Kriet ....
Pintu kayu berderit nyaring saat Alea membuka daun pintu menuju kamarnya. Seorang bayi sedang terbaring di atas tempat tidur tipis dengan tangisan khasnya. “Sayang ... maaf ya Mama baru pulang.” Tubuh mungil bayi berusia tiga bulan masuk ke dalam dekapan lembutnya. Sejenak, gadis berusia dua puluh satu tahun ini celingak-celinguk ke persekitaran. Rumah kecilnya sangat senyap, tidak ada suara lain selain tangisan bayi. “Papa sudah pergi ya,” desahnya.
Botol susu segera diisi. Sejak melahirkan, Alea tidak menyusui sama sekali karena sesuatu yang membuatnya harus meninggalkan bayinya selama dua minggu, maka ASI yang tadinya sangat subur menghilang begitu saja. Seragam pabrik masih menemaninya hingga bayinya kembali terlelap.
Saat ini Alea barusaja menemukan catatan di atas nakas. ‘Sayang, mendadak aku harus menggantikan teman yang sedang sakit, dia tidak melanjutkan pekerjaannya sampai full jadi aku harus pergi pukul tiga sore ini. Maaf, mungkin Ocean akan menangis.’
Alea hanya mendesah pilu sekaligus pasrah karena keadaan membuat dirinya dan Ansel harus bekerja keras untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Hidup mereka serba kekurangan, bahkan ini adalah bulan pertama Alea akan menerima gaji sebagai buruh pabrik, sedangkan untuk bulan-bulan ke belakang dan semasa kehamilan, Alea hanya mengandalkan Ansel yang merupakan buruh serabutan. Baru saja dua bulan ini suaminya mendapatkan pekerjaan sebagai satpam yang setiap hari bertugas jaga malam hingga dini hari.
Catatan yang ditinggalkan Ansel disimpan ke tempat semula, kemudian Alea memandangi kalender usang pemberian pemilik rumah sewa. “Besok tanggal 1, semoga saja gajiku tidak telat. Aku selalu bekerja tepat waktu, absenku sangat bagus, pekerjaanku juga cukup gesit untuk ukuran karyawan baru.” Harapan selalu berderai bagaikan air matanya satu tahun lalu.
Tok tok tok
Ketukan halus daun pintu mengudara di luar sana hingga Alea segera membukakan pintu untuk tamunya. “Selamat sore, Bu ...,” sapa ramahnya pada Bu Rina-pemilik rumah sewa yang sudah dihuni olehnya dengan Ansel selama satu tahun ini.
“Maaf ya, kalau ibu mengganggu. Ibu hanya penasaran ... tadi Ocean menangis kencang, seperti tantrum, apa sekarang sudah baik-baik saja?” ramah dan lembut Rina. Namun, kalimat wanita yang sudah berusia setengah abad ini membuat Alea terpaku sendu selama beberapa saat.
“Apa sekencang itu Bu, Ocean menangis?”
“Iya ... sampai-sampai terdengar ke halaman rumah ibu, padahal kan terhalang oleh tiga rumah ....”
Saat ini Alea seakan kehilangan pasokan udara setelah mendengar kabar tentang bayinya, tetapi dia tidak memerlihatkan perasaan tidak nyaman itu. “Tadi Ansel sedang memasak Bu, jadi Ansel kewalahan menenangkan Ocean,” alasan yang dilontarkan Alea saat hatinya menanggung perih.
“Pantas saja ....” Rina merasa iba pada pasangan muda ini, “lain kali kalau memang kewalahan, titipkan saja Ocean pada ibu. Ibu tidak punya kegiatan apapun, anak-anak ibu sudah besar,” kekeh ramahnya. Sejak awal, wanita ini memang dikenal dengan kebaikan serta pengetiannya.
“Iya, Bu ... terimakasih ....” Senyuman dibentuk Alea, tetapi bukan berarti menjadikan tawaran Rina sebagai kesempatan untuk menitipkan buah hati mereka. Obrolan keduanya tidak lama, jadi kini Alea sudah kembali ke sisi bayinya, menatapnya dengan penuh penyesalan, “Sayang ... maaf ya, Mama belum bisa menjadi ibu yang baik buat kamu. Mama harus meninggalkan kamu dan membiarkan kamu sendirian di rumah.” Air mata tidak mampu dibendung, deraian itu sering sekali tumpah.
Hingga malam tiba, Alea tidak mendapatkan kabar apapun dari Ansel karena handphone miliknya sudah lama dijual untuk membayar rumah sewa yang sudah nunggak selama enam bulan. Pada pukul sepuluh malam barulah suaminya mengetuk pintu, kemudian segera memberikan pelukan penuh kasih. “Sayang, bagaimana keadaan Ocean, tadi kamu pulang jam berapa?” Selama meninggalkan buah hati mereka, hanya cemas yang mengiringi setiap langkah Ansel.
Alea memberikan senyuman indah. “Aku pulang jam empat. Kamu meninggalkan anak kita selama satu jam, tapi tidak apa, tenang saja, saat aku pulang Ocean masih terlelap.” Sengaja kebohongan dikatakan supaya suaminya tidak merasakan penyesalan dan rasa bersalah seperti yang dirasakannya.
“Syukurlah ....” Saat ini Ansel bisa bernapas lega, kemudian kakinya memijak ke dalam rumah. Sebuah kresek ditenteng. “Aku bawa nasi dengan ikan, kamu sudah makan?”
“Tadi aku menggoreng telur dan memasak nasi.”
Ansel mendesah, “Maaf ya, aku tidak sempat memasak nasi karena hari ini Ocean sangat rewel, berbeda dari biasanya.” Salah satu pipi Alea dielus sangat sayang.
“Tidak apa, kamu sudah menjadi ayah yang terbaik untuk Ocean.” Senyuman indah kembali dipasang Alea. Kehidupan rumah tangga mereka sangat romantis dan harmonis. Sayangnya keadaan ekonomi mereka sangat terpuruk sejak awal kehamilan Alea.
Satu porsi nasi dengan lauk ikan berukuran sedang menjadi santapan makan malam Ansel dan Alea di saat Ocean barusaja terlelap. “Aku harus pergi lagi jam sebelas, lalu pulang jam dua. Kamu tidak usah membukakan pintu, aku akan membawa kunci cadangan.” Wajah teduh Ansel.
Alea mengangguk bersama senyuman. “Ya, hati-hati ya kerjanya. Kamu menjaga gedung yang sangat penting. Jangan sampai kecolongan dan jangan sampai terluka.”
“Tidak akan, Sayang. Aku janji akan kembali dalam keadaan sehat.” Senyuman teduh Ansel bersama tatapan penuh kasih sayang. Pria berusia dua puluh lima tahun ini mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga malam di sebuah gedung tempat berlian mahal berkumpul. Ini adalah depstore kalangan elit, maka butik yang tingginya setara dengan gedung ini dijaga dua puluh empat jam oleh banyak tenaga propesional.
Ansel berhasil menjadi karyawan di gedung ini karena dulu dirinya adalah salah seorang pemilik black card, dia pelanggan, dia memiliki kartu keanggotaan khusus di tempat itu. Maka, saat semuanya sirna dia menggunakan aliby. “Ayahku mengajariku hidup mandiri. Bisakah aku diterima bekerja di sini, sebagai apapun?” Kalimat yang diucapkannya di hadapan SPV yang juga sering berpapasan dengannya.
Menggunakan alasan itu, akhirnya Ansel diterima bekerja di bidang yang cocok untuknya yaitu satpam karena perawakannya yang sangat propesional. Sebenarnya sebelum menjadi satpam, pria ini mendapatkan tawaran khusus yaitu menjadi model iklan untuk semua berlian baru yang masuk, hanya saja dia menolaknya karena salah satu pemasok berlian di sini adalah keluarganya sendiri.
Seharusnya silsilah keluarganya akan sangat memudahkan Ansel mendapatkan pekerjaan lebih baik. Namun, nyatanya yang dialami pria ini sangat berkebalikan karena justru semua kemudahan yang layak didapatkannya justru akan menyulitkannya. Maka dari itu dia memilih propesi biasa saja yang tidak akan berhubungan dengan keluarganya, terutama iparnya yang serakah.
Ansel dan adik iparnya terlibat peperangan keluarga yang membuatnya harus merasakan hidup selayaknya pengemis. Kini ipar serakahnya sedang berada dalam balutan harta, dia juga sudah mengetahui kabar mengejutkan jika Ansel menjadi salah satu penjaga keamanan di dalam gedung yang menjadi salah satu penghasil uang untuknya.
“Jadi ... besok harus aku apakan Ansel?” Seringai licik berkibar saat Evan membelai lembut dagu Aisha.
Bersambung ....
Akun ig _authordestiangraeni # Kalau Kakak" liat akun ig di bab, itu yang lama ya, udah nggak dipakai. Sekarang pakainya yang ini. ^^
“Hentikan, jangan membuat hidup kakakku semakin hancur!” Aisha selalu dibuat cemas dengan wajah pucat setiap kali mendengarkan rencana licik suaminya-Evan. Namun, bagaimanapun keinginan memberontak membuncai di dalam hatinya, nyatanya Aisha tidak dapat melakukan apapun bahkan hanya sekedar menyingkirkan tangan kotor Evan.“Hahahaha!” Tawa Evan menggema di dalam istana milik Adhitia, “kenapa, bukankah bagus saat hidup kakakmu semakin hancur karena semua aset milik ayah kalian hanya akan jatuh padamu, Honey.” Kedipan mata genit mengudara, tetapi Aisha tidak menyukainya sama sekali.“Hentikan. Kakak sudah sangat menderita karena kamu jebak!” Aisha mulai berdesis geram.“Sssttt ....” Jemari telunjuk Evan beralih pada bibir manis Aisha, “jangan membahas yang sudah-sudah, dan jangan menuduhku telah menjebak Ansel-kakak iparku sendiri.” Senyuman teduh dipasang, tetapi yang dilihat Aisha hanyalah senyuman iblis.Saat ini Aisha memalingkan wajahnya tanpa berkata apapun. Jadi Evan kembali menga
Aisha mendesah lirih karena kekhawatiran tidak pernah padam, kemudian membahas sang ayah yang kini berada tidak jauh darinya, “Kak, tengok papa sebentar. Saat ini Evan sedang tidak di rumah.”“Kapan si brengsek itu akan kembali?” Tatapan Ansel memicing tajam.“Aisha tidak tahu, tapi mungkin agak lama karena Evan membawa serta banyak dokumen. Aisha pikir mungkin hari ini Evan akan melakukan banyak pertemuan.”“Baiklah. Kakak akan bawa Ocean untuk bertemu papa. Semoga saja kakek dan cucu bisa bertemu,” lirih Ansel karena Adithia tidak pernah bertemu Ocean sekalipun.Jadi, Ansel mendadani putranya dengan sangat baik. Kemudian menaiki bus demi menuju kediaman sang ayah. Sebenarnya terdapat banyak perasaan tidak tega karena bayi merah ini harus terkena polusi jalanan, tetapi Ansel tidak mampu membayar taxi. Bukan satu bus saja, Ansel dan Ocean harus melanjutkan perjalanan menggunakan bus lainnya, tetapi syukurnya kendaraan yang ditumpangi mereka kini jauh lebih baik dari bus sebelumnya. Te
Ansel dan Ocean menyusup ke dalam mobil yang dikendarai Aisha. Seorang bodyguard segera mengikuti mobil milik Aisha atas perintah Evan. “Inilah alasannya kenapa Aisha tidak pernah bisa mengunjungi Kakak ...,” lirihnya saat mengendarai.“Iya, Kakak mengerti.” Amarah sedang meletup-letup di dalam dada Ansel, tetapi saat ini dirinya belum bisa melakukan apapun untuk membebaskan Adithia dan Aisha.“Kita akan ke bank. Jadi bodyguardnya Evan akan menyampaikan jika Aisha barusaja menyumbang. Saat Aisha di dalam bank, Kakak dan Ocean harus tetap di sini.”“Ya.” Singkat Ansel yang terpaksa harus menunduk di jok belakang supaya keberadaannya tidak terlihat.“Aisha ingin Kakak dan Ocean kembali ke rumah, tapi sebelum itu Aisha akan menghubungi Evan dulu. Aisha harus memastikan Evan tidak akan cepat pulang.” Rasa rindu pada keluarganya masih meletup-letup jadi pertemuan singkat saja tidak akan pernah cukup.Saat ini Ansel tidak lantas memberikan jawaban. Selama beberapa saat dirinya terjerat dala
Aisha ingin mengekspresikan kekesalannya, tetapi ditahan serapat mungkin karena bisa saja membuat Evan murka dan berakhir membahayakan mereka semua terutama Ansel. “Kak Ansel tidak akan datang lagi.” Tatapan nanarnya.“Bagus.” Senyuman lembut dibentuk Evan kemudian mengecup permukaan bibir tipis Aisha yang berujung pada hubungan ranjang panas. Sementara, Ansel kembali menjalani propesinya sebagai satpam yang dimulai sejak pukul sebelas malam. Persenjataan yang dibutuhkannya mulai dikantongi, mulai dari senjata ringan yaitu tongkat kayu, hingga pada senjata yang cukup mengerikan yaitu pistol listrik kemudian terakhir senjata api yang hanya dipakai di saat paling genting saja. Itupun hanya bisa diarahkan pada bagian betis atau organ tubuh lainnya yang tidak akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.Ansel menjadi penjaga keamanan tempat berkumpulnya berlian mahal dan banyak juga berlian langka yang tinggal di dalam gedung ini, maka persenjataan penjaga keamanan di sini berbeda denga
Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu. Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mat
“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. “Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. “Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Hari berganti, Ansel masih belum kembali dan saat ini Alea mulai menangis tersedu, tetapi untungnya Rina tetap di sisinya dan wanita ini juga yang membantu menenangkan ibu satu anak ini. Namun, kebaikan Rina tidak membuat Ansel kembali. Lelaki itu menghilang hingga satu minggu lamanya. Setiap hari Alea dan Aisha mencoba mencari tanpa melibatkan polisi karena mereka yakin hilangnya Ansel karena perbuatan Evan. Namun, hingga saat ini Aisha tidak menemukan bukti kecurigaannya. Tidak mudah untuk Alea menjalani kehidupannya selama satu minggu ini, Ocean sering menangis dan Alea tidak bisa fokus pada apapun. Jika saya Rina tidak di sisinya mungkin saat ini Alea sudah mendekati kehancurannya. Hari ini, Rina tidak tahan melihat Alea menderita. Maka, dia menghubungi Reza untuk mencari tahu keberadaan Ansel. Wanita ini yakin Reza bisa membantu karena Alea sudah melarangnya melaporkan hilangnya Ansel pada polisi. Sementara, saat ini Ansel disekap oleh Evan. Ya, pelakunya memang Evan. Sudah s
Ansel menemui hari sialnya lagi karena akibat tindakannya dia disandera oleh Evan tanpa sepengetahuan Alea maupun Aisha. Jadi seakan-seakan Ansel menghilang tanpa jejak. Pada pagi ini Alea menunggu suaminya pulang, tapi hingga pukul sembilan dia tidak mendapatkan kabar apa pun. Alea menemui Rina untuk meminta bantuan menghubungi Ansel, tetapi nomor suaminya tidak aktif. "Ansel kemana dan kenapa nomornya tidak aktif, apa menemui Aisha?" Alea khawatir, hanya saja dia tidak ingin memikirkan hal aneh.Alea kembali ke rumahnya, di pangkuannya Ocean merengek padahal anaknya sudah diberikan susu. "Kenapa sayang ...." Lembutnya saat membelai pipi Ocean.Alea tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi Ansel masih belum kembali bahkan ketika matahari sudah berada di puncak langit. Rengekan Ocean hanya berhenti sesaat, sejak pagi-pagi bayi itu terus merengek dan tidak pernah tidur nyenyak. "Nak, kenapa ..., jangan seperti ini ..., papa belum pulang dan tidak bisa dihubungi, mama khawatir
Ansel tertangkap sebelum pria ini menemukan hal penting, maka bawahan yang ditugaskan Evan membawanya secara halus ke hadapan Evan supaya kedok tuannya tidak terbongkar di hadapan para karyawan.Saat ini Evan bertepuk tangan di hadapan Ansel yang berdiri geram. "Kakak ipar, kau memang hebat, kau bisa menebak keberadaan surat-surat penting milikku. Tapi ... aku yakin kau belum menemukan apapun karena tidak semudah itu. Aku sudah menyimpannya sangat rapat dan sulit dijangkau." Sunggingan bibir Evan mengudara sangat menyebalkan di dalam indera penglihatan Ansel. Saat ini Ansel tidak berkata apapun, arah matanya hanya selalu mengikuti gerakan Evan tanpa pernah berkedip sama sekali, bahkan bola matanya hanya berisi api yang siap membakar Evav."Jangan marah. Santai saja. Kakak ipar tidak boleh terlalu tegang karena memiliki anak dan istri yang harus dicukupi. Hm ... apakah rumah sekecil itu tidak membuat kalian pengap heuh? Rasanya untuk bernapas saja terlalu sulit," hina Evan bersama sun
Jumlah kunci yang dimiliki satpam tidak sama dengan sebelum Ansel meninggalkan gedung ini, maka pria ini semakin yakin jika surat-surat penting milik Adithia disimpan di dalam salah satu ruangan di gedung ini. Setelah mencari tahu akhirnya Ansel menemukan satu ruangan yang tidak memiliki kunci. Dia berdiri tepat di depan pintu, ruangan ini memang terisolasi karena pernah terjadi hal tidak diinginkan. Ruangan ini tidak pernah disukai para karyawan karen lokasinya terlalu tinggi hingga mereka mengeluhkan jarak dengan lobby utama. "Ck, apa dugaanku benar. Kau menyimpan semua surat penting milik papa di tempat ini, tempat yang dibenci semua orang? Ya, memang masuk akal jika kau menyimpannya di sini karena tidak ada yang berniat memasuki ruangan ini!" Ansel selalu berhasil membaca isi kepala Evan yang dipenuhi dengan hal-hal licik. Begitupun dengan yang ini, ini mudah untuknya. Namun, apakah dugaannya benar?Ansel tidak memiliki kunci untuk ruangan ini karena salah satu kunci yang berkura
Alea berwajah sendu ketika kembali masuk ke dalam rumah hingga menimbulkan pertanyaan besar dari Ansel sekalian merangkul istrinya, "Sayang, ada apa hm ...." Usapan lembutnya segera membelai punggung Alea.Alea tersedu di dalam pelukan Ansel, tetapi segera mengadukan isi hatinya, "Aku mengingat cerita ibu panti tentang asal-usulku karena tadi bu Rina bercerita tentang anaknya yang hilang."Rangkulan Ansel semakin dalam setelah mendengar kalimat sendu istrinya. "Tidak apa, itu hanya kebetulan ...." Usapan lembut di punggung Alea tidak berhenti bahkan semakin sering membelai penuh kasih sayang, tidak lupa mengecup puncak kepala sang istri. Setelah berhasil menenangkan diri, Alea melepaskan diri dari pelukan Ansel, kemudian segera membahas Deon. "Bukan teman kamu yang akan menyewa rumah, tapi saudaranya." Tatapannya masih berkaca, tetapi Alea berusaha menyampaikannya dengan benar hingga membuat Ansel mengusap salah satu pipi istrinya bersama senyuman hangat penuh cinta."Aku sudah mende
Rina merasa harus menjelaskan tentang keluarga Ansel karena di matanya keluarga Ansel adalah contoh baik dan patut mendapatkan pujian juga patut menjadi gambaran positif untuk calon penyewanya. Ibu jarinya mengarah pada kediaman Ansel. "Ini rumah keluarga nak Ansel dan nak Alea, mereka sudah memiliki seorang bayi. Kalau ada perlu apa-apa jika memang malas ke rumah ibu, nak Deon biasa mengunjungi nak Ansel dan nak Alea, keduanya sangat ramah," tutur Rina dengan sikap ramah serta raut wajah memuji-muji kedua orang yang berada dalam ceritanya. "Iya. Eu ..., tapi sebenarnya saya sedang mencarikan kontrakan untuk saudara saya karena kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di dekat daerah sini," kekeh kecil Deon. "Kalau begitu, Nak Deon jelaskan saja yang baru saja ibu jelaskan pada saudaranya Nak Deon. Intinya lingkungan di sini sangat nyaman karena salah satu alasannya para tetangganya yang baik hati," kekeh merdu Rina kala sedikit berdusta karena hanya beberapa saja dari banyaknya warga ya
“Sayang, makanlah.” Untuk ke sekian kalinya Evan menawarkan bubur hasil buatannya sendiri.Aisha terpaku sesaat mentap semangkuk bubur yang berhasil menggugah seleranya, tetapi dia masih menolak, “Aku belum lapar. Aku akan makan buah-buahan.” Buah apel utuh segera diraih padahal di atas meja makan sudah tersedia buah apel yang sudah dikupas.Evan tidak menunjukan emosi, tetapi hanya senyuman hangat. “Makanlah buahnya.” Kini, Evan berhenti menawarkan bubur pada Aisha, tetapi berpesan pada bibi untuk mengganti bubur yang baru saat Aisha menginginkannya karena dia membuat satu panci bubur.‘Tenanglah, jangan mengacau!’ omelan Aisha pada bayinya yang masih menginginkan bubur yang berada di hadapannya. Buah apel utuh mulai digigit dengan gigitan kecil, tetapi Evan segera meraih buah yang baru lalu mengirisnya di hadapan Aisha.“Jangan memakan buah apel dengan cara seperti itu, makan yang ini saja.” Senyuman teduh Evan tampak sangat ramah dan dipenuhi kasih sayang, tetapi tidak mungkin Aish
Pada pagi hari, Evan menyiapkan sebuah bubur yang sengaja dibawanya pada Aisha. "Selamat pagi, Sayang." Senyuman lembut diumbar saat istrinya baru saja membuka mata. Tentu saja dahi wanita ini berkerut saat menyaksikan pemandangan asing di hadapannya karena tidak biasanya Evan mengucapkan sapaan. "Ada apa. Apa kamu sudah di sana sejak tadi?" tanya Aisha alih-alih membalas sapaan hangat Evan."Lumayan. Aku menunggu kamu, kamu tidur sangat lelap." Senyuman lembut kembali diumbar."Oh ...." Datar Aisha yang segera mendudukan dirinya. Setelah ini tidak sedikit pun dia memandang Evan. Namun, Evan berkata sangat lembut, "Aku baru saja membuatkan bubur untukmu dan bayi kita." Aisha segera melirik pada bubur yang dimaksud Evan, kemudian mengajukan pertanyaan dengan raut wajah heran, "Kamu yang membuat ini?" Evan mengangguk kecil, kemudian menurunkan tatapannya sesaat lalu berkata seiring memasang tatapan sendu. "Aku belum pernah membuatkan apapun untukmu, terutama untuk anak kita. Walaupu
Evan baru saja menyadari jika Aisha membiarkan menunya. "Sayang. kenapa belum makan. Ingin aku suapi?" tawaran lembut dan penuh perhatian ini sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, tetapi tentu saja yang dilakukannya hanya berbasa-basi."Aku belum lapar." Dingin dan datar Aisha. Dahi Evan segera berkerut heran, "Tidak mungkin belum lapar. Ada bayi di perutmu, yang aku tahu seorang wanita hamil akan mudah merasa lapar." Pun, sikapnya yang ini adalah sikap wajar seorang suami, tetapi maksud kalimatnya hanya ingin memastikan jika Aisha memberikan makan bayi dalam kandungannya supaya tumbuh dan berkembang normal. Evan tidak ingin mengambil resiko bayinya keguguran apalagi terlahir cacat, itu memalukan."Aku sudah banyak memakan camilan. Aku akan makan makanan berat setelah merasa lapar." Lagi, sikap Aisha sangat dingin dan datar maka wanita ini tidak mencitrakan seorang istri sama sekali yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman pada orang yang tidak mengetahui kisah keduanya.