Beranda / Fantasi / Pharmacist Save the Villain / Bagian 44: Firasat Buruk

Share

Bagian 44: Firasat Buruk

Penulis: Puziyuuri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kenapa, Dinda? Apa kamu mencintai orang lain?” cecar Pangeran Arya.

Mata elang menatap sendu gadis pujaan hati. Sementara itu, Bawang Putih menggeleng lemah. Tangannya sibuk memilin ujung kebaya. Aku menjadi gemas.

Setelah terdiam dalam waktu lama, Bawang Putih akhirnya bergumam lesu, “Apakah saya pantas untuk Yang Mulia." Dia tampak menggigit bibir dan mengepalkan tangan. "Lagi pula saya ... tidak mau berpisah dengan ibu dan mbakyu.”

Perasaanku bercampur aduk. Ada rasa haru karena kasih sayang Bawang Putih yang begitu besar, tapi juga takut Pangeran Arya akan murka. Untunglah, lelaki tampan itu malah tertawa.

Pangeran Arya menepuk pelan bahu Bawang Putih. “Semua manusia itu sama, Bawang Putih. Kenapa cinta harus terhalang kasta? Sebenarnya, aku sangat ingin menghapuskan sistem itu,” tuturnya serius.

Coba Tuan Putri Sekar Ayu memiliki seuprit saja kebaikan hati Pangeran Arya.

“Soal ibu dan mbakyumu tentu mereka akan tinggal di sini juga setelah kita menikah,” tambah Pangeran Ary
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 45: Buah Simalakama

    Akhirnya, kami sampai di depan kamar Putri Sekar Ayu. Mbok Asih mengetuk pintu. Terdengar suara merdu sang putri mempersilakan masuk. Pintu dibuka perlahan. Tubuh semampai tergolek lemah di bawah selimut sutra. Lima dayang berparas jelita berjejer di sisi kanan dan kiri ranjang, tampak menunduk dengan raut wajah muram, seolah turut bersedih atas musibah sakit yang menimpa sang putri. “Izinkan Hamba memeriksa keadaan, Yang Mulia.” “Cepatlah, Tabib! Aku sudah tidak tahan lagi, kepala seperti ingin pecah,” keluh Putri Sekar Ayu. Suaranya lebih terdengar seperti orang marah besar dibandingkan sedang sakit. Sudahlah! Mau bagaimanapun ini seperti menelan buah simalakama, menolak atau menerima permintaannya sama saja membawa masalah. Setelah mendapat persetujuan, aku mendekati ranjang kayu jati, menyentuh kening dan memeriksa denyut nadi Putri Sekar Ayu. Senyuman samar terukir di bibirnya. Kemungkinan ini adalah jebakan pun semakin besar. Namun, sejauh ini, akting sang putri benar-bena

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 46: Penjara?

    Keadaan memanas saat Danar memukul tangan kakaknya sendiri. Dharma hanya bisa menggeram menahan amarah. Level kekuatan fisik mereka tentu jauh berbeda. “Jangan terbutakan cinta, Kangmas Dharma! Tabib wanita ini akan diadili besok." Danar mengalihkan pandangan kepada bawahannya. "Sekarang, bawa dia ke penjara!” titahnya. Ck! Orang yang sok-sokan mengejarku ternyata malah tidak bisa percaya. Miris sekali, tapi aku mengerti. Perkataan seorang putri raja tentu lebih utama. Danar mengambil cangkir berisi ramuan obat dan menyerahkannya pada seorang pemuda paling tinggi dan kekar. “Gelas berisi jamu beracun ini harus dijaga dengan ketat, agar tidak ada yang mencoba menghilangkan bukti. Aku menugaskan ini kepadamu, Ganendra.” Beberapa hari tinggal di istana, aku sedikit tahu susunan pengawal. Ganendra adalah tangan kanan Pangeran Arya setelah Danar. Dia tak banyak bicara, tapi kesetiaannya pada kerajaan tiada bandingan. Pemuda itu tampaknya memiliki perasaan kepada Putri Sekar Ayu, dilih

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 47: Badass

    “Mbakyu! Mbakyu!” Aku mengerutkan kening. Ardhan masih terlihat dipenuhi amarah, tapi kenapa dia memanggil Mbakyu. Tangannya kembali menyentuh pipi, bukan membelai seperti tadi, malah menepuk-nepuk pelan. “Mbakyu! Mbakyu!” Nggak beres nih si Ardhan. “MBAKYU!” Teriakan kencang memekakkan telinga. Aku tersentak, lalu terguling ke lantai. Kening terasa berdenyut-denyut, sepertinya benjol lagi. “Aduh, Mbakyu, maafkan aku.” Kenapa suara Ardhan jadi terdengar feminim? Aku mendongak, lalu terbelalak. Bawang Putih tengah memelukku dengan mata berkaca-kaca. Hal paling mengejutkan adalah pakaian serba hitam yang dikenakannya, persis ninja di film-film, lengkap dengan busur dan anak panah di punggung. Sementara parang terselip di pinggang. Tunggu dulu! Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana Ardhan yang marah-marah tadi pergi? Kenapa Bawang Putih malah di sini? Bukankah ini malam pengantinnya? Apakah kasus keracunan Putri Sekar Ayu menyibukkan Pangeran Arya? “Mbakyu baik-baik saja, ‘kan?”

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 48: Pelarian

    Darah segar mengucur dari betis Ibu. Saat kami menembus semak belukar, kaki beliau terbelit putri malu. Durinya merobek celana dan menggores kulit. Bawang Putih dengan sigap menyingkirkan tumbuhan itu, lalu mengucurkan air dari kantung minum untuk membersihkan luka. Aku mengedarkan pandangan. Sedikit kesulitan karena hanya bergantung cahaya obor kecil. Syukurlah, ada daun bandotan tak jauh dari kami. Tumbuhan itu telah teruji pada hewan percobaan memiliki khasiat sebagai anti bakteri dan anti peradangan. Tak ingin membuang waktu, aku segera mengambil beberapa lembar, mencuci dan mengunyahnya sambil menahan napas karena sangat berbau. Selanjutnya, daun bandotan tadi ditempelkan ke luka Ibu. Langkah terakhir, kaki dibalut dengan kain. Bawang Putih menyobek ujung bajunya dengan belati. “Sudah bisa jalan lagi, Bu?” tanya Bawang Putih setelah kami istirahat lumayan lama. Ibu mengangguk. Kami pun meneruskan perjalanan semakin masuk ke hutan. Kini, aku yang tengah memapah Ibu berjalan le

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 49: Kembali

    Saat membuka mata, tubuh mengambang di udara. Aneh, sebelumnya, aku masih berada dalam pelukan arus sungai. Aroma melati semerbak menelusuk hidung. Raka? Apakah ini perbuatannya? Tebakanku tidak salah. Tak lama hingga wajah tampan Raka tertangkap pandangan. Penampilannya tidak sederhana seperti biasa. Jika setiap kami bertemu, dia hanya mengenakan selembar kain sutra putih yang dibelit, kali ini ditaburi juga serbuk emas. Mahkota dengan permata biru bertahta di kepalanya. Lengan kokoh terulur. Jemari Raka mengusap wajahku. Rasa bersalah terpancar dari sinar matanya. “Maaf, aku datang terlambat. Banyak sekali yang harus diselesaikan.” “Tidak apa, Raka. Mungkin ini sudah pengaturan ceritanya. Bawang Merah akan berakhir dengan hukuman.” “Ini salahku yang membuatmu menjadi Bawang Merah.” Aku berusaha keras untuk tersenyum. Mungkin dia sudah berbuat seenaknya membawa orang lain ke dalam cerita. Namun, jauh di lubuk hati, ada rasa syukur pernah menjadi Bawang Merah. Bisa memiliki adik

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 50: Pilihan

    Kami bertiga refleks mengalihkan pandangan. Ibu terperangah. Wajah Rosa berubah dongkol. Ya, Ardhan berdiri di sana dengan sorot mata memelas. Dia mendekat dan menggenggam tangan Ibu dengan erat. “Bu, saya yang akan menikahi Aleeya dan menjaganya seumur hidup.” Tidak, Bu! Jangan mau! “Enak saja!” Suara hatiku terwakili sosok yang baru keluar dari ruang ICU. Ghaida ternyata menguping pembicaraan. Wajahnya merah padam, mendelik tajam pada mantanku itu. Tangan Ardhan dilepas paksa. “Aku tidak akan membiarkan buaya seperti kamu menikahi kakak!” tegasnya lagi. Sebenarnya, Ardhan tidak pas juga kalau disebut buaya. Dia memang menjadikanku taruhan, tapi tidak pernah sekalipun menduakan. Kalau diingat-ingat, Ardhan bahkan selalu menempel seperti perangko dan memiliki rasa cemburu yang besar. Entah jika itu semua hanya sandiwara. “Dik, kumohon, meskipun dulu pernah menjadikannya taruhan, aku benar-benar mencintai Aleeya.” “Tidak! Aku yang akan mengurus Kak Aleeya.” “Kamu akan punya ke

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 51: Keadilan

    Aroma karbol perlahan raib digantikan harumnya melati. Kasur juga menjadi lebih empuk. Saat membuka mata, dinding kamar dengan pahatan intan tertangkap pandangan. Berarti, perpindahan antar dimensi berhasil dan aku sudah berada di istana Raka. Baru saja mencoba duduk, terdengar bunyi pintu dibuka. “Syukurlah, kamu sudah sadar, Aleeya.” Suara indah Raka yang khas membuatku menoleh ke kiri. “Kyaaa!” Aku refleks menutup muka dengan telapak tangan. Pipi terasa panas, malu, dan kesal bercampur aduk. Sementara dada malah berdebar kencang. Pemuda jadi-jadian itu memang keterlaluan. Dia seenaknya masuk hanya dengan kain melingkar di pinggang. “Kamu baik-baik saja, Aleeya?” “Pakai baju dulu, Raka!” “Ehem, sepertinya ada yang terpesona dengan keindahanku. Yah, mau bagaimana lagi, beginilah kami para keturunan bidadari, selalu menawan dan memabukkan.” “Keindahan gundulmu! Cepat pakai baju, dasar memalukan!” “Oke, oke, Sayang. Apa pun permintaanmu.” Kalau menabok putra bidadari, bakal k

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 52: Rencana Danar

    Aku hanya bisa mengerutkan kening. Perkataan Danar benar-benar menimbulkan banyak tanda tanya. Zaman ini jelas tidak ada CCTV. Jadi, bagaimana caranya membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Dharma selaku sang saksi mata juga ditahan di ruangannya. Para dayang dan ibu susu Putri Sekar Ayu sudah jelas memberikan kesaksian yang memberatkan. Danar menghampiri salah seorang pengawal. “Panggilkan Ganendra! Bawakan cangkir berisi jamu yang kusuruh dia untuk menjaganya!” perintahnya. Tak lama kemudian, Ganendra datang membawa nampan berisi cangkir terisi setengah. Dia berhenti di depan Danar. Si pengawal rese mengambil cangkir dan menyodorkannya kepadaku dengan wajah datar. “Minumlah, Tabib. Jika kamu memang meracuni Tuan Putri, maka ini akan menjadi hukuman mati untukmu!” Aku tersentak. Ada senyuman samar di sudut bibir Danar. Sekarang, semua kelakuan anehnya dalam menyikapi fitnah ini bisa dimengerti. Ternyata, dia sangat cerdas. Meskipun sering emosian, saat situasi darurat Danar malah

Bab terbaru

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Raka

    Aku mengangkut keranjang kecil berisi kayu manis yang telah dikeringkan. Baru beberapa langkah, sosok tinggi menjulang dengan badan atletis sudah menghadang. Ya, Danar memaksa untuk membantu membawakan. Aku menolak karena merasa sanggup melakukannya sendiri. Belum habis masalah, Dharma menghampiri dan langsung mengambil alih keranjang. Danar tentu tidak terima. “Kangmas jangan menyerobot! Aku lebih dulu menawarkan bantuan!” “Sebagai pengawal, kamu pasti punya banyak tugas, kenapa harus menganggu pekerjaan para tabib?” “Aku membantu, bukan menganggu!” Keduanya bertatapan dengan tangan terkepal. Aku mulai merasa kesal. Pekerjaan yang seharusnya selesai dari tadi menjadi tertunda. Padahal, target produksi bubuk kayu manis paling lambat siang ini sudah beres. “Sudahlah, Danar. Kami banyak pekejaan hari ini. Kamu kembali saja ke tempat latihan pengawal.” “Mentang-mentang sesama tabib, Kangmas cari kesempatan. Padahal, aku lebih dulu mengenal Dinda Bawang Merah.” Kepalaku terasa mend

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Syahril (Dharma)

    Istilah cinta tumbuh karena terbiasa terjadi padaku. Setelah rasa bersalah pada Ardhan bisa disembuhkan, kebersamaan karena tuntutan pekerjaan membuat hati perlahan bisa menyambut perasaan Dharma. Kadang, pipi mendadak hangat saat melihatnya begitu serius meramu bahan-bahan alam. Seperti saat ini, aku berusaha keras menahan debaran jantung. Menatapnya diam-diam ketika tabib muda itu sibuk bekerja menjadi kebiasaan baruku. Sorot matanya yang berbinar saat meramu obat herbal baru begitu memesona.“Kenapa menatapku seperti itu, Dinda? Jangan-jangan kamu akhirnya jatuh cinta padaku?” godanya membuyarkan lamunanku.Aku terkekeh, lalu tersenyum nakal. “Kalau iya, bagaimana, Tuan Tabib?” pancingku.Dharma tampak tersentak. Pipinya bersemu. Namun, dia menggeleng cepat, mungkin mengira aku tengah mencandainya seperti biasa. Dia pun ikut terkekeh.“Aku bisa pingsan karena bahagia. Ah, alangkah bahagianya hatiku jika itu benar-benar terjadi," gumamnya dengan sorot mata lembut yang selalu bisa m

  • Pharmacist Save the Villain   Ending with Ardhan (Danar)

    Note: Bagian ending ini aku kembalikan ke pov 1 lagi~~~Aku tersentak, lalu mendengkus kasar. Raka hanya menunduk dalam. Dia memang baru saja jujur tentang identitas Danar dan Dharma yang sebenarnya. Ternyata, Mereka benar-benar Ardhan dan Dokter Syahril. Jadi, setelah memasukkanku ke dunia dongeng, Raka melakukan perjalanan melintasi waktu ke depan. Dia merasa iba melihat Ardhan, lalu menawarkan kesepakatan gila. Sialnya, Dokter Syahril malah ikut terbawa. Pantas saja, si ikan mas ini sempat bilang menyesal karena kedua pria itu malah menjadi saingannya. Hatiku tentu terenyuh saat mendengar kegilaan Ardhan hanya demi bertemu lagi denganku. Dia rela menukar ingatan, juga kesuksesan yang telah dicapai di dunia sana. Namun, Ardhan juga membuktikan kesungguhan yang tidak main-main. Hatinya bisa mengenaliku. “Maaf, Aleeya, aku sudah mengacaukan semuanya.” “Kamu hanya melakukan apa yang menurutmu terbaik, Raka. Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku bisa mengenal adik terbaik seper

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 3: Waktu Berlalu

    Note: After story dibuat dalam pov 3~~~Avanza hitam memasuki halaman rumah sederhana, lalu berhenti tepat di depan pohon mangga. Satu keluarga kecil ke luar dari mobil, lelaki dan wanita muda beserta gadis kecil usia 7 tahun. Sementara dua orang dewasa menurunkan barang-barang, si bocah berlarian riang mengejar kupu-kupu.Rumah sederhana itu memang memiliki kebun bunga yang indah. Kupu-kupu warna-warni pun menjadi suka mencari madu di sana."Nak, ayo ikut Mama masuk! Katanya, kamu merapikan barangmu sendiri, 'kan?" ajak sang ibu membuyarkan lamunan si gadis kecil."Siap, Komandan!" seru si anak.Ibunya melotot. Bocah perempuan itu menyengir lebar, memperlihatkan gigi depannya yang sudah tanggal dua. Sang ibu menggeleng sebelum memasuki rumah diikuti putri kecilnya.Mereka memang baru pindah rumah. Sang ayah mengangkut kardus-kardus dari teras. Sementara ibu dan anak itu pun sibuk merapikan barang-barang. Mereka membongkar dan menata perabot bersama-sama. “Mama, lihat ada buku cerit

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 2: Tekad Ardhan

    Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer

  • Pharmacist Save the Villain   After Story 1: Sesal

    Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 58: Memaafkan Diri

    “Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 57: Janji

    “Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc

  • Pharmacist Save the Villain   Bagian 56: Melepaskan Kebencian

    Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha

DMCA.com Protection Status