Aisha mendesah lirih karena kekhawatiran tidak pernah padam, kemudian membahas sang ayah yang kini berada tidak jauh darinya, “Kak, tengok papa sebentar. Saat ini Evan sedang tidak di rumah.”
“Kapan si brengsek itu akan kembali?” Tatapan Ansel memicing tajam.
“Aisha tidak tahu, tapi mungkin agak lama karena Evan membawa serta banyak dokumen. Aisha pikir mungkin hari ini Evan akan melakukan banyak pertemuan.”
“Baiklah. Kakak akan bawa Ocean untuk bertemu papa. Semoga saja kakek dan cucu bisa bertemu,” lirih Ansel karena Adithia tidak pernah bertemu Ocean sekalipun.
Jadi, Ansel mendadani putranya dengan sangat baik. Kemudian menaiki bus demi menuju kediaman sang ayah. Sebenarnya terdapat banyak perasaan tidak tega karena bayi merah ini harus terkena polusi jalanan, tetapi Ansel tidak mampu membayar taxi. Bukan satu bus saja, Ansel dan Ocean harus melanjutkan perjalanan menggunakan bus lainnya, tetapi syukurnya kendaraan yang ditumpangi mereka kini jauh lebih baik dari bus sebelumnya. Terdapat ac di dalamnya, ruangannya juga sangat steril dari debu dan polusi. Ini adalah bus tertutup dengan fasilitas cukup mewah.
Totalnya empat puluh lima menit perjalanan yang harus ditempuh Ansel dan Ocean, hingga akhirnya pria ini berdiri tepat di seberang bangunan bergaya eropa milik keluarganya. “Sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumahku sendiri,” desah sendunya.
Langlah diambil Ansel dengan pasti, bahkan Aisha sudah menunggu di teras rumah yang dibatasi gerbang besar. “Kak Ansel!” Senyumannya merekah.
Namun, senyuman Aisha segera sirna saat menyaksikan satpam menahan Ansel bahkan tidak membukakan gerbangnya sama sekali. “Aku putra pemilik rumah. Apa yang kalian lakukan ini, heuh!” geram Ansel saat Ocean masih berada dalam pangkuannya. Maka satu tangannya tidak dapat berbuat apapun karena harus menahan tubuh malaikat kecil.
“Maaf, Tuan. Tuan Evan tidak mengizinkan Anda masuk!” Lugas dan tegas pria tinggi besar yang tidak dikenali Ansel. Sejauh mata memandang, wajah semua penjaga keamanan tidak dapat dikenalinya hingga dirinya menduga jika Evan telah memecat semua satpam sebelumnya.
Aisha segera menghardik pria yang membentengi Ansel, “Hei, apa yang kau lakukan. Cepat buka gerbangnya!”
Pria tinggi besar ini berbalik ke arah Aisha, memberi hormat kemudian berkata sangat santun, “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya Nyonya, tetapi kami tidak dapat meloloskan pria ini karena tuan Evan sudah memerintahkan kami untuk tidak membiarkannya masuk.”
“Apa?” Aisha terkesiap dalam mendengarnya.
“Bajingan itu!” Ansel meninju gerbang besi besar yang sangat kokoh ini hingga kepalan tangannya menimbulkan bias kemerahan.
“Buka gerbangnya. Ini perintah dariku!” Aisha mengangkat wajahnya sebagaimana nyonya besar yang sedang memerintahkan bawahannya. Namun, wajah satpam menunduk cukup dalam padanya.
“Mohon maaf Nyonya. Kami diperintah tuan Evan, jadi kami hanya akan mendengarkan tuan Evan.”
“A-apa yang kau katakan ini. Heuh!” Aisha dibuat murka oleh pegawainya sendiri. Kumpulan satpam yang direkrut Evan selama kurang lebih sejak tujuh bulan ke belakang.
“Nyonya bisa menanyakannya sendiri pada tuan Evan,” santun pria ini.
“Ck!” Aisha mendengus berang bersama tatapan murka pada semua pegawainya, kemudian menghampiri Ansel yang masih berdiri di bawah terik sinar matahari. Wanita ini berbisik, “Kak, lewat belakang saja. Hanya saja Kakak harus memutar ke dalam gang.”
“Iya, Kakak tidak lupa jalan itu,” desah sendu Ansel karena akses untuk dirinya tertutup padahal secara notabene dirinya dan keluarga kecilnya memiliki hak untuk memijak rumah ini bahkan tinggal di dalamnya. Segera, tatapannya memicing tajam ke arah para penjaga seiring langkah dipenuhi amarah.
Di saat bersamaan, Aisha kembali ke dalam rumah dan segera menuju halaman belakang untuk menyambut Ansel. Hanya saja pintu gerbangnya terkunci dengan gembok besar. “Kalau aku merusaknya pasti Evan akan curiga. Tapi ini jalan satu-satunya untuk kak Ansel dan Ocean!” Sejenak, wanita ini mencoba mencari solusi lain, tetapi tidak menemukannya. Maka walaupun tindakannya akan berujung negatif, dia tetap merusak gembok menggunakan alat-alat yang ada. Merusak kunci adalah keahlian terpendamnya. Hanya saja setelah merusaknya, Aisha tidak dapat mengembalikannya lagi seperti sediakala.
Akhirnya Ansel dan Ocean berhasil masuk, maka pelukan kakak beradik segera saling menyahut. “Kak ... Aisha sangat merindukan Kakak. Bagaimana keadaan kak Alea?” Air mata haru segera menetes deras.
“Alea baik-baik saja.” Senyuman teduh Ansel saat menatap wajah sang adik yang sudah sekitar satu tahun tidak dilihatnya selain lewat video call.
Aisha membuka kain pelindung sinar matahari yang menutupi wajah Ocean dengan gemetar dan hati-hati, kemudian air mata berderai saat menyaksikan keponakannya secara langsung. “Andai kita tinggal bersama di sini ....” Suaranya terkecik kepedihan.
“Hidup kita akan sempurna dan bahagia seperti sediakala,” sahut Ansel yang kembali memeluk Aisha.
“Kak, ayo masuk. Temui papa ...,” ajak lembut Aisha yang menuntun kakaknya hingga akhirnya Ansel dan Adithia bertatap muka. Ayah dan anak segera berderai air mata, tetapi Adithia tidak dapat mengungkapkan deretan kalimat yang ingin dikatakannya karena penyakitnya menahan itu semua. Namun, tatapan matanya tetap menyampaikan kasih sayang tiada batas pada Ansel dan Ocean.
Satu keluarga berkumpul, bercengkrama di dalam salah satu ruangan. Tawa bahagia serta kehangatan kembali walaupun Adithia hanya dapat mengekspresikannya lewat raut wajahnya saja.
Kini, Aisha mulai memikirkan kehidupan Ansel di dalam rumah sewa. “Kak, Aisha punya tabungan. Terima ya, tapi bukan maksud Aisha merendahkan Kakak. Anggap saja ini untuk Ocean.” Sebuah kartu bank disodorkan pada Ansel.
“Kenapa kamu memberikannya pada Kakak?” heran Ansel. Selain itu dia merasa menjadi orang yang patut dikasihani. Jika harus jujur ini melukai hatinya.
“Maaf ya kalau Aisha menyinggung. Tapi Aisha tidak ingin melihat dan mendengar kehidupan pas-pasan Kakak ..., lagipula Kakak juga punya hak atas semua aset papa. Hanya saja saat ini brankas dan kartu bank sudah dikuasai Evan. Kami tidak mengetahui sandinya. Jadi hanya ini yang Aisha punya karena ini kartu pribadi Aisha yang diberikan Evan.” Hampir saja matanya berkaca-kaca, tetapi ditambahkan banyak harapan supaya Ansel menerima kebaikannya tanpa merasa tersinggung sedikit pun.
“Lalu kamu bagaimana? Pasti Evan akan menanyakannya.” Ansel tidak lantas menerima kebaikan Aisha karena pasti akan menimbulkan hal negatif.
“Aisha bisa beralasan kartunya hilang. Maka dari itu setelah dari sini cepat ambil semua uangnya!”
“Tidak seinstan itu, Sya. Apa kamu yakin Evan tidak akan memeriksa mutasi terakhirnya atau meminta pihak bank menyelidiki. Kakak yakin Evan akan menjadikannya sebagai kasus pencurian.” Ansel sangat mengerti jalan pikiran Evan.
“Aku bisa beralasan kartunya diambil seseorang tidak dikenal lalu menguras uangnya. Mungkin Evan tidak akan menyelidiki uang yang jumlahnya tidak seberapa.”
“Mana bisa seperti itu. Bisa saja Evan mengusutnya.” Ansel sangat mengerti sifat tidak ingin dirugikan yang dimiliki Evan. “Lagipula, tidak peduli berapa jumlahnya, Evan adalah manusia serakah, sedikit atau banyak pasti membuatnya merasa dirugikan. Ck!” decak kasar Ansel ditambah tatapan berapi-api.
“Atau mungkin ... aku bisa beralasan jika aku mentransferkan semua uangnya untuk bantuan bencana atau bantuan apapun itu yang berhubungan dengan keperluan mendesak.”
“Kamu yakin cara itu efisien?”
“Semoga ...,” desah Aisha bersama tatapan memelas yang diarahkan pada Ansel. Percakapan keduanya didengarkan Adithia yang tetap berada di sekitar kedua anak serta cucunya hingga tetesan bening adalah ungkapan kesedihannya saat mulutnya tidak mampu bersuara.
Saat ini, terpaksa Ansel harus meninggalkan sang ayah karena dirinya harus ikut serta dengan Aisha karena adiknya harus terlihat keluar rumah untuk meyakinkan para penjaga jika dirinya melakukan kegiatan menyumbang. Pelukan lirih pria ini kesulitan melepaskan sang ayah, tetapi di sisi lain waktu memburunya. Mereka tidak tahu kapan Evan akan kembali. “Pa, Ansel minta maaf karena Ansel harus pergi. Ansel dan Ocean janji akan datang lagi jika Evan belum kembali.” Ini adalah salah satu situasi yang menggoreskan banyak luka di hatinya setelah sebelumnya hatinya dibuat perih saat angkat kaki dari rumah, meninggalkan ayah serta adiknya.
Saat ini dada Adithia bergemuruh antara pedih dan cemas karena dirinya mengetahui jadwal kembalinya Evan. ‘Nak, cepatlah pergi. Jangan sampai ditemukan Evan!’ Sayangnya, hanya hatinya yang mampu bersuara.
Bersambung ....
Ansel dan Ocean menyusup ke dalam mobil yang dikendarai Aisha. Seorang bodyguard segera mengikuti mobil milik Aisha atas perintah Evan. “Inilah alasannya kenapa Aisha tidak pernah bisa mengunjungi Kakak ...,” lirihnya saat mengendarai.“Iya, Kakak mengerti.” Amarah sedang meletup-letup di dalam dada Ansel, tetapi saat ini dirinya belum bisa melakukan apapun untuk membebaskan Adithia dan Aisha.“Kita akan ke bank. Jadi bodyguardnya Evan akan menyampaikan jika Aisha barusaja menyumbang. Saat Aisha di dalam bank, Kakak dan Ocean harus tetap di sini.”“Ya.” Singkat Ansel yang terpaksa harus menunduk di jok belakang supaya keberadaannya tidak terlihat.“Aisha ingin Kakak dan Ocean kembali ke rumah, tapi sebelum itu Aisha akan menghubungi Evan dulu. Aisha harus memastikan Evan tidak akan cepat pulang.” Rasa rindu pada keluarganya masih meletup-letup jadi pertemuan singkat saja tidak akan pernah cukup.Saat ini Ansel tidak lantas memberikan jawaban. Selama beberapa saat dirinya terjerat dala
Aisha ingin mengekspresikan kekesalannya, tetapi ditahan serapat mungkin karena bisa saja membuat Evan murka dan berakhir membahayakan mereka semua terutama Ansel. “Kak Ansel tidak akan datang lagi.” Tatapan nanarnya.“Bagus.” Senyuman lembut dibentuk Evan kemudian mengecup permukaan bibir tipis Aisha yang berujung pada hubungan ranjang panas. Sementara, Ansel kembali menjalani propesinya sebagai satpam yang dimulai sejak pukul sebelas malam. Persenjataan yang dibutuhkannya mulai dikantongi, mulai dari senjata ringan yaitu tongkat kayu, hingga pada senjata yang cukup mengerikan yaitu pistol listrik kemudian terakhir senjata api yang hanya dipakai di saat paling genting saja. Itupun hanya bisa diarahkan pada bagian betis atau organ tubuh lainnya yang tidak akan berakibat menghilangkan nyawa seseorang.Ansel menjadi penjaga keamanan tempat berkumpulnya berlian mahal dan banyak juga berlian langka yang tinggal di dalam gedung ini, maka persenjataan penjaga keamanan di sini berbeda denga
Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu. Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mat
“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. “Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. “Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Alea barusaja kembali tiga jam kemudian saat Ocean hendak dimandikan, Ansel masih terlelap sangat damai hingga tanpa sadar senyuman ditarik teduh. “Selamat tidur,” bisiknya.Setelah Ocen dimandikan, bayinya ikut terlelap bersama ayahnya. Saat ini Alea meraih handphone milik Ansel walaupun sebelumnya wanita ini tidak pernah melakukannya karena tidak ada seorang pun yang harus dihubungi. “Eh, ada Aisha?” Maka, pesan adik iparnya dibaca dengan saksama. “Malam ini ada pesta dan Evan akan menghadirinya. Aku tidak boleh lupa mengatakannya pada Ansel!” Wajahnya sedikit memucat karena ini adalah kabar menakutkan. [Ansel sedang tidur, akan aku sampaikan nanti. Aisha, bagaimana kabarmu?] Sebuah chat diluncurkan. Panggilan dari Aisha segera berdering. “Kak, jangan lupa ya. Aku takut kakak kenapa-kenapa kalau bertemu Evan!”“Kakak juga sangat khawatir.” Pun, Alea mengutarakan isi hatinya. “Bagaimana kabar kamu dan papa?” ulangnya dengan cemas.“Keadaan papa masih sama, Kak?” sendu Aisha, sedangk
Alea ternganga mendengar kalimat Ansel. “Kenapa? Harusnya kamu ambil libur saja, kamu bisa beralasan.” “Tidak. Aku harus menghadapi Evan, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang dan apakah dia masih berani menjatuhkanku di sana. Supervisor tahu aku adalah putra dari papa, salah satu pemasok berlian di sana.” Ansel berkata tegas.Saat ini ada banyak kekhawatiran yang ingin disampaikan Alea, tapi wanita ini juga tidak bisa melarang niat Ansel toh setidaknya suaminya pintar beladiri walaupun mungkin itu kurang efektif saat mengadapi Evan yang menyerangnya lewat kekuasaan. Puncak kepala Alea dibelai lembut bersama senyuman teduh. “Jangan khawatir, buang khawatir kamu, Sayang. Aku akan baik-baik saja malam ini dan aku akan pulang tepat waktu, aku janji.” Seharusnya janji Ansel menjadi obat ketegangan yang menyerang Alea, tetapi nyatanya tidak. Justru kekhawatiran semakin menjalar. Pada sore harinya Ansel membantu Alea memersiapkan usaha kecil-kecilan istrinya. Pria ini mendukung penuh lan
Hari berganti, Ansel masih belum kembali dan saat ini Alea mulai menangis tersedu, tetapi untungnya Rina tetap di sisinya dan wanita ini juga yang membantu menenangkan ibu satu anak ini. Namun, kebaikan Rina tidak membuat Ansel kembali. Lelaki itu menghilang hingga satu minggu lamanya. Setiap hari Alea dan Aisha mencoba mencari tanpa melibatkan polisi karena mereka yakin hilangnya Ansel karena perbuatan Evan. Namun, hingga saat ini Aisha tidak menemukan bukti kecurigaannya. Tidak mudah untuk Alea menjalani kehidupannya selama satu minggu ini, Ocean sering menangis dan Alea tidak bisa fokus pada apapun. Jika saya Rina tidak di sisinya mungkin saat ini Alea sudah mendekati kehancurannya. Hari ini, Rina tidak tahan melihat Alea menderita. Maka, dia menghubungi Reza untuk mencari tahu keberadaan Ansel. Wanita ini yakin Reza bisa membantu karena Alea sudah melarangnya melaporkan hilangnya Ansel pada polisi. Sementara, saat ini Ansel disekap oleh Evan. Ya, pelakunya memang Evan. Sudah s
Ansel menemui hari sialnya lagi karena akibat tindakannya dia disandera oleh Evan tanpa sepengetahuan Alea maupun Aisha. Jadi seakan-seakan Ansel menghilang tanpa jejak. Pada pagi ini Alea menunggu suaminya pulang, tapi hingga pukul sembilan dia tidak mendapatkan kabar apa pun. Alea menemui Rina untuk meminta bantuan menghubungi Ansel, tetapi nomor suaminya tidak aktif. "Ansel kemana dan kenapa nomornya tidak aktif, apa menemui Aisha?" Alea khawatir, hanya saja dia tidak ingin memikirkan hal aneh.Alea kembali ke rumahnya, di pangkuannya Ocean merengek padahal anaknya sudah diberikan susu. "Kenapa sayang ...." Lembutnya saat membelai pipi Ocean.Alea tetap melakukan kegiatan seperti biasanya, tetapi Ansel masih belum kembali bahkan ketika matahari sudah berada di puncak langit. Rengekan Ocean hanya berhenti sesaat, sejak pagi-pagi bayi itu terus merengek dan tidak pernah tidur nyenyak. "Nak, kenapa ..., jangan seperti ini ..., papa belum pulang dan tidak bisa dihubungi, mama khawatir
Ansel tertangkap sebelum pria ini menemukan hal penting, maka bawahan yang ditugaskan Evan membawanya secara halus ke hadapan Evan supaya kedok tuannya tidak terbongkar di hadapan para karyawan.Saat ini Evan bertepuk tangan di hadapan Ansel yang berdiri geram. "Kakak ipar, kau memang hebat, kau bisa menebak keberadaan surat-surat penting milikku. Tapi ... aku yakin kau belum menemukan apapun karena tidak semudah itu. Aku sudah menyimpannya sangat rapat dan sulit dijangkau." Sunggingan bibir Evan mengudara sangat menyebalkan di dalam indera penglihatan Ansel. Saat ini Ansel tidak berkata apapun, arah matanya hanya selalu mengikuti gerakan Evan tanpa pernah berkedip sama sekali, bahkan bola matanya hanya berisi api yang siap membakar Evav."Jangan marah. Santai saja. Kakak ipar tidak boleh terlalu tegang karena memiliki anak dan istri yang harus dicukupi. Hm ... apakah rumah sekecil itu tidak membuat kalian pengap heuh? Rasanya untuk bernapas saja terlalu sulit," hina Evan bersama sun
Jumlah kunci yang dimiliki satpam tidak sama dengan sebelum Ansel meninggalkan gedung ini, maka pria ini semakin yakin jika surat-surat penting milik Adithia disimpan di dalam salah satu ruangan di gedung ini. Setelah mencari tahu akhirnya Ansel menemukan satu ruangan yang tidak memiliki kunci. Dia berdiri tepat di depan pintu, ruangan ini memang terisolasi karena pernah terjadi hal tidak diinginkan. Ruangan ini tidak pernah disukai para karyawan karen lokasinya terlalu tinggi hingga mereka mengeluhkan jarak dengan lobby utama. "Ck, apa dugaanku benar. Kau menyimpan semua surat penting milik papa di tempat ini, tempat yang dibenci semua orang? Ya, memang masuk akal jika kau menyimpannya di sini karena tidak ada yang berniat memasuki ruangan ini!" Ansel selalu berhasil membaca isi kepala Evan yang dipenuhi dengan hal-hal licik. Begitupun dengan yang ini, ini mudah untuknya. Namun, apakah dugaannya benar?Ansel tidak memiliki kunci untuk ruangan ini karena salah satu kunci yang berkura
Alea berwajah sendu ketika kembali masuk ke dalam rumah hingga menimbulkan pertanyaan besar dari Ansel sekalian merangkul istrinya, "Sayang, ada apa hm ...." Usapan lembutnya segera membelai punggung Alea.Alea tersedu di dalam pelukan Ansel, tetapi segera mengadukan isi hatinya, "Aku mengingat cerita ibu panti tentang asal-usulku karena tadi bu Rina bercerita tentang anaknya yang hilang."Rangkulan Ansel semakin dalam setelah mendengar kalimat sendu istrinya. "Tidak apa, itu hanya kebetulan ...." Usapan lembut di punggung Alea tidak berhenti bahkan semakin sering membelai penuh kasih sayang, tidak lupa mengecup puncak kepala sang istri. Setelah berhasil menenangkan diri, Alea melepaskan diri dari pelukan Ansel, kemudian segera membahas Deon. "Bukan teman kamu yang akan menyewa rumah, tapi saudaranya." Tatapannya masih berkaca, tetapi Alea berusaha menyampaikannya dengan benar hingga membuat Ansel mengusap salah satu pipi istrinya bersama senyuman hangat penuh cinta."Aku sudah mende
Rina merasa harus menjelaskan tentang keluarga Ansel karena di matanya keluarga Ansel adalah contoh baik dan patut mendapatkan pujian juga patut menjadi gambaran positif untuk calon penyewanya. Ibu jarinya mengarah pada kediaman Ansel. "Ini rumah keluarga nak Ansel dan nak Alea, mereka sudah memiliki seorang bayi. Kalau ada perlu apa-apa jika memang malas ke rumah ibu, nak Deon biasa mengunjungi nak Ansel dan nak Alea, keduanya sangat ramah," tutur Rina dengan sikap ramah serta raut wajah memuji-muji kedua orang yang berada dalam ceritanya. "Iya. Eu ..., tapi sebenarnya saya sedang mencarikan kontrakan untuk saudara saya karena kebetulan dia mendapatkan pekerjaan di dekat daerah sini," kekeh kecil Deon. "Kalau begitu, Nak Deon jelaskan saja yang baru saja ibu jelaskan pada saudaranya Nak Deon. Intinya lingkungan di sini sangat nyaman karena salah satu alasannya para tetangganya yang baik hati," kekeh merdu Rina kala sedikit berdusta karena hanya beberapa saja dari banyaknya warga ya
“Sayang, makanlah.” Untuk ke sekian kalinya Evan menawarkan bubur hasil buatannya sendiri.Aisha terpaku sesaat mentap semangkuk bubur yang berhasil menggugah seleranya, tetapi dia masih menolak, “Aku belum lapar. Aku akan makan buah-buahan.” Buah apel utuh segera diraih padahal di atas meja makan sudah tersedia buah apel yang sudah dikupas.Evan tidak menunjukan emosi, tetapi hanya senyuman hangat. “Makanlah buahnya.” Kini, Evan berhenti menawarkan bubur pada Aisha, tetapi berpesan pada bibi untuk mengganti bubur yang baru saat Aisha menginginkannya karena dia membuat satu panci bubur.‘Tenanglah, jangan mengacau!’ omelan Aisha pada bayinya yang masih menginginkan bubur yang berada di hadapannya. Buah apel utuh mulai digigit dengan gigitan kecil, tetapi Evan segera meraih buah yang baru lalu mengirisnya di hadapan Aisha.“Jangan memakan buah apel dengan cara seperti itu, makan yang ini saja.” Senyuman teduh Evan tampak sangat ramah dan dipenuhi kasih sayang, tetapi tidak mungkin Aish
Pada pagi hari, Evan menyiapkan sebuah bubur yang sengaja dibawanya pada Aisha. "Selamat pagi, Sayang." Senyuman lembut diumbar saat istrinya baru saja membuka mata. Tentu saja dahi wanita ini berkerut saat menyaksikan pemandangan asing di hadapannya karena tidak biasanya Evan mengucapkan sapaan. "Ada apa. Apa kamu sudah di sana sejak tadi?" tanya Aisha alih-alih membalas sapaan hangat Evan."Lumayan. Aku menunggu kamu, kamu tidur sangat lelap." Senyuman lembut kembali diumbar."Oh ...." Datar Aisha yang segera mendudukan dirinya. Setelah ini tidak sedikit pun dia memandang Evan. Namun, Evan berkata sangat lembut, "Aku baru saja membuatkan bubur untukmu dan bayi kita." Aisha segera melirik pada bubur yang dimaksud Evan, kemudian mengajukan pertanyaan dengan raut wajah heran, "Kamu yang membuat ini?" Evan mengangguk kecil, kemudian menurunkan tatapannya sesaat lalu berkata seiring memasang tatapan sendu. "Aku belum pernah membuatkan apapun untukmu, terutama untuk anak kita. Walaupu
Evan baru saja menyadari jika Aisha membiarkan menunya. "Sayang. kenapa belum makan. Ingin aku suapi?" tawaran lembut dan penuh perhatian ini sudah sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, tetapi tentu saja yang dilakukannya hanya berbasa-basi."Aku belum lapar." Dingin dan datar Aisha. Dahi Evan segera berkerut heran, "Tidak mungkin belum lapar. Ada bayi di perutmu, yang aku tahu seorang wanita hamil akan mudah merasa lapar." Pun, sikapnya yang ini adalah sikap wajar seorang suami, tetapi maksud kalimatnya hanya ingin memastikan jika Aisha memberikan makan bayi dalam kandungannya supaya tumbuh dan berkembang normal. Evan tidak ingin mengambil resiko bayinya keguguran apalagi terlahir cacat, itu memalukan."Aku sudah banyak memakan camilan. Aku akan makan makanan berat setelah merasa lapar." Lagi, sikap Aisha sangat dingin dan datar maka wanita ini tidak mencitrakan seorang istri sama sekali yang mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman pada orang yang tidak mengetahui kisah keduanya.