Aisha dibawa pergi oleh Evan, maka kabar ini segera disampaikan Alea pada Ansel menggunakan handphone milik Rina. [Evan datang menjemput Aisha, tapi Aisha tidak bisa menolak karena memikirkan kita.]Ansel membacanya diam-diam karena saat ini dia sedang bertugas, kemudian membalas pesan Aisha setelah mendengus kesal pada bayangan Evan. [Kenapa kamu tidak menahan Aisha, Sayang?][Aku sudah mencoba, tapi ini keputusan yang diambil Aisha. Aku akan menceritakannya setelah kamu pulang.] Aisha tidak dapat membahas hal ini panjang lebar karena tidak enak hati pada Rina, bagaimanapun dia sedang meminjam. "Bu, terimakasih ...," santun Aisha saat mengembalikan handphone keluaran terbaru milik wanita pemilik rumah sewa. "Sama-sama ..., Neng Alea tidak perlu sungkan," kekeh hangat dan sikap hangat Rina tidak pernah berubah. Justru wanita ini selalu senang dengan kehadiran Alea dan Ocean. "Malam ini menginap saja di rumah ibu ...," tawarannya penuh dengan kehangatan.Alea tersenyum kecil. "Alea da
Evan mengisi ruang makan seorang diri setelah istrinya tidak menolak makan malam bersama, pun mengisi perut di dalam kamar. Setelahnya Evan bergegas menemui Aisha di dalam kamar, memeluk istrinya yang telah terbaring sangat cantik walaupun pria ini hanya melihat bagian belakang tubuh istrinya. "Sayang, kamu sudah tidur." Kecupan mesra mendarat di bahu Aisha.'Aku tidak ingin melihatmu!' Rutuk Aisha di dalam hatinya hingga wanita ini memilih berpura-pura tidak menyadari kehadiran Evan. Rencananya memang berhasil, Evan menganggapnya telah terlelap, kemudian pria ini kembali meninggalkan kamar."Karena keberadaan bayi itu aku jadi harus menjaga keduanya bersamaan bahkan aku harus rela tidak menyetubuhi Aisha karena mungkin Aisha akan merasa terganggu dan berakibat juga pada bayinya. Ck!" Evan menggerutu, tetapi tidak ada cara lain selain menerima keadaan ini. Sedangkan Aisha menyeringai puas bersama heran, "Baguslah, akhirnya aku terbebas dari Evan! Tapi ... tumben sekali dia tidak memi
Aisha tetap berada di ruang makan bersama Evan walaupun hanya meminum susu hangat pemberian bibi, sedangkan suaminya menyantap sarapan untuk mengisi energinya. "Sayang, jangan lupa minum obat pemberian dari dokter, kamu juga tidak boleh melanggar aturan yang dokter berikan seperti makanan dan minuman pantrangan, kamu harus menjalani pola hidup sehat dengan sebaik mungkin," nasihat Evan disampaikan sangat santai dan dipenuhi kepedulian, tetapi bukan untuk Aisha melainkan untuk bayi dalam perut Aisha yang akan berpotensi besar menyelamatkannya. "Ya. Aku akan mengingat semuanya." Sikap tak acuh dipasang Aisha seiring mengikir kukunya. Evan memerhatikan sikap besar kepala wanita di hadapannya, tetapi sayangnya dia tidak dapat mengambil tindakan kekerasan ataupun hanya menyerang hati dan mental Aisha karena bisa saja Ansel memperkarakannya pada pihak berwajib. Saat ini kondisinya sedang sensitifk karena kasus kriminal yang dilaporkan Ansel dan Aisha, jadi sebisa mungkin Evan tidak boleh
Tidak banyak hal yang ditanyakan polisi pada Evan karena kini pemeriksaan menyeluruh sedang berjalan, tetapi sekalian mengajukan beberapa pertanyaan pada Aisha yang dilakukan di ruangan terpisah dengan Evan. "Apa Nyonya sudah memiliki bukti dari kejahatan tuan Evan?"Aisha menggeleng. "Saya tidak punya bukti, tapi di sini ada bibi. Ada beberapa pembantu rumah tangga yang menjadi saksi kejahatan Evan.""Apa saya bisa bertemu dengan semua pembantu rumah tangga?""Tentu. Akan saya panggilkan." Aisha segera beranjak dari tempat duduknya, tetapi polisi mengikuti langkah Aisha hingga akhirnya semua pembantu rumah tangga dikumpulkan dalam satu ruangan. Sejak tadi Aisha tidak memiliki kesempatan untuk membahas hal ini dengan bibi karena pihak berwajib membuntutinya maka wanita ini terlalu takut jika dianggap berbohong dan membuat laporan palsu lalu menghadirkan saksi palsu. Polisi mulai mengajukan pertanyaan pada semua pembantu rumah tangga secara satu persatu, tetapi hasilnya di luar dugaan
Hari ini Evan terlambat datang ke perusahaan karena kehadiran polisi, tetapi dia tidak membuang waktu begitu saja. Banyak hal yang dilakukannya di ruang kerja hingga tidak sempat menemui Aisha yang entah sedang melakukan apa.Gagang telepon diangkat Aisha dan dihubungkan pada nomor rumah sakit. "Bagaimana keadaan papa?""Keadaan tuan Adhitia sudah lebih baik dari kemarin." Kalimat singkat nan santu seorang wanita di balik saluran. "Apa hari ini kami bisa menemui papa?""Mohon maaf, Nyonya. Masih belum bisa." Kalimat santun kembali diberikan wanita ini walaupun isinya mengecewakan Aisha. Aisha mendesah kecil. "Kira-kira kapan kami bisa menemui papa?""Secepatnya akan kami kabari." "Terimakasih." Suara lemas Aisha karena rasa rindu melandanya, tetapi tidak dapat menemui sang ayah. Saat ini dia termenung seorang diri dan merasa tidak ada siapapun yang dapat dipercaya di rumah ini, sebagai buktinya adalah kesaksian dusta para pembantu rumah tangga di tempat ini. "Di sini aku hanya send
Aisha memandang dingin pada wanita yang sedang setengah berjongkok di depan kakinya, cukup lama sikapnya sedingin es, tetapi akhirnya wanita ini membiarkan wanita itu berbicara. "Apa yang ingin kau jelaskan!" Sikap angkuh masih dipasang akibat perasaan kecewa yang selalu menusuk dadanya."Jadi ... sebenarnya tadi kami ingin mengatakan tentang kejahatan yang tuan Evan lakukan, tapi jauh sebelum polisi datang ke rumah ini, tepatnya saat Nyonya tinggal di apartemen, tuan Evan sudah mengancam kami. Kami tidak diperbolehkan mengadukan perbuatan tuan Evan atau keluarga kami yang akan membayar kesalahan kami itu." Raut wajahnya tidak beraturan karena terlalu banyak menimbun hal-hal negatif yang salah satunya adalah penyesalan. Kemudian wanita ini bersujud mencium kaki Aisha seiring isak tangis penuh dosa. "Nyonya, kami telah melakukan kesalah besar. Dosa kami sangat besar, maka dengan ini saya mewakilkan permintaan maaf untuk dirinya saya serta semua kawan saya. Kami meminta maaf sebesar-bes
Evan meninggalkan ruang kerjanya saat Aisha masih berada di dalam kamar, jadi wanita ini hanya mendengar deru mobil milik pria itu. Segera, dia mengintip lewat kaca besar di dalam kamar. "Bagus, akhirnya dia pergi!" Perasaan lega mulai menemani Aisha.Namun, tanpa Aisha ketahui jika tujuan Evan meninggalkan rumah adalah untuk menemui seseorang. Pria ini ingin menggali informasi tentang asuransi yang dimiliki Adhitia. Dia memang memiliki otak yang sangat licik, otak yang hanya berisi tentang uang maka hal sekecil apapun akan digalinya, berbeda dengan keturunan Adhitia yang tidak pernah memerdulikan asuransi milik ayahnya. Di sisi lain, Ansel sedang mengisi liburannya dengan kegiatan positif yang salah satunya menemui Reza. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ansel setelah berbasa-basi singkat dengan kawannya yang masih menjalani pemulihan di rumah sakit."Tentang Evan. Anak buahku mengatakan jika saat ini dia sudah berhasil masuk ke dalam perusahaan yang dikuasai Evan. Sedikitnya di
Ansel barusaja mendengar kabar jika Evan menanyakan tentang asuransi milik Adhitia, pria ini mendengarnya langsung dari pengacara sang ayah sekalian menanyakan kejelasan asuransi pada pengurus asuransi yang dipercaya Adhitia. Setelah memastikan kebenarannya maka prasangka merajangnya, “Pasti Evan ingin memanfaatkan asuransi punya papa untuk kepentingannya!”Ansel bertindak cepat dengan mengatakan pada pihak asuransi maupun pada pengacara supaya tidak pernah memberikan uang asuransi sepeser pun pada Evan, lagipula Adhitia masih hidup, tidak sopan jika membicarakan uang asuransi.Pun, saat ini pengacara sangat mengerti maksud Ansel. “Semua yang dipercayakan tuan Adhitia aman pada saya termasuk pengurusan asuransi,” santunnya.“Terimakasih.” Ansel membalas pria itu dengan sikap serupa, tetapi pria ini kembali mengulang pesan pentingnya. “Apapun alasan Evan, jangan memberikan uang sepeser pun. Papa masih ada, hanya saja papa sedang dalam masa perawatan.”“Baik, Tuan.” Pria ini adalah peng