Siang itu, kafe kecil di sudut jalan Menteng tampak tenang, dengan hanya beberapa pengunjung yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Di meja paling pojok, Arissa dan Nathaniel duduk berhadapan, di antara mereka tersebar beberapa lembar kertas dan sebuah jurnal kecil bersampul kulit berwarna cokelat tua. Secangkir kopi hitam yang masih mengepul di hadapan Nathaniel dan teh chamomile yang setengah habis di depan Arissa menemani diskusi mereka yang sudah berlangsung selama hampir dua jam."Jadi," Arissa mengangkat pensilnya, mengetuk-ngetukkannya pelan ke atas jurnal yang terbuka, "kita sepakat untuk mengadakan pernikahan di akhir September tahun depan?"Nathaniel mengangguk, senyum hangat tersungging di bibirnya saat melihat tunangan cantiknya yang begitu serius mencatat setiap detail. "Cuaca akan sempurna pada saat itu. Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin."Arissa tersenyum, membayangkan dedaunan yang mulai berubah warna—merah, oranye, dan keemasan—menciptakan latar yang sempurn
"Lalu bagaimana dengan cincin pernikahan?" tanya Nathaniel.Arissa tampak berpikir. "Aku ingin sesuatu yang simpel, Nate. Tidak perlu berlian besar atau permata mencolok. Mungkin cincin emas putih dengan ukiran sederhana di dalamnya?""Ukiran apa?""Tanggal pertemuan pertama kita," jawab Arissa dengan senyum lembut. "Hari ketika kau marah padaku karena aku menumpahkan kopi ke bukumu."Nathaniel tertawa mengingat momen tersebut. "Aku tidak pernah bisa benar-benar marah padamu, kau tahu itu.""Bohong," Arissa menggoda. "Kau hampir membentakku jika aku tidak langsung meminta maaf dan menawarkan untuk mengganti bukumu.""Dan kemudian kau mengajakku minum kopi sebagai permintaan maaf," Nathaniel tersenyum mengenang. "Kopi terburuk yang pernah kuminum, tapi percakapan terbaik yang pernah kualami."Mereka berdua tenggelam dalam kenangan untuk beberapa saat, mengingat bagaimana perjalanan cinta mereka dimulai dari sebuah kecelakaan kecil di p
"Kau yakin tentang ini, sayang? Maksudku, pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup," ucap Bibi Eleanor, adik dari ibu Nathaniel, sambil menyesap teh Earl Grey-nya dengan anggun. Tatapannya yang tajam tak lepas dari Arissa yang duduk di hadapannya.Arissa menahan napas sejenak, berusaha tetap tenang meski ini adalah kali kesepuluh dalam seminggu terakhir ia harus menjawab pertanyaan serupa. "Ya, Bibi Eleanor. Kami yakin ingin pernikahan yang sederhana.""Tapi keluarga Hart tidak pernah mengadakan pernikahan sederhana," Bibi Eleanor bersikeras, suaranya lembut namun mengandung ketegasan khas aristokrat Inggris. "Bahkan pernikahan sepupumu Thomas yang notabene hanya seorang dokter gigi pun dihadiri oleh hampir 300 tamu."Dari sudut matanya, Arissa bisa melihat Nathaniel yang sedang berbincang dengan ayahnya di teras villa, sesekali melirik ke arah mereka dengan tatapan cemas. Ia tahu tunangannya itu ingin menyelamatkannya dari interogasi Bibi Eleanor, tapi ia j
"Maksudmu?""Bagaimana jika kita meminta beberapa teman kita yang berbakat musik untuk tampil? Jake dengan gitarnya, Dina dengan suara emasnya. Kau juga bisa memainkan piano untuk satu atau dua lagu."Nathaniel tampak terkejut. "Kau ingin aku bermain piano di pernikahan kita sendiri?""Hanya jika kau mau," Arissa tersenyum lembut. "Aku selalu suka mendengarmu bermain. Dan bukankah akan lebih bermakna jika musik di pernikahan kita dimainkan oleh orang-orang yang kita cintai?"Nathaniel tampak mempertimbangkan ide tersebut. "Aku bisa memainkan Debussy, 'Clair de Lune'. Lagu yang kumainkan saat kita pertama kali bertemu di pesta kampus itu.""Sempurna," bisik Arissa, matanya berkaca-kaca mengingat momen tersebut.Malam itu, saat makan malam keluarga di ruang makan besar villa, pembicaraan kembali mengarah ke pernikahan. Namun kali ini, alih-alih kritik dan pertanyaan yang menantang, keluarga mulai mendiskusikan detail pernikahan dengan semangat
Ketika hari pernikahan tiba, suasana penuh kebahagiaan dan cinta mengisi ruangan. Pernikahan yang sederhana tetapi penuh dengan kehangatan ini berlangsung dengan indah. Saat mereka mengucapkan janji pernikahan, banyak mata yang berkaca-kaca, termasuk mereka berdua. Nathaniel dan Arissa tahu bahwa ini adalah awal dari babak baru dalam hidup mereka, dan mereka berjanji untuk selalu saling mendukung dan mencintai tanpa syarat.Pagi itu, Arissa terbangun dengan detak jantung yang cepat. Jari-jarinya sedikit gemetar saat ia menyentuh gaun putih gading yang tergantung di lemari. Gaun itu sederhana namun elegan, dengan detail renda halus yang menutupi bagian atas dan mengalir lembut ke bawah. Ia memilih gaun tersebut karena mengingatkannya pada kesederhanaan cinta mereka—tidak berlebihan, namun bermakna dalam."Kau siap?" tanya Nadia, sahabat sekaligus pendamping pengantinnya, yang baru saja masuk ke kamar dengan secangkir teh chamomile hangat.Arissa mengangguk
Di meja utama, Nathaniel dan Arissa duduk berdampingan, kadang-kadang saling berbisik dan tertawa kecil, atau sekadar saling memandang dengan penuh cinta. Mereka tampak seolah-olah mereka berada di dunia mereka sendiri, meski dikelilingi oleh begitu banyak orang yang mereka sayangi.Reza, sebagai pendamping pria, berdiri untuk memberikan toast pertama. Dengan gelas sampanye terangkat, ia bercerita tentang bagaimana ia menyaksikan perubahan Nathaniel sejak bertemu Arissa—dari seorang pria yang selalu mempertanyakan dirinya sendiri menjadi seseorang yang akhirnya menemukan keyakinan dan tujuan."Kepada Nathaniel dan Arissa," ia mengakhiri toastnya, "semoga cinta kalian terus tumbuh dan menjadi inspirasi bagi kita semua. Cheers!"Nadia kemudian mengambil giliran, bercerita dengan nada penuh humor tentang bagaimana Arissa dulu bersumpah tidak akan pernah menikah setelah patah hati hebat beberapa tahun lalu. "Dan lihat dia sekarang," Nadia tersenyum pada sahaba
Setelah pernikahan, mereka berdua memutuskan untuk menjalani bulan madu yang sederhana namun bermakna. Mereka pergi ke tempat yang tenang di luar kota, jauh dari sorotan publik, untuk menikmati waktu bersama. Di sana, mereka benar-benar menikmati kebersamaan mereka tanpa gangguan, menyadari betapa pentingnya hubungan ini dalam hidup mereka.Pagi itu, mobil sedan putih Nathaniel meluncur meninggalkan hiruk pikuk kota. Jendela diturunkan separuh, membiarkan angin pagi membelai lembut wajah Arissa yang masih terlihat lelah setelah resepsi pernikahan mereka sehari sebelumnya. Namun, kelelahan itu tidak mengurangi kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Sesekali ia melirik cincin perak yang sekarang melingkar di jari manisnya, seolah meyakinkan diri bahwa semua ini nyata—bahwa ia telah resmi menjadi istri dari pria yang kini fokus menyetir di sampingnya."Kau tersenyum terus sejak tadi," kata Nathaniel sambil melirik sekilas ke arahnya."Aku masih tidak perca
"Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa