Arissa merasakan dunia di sekelilingnya berputar ketika kesadarannya perlahan kembali. Kepalanya berdenyut nyeri, dan rasa dingin menjalari tubuhnya. Bau apek dan debu memenuhi hidungnya, membuatnya sadar bahwa ia berada di tempat yang sangat jauh dari kenyamanan.
Perlahan, ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Tali yang kasar menekan pergelangan tangannya, membuatnya merasa kesemutan. Matanya berkedip beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya redup di ruangan itu.
Ia berada di sebuah gudang kosong—atap bocor di beberapa tempat, membiarkan cahaya bulan masuk melalui celahnya. Dindingnya kusam, dipenuhi coretan dan noda hitam yang entah berasal dari apa. Hanya ada satu pintu di ruangan itu, dan di depannya berdiri dua pria berbadan kekar dengan ekspresi dingin.
Arissa menarik napas dalam, menenangkan dirinya. Ia tahu panik tidak akan membantunya keluar dari situasi ini. Ia harus tetap berpikir jernih.
Nathaniel menatap layar komputernya dengan ekspresi tegang, napasnya pendek dan berat. Detik demi detik berlalu terasa seperti siksaan. Pihak berwenang sedang bekerja melacak keberadaan Arissa, tetapi ia merasa itu tidak cukup cepat. Setiap menit yang terbuang bisa menjadi ancaman bagi keselamatan wanita yang ia cintai."Masih belum ada kabar?" tanyanya dengan suara yang nyaris bergetar.James, asistennya yang berdiri di sebelahnya, menggelengkan kepala. "Tim keamanan sedang menelusuri CCTV dan data pergerakan kendaraan yang mencurigakan di sekitar pelabuhan. Namun, Markus terlalu licik. Dia tidak akan meninggalkan jejak yang mudah ditemukan."Nathaniel menghempaskan tangannya ke meja. "Sial!"Ia tidak bisa hanya duduk di sini dan menunggu. Markus adalah seorang manipulator ulung, dan ia tidak akan berhenti sampai benar-benar menghancurkan Nathaniel. Jika ia ingin Arissa selamat, ia harus bertindak lebih cepat dari Markus.Tiba-tiba,
Arissa duduk bersandar di dinding gudang yang dingin dan lembap. Tangannya masih terikat, sementara pergelangan kakinya terasa kaku karena duduk terlalu lama di posisi yang sama. Beberapa pria berbadan kekar yang menjaga tempat itu terus berjaga-jaga, memastikan ia tidak memiliki celah untuk kabur.Namun, Arissa tidak membiarkan rasa takut menguasainya.Ia tahu bahwa Nathaniel pasti sedang mencari cara untuk menyelamatkannya. Tetapi, ia juga tidak bisa hanya diam dan menunggu. Jika ada kesempatan untuk melarikan diri, ia harus mengambilnya.Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur pikirannya. Markus mungkin berpikir bahwa ia hanyalah seorang wanita biasa yang mudah menyerah, tetapi ia salah. Selama bertahun-tahun, Arissa telah menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Dan kali ini tidak akan menjadi pengecualian.Di sisi lain, Markus berdiri di sudut ruangan, berbicara dengan seseorang melalui telepon."Aku tid
Nathaniel duduk di kursi kantornya dengan rahang mengatup erat. Kedua tangannya mengepal, jemarinya hampir menembus permukaan meja. Ia menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam, membaca pesan yang baru saja diterimanya."Kau ingin Arissa tetap hidup? Serahkan perusahaanmu. Tanpa syarat. Kau punya waktu 24 jam."Markus.Nathaniel merasakan gelombang amarah yang hampir tidak bisa ia kendalikan. Markus sudah melampaui batas dengan menyeret Arissa ke dalam permainannya. Ini bukan lagi soal bisnis—ini sudah menjadi perang pribadi.James, tangan kanannya, berdiri di seberang meja dengan ekspresi serius. "Kita tidak bisa menyerah begitu saja, Nathaniel. Ini jelas jebakan."Nathaniel mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan Arissa berada dalam bahaya lebih lama lagi.""Kita sudah berusaha melacak keberadaannya, tapi Markus sangat licin," kata James lagi. "Ia tidak menggunakan jalur komunikasi yang bisa de
Arissa duduk diam di kursi kayu tempatnya ditahan, napasnya tertahan setiap kali mendengar suara langkah kaki di luar ruangan. Tangannya masih terikat di belakang punggung, tetapi pikirannya bekerja lebih cepat daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa Markus tidak akan memberinya kesempatan untuk bebas begitu saja, dan ia juga tahu bahwa Nathaniel pasti sedang mencari cara untuk menemukannya.Namun, bagaimana ia bisa membantu Nathaniel menemukan lokasinya?Sejak pertama kali ia dibawa ke tempat ini, ia telah memperhatikan beberapa detail kecil. Udara di ruangan ini terasa lembap, dengan bau garam yang samar—mungkin dekat dengan laut atau sungai besar. Lalu, ketika Markus mengizinkannya berbicara di telepon dengan Nathaniel beberapa saat lalu, ia sempat mendengar suara gemuruh dari luar, mungkin suara kapal atau kendaraan besar yang lewat.Arissa mencoba mengingat-ingat kembali. Saat mereka membawanya, mobil yang ia naiki melewati jalanan berbatu selama beberapa
Nathaniel berdiri di depan pelabuhan tua, matanya menatap tajam ke arah bangunan-bangunan bobrok yang berdiri di sepanjang dermaga. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tetapi itu bukanlah hal yang mengganggunya saat ini. Yang ada dalam pikirannya hanyalah satu hal—Arissa."Ini tempatnya," kata James di sampingnya, menunjuk ke sebuah gudang tua di ujung dermaga. "Kami telah memastikan bahwa Markus dan anak buahnya ada di dalam. Tidak ada jalan keluar lain kecuali pintu depan dan belakang."Nathaniel mengepalkan tangannya. "Berapa orang yang ada di dalam?""Setidaknya enam orang bersenjata," jawab James, memeriksa perangkat komunikasinya. "Tim kita sudah siap di posisi masing-masing. Begitu kau memberi tanda, kami akan masuk."Nathaniel menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini berbahaya. Markus Reinhardt bukan hanya seorang pebisnis licik, tetapi juga seseorang yang tidak segan-segan bermain kotor demi mencapai tujuannya. Dan kali ini, Markus tela
Gudang tua yang gelap dan lembap itu kini menjadi arena pertempuran terakhir antara Nathaniel dan Markus. Cahaya remang-remang dari lampu gantung yang berkedip-kedip menciptakan bayangan menyeramkan di dinding, seolah mencerminkan situasi mencekam yang terjadi di dalamnya.Nathaniel berdiri tegak, napasnya berat setelah serangkaian pertarungan melawan anak buah Markus. Di hadapannya, Markus Reinhardt menyeringai penuh keangkuhan, meskipun beberapa lebam mulai terlihat di wajahnya."Kau benar-benar keras kepala, Nathaniel," ejek Markus, mengangkat pisau berkilat yang baru saja ia tarik dari sakunya. "Kau bisa saja menyerah sejak awal dan menghindari semua ini."Nathaniel mengepalkan tinjunya. Ia tidak pernah gentar menghadapi ancaman, terutama dari seseorang seperti Markus. "Aku tidak akan membiarkanmu menang."Tanpa peringatan, Markus melesat ke arah Nathaniel, mengayunkan pisaunya dengan cepat. Nathaniel berhasil menghindar dengan gesit, namun Markus buk
Langit malam di luar gudang tua itu masih gelap pekat ketika sirene polisi akhirnya berhenti meraung. Cahaya merah dan biru berputar-putar, menerangi lorong-lorong sempit yang dingin. Di dalam ruangan, bau besi dari darah yang mengering bercampur dengan udara yang lembap.Nathaniel berdiri dengan tubuh penuh luka, darah segar masih mengalir dari lengannya yang tertusuk pisau Markus. Meskipun begitu, matanya tidak beranjak dari Arissa yang kini berada dalam pelukannya. Wanita itu masih gemetar, meskipun ia mencoba menenangkan dirinya sendiri.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, Arissa selamat.Nathaniel dengan lembut mengusap rambutnya. "Kita sudah aman sekarang," bisiknya, meskipun suaranya terdengar serak karena kelelahan.Arissa mengangguk, tetapi air matanya tidak bisa ia tahan. "Aku benar-benar takut… kupikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi," ucapnya dengan suara parau.Nathaniel mengeratkan pelukannya, mengabaikan rasa nyeri di l
Cahaya pagi menembus tirai rumah sakit, menciptakan siluet samar di dinding putih yang steril. Arissa terbangun perlahan, tubuhnya masih terasa lelah setelah malam yang panjang. Di sampingnya, Nathaniel masih tertidur, wajahnya tampak lebih tenang meskipun luka-luka di tubuhnya masih membekas.Selama beberapa jam terakhir, Arissa tak bisa berhenti berpikir tentang semua yang telah terjadi. Dari momen saat ia diculik, ketakutan yang melingkupinya, hingga saat Nathaniel datang untuk menyelamatkannya. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang belum sepenuhnya sirna.Ia menatap tangan Nathaniel yang terbalut perban, teringat bagaimana pria itu bertarung habis-habisan demi dirinya. Hatinya terasa sesak, ada perasaan yang semakin jelas terbentuk di dalam dirinya—perasaan yang selama ini ia coba abaikan.Nathaniel perlahan membuka matanya, seolah merasakan tatapan Arissa. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kau suda
"Sangat sulit," Bima mengakui dengan jujur. "Terutama saat kamu benar-benar marah atau terluka. Tapi itu sepadan. Karena di akhir percakapan itu, kami biasanya menemukan pemahaman baru dan hubungan kami menjadi lebih kuat."Arjuna mengangguk, tampak memikirkan kata-kata ayahnya dengan serius. "Kurasa itulah sebabnya kalian masih sangat mencintai satu sama lain setelah bertahun-tahun."Bima tersenyum, terharu oleh observasi putranya. "Ya, kurasa begitu. Cinta bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja; itu adalah pilihan yang kami buat setiap hari—untuk tetap bersama, untuk menyelesaikan masalah, untuk mendukung satu sama lain."Di usianya yang ke-15, Bima dan Kirana menghadapi tantangan baru dalam pernikahan mereka. Kirana ditawari posisi penting di perusahaan internasional—sebuah kesempatan yang telah lama ia impikan. Namun, posisi itu mengharuskannya untuk pindah ke kota lain."Aku tidak tahu harus bagaimana," kata Kirana, setel
Bima menatap istrinya dengan tatapan penuh kasih. "Maksudmu?""Maksudku, dulu aku mencintaimu karena kamu tampan, pintar, dan selalu membuatku tertawa. Sekarang, aku mencintaimu karena semua itu, ditambah dengan bagaimana kamu sebagai suami, sebagai ayah, dan sebagai mitra hidupku. Aku mencintaimu karena semua yang telah kita lalui bersama, semua kenangan yang kita buat, dan semua impian yang masih kita kejar."Bima tersentuh oleh kata-kata istrinya. "Aku juga merasakan hal yang sama. Cinta kita telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih dalam dan berarti.""Dan itu yang membuatnya istimewa," lanjut Kirana. "Bahwa cinta kita bukan sekadar perasaan sesaat, tetapi komitmen yang terus dipupuk setiap hari."Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, mendengarkan deburan ombak dan menikmati kebersamaan mereka. Bima meBima menggenggam tangan Kirana, merasakan tekstur lembut kulitnya yang sudah sangat familiar. "Kamu tahu, ada sesuatu yang ingin ku
"Kamu tahu apa yang paling kusukai dari hubungan kita?" tanya Bima."Apa?""Kita tidak hanya bertahan, tapi kita berkembang. Kita tidak hanya sekadar pasangan yang tinggal bersama, tapi kita benar-benar hidup bersama—berbagi mimpi, ketakutan, harapan, dan kebahagiaan."Kirana mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Dan itulah yang membuatnya istimewa, bukan? Bahwa di tengah dunia yang semakin individualistis, kita masih menemukan cara untuk benar-benar terhubung dan hadir satu sama lain.""Tepat sekali," Bima setuju. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga hubungan ini, apapun yang terjadi."Mereka duduk di sana hingga larut malam, berbincang tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Tidak ada pembicaraan tentang pekerjaan, deadline, atau masalah sehari-hari. Hanya ada mereka berdua, dan cinta yang terus tumbuh di antara mereka.Waktu berlalu dengan cepat. Arjuna kini berusia lima tahun, dan Bima serta Kirana dikaruniai anak
"Kamu tahu," kata Bima tiba-tiba, "ada satu hal lagi yang membuat kita bertahan: kita tidak pernah berhenti tumbuh bersama."Kirana menatapnya penasaran. "Maksudmu?""Maksudku, kita tidak hanya mendukung pertumbuhan satu sama lain, tetapi kita juga tumbuh sebagai pasangan. Kita belajar dari kesalahan, beradaptasi dengan perubahan, dan selalu mencari cara untuk menjadi versi terbaik dari diri kita—baik sebagai individu maupun sebagai pasangan."Kirana tersenyum, menyadari kebenaran dalam kata-kata suaminya. Mereka memang telah melalui banyak perubahan dan tantangan, tetapi alih-alih membiarkan hal-hal tersebut memisahkan mereka, mereka menjadikannya sebagai kesempatan untuk tumbuh bersama."Aku mencintaimu," bisik Kirana, mengulangi kata-kata yang telah mereka ucapkan ribuan kali namun tidak pernah kehilangan maknanya."Aku lebih mencintaimu," balas Bima, sebelum keduanya terlelap dalam pelukan hangat, di samping buah hati mereka yang tertidur
"Kamu tahu," kata Bima suatu malam saat mereka berbaring bersama di tempat tidur, "aku mulai menyadari bahwa tidak semua 'pekerjaan penting' itu benar-benar penting."Kirana menoleh, tertarik. "Maksudmu?""Selama ini aku selalu berpikir bahwa setiap email harus dijawab segera, setiap masalah harus diselesaikan hari itu juga. Tapi ternyata tidak. Beberapa hal memang mendesak, tapi sebagian besar bisa menunggu.""Dan dunia tidak runtuh karenanya," tambah Kirana dengan senyum."Tepat sekali. Justru sebaliknya, aku merasa lebih produktif di kantor karena aku tahu waktuku terbatas. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan penting sebelum pulang, karena di rumah adalah waktuku bersamamu."Kirana mengangguk setuju. Ia juga mulai menerapkan hal serupa di tempat kerjanya. Alih-alih lembur hingga larut malam, ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya dalam jam kerja normal. Tentu saja ada pengecualian untuk proyek-proyek penting, tetapi ia tidak lagi membiarkan pekerjaan mengambil alih seluruh hidu
Suara dentingan sendok beradu dengan cangkir kopi memecah keheningan pagi itu. Bima menatap keluar jendela, mengamati titik-titik embun yang masih menggantung di dedaunan. Di hadapannya, Kirana sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, sesekali mengernyitkan dahi. Meskipun berada di ruangan yang sama, mereka seolah berada di dunia yang berbeda—masing-masing tenggelam dalam urusan pekerjaannya."Deadline-nya besok," gumam Kirana, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Proposal ini harus selesai malam ini."Bima hanya mengangguk pelan. Ia sendiri memiliki tumpukan dokumen yang menunggu untuk ditinjau. Sejak mendapat promosi sebagai kepala divisi, waktu luangnya semakin terkikis. Begitu pula dengan Kirana yang kini menjabat sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan ternama.Keduanya telah menikah selama lima tahun, dan tiga tahun terakhir telah menjadi periode paling sibuk dalam kehidupan mereka. Karier mereka menanjak, tanggung jawab bertambah, dan waktu bersama semakin berkurang. Nam
"Mau minum kopi?" tanyanya. "Ada kafe kecil di seberang jalan. Kita bisa... bicara. Sudah lama sejak terakhir kali kita benar-benar bicara."Arissa ragu sejenak. Bagian rasional dari dirinya tahu bahwa ini mungkin bukan ide yang baik, bahwa membuka kembali luka lama hanya akan membuat penyembuhan semakin sulit. Tapi ada bagian lain yang tidak bisa ia sangkal—bagian yang selalu merindukan percakapan panjang mereka, tawa mereka, dan pengertian diam mereka."Baiklah," jawabnya akhirnya. "Satu kopi."Di kafe kecil yang nyaman itu, dengan secangkir kopi panas di antara mereka, dinding yang mereka bangun selama bertahun-tahun perlahan mulai runtuh. Mereka berbicara tentang impian mereka yang telah terwujud, tentang perjuangan mereka, tentang kesendirian yang kadang-kadang menghinggapi di tengah kesuksesan."Kau tahu," kata Reyhan setelah jeda panjang, "aku sering bertanya-tanya bagaimana jadinya jika aku tidak pergi waktu itu. Jika aku memilih untuk tingg
"Bagus sekali. Kita bisa mendiskusikannya di rapat tim minggu depan. Aku selalu menginginkan Sentuhan Hati untuk berkembang menjadi pusat kesehatan holistik yang lengkap, bukan hanya klinik pijat."Setelah berpisah dengan Rini, Arissa melanjutkan perjalanan ke kantornya dengan langkah ringan. Inisiatif timnya adalah bukti bahwa ia telah berhasil membangun budaya kerja yang mendorong pertumbuhan dan inovasi. Para terapisnya tidak hanya menjalankan tugasnya, tetapi mereka juga memiliki rasa kepemilikan terhadap kesuksesan klinik.Di kantornya, Arissa mulai mengerjakan draft artikel untuk jurnal terapi. Ia memutuskan untuk menulis tentang pendekatan kolaboratif antara terapi pijat dan pengobatan konvensional, menggunakan kasus Pak Hendra (dengan persetujuannya, tentu saja) sebagai contoh.Sementara jari-jarinya menari di atas keyboard, pikirannya kembali melayang ke undangan Reyhan. Pameran itu akan diadakan minggu depan, bertepatan dengan kunjungan Pak Dharma untu
"Ah, Bu Arissa," suara Pak Hendra terdengar lebih cerah dari yang ia duga. "Saya baru saja akan menelepon Ibu. Saya sudah bertemu Dr. Santoso pagi ini.""Oh, bagus sekali! Bagaimana hasilnya, Pak?""Dokter mengatakan Ibu benar untuk merujuk saya. Ada masalah kecil dengan diskus di tulang belakang saya. Tidak serius, tapi perlu penanganan. Beliau merekomendasikan kombinasi terapi fisik dan pijat khusus. Dan beliau sangat menghargai kemampuan observasi terapis Ibu."Arissa tersenyum lega. "Saya senang mendengarnya, Pak. Terapi fisik sangat bagus untuk kondisi Bapak. Dan tentu saja, kami bisa menyesuaikan terapi pijat untuk mendukung pemulihan Bapak.""Ya, Dr. Santoso bahkan menyarankan terapi pijat di klinik Ibu sebagai bagian dari program pemulihannya. Katanya Sentuhan Hati memiliki reputasi yang sangat baik di kalangan dokter."Ini adalah berita yang menggembirakan bagi Arissa. Kolaborasi dengan dokter-dokter terkemuka seperti Dr. Santoso adalah sa