Ansel tidak mendukung keputusan Deon, dia tetap bergerak saat rekannya memilih bersembunyi di dalam ruangan karyawan. Namun, ternyata malam ini memang bukan Naima yang datang, tetapi sekelompok mafia yang berhasil menjarah satu etalase berlian. Salah seorang penjaga keamanan menjadi sandera maka semua penjaga keamanan lainnya tidak dapar bergerak dengan gegabah, pun jumlah mereka lebih dari lima orang. Jadi, pada pagi harinya semua penjaga keamanan diberikan sanksi yaitu pemotongan gaji. Setiap bulan mereka harus mengganti berlian yang hilang. “Sial!” Ansel adalah orang yang paling keberatan karena hidupnya sudah di bawah rata-rata, maka dengan pemotongan gaji itu artinya kehidupannya dengan Alea akan semakin rumit bahkan mungkin semakin sekarat. “50% gaji kalian tidak akan dibayarkan hingga semua kerugian tertutupi. Satu hal lagi yang perlu kalian ingat, kami tidak menerima resign!” ucap supervisor sangat tegas di hadapan semua karyawannya tidak terkecuali. Maka, upah Ansel menjadi
Sopir memberikan laporan tentang Adhitia dan Aisha, tetapi selain itu dia juga mengatakan jika Ansel bersama mereka, tetapi Evan menanggapinya dengan santai toh dia sudah berhasil memaikan iparnya semalam. Adhitia menyukai tempat barunya ini karena selain bisa terbebas dari pengapnya perbuatan Evan, dia juga dapat mengenang masa bahagianya ketika anak-anaknya masih sangat kecil. Dulu Ansel dan Aisha dibesarkan di sini oleh tangan lembut sang istri. Begitupun dengan Ansel dan Aisha, keduanya seakan bernostalgia. “Sejak pindah ke rumah, jarang sekali kita mengunjungi rumah pertama,” ucap pria ini pada adiknya. “Iya, karena Aisha merasa lebih nyaman di sana.” Senyuman bahagianya, tetapi diakhiri dengan senyuman sendu karena sekarang tempat yang dianggap lebih nyaman sudah berubah menjadi tempat penyiksaan. Lagi, Ansel harus mencoba menekan kesedihan yang dirasakan adiknya. “Sampai berapa lama papa dan adikku di sini, hm ...,” godanya bersama tawa kecil hingga Aisha ikut ke dalam suas
Alea duduk di kursi taman yang mengarah pada jalanan. “Kita tunggu papa di sini.” Senyuman diarahkan pada Ocean yang baru pertama kali dibawa melihat suasana siang hari. Keduanya duduk di pinggir jalanan daerah maka tidak terlalu ramai kendaraan, tetapi banyak tetangga berlalu-lalang maka akhirnya Alea memiliki beberapa teman ngobrol. Untungnya orang-orang yang dia temui sebaya dengan dirinya maka tidak ada orang yang merendahkan keluarga Ansel karena mereka memiliki pemikiran sejalan, berbeda dengan para ibu-ibu.Tidak lama Alea di sana, hanya sekitar satu jam karena sinar matahari semakin mengguyur bumi. Saat di perjalanan pulang, wanita ini sempat mengunjungi toko untuk membeli susu formula, di sinilah pergunjingan dimulai. “Ibu dengar suaminya Neng Alea belum pulang. Kenapa tidak bekerja lagi untuk membantu ekonomi di rumah, kasihan loh suaminya Neng Alea bekerja sampai sekeras ini.” Tatapannya dipenuhi cibiran padahal Alea sering berbelanja di tokonya. Senyuman kecil dibentuk Al
Evan mengunjungi apartemen setelah jam operasionalnya berakhir. Bukan tanpa maksud karena tentu saja dia memiliki banyak maksud terselubung yang salah satunya memastikan Aisha hidup dengan menderita hingga membuat istrinya tidak nyaman berada di sana berlama-lama. “Sayang, aku akan mengirim satu pembantu kesini. Apa cukup?” Tatapan teduhnya seolah sedang memberikan perhatian pada istrinya yang duduk di sisinya.“Iya, cukup.” Anggukan kecil Aisha dengan wajah datar.Kini, Evan menyodorkan kartu ATM milik Aisha yang sempat ditahan olehnya. “Di dalamnya terdapat uang belanja, tapi kamu harus berhemat ya. Lagipula kalian hanya tinggal bertiga, kebutuhan dapur jika dibagi dua maka akan menghabiskan uang lebih banyak.” Dagu Aisha dielus lembut. “Iya, aku akan mengatur pengeluaran. Tapi kamu harus memberi uang lebih andai papa membutuhkan pemeriksaan. Kamu juga harus tetap memberiku uang untuk membeli obat papa!” Kalimat Aisha dibumbui banyak ketegasan karena sejak penyakit menggerogoti Adh
Ansel memang belum bisa kembali, pria ini masih berkumpul dengan kawan-kawannya di ruangan karyawan. “Apa kita harus tetap di sini sampai supervisor datang?” Tatapan Deon mengarah pada semua kawannya termasuk Ansel.“Kita harus memastikannya!” Kalimat tegas salah satu pria, kemudian mengarahkan tatapannya pada Ansel sekalian berbicara pada semua orang di dalam ruangan. “Semalam Ansel sudah mencoba bicara, jadi aku rasa kita memiliki harapan.”“Syukurlah.” Semua orang melukis wajah sumringah, tetapi berbeda dengan Ansel karena justru dirinya tidak dapat menjanjikan apapun. Segera, Ansel mengungkapkan kenyataan yang harus diterima kawan-kawannya, “Jangan banyak berharap. Kita lihat saja nanti.” Tatapannya membaur seiring memerhatikan perubahan ekspresi semua orang, kemudian melanjutkan, “Lagipula supervisor membutuhkan waktu untuk berbicara dengan suplier. Aku rasa andaipun ada kabar baik, beliau tidak akan menyampaikannya secepat keinginan kita.”Beberapa pria ini saling memandang sat
Saat Evan sedang bersenang-senang dengan semua harta kekayaan milik Adhitia dan keluarganya, justru Ansel sedang bersusah payah hingga setiap tetesan keringatnya adalah bentuk dari kerasnya kehidupan. “Silakan Bu, pakaian bayi tersedia di sini. Mulai dari new born sampai anak berusia satu tahun.” Selalu, kalimat ini diucapkan setiap kali lapaknya dilewati para pengunjung pasar kaget hingga membuat kebanyakan orang melirik. Ansel adalah si ahli berbisnis, maka dirinya memiliki strategi marketing yang sangat sempurna hingga mampu menarik konsumen dengan beberapa kalimat saja. Setiap kali pengunjung bertanya satu hal, maka Ansel akan memberikan jawaban dengan terperinci hingga akhirnya produknya menarik hati custamer. Pengalamannya dalam berbinis memang sangat berguna untuk saat ini walaupun di bidang berbeda, hanya saja kali ini Ansel harus menggunakan usaha lebih dan tentu saja harus rela terkena sinar matahari serta debu jalanan, padahal seharusnya dirinya adalah pria berdasi yang b
Alea membeku setelah mendengar kabar mengejutkan dari Aisha, pun lidahnya berubah kelu hingga iparnya kembali berkata dengan nada ragu, “Apa ... Kakak belum tahu, kak Ansel tidak memberi tahu Kakak?”Alea mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. “Belum. Mungkin belum sempat,” desah lirihnya.Saat ini Aisha menggigit ujung bibirnya. ‘Astaga ... apa kakak sengaja merahasiakannya dari kak Alea?’Saat ini panggilan hening karena Aisha sedang menyesali kalimat yang sudah terlanjur diucapkan, sedangkan Alea bermonolog lirih di dalam hatinya. ‘Jadi karena ini akhirnya kamu bekerja lebih keras dari biasanya. Harusnya kamu katakan saja, kamu tidak usah memendamnya dan jangan menanggungnya sendiri!’ Raungan Alea yang ingin segera dikatakan pada Ansel diiringi pelukan.“Kak ....” Suara Aisha sedikit bergetar karena penyesalan menyelimuti, “ba-gaimana uang yang pernah Aisha berikan, apa masih ada?” Harapannya semoga dengan uang yang pernah diberikannya dapat membantu prekonomian keluarga kaka
Pada sore harinya Ansel barusaja terbangun, saat ini hal pertama yang dikatakan Alea adalah tentang kiriman uang dari Aisha. “Tadi siang ada ojek online yang mengirimkan uang dari Aisha.”Dahi Ansel segera berkerut seiring menatap amplop putih yang disodorkan Alea. “Aisha mengirim uang?”“Iya. Tapi aku tidak menelepon balik karena kuota kamu habis.” Tatapan Alea sudah memerlihatkan sendu, tetapi menurutnya belum saatnya membahas pemotongan gaji yang membuat suaminya bekerja lebih keras.“Astaga ... kenapa baru bilang kalau kuotanya habis. Nanti bagaimana yang memesan.” Ansel menunjukan sedikit rasa panik. Segera, dirinya bergegas mengambil uang dalam kantong celananya untuk mengisi ulang kuota di konter terdekat. Saat inilah panggilan Alea mengudara.“Bukankah seharusnya kamu membuka amplop pemberian Aisha,” sodorannya masih belum diterima Ansel.Maka, Ansel segera membukanya kemudian menghitung uang di dalamnya. “Jumlahnya hampir satu juta. Aku tidak bisa membiarkan Aisha terus mengi
Hari berganti, Ansel masih belum kembali dan saat ini Alea mulai menangis tersedu, tetapi untungnya Rina tetap di sisinya dan wanita ini juga yang membantu menenangkan ibu satu anak ini. Namun, kebaikan Rina tidak membuat Ansel kembali. Lelaki itu menghilang hingga satu minggu lamanya. Setiap hari Alea dan Aisha mencoba mencari tanpa melibatkan polisi karena mereka yakin hilangnya Ansel karena perbuatan Evan. Namun, hingga saat ini Aisha tidak menemukan bukti kecurigaannya. Tidak mudah untuk Alea menjalani kehidupannya selama satu minggu ini, Ocean sering menangis dan Alea tidak bisa fokus pada apapun. Jika saya Rina tidak di sisinya mungkin saat ini Alea sudah mendekati kehancurannya. Hari ini, Rina tidak tahan melihat Alea menderita. Maka, dia menghubungi Reza untuk mencari tahu keberadaan Ansel. Wanita ini yakin Reza bisa membantu karena Alea sudah melarangnya melaporkan hilangnya Ansel pada polisi. Sementara, saat ini Ansel disekap oleh Evan. Ya, pelakunya memang Evan. Sudah s
Ansel menemui hari sialnya lagi karena akibat tindakannya dia disandera oleh Evan tanpa sepengetahuan Alea maupun Aisha. Jadi seakan-seakan Ansel menghilang tanpa jejak. Pada pagi ini Alea menunggu suaminya pulang, tapi hingga pukul sembilan dia tidak mendapatkan kabar apa pun. Alea menemui Rina untuk meminta bantuan menghubungi Ansel, tetapi nomor suaminya tidak aktif. "Ansel kemana dan kenapa nomornya tidak aktif, apa menemui Aisha?" Alea khawatir, hanya saja dia tidak ingin memikirkan hal aneh.Alea kembali ke rumahnya, di pangkuannya Ocean merengek padahal anaknya sudah diberikan susu. "Kenapa sayang ...." Lembutnya saat membelai pipi Ocean.Alea tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi Ansel masih belum kembali bahkan ketika matahari sudah berada di puncak langit. Rengekan Ocean hanya berhenti sesaat, sejak pagi-pagi bayi itu terus merengek dan tidak pernah tidur nyenyak. "Nak, kenapa ..., jangan seperti ini ..., papa belum pulang dan tidak bisa dihubungi, mama khawatir
Ansel tertangkap sebelum pria ini menemukan hal penting, maka bawahan yang ditugaskan Evan membawanya secara halus ke hadapan Evan supaya kedok tuannya tidak terbongkar di hadapan para karyawan.Saat ini Evan bertepuk tangan di hadapan Ansel yang berdiri geram. "Kakak ipar, kau memang hebat, kau bisa menebak keberadaan surat-surat penting milikku. Tapi ... aku yakin kau belum menemukan apapun karena tidak semudah itu. Aku sudah menyimpannya sangat rapat dan sulit dijangkau." Sunggingan bibir Evan mengudara sangat menyebalkan di dalam indera penglihatan Ansel. Saat ini Ansel tidak berkata apapun, arah matanya hanya selalu mengikuti gerakan Evan tanpa pernah berkedip sama sekali, bahkan bola matanya hanya berisi api yang siap membakar Evav."Jangan marah. Santai saja. Kakak ipar tidak boleh terlalu tegang karena memiliki anak dan istri yang harus dicukupi. Hm ... apakah rumah sekecil itu tidak membuat kalian pengap heuh? Rasanya untuk bernapas saja terlalu sulit," hina Evan bersama sun
Jumlah kunci yang dimiliki satpam tidak sama dengan sebelum Ansel meninggalkan gedung ini, maka pria ini semakin yakin jika surat-surat penting milik Adithia disimpan di dalam salah satu ruangan di gedung ini. Setelah mencari tahu akhirnya Ansel menemukan satu ruangan yang tidak memiliki kunci. Dia berdiri tepat di depan pintu, ruangan ini memang terisolasi karena pernah terjadi hal tidak diinginkan. Ruangan ini tidak pernah disukai para karyawan karen lokasinya terlalu tinggi hingga mereka mengeluhkan jarak dengan lobby utama. "Ck, apa dugaanku benar. Kau menyimpan semua surat penting milik papa di tempat ini, tempat yang dibenci semua orang? Ya, memang masuk akal jika kau menyimpannya di sini karena tidak ada yang berniat memasuki ruangan ini!" Ansel selalu berhasil membaca isi kepala Evan yang dipenuhi dengan hal-hal licik. Begitupun dengan yang ini, ini mudah untuknya. Namun, apakah dugaannya benar?Ansel tidak memiliki kunci untuk ruangan ini karena salah satu kunci yang berkura
Alea berwajah sendu ketika kembali masuk ke dalam rumah hingga menimbulkan pertanyaan besar dari Ansel sekalian merangkul istrinya, "Sayang, ada apa hm ...." Usapan lembutnya segera membelai punggung Alea.Alea tersedu di dalam pelukan Ansel, tetapi segera mengadukan isi hatinya, "Aku mengingat cerita ibu panti tentang asal-usulku karena tadi bu Rina bercerita tentang anaknya yang hilang."Rangkulan Ansel semakin dalam setelah mendengar kalimat sendu istrinya. "Tidak apa, itu hanya kebetulan ...." Usapan lembut di punggung Alea tidak berhenti bahkan semakin sering membelai penuh kasih sayang, tidak lupa mengecup puncak kepala sang istri. Setelah berhasil menenangkan diri, Alea melepaskan diri dari pelukan Ansel, kemudian segera membahas Deon. "Bukan teman kamu yang akan menyewa rumah, tapi saudaranya." Tatapannya masih berkaca, tetapi Alea berusaha menyampaikannya dengan benar hingga membuat Ansel mengusap salah satu pipi istrinya bersama senyuman hangat penuh cinta."Aku sudah mende
Rina merasa harus menjelaskan tentang keluarga Ansel karena di matanya keluarga Ansel adalah contoh baik dan patut mendapatkan pujian juga patut menjadi gambaran positif untuk calon penyewanya. Ibu jarinya mengarah pada kediaman Ansel. "Ini rumah keluarga nak Ansel dan nak Alea, mereka sudah memiliki seorang bayi. Kalau ada perlu apa-apa jika memang malas ke rumah ibu, nak Deon biasa mengunjungi nak Ansel dan nak Alea, keduanya sangat ramah," tutur Rina dengan sikap ramah serta raut wajah memuji-muji kedua orang yang berada dalam ceritanya. "Iya. Eu ..., tapi sebenarnya saya sedang mencarikan kontrakan untuk saudara saya karena kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di dekat daerah sini," kekeh kecil Deon. "Kalau begitu, Nak Deon jelaskan saja yang baru saja ibu jelaskan pada saudaranya Nak Deon. Intinya lingkungan di sini sangat nyaman karena salah satu alasannya para tetangganya yang baik hati," kekeh merdu Rina kala sedikit berdusta karena hanya beberapa saja dari banyaknya warga ya
“Sayang, makanlah.” Untuk ke sekian kalinya Evan menawarkan bubur hasil buatannya sendiri.Aisha terpaku sesaat mentap semangkuk bubur yang berhasil menggugah seleranya, tetapi dia masih menolak, “Aku belum lapar. Aku akan makan buah-buahan.” Buah apel utuh segera diraih padahal di atas meja makan sudah tersedia buah apel yang sudah dikupas.Evan tidak menunjukan emosi, tetapi hanya senyuman hangat. “Makanlah buahnya.” Kini, Evan berhenti menawarkan bubur pada Aisha, tetapi berpesan pada bibi untuk mengganti bubur yang baru saat Aisha menginginkannya karena dia membuat satu panci bubur.‘Tenanglah, jangan mengacau!’ omelan Aisha pada bayinya yang masih menginginkan bubur yang berada di hadapannya. Buah apel utuh mulai digigit dengan gigitan kecil, tetapi Evan segera meraih buah yang baru lalu mengirisnya di hadapan Aisha.“Jangan memakan buah apel dengan cara seperti itu, makan yang ini saja.” Senyuman teduh Evan tampak sangat ramah dan dipenuhi kasih sayang, tetapi tidak mungkin Aish
Pada pagi hari, Evan menyiapkan sebuah bubur yang sengaja dibawanya pada Aisha. "Selamat pagi, Sayang." Senyuman lembut diumbar saat istrinya baru saja membuka mata. Tentu saja dahi wanita ini berkerut saat menyaksikan pemandangan asing di hadapannya karena tidak biasanya Evan mengucapkan sapaan. "Ada apa. Apa kamu sudah di sana sejak tadi?" tanya Aisha alih-alih membalas sapaan hangat Evan."Lumayan. Aku menunggu kamu, kamu tidur sangat lelap." Senyuman lembut kembali diumbar."Oh ...." Datar Aisha yang segera mendudukan dirinya. Setelah ini tidak sedikit pun dia memandang Evan. Namun, Evan berkata sangat lembut, "Aku baru saja membuatkan bubur untukmu dan bayi kita." Aisha segera melirik pada bubur yang dimaksud Evan, kemudian mengajukan pertanyaan dengan raut wajah heran, "Kamu yang membuat ini?" Evan mengangguk kecil, kemudian menurunkan tatapannya sesaat lalu berkata seiring memasang tatapan sendu. "Aku belum pernah membuatkan apapun untukmu, terutama untuk anak kita. Walaupu
Evan baru saja menyadari jika Aisha membiarkan menunya. "Sayang. kenapa belum makan. Ingin aku suapi?" tawaran lembut dan penuh perhatian ini sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, tetapi tentu saja yang dilakukannya hanya berbasa-basi."Aku belum lapar." Dingin dan datar Aisha. Dahi Evan segera berkerut heran, "Tidak mungkin belum lapar. Ada bayi di perutmu, yang aku tahu seorang wanita hamil akan mudah merasa lapar." Pun, sikapnya yang ini adalah sikap wajar seorang suami, tetapi maksud kalimatnya hanya ingin memastikan jika Aisha memberikan makan bayi dalam kandungannya supaya tumbuh dan berkembang normal. Evan tidak ingin mengambil resiko bayinya keguguran apalagi terlahir cacat, itu memalukan."Aku sudah banyak memakan camilan. Aku akan makan makanan berat setelah merasa lapar." Lagi, sikap Aisha sangat dingin dan datar maka wanita ini tidak mencitrakan seorang istri sama sekali yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman pada orang yang tidak mengetahui kisah keduanya.