betapa sepi, Widya sendirian menanggunghempasan ke dalam jurang yang tak menyimpan harapan baik. Yang tak menyimpan harapan seperti yang