Wajah Brandon tampak terluka membuat Camilia bergegas menghampiri dan memeluk anaknya tersebut. Beruntung, Tuan Alfonso telah melumpuhkan sang penjahat hingga terkapar. Bocah berusia 12 tahun itu bukannya menangis, dia malah tersenyum bangga terhadap ayahnya.
"Laporkan penjahat itu ke kantor polisi, Reinhard!" perintah Tuan Alfonso kepada asisten pribadinya tersebut.
"Baik, Tuan." Asisten pribadi itu lantas bergegas berusaha meminta bantuan orang sekitar, untuk membawa penjahat yang telah terkapar itu menuju kantor polisi.
Camilia yang masih mendekap wajah buah hatinya tampak menitikkan air mata. Dia tidak menyangka anaknya menjadi korban aksi seorang penjahat. Sementara, Tuan Alfonso masih berjaga-jaga di dekat tubuh sang penjahat yang mulai siuman itu.
Setelah beberapa saat lamanya, sang asisten pribadi Tuan Alfonso telah kembali dengan membawa beberapa orang. Mereka lantas menyeret penjahat
Sinar keemasan menghangatkan pagi mulai menerobos celah-celah dinding kontrakan sederhana milik Camilia. Tuan Alfonso dan Brandon telah bersiap kembali menuju kota. Sang asisten pribadi pun tak luput dari tugasnya, menjemput atasannya itu."Aku bersama anak kita akan kembali ke kota. Jaga dirimu baik-baik dan aku berjanji akan sering mampir ke sini!" seru Tuan Alfonso kepada wanita yang telah melahirkan darah dagingnya itu.Camilia mengangguk, kemudian menghampiri sejenak untuk membetulkan letak dasi yang dipakai ayah kandung Brandon tersebut. Keduanya yang masih berada di dalam kamar, sejenak saling berciuman mesra sebelum berpisah."Aku mencintaimu," lirih Camilia. Mendengar ucapan Camilia, lelaki yang menjadi orang nomor satu di perusahaan itu, kembali mencium bibir yang barusan terhenti sejenak.Usai memperlakukan bekas perawat itu dengan mesra, Tuan Alfonso lantas keluar kamar. Brandon yang tela
Petir masih saja terdengar disertai rintik hujan meskipun tidak begitu deras. Brandon masih saja memperhatikan gerak-gerik ketiga orang dewasa yang berada di depan paviliun. Nyonya Merry yang terjatuh masih sempat mengumpat kasar. Bahkan, Brandon juga mendengar, jika wanita lanjut usia itu akan mengadukan Nyonya Muda dan Tuan Reinhard kepada Tuan Alfonso.Nyonya Agatha dan Tuan Reinhard tampak panik mendengar ancaman Nyonya Besar. Tak berapa lama, Brandon melihat sang Nenek memegangi dada sambil meronta meminta tolong kepada ibu tirinya dan juga asisten pribadi ayahnya tersebut. Namun, Nyonya Agatha dan Tuan Reinhard justru membiarkan sang Nyonya Besar hingga tergeletak tak sadarkan diri.Hujan semakin turun dengan deras, membuat Brandon tidak bisa mendengarkan secara jelas lagi, pembicaraan ibu tirinya dengan Tuan Reinhard. Bocah lelaki itu hanya bisa melihat kedua orang itu tertawa sembari berdiri di dekat Nyonya Besar yang tak sadar
"Tuan Alfonso menyuruhku memanggil kalian berdua. Nyonya Besar mengalami kritis lagi," ujar Tuan Reinhard menyampaikan pesan kepada Camilia dan juga Brandon."Baik!" sahut Camilia kemudian. Tak berapa lama, asisten pribadi Tuan Alfonso membalikkan badan dan lebih dulu kembali menuju ruangan Nyonya Besar."Ibu, berjanjilah untuk menyimpan rahasia yang aku tau itu!" pinta Brandon sebelum memenuhi panggilan Tuan Alfonso yang disampaikan asisten pribadinya barusan."Tenanglah, Ibu janji!" ucap Camilia sembari mengajak menautkan kelingking, simbol perjanjian antara mereka berdua.Ibu dan anak itu kemudian bangkit dari duduk dan melangkah kembali menuju ruangan Nyonya Besar. Tak berapa lama, langkah keduanya tiba di depan ruangan rawat inap Nyonya Merry. Rupanya, semua tampak telah berkumpul di dalam ruangan kecuali Tuan Reinhard."Masuklah ke dalam!" seru Camilia menyuruh Brando
Brandon mengatur napas, saat tiba di dekat pintu masuk ruang berkabung. Dia membungkuk sejenak, kemudian menegakkan badan lagi. Ekor matanya kemudian menangkap sosok sang Ibu yang telah berada di luar ruangan berkabung."Ibu! Apakah udah selesai berdoa untuk Oma?" tanyanya begitu menghampiri Camilia."Astaga, Sayang ... bikin Ibu kaget aja." Camilia tersentak sejenak dan menjawab pertanyaan sang anak."Sudah menjelang petang, sebaiknya Ibu menginap di rumah Ayah," ujar Brandon kepada ibunya yang tampak resah menoleh ke sana ke mari, sembari memandang langit yang mulai tampak gelap."Sebaiknya lekas masuk ke dalam, temani ayahmu! Ibu akan pulang sebelum ketinggalan kereta terakhir di stasiun!" seru Camilia sembari mengelus pundak anak semata wayangnya itu."Tunggu sebentar, Bu! Aku akan memberitahu Ibu sesuatu lagi!" pinta Brandon, sebelum ibunya berlalu.
Brandon mengurung diri di kamar hingga menjelang malam. Dia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan ayahnya. Pikiran bocah lelaki berusia 12 tahun itu begitu kalut. Satu sisi, ia memikirkan keadaan ibunya yang gawat dan sisi yang lain, sang ayah justru mengharapkan dirinya melupakan ibunya.Bocah lelaki itu turun dari ranjang dan melangkah menuju sisi jendela. Dia mengamati keadaan di luar rumah dari kamarnya. Suasana tampak sepi dan batinnya memang mengharapkan hal itu.Dia lantas meraih tas dan membuka lemari pakaian miliknya yang berada di sudut kamar. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu sigap memasukkan beberapa helai pakaian. Kemudian, ia melangkah perlahan keluar kamar, menyusuri anak tangga dengan mengendap-endap.Brandon berhasil keluar rumah tanpa sepengetahuan siapapun. Kini, ia bersembunyi di balik dinding teras untuk mengamati jalanan di samping halaman arah ke gerbang rumah mewah tersebut. Dia te
Brandon segera bangkit dari jongkok, kemudian berlari menyusuri jalan menuju sumber suara. Sedangkan Emily dan Jason juga terus mengikuti arah melangkah anak dari Camilia tersebut. Brandon tiba di depan rumah yang tampak rusak dengan napas tersengal-sengal.Rengekan sang Ibu yang tadi terdengar samar di telinga Brandon, kini menghilang. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu lantas merangsek ke rumah yang tampak tidak berpenghuni itu. Nahas, sang ibu tidak berada di tempat itu.Tubuh bocah lelaki berusia 12 tahun itu kemudian luruh begitu saja di lantai yang masih berupa tanah. Dia berulangkali berteriak meratapi nasib ibunya. Sedangkan Emily dan Jason yang berdiri di belakangnya, hanya mampu terpaku dan membisu.Setelah beberapa lamanya menangis, Brandon lantas bangkit. Dia menyusuri ruang demi ruang yang tampak gelap di dalam bangunan rumah tak terawat itu. Nihil, tak ada jejak ibunya yang tertinggal di sana.
"Hei, apa yang membuatmu mengajak Jason pergi dari rumah? Dasar anak tak tau diri!" bentak Nyonya Agatha begitu berada di dekat Brandon."Aku tidak mengajaknya, Ma. Jason sendiri yang ingin ikut bersamaku!" sahut Brandon mencoba membela diri."Ibumu yang menyuruh mencuri perhiasan dan sejumlah uang untuk diberikan padanya. Ibumu sekarang kekurangan uang hingga menyuruhmu untuk mencuri dan mengantarkannya ke sana? Iya?" Nyonya Agatha berteriak, menuduh Brandon mencuri perhiasan dan sejumlah uang miliknya."Apa?! Aku tidak mencurinya, Mama. Aku tidak akan melakukan hal memalukan seperti itu. Ibuku tidak pernah mengajarkannya kepadaku!" bela bocah lelaki berusia 12 tahun itu."Apa yang kamu katakan? Kamu tidak mencurinya? Sebelum kamu tinggal di rumah ini, tak ada kejadian seseorang berani membuka lemari untuk mencuri dompet dan perhiasanku di dalam kotak. Jadi, siapa lagi kalau bukan kamu?" Nyonya Agat
"Tuan, apakah benar anda yang menyuruh seseorang untuk menculik ibuku? Katakan, Tuan! Kenapa Tuan berbuat seperti itu terhadap ibuku? Apa salah dia?" teriak Brandon saat mencecar Tuan Reinhard."Seharusnya kamu bertanya, apakah ibumu baik-baik saja apa tidak!" sahut asisten pribadi kepercayaan Tuan Alfonso itu."Oke. Sekarang aku tanya, apakah ibuku baik-baik saja, Tuan?" tanya Brandon kemudian."Keselamatan ibumu tergantung pada dirimu. Percuma, Presiden Direktur berjanji akan mencarinya, karena semua aku yang mengendalikannya," kilah Tuan Reinhard membuat Brandon mengernyitkan dahi. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu merasa bingung dengan ucapan asisten pribadi kepercayaan ayahnya itu."Apa yang harus aku lakukan, agar ibuku baik-baik saja, Tuan?""Ikuti perintahku! Pergilah dari sini! Jika kamu pergi dari sini, ibumu akan baik-baik saja." Tuan Reinhard mengancam anak dari Camil
Brandon menjalani serangkaian operasi di bagian lengan dan tangan karena beberapa jemarinya nyaris putus. Ia yang terbaring di meja operasinya pikirannya berkecamuk, sesaat sebelum obat bius bereaksi di tubuhnya. Bayangan wajah ibunya, Martin, Angel bahkan gadis yang ia sangka Emily memenuhi otaknya silih berganti.Pandangannya makin lama makin kabur saat gorden ruang operasi telah ditutup. Kesadarannya perlahan hilang, meskipun masih mendengar apapun di sekitarnya. Brandon berharap operasi di tubuhnya lancar dan ia bisa kembali beraktivitas. Bahkan ia juga ingin membuat perhitungan dengan Martin.Sementara, Angel yang setia menunggu Brandon di rumah sakit merasa cemas. Butiran rosario ia genggam kuat sambil mengucap doa demi kelancaran proses operasi pemuda yang diam-diam ia cintai."Nona Angel! Nona sebaiknya pulang dulu, atau setidaknya makanlah di kantin. Saya khawatir dengan Nona," ucap Martin dengan wajah cemas.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel begitu Brandon beranjak dari duduk.Brandon menoleh, menatap Angel dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia kemudian terkekeh, melihat gadis di hadapannya itu wajahnya bersemu merah."Kenapa bertanya aku mau ke mana? Kamu mau ikut?" tanya Brandon kemudian, tetapi Angel malah menggeleng."Gak usah tanya mau ke mana, kalau kamu gak mau ikut. Cantik-cantik, kok, plin-plan!" sindir pemuda itu sambil melirik genit ke arah Angel yang masih terpaku."Tapi!""Tapi, apaan?""Temani nonton, yuk!" seru Angel lantas tertunduk. Gadis itu tiba-tiba memberanikan diri mengajak Brandon."Nonton ke mana? Memangnya kamu gak malu jalan sama aku?" tanya Brandon yang urung melangkah keluar kamar."Kenapa aku harus malu? Kamu baik, tampan. Tapi kadang ngeselin, sih!""What
Brandon berada di stasiun telah hampir setengah jam lamanya. Pemuda itu sebentar-sebentar mengedarkan pandangan ke arah pintu keluar-masuk stasiun. Bahkan ia juga berusaha mengamati setiap penumpang yang naik maupun turun.Sebuah buku yang bertuliskan nama gadis tersebut masih dalam genggaman tangannya yang basah oleh keringat dingin. Brandon tiba-tiba merasakan degup jantungnya berdebar hebat, bersaing dengan suara laju kereta api yang melintas. Ia merasa grogi dan gugup sejak tadi, hingga batinnya berprasangka jika pemilik buku tersebut benar-benar milik gadis yang disukainya saat masih bocah.Tak terasa waktu terus merangkak naik, akan tetapi gadis bernama Emily itu tak kunjung ditemui Brandon. Bahkan batin Brandon sudah tidak sabar. Petugas informasi stasiun mengabarkan jika saat ini tepat jam sembilan pagi. Hal itu, pertanda jika Brandon telah berada di stasiun lebih dari dua jam lamanya.Brandon akhirnya memutuskan
Brandon memasuki halaman luas sebuah rumah mewah. Beruntung, saat dirinya menyelinap, melewati gerbang para penjaga sedang tertidur. Dia lantas berhenti sesaat di halaman, membayangkan deretan masa lalunya. Masa lalu yang begitu menyakitkan baginya, membuat ia ingin membalas dendam atas kesakitannya itu.Sebuah bangunan rumah kecil berhadapan langsung dengan taman, lampunya tampak menyala terang. Pertanda ada seseorang yang Brandon kagumi sedang berada di sana. Perlahan kaki kekarnya melangkah mendekati bangunan rumah itu.Brandon mencari posisi yang tepat untuk mengintip aktivitas di dalam sana. Dia lantas bersembunyi di balik pagar dengan sesekali menyibakkan ranting tumbuhan pagar tersebut. Ekor matanya menatap sang ayah yang sedang beraktivitas di sana. Ayahnya yang telah dua belas tahun ia tinggal gara-gara mencari keberadaan Camilia.Lamunan Brandon mengembara. Ia ingin sekali membalas dendam kepada orang-orang yan
Brandon terkesiap dan lantas menarik lengan salah satu staf yang menolongnya. Ia bergegas menyingsingkan lengan kemeja lelaki itu. Namun, rasa kecewa justru ia dapatkan."Busyet! Kamu mencurigai diriku?" tuduh staf tersebut sembari menatap tajam, seakan-akan merasa jika Brandon tak tahu terima kasih telah ditolong. Brandon justru mencurigainya."Maafkan aku, Tuan!" pintanya sembari menangkupkan kedua tangan dan mencoba tersenyum meskipun sudut bibir Brandon terluka, begitupun dengan lelaki yang menolongnya itu.Tuan Jordan yang mengetahui Brandon dan salah satu stafnya itu sama-sama terluka, kemudian menyuruh kembali ke mes. Staf karyawan yang tidak sebegitu terluka itu kemudian menuntun Brandon menuju mes. Brandon sesekali meringis merasakan perih di beberapa bagian wajahnya.Brandon tiba di rumah yang merangkap kantor tersebut. Saat hendak melewati anak tangga menuju lantai atas, Angel melihatnya.
Brandon terpaksa menerima keadaan untuk berbagi kamar dengan Jimmy. Walaupun dia sebenarnya kurang menyukai pemuda yang tampak sombong tersebut. Apalagi Jimmy juga menampakkan sikap kurang bersahabat dengannya.Kini, anak dari Camilia itu menghabiskan waktu lagi, untuk belajar sekaligus bekerja di kantor ayahnya Angel. Gadis yang terkadang membuat Brandon kesal. Selain belum diterima sepenuhnya oleh teman-teman untuk bergabung di perusahaan kontraktor tersebut, Brandon juga mendapat perlakuan tidak senang dari ayahnya Angel tersebut.Jika tidak karena Tuan Josh, mungkin pemuda itu tidak kembali ke tempat tersebut. Apalagi misinya untuk menemukan sang ibu belum juga berhasil. Jangankan menemukan sang ibu, menemukan orang bertato naga itu saja belum berhasil hingga kini."Hai, sekarang kamu bantu pindahin kayu-kayu itu ke gudang!" perintah ayahnya Angel membuat lamunan Brandon buyar seketika.Sejenak d
Setelah beberapa lamanya mengikuti tes tertulis dan praktik tahap pertama, Brandon lolos dengan hasil yang cukup memuaskan. Dia yang hanya mengandalkan pengalaman belajarnya dengan sang ayah dan tidak mengikuti pendidikan formal khusus di bidang itu, wajar saja dengan hasil ujian yang dicapainya.Hari berganti Minggu, begitu seterusnya. Usai mengikuti beberapa tahapan ujian, Brandon dinyatakan lolos semuanya dan berhak diterima ikut bekerja di kantor konsultan sekaligus perusahaan property tersebut. Namun, sekian lama bekerja dan menimba ilmu di sana, orang yang dicarinya tak jua ketemu, hingga pemuda itu merasa frustrasi.Brandon mengemasi semua barang miliknya dan memasukkan ke dalam tas ransel. Sejenak, dirinya berpamitan kepada Tuan Josh beserta keluarganya, tak terkecuali dengan Angel. Tuan Josh, membujuk dan menghalangi Brandon agar tidak meninggalkan mess. Namun, dengan berat hati Brandon tetap ingin pergi.***
"Tunggu, Kek!" teriak Brandon, sambil berlari mengejar lelaki tua tersebut. Lagi-lagi dirinya mengusap kasar air mata yang sempat membasahi pipinya.Lelaki lanjut usia itu tampak menghentikan langkah dan menoleh ke arah Brandon. "Kakek, sepertinya aku memilih jalan yang kedua. Tapi bagaimana caranya masuk ke rumah itu untuk menyampaikan pilihan itu, Kek?" tanya Brandon begitu telah sampai di dekat lelaki tua itu. Napasnya tampak tersengal-sengal, meskipun hanya berlari dengan jarak yang dekat."Serius, kamu dengan pilihanmu?" tanya lelaki tua itu.Brandon mengangguk. Sejurus kemudian lelaki tua itu membalikkan badan dan berjalan ke arah rumah yang merangkap kantor konsultan property di seberang jalan. Anak dari Camilia itu lantas mengikuti langkah orang yang dipanggilnya kakek itu."Maaf, Kakek, kenapa tidak langsung ke gudang? Orang itu berada di sana, Kek," protes Brandon yang merasa heran, karena
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham