Bab 99. MEMASUKI DIMENSI LELEMBUT “Om anda mau kemana? Apakah acaranya sudah selesai?” sapa satpam keluarga Warsito. “Belum, saya ada acara lainnya lagi jadi saya pulang lebih awal,” sahut Jaka menyembunyikan apa yang terjadi pada dirinya. Dari saku celananya Jaka mengambil uang lima puluh ribu rupiah dan memberikannya kepada satpam itu. “Ini untuk beli rokok,” ucap Jaka yang berlalu menuju mobilnya setelah memberikan uang tips. “Terimakasih Om,” senyum bahagia terpancar di wajah satpam keluarga Warsito mendapatkan uang tips dari Jaka. Dengan hati kesal, Jaka menjalankan mobilnya meninggalkan komplek perumahan Elite Pondok Indah untuk pulang ke rumahnya. Sementara itu di rumah keluarga Warsito sepeninggal Jaka Kelud, terlihat Intan menangis dan berlari ke lantai dua menuju kamarnya, meninggalkan teman-temannya yang berdiri dengan ekspresi bingung melihat kejadian yang baru saja terjadi. “Ibu jahat…..” ucap Intan yang terus berlari ke lantai d
Bab 100. KAMPUNG LELEMBUT Dan Jaka baru kali ini mengetahui kalau di Indonesia ada batu sebesar ini yang digunakan sebagai landasan jalan umum yang sangat lebar di depannya. “Aneh dan ajaib, ada jalan yang terbuat dari batu candi di sepanjang jalan ini. Dimanakah sebenarnya saya pada saat ini? kenapa di sekelilingku yang terlihat hanya hutan yang sangat lebat dengan pohon sebesar rumah yang begini banyak?” Setelah mengunci pintu mobilnya, Jaka segera berjalan mencari pertolongan warga yang bisa memperbaiki mobilnya. Saat sudah berjalan cukup jauh hingga mobilnya saja sudah tidak terlihat, Jaka mendengar suara kuda yang sedang berjalan ke arahnya. Jaka segera menepi untuk melihat apa benar kalau yang didengarnya adalah suara kaki kuda. Plak… tuplak… tuplak…. Suara kaki kuda semakin dekat saja hingga akhirnya Jaka melihat ada seorang penunggang kuda yang sedang berjalan ke arahnya. Yang membuat Jaka merasa aneh adalah pakaian yang dikenakan pen
Bab 101. SALING TAK PERCAYA “Montir mobil?” sahut pria paruh baya yang ditanyai Jaka dengan ekspresi bingung terlihat di raut wajahnya. Jaka menganggukkan kepalanya sebagai tanda kalau apa yang ditanyakan adalah benar adanya. “Apa itu montir mobil? Saya tidak mengerti apa yang kamu tanyakan. Oh iya, memangnya kamu siapa dan datang dari mana?” tanya pria paruh baya yang bertelanjang dada dan sedang duduk di teras rumah model kuno yang terbuat dari kayu jati. Kali ini Jaka yang dibuat bingung dengan jawaban pria paruh baya itu. Kemudian Jaka berkata, “Perkenalkan saya Jaka Kelud dari kota Jakarta. Kedatangan saya kemarin, karena saya mau minta tolong kalau mobil saya mogok dan tidak bisa berjalan.” “Mobil? Mogok? Sebenarnya apa yang kamu sebutkan tadi, saya benar-benar tidak tahu apa maksudnya.” Nafas dada tampak berat mendengar jawaban pria tua itu, yang Jaka tidak tahu sebenarnya dia sedang bertanya pada sosok Lelembut di depannya yang merupakan soso
Bab 102. PENCERAHAN “Mbah Marijan, ternyata anda tinggal di sini. Jadi anda ketua kampung di desa ini?” tanya Jaka dengan wajah berbinar. Tentu saja Jaka sangat senang disaat dia sedang kesulitan untuk mencari pertolongan, pada saat ini juga dia bertemu dengan seseorang yang dikenalnya. “Jaka Kelud, tidak saya sangka ternyata kamu datang mengunjungi gubug reotku ini,” kata Mbah Marijan dengan senyuman menghiasi wajahnya. Sementara itu jawara penjaga rumah Mbah Marijan tampak terdiam dan keheranan menyaksikan interaksi tuannya dengan anak muda yang baru datang ini. Kemudian Mbah Marijan mengajak Jaka memasuki pendopo rumahnya yang ternyata sangat megah seperti pendopo kerajaan. Padahal Mbah Marijan hanya seorang kepala kampung atau lurah di desa Suramadu. Seperti apa kemegahan dan keindahan istana kadipaten maupun istana kerajaan, jika pendopo rumah seorang kepala kampung saja sudah begini mewah dan indahnya. Jaka memandangi ukiran antik di setia
Bab 103. KEMBALI KE DIMENSI MANUSIA FANA Jaka yang mendengar penuturan mbah Marijan tampak termangu dan terdiam, otaknya segera mengingat apa yang terjadi pada dirinya beberapa waktu yang lalu. Akhirnya dia menyadari kalau di dalam tubuhnya ada sesuatu yang membuatnya sangat memahami dan sangat cepat menguasai ilmu beladiri silat, meskipun hanya sekedar menonton dari video aplikasi online. “Iya mbah, kalau di pikir-pikir saya juga heran, bagaimana mungkin saya bisa menguasai ilmu silat dengan sangat mudah, meskipun hanya melihat setiap jurus dan cara bertanding para jago silat melalui video online.” “Nah itu maksud mbah, Karena kamu sudah datang sendiri ke tempat mbah, maka mbah akan mengajari cara agar kamu bisa membangkitkan kekuatan yang ada di dalam tubuhmu. Apakah kamu mengikuti saran dan petunjuk dari mbah?” ucap mbah Marijan dengan tatapan serius ke arah Jaka Kelud. “Mau mbah, tentu saja saya mau diberi petunjuk oleh mbah Marijan, kalau tidak merep
Bab 104. KEMBALI KE RUMAH Sambil mengemudi pikiran Jaka kembali ke tempat aneh yang bernama desa Suramadu dan bertemu dengan mbah Marijan. Jaka sangat tahu kalau tempat yang baru saja dia datangi bukanlah mimpi, tapi sebuah tempat yang merupakan desa wisata, itu yang ada dalam pikiran Jaka. Jaka tidak menyadari kalau dia sudah berada di dimensi lelembut itu selama tujuh hari lamanya, Jaka menganggap baru sebentar saja, padahal tujuh hari di dimensi lelembut sama dengan tujuh bulan di dimensi manusia fana. Jaka tentu saja belum menyadari hal ini, dia mengemudikan mobilnya untuk pulang. Tak lama kemudian sampailah Jaka di depan pintu gerbang rumahnya, sepasang mata Jaka membelalak tidak percaya melihat apa yang ada di depannya. “Aneh, kenapa rumahku ditumbuhi banyak sekali rumput liar? Apakah saya salah mendatangi rumahku?” gumam Jaka saat akan membuka pintu gerbang rumahnya. Jaka tidak jadi membuka pintu gerbang rumahnya, dia mengedarkan pandangannya ke se
Bab 105. MENYADARI APA YANG TERJADI Sambil mengemudi, Jaka mulai membaca pesan-pesan yang masuk ke ponselnya. Seketika matanya membelalak lebar seakan tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Karena dalam catatan pesan yang masuk, ada pesan yang masuk ke ponselnya sejak satu bulan, dua bulan, tiga bulan hingga banyak yang tujuh bulan yang lalu, sesuai dengan dokumen pengiriman pesan serta panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. “Gila, ini benar-benar gila. Sebenarnya ponselku yang salah dan error atau memang saya yang lupa tidak pernah membuka pesan yang masuk? Tapi tidak mungkin, bukankah kemarin saya berkunjung ke desa wisata Suramadu baru semalaman saja? Dan ponselku kebetulan lowbat, tapi kenapa catatan waktu di ponsel tertulis kalau pesan yang masuk memang itu adanya?” Ciiit…. Dalam bingungnya, Jaka segera melihat waktu serta tanggal dan bulan yang muncul secara otomatis di ponselnya. Seketika mata Jaka membelalak sangat lebar dan tan
Bab 106. KEMBALI KE KAMPUS “Betul, ini adalah ide yang bagus untuk mendapatkan saran dari Intan tentang apa yang terjadi dalam tujuh bulan ini.” Kemudian menekan tombol panggil pada ponselnya, segera saja panggilannya sudah ada yang menerimanya. “Hallo… ini siapa?” terdengar suara lembut dari seorang wanita yang menjawab panggilan telepon Jaka. “Hallo, ini Jaka,” sahut Jaka dengan penuh semangat, dia sangat mengenali suara Intan meskipun dia sudah tidak bertemu selama tujuh bulan, menurut tanggalan di dunia fana. “Jaka?... Apa?... kamu Jaka… Jaka Kelud?” teriak Intan dari seberang ponselnya. Pagi ini Intan sedang mengemudikan mobil kesayangannya menuju kampus Universitas Matrix, ketika tiba-tiba saja ada panggilan masuk kedalam ponselnya. Awalnya Intan merasa terkejut melihat nama orang yang meneleponnya, dengan rasa penasaran dia menerima panggilan telepon Jaka. Begitu dia mendengar suara Jaka yang sudah lama tidak terdengar seketika memb
Bab 120. MELATI SUGIRI Dengan perasaan takjub, Jaka melihat bahwa ruangan di dalam cincin spiritual ini, luasnya seukuran lapangan sepak bola. “Hebat, benar-benar hebat. Apakah ini yang dinamakan cincin spiritual atau cincin penyimpanan seperti yang saya baca pada novel online genre fantasi? Betul, ini adalah cincin penyimpanan yang sangat ajaib itu. Hari ini adalah hari keberuntunganku, baiklah sebaiknya saya segera pergi dari tempat ini sebelum ada orang yang melihatnya,” pikir Jaka yang segera memasukkan pusaka Kujang emas dan peti kayu hitam itu ke dalam cincin spiritual dengan kekuatan energi spiritualnya. Segera, Jaka keluar dari gua penyimpanan dan menutup kembali tempat itu. Setelah itu tubuh Jaka melesat ke langit, terbang dengan cepat meninggalkan situs reruntuhan kuno untuk kembali ke kamar penginapannya. Senyum puas menghiasi wajah Jaka ketika di sudah sampai di kamarnya, kali ini dia ingin memeriksa sekali lagi isi dari cincin spiritual yang ada di
Bab 119. PUSAKA KUJANG EMAS Dung… dung… dung… Suara menggema terdengar dari balik dinding batu yang di ketuk Jaka, hal ini tentu saja membuatnya semakin penasaran. Kemudian sekali lagi Jaka memperhatikan batu aneh yang menyerupai sebuah tonjolan. Kembali Jaka mengutak-atik batu aneh itu, kali ini Jaka menyalurkan energi Prana ke batu itu. Tiba-tiba saja batu aneh yang di pegangnya masuk ke dalam dinding batu, dan tiba-tiba juga terdengar suara berderak seperti benda bergeser. Drrtt… drrtt… drrtt…Sebuah pintu terpampang di depan Jaka, ketika dinding batu di depannya bergeser dengan pelan saking beratnya dinding batu itu. Debu tebal beterbangan ketika pintu batu itu terbuka, Jaka mengebutkan tangannya untuk menepis debu yang beterbangan di depannya. Kemudian setelah pintu berhenti bergeser, di hadapan Jaka terlihat sebuah ruangan yang gelap gulita. Apalagi sekarang tengah malam, tentu saja suasana di dalam gua lebih gelap lagi.
Bab 118. RERUNTUHAN KUNO “Zaman sekarang pikiran para anak muda benar-benar aneh, mereka begitu suka dengan hidup bebas dari pengawasan orang tua. Semoga generasi muda yang akan datang tidak ada lagi yang seperti itu,” gumam Jaka dalam hatinya. Jaka yang terbiasa hidup dalam kemiskinan, tidak pernah sedikitpun mempunyai keinginan untuk hidup menggelandang dengan simbol kebebasan seperti anak-anak punk ini. Meskipun dia tidak melarang anak-anak remaja itu untuk hidup dijalanan dengan bekal uang yang minimal. Bagi Jaka saat remajanya lebih banyak digunakan untuk belajar dan bekerja mencari kayu bakar untuk membantu orang tuanya. Setengah jam kemudian, setelah nongkrong di taman kota, Jaka segera bangkit dari duduknya dan menghentikan taksi untuk pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Jaka yang tak tahu harus melakukan apa? Hanya bisa duduk bersantai sambil membaca buku dan pelajaran yang akan diujikan beberapa hari yang akan datang. Sambil membaca bu
Bab 117. AKSI JAKA KELUD Tangan yang memegang pistol langsung diarahkan ke tubuh Jaka Kelud, meskipun dengan tangan gemetar. Dor! Dor! Dor! Dor! Suara tembakan mengagetkan warga yang sedang menonton keributan ini, wajah semua orang memucat karenanya. Sementara itu empat peluru mengenai tubuh Jaka dengan telak di bagian dadanya, pakaian yang dikenakannya langsung berlubang. Kedua penculik itu tersenyum gembira, ketika melihat tembakan mereka dengan tepat mengenai tubuh bagian depan Jaka yang berdiri di depan pintu belakang. “Ha ha ha ha…. rasain tuh makan pelor panas, makanya jadi orang jangan suka mencampuri urusan orang,” ejek salah satu penculik sambil memandang ke tubuh Jaka yang berdiri di depan pintu. Rasa takut mereka berdua langsung menghilang, setelah tembakan mereka mengenai tubuh Jaka Kelud. Akan tetapi kegembiraan mereka segera menghilang ketika sebuah senyuman muncul dari wajah pemuda yang memasukkan kepalanya kedalam mobil.
Bab 116. MENGHANCURKAN MOBIL PENCULIK “Ada apa ini? Kalian menabrak kakak ini ya?” Tiba-tiba terdengar suara orang menegur pria yang sedang memarahi Jaka, seketika pria yang sedang dirundung emosi segera tersadar dan menoleh ke arah sumber suara. Seketika itu juga ekspresi wajah pria gerombolan penculik langsung berubah, di sekelilingnya ternyata sudah ada puluhan warga yang penasaran dengan apa yang terjadi. “Eh… tidak apa-apa, hanya saja pria ini ingin bunuh diri dengan cara menabrakkan tubuhnya ke mobil kami,” dengan gagap pria kelompok penculik memberi alasan atas apa yang sedang terjadi. Puluhan warga yang sudah mendekat ke keramaian ini, langsung saling pandang. Antara percaya dan tidak percaya, mereka segera mendekat kearah Jaka. “Bang ada apa ini? Apa benar kamu ingin bunuh diri?” “Siapa yang ingin bunuh diri? Mulut pria itu saja yang asal ngomong, bapak-bapak, kebetulan anda ada disini. Saya berusaha menghentikan mobil ini karena mereka ada
Bab 115. MENGHADANG MOBIL PENCULIK “Tolong beri jalan,” ucap Jaka sambil menatap ketiga pemuda kampung di depannya. “Beri jalan? He he he he…. sepertinya kamu tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu yang sudah berani memasuki kamar wanita yang bukan muhrim?” celetuk Anto sambil menatap sinis ke arah Jaka. Ketiga pemuda kampung ini berjejer rapi menghalangi jalan keluar Jaka dari kamar kontrakan Dian Utami. “Bang Anto, apa yang kamu lakukan? Beri jalan kepada temanku!” perintah Dian Utami sambil melotot ke arah Anto dan kedua temannya. Anto dan kedua temannya seakan tidak mendengar perkataan Dian Utami, mereka bertiga tetap menghalangi jalan keluar Jaka dengan senyum penuh ejekan membayang di wajah mereka. Jaka menatap pemuda kampung di depannya dengan perasaan tidak suka, melihat ketiganya bersikeras untuk menghalangi jalannya, Jaka tetap melangkah untuk menabrak mereka bertiga. Telapak tangan Jaka mengibas seperti mengusir lalat yang mengerubuti
Bab 114. DISANGKA KUMPUL KEBO Tiga wanita yang ada di rumah kontrakan Dian Utami memandangi sosok Jaka dan Dian Utami silih berganti, dengan hati penuh dengan seribu pertanyaan. “Teman-teman, kenalkan ini Jaka,” kata Dian Utami begitu memasuki rumah kontrakannya. “Hai,” sapa Jaka kepada ketiga gadis yang ada di rumah kontrakan. “Ehem… ehem… Dian, ngomong-ngomong sejak kapan kamu kenal dengan Om ganteng ini?” tanya salah satu teman Dian sambil melirik ke arah Jaka dengan ekspresi penasaran. Bagaimanapun juga mereka berempat adalah sahabat baik, sehingga apa yang terjadi pada setiap orang, yang lainnya pasti tahu. Tapi sekarang ketika Dian Utami pulang sambil membawa Jaka, tentu saja mereka bertiga sangat terkejut dan penasaran. “Perlu diceritakan apa tidak ya?” canda Dian dengan ekspresi lucu dan memainkan matanya ke arah mereka. Pada saat ini, Dian Utami sangat senang, karena dia bisa bertemu dengan pemuda pujaannya yang semalam dikenali.
Bab 113. PERTEMUAN YANG TIDAK DISANGKA Dian Utami yang melihat Jaka tampak bingung, hanya bisa tersipu malu. Memang pergaulan di kota besar, membuat setiap Individu di dalamnya menjadi seseorang yang pemberani dan menghilangkan rasa malu untuk sebagian individu. Seperti halnya Dian Utami yang mempunyai impian untuk mempunyai kekasih dari golongan kaya. Kini ketika dia bertemu seorang pemuda yang mengemudikan mobil mewah, tentu saja dia berusaha keras untuk mendapatkannya. Meskipun dia berusaha menyembunyikan rasa malunya. “Iya, kalau boleh,” sahut Dian Utami sambil menundukkan wajahnya menahan malu. “Sepertinya tidak perlu, mungkin lain kali kalau kita bertemu lagi akan saya pikirkan,” kata Jaka pada akhirnya. Tentu saja Jaka tidak ingin banyak orang mengetahui nomor ponselnya yang akan membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah itu Jaka masuk kedalam mobilnya dan membuka kaca jendelanya dan berkata, “Terimakasih sudah membantu membawakan baran
Bab 112. DIAN UTAMI Ekspresi Jaka tetap datar, namun dari sinar matanya bang Jago bisa melihat, kalau di tatapan pemuda di depannya ini ada cahaya kematian yang terpancar. Akhirnya sampai juga Jaka di depan bang Jago dan jarak mereka hanya sisa dua meter lagi. “Sepertinya kalian sudah sering membuat masalah dan mengganggu masyarakat kecil. Hmmm… sebaiknya kamu sebagai pemimpin mereka diapakan ya?” gumam Jaka sambil mengusap dagunya yang mulus, sambil tersenyum sinis ke arah bang Jago. “Ampun, tolong ampuni saya. Kami tidak akan berbuat onar lagi,” pinta bang Jago sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Dakh… “Argh….” Tiba-tiba sebuah tendangan kilat mengenai perut bang Jago yang mau berlutut kepadanya sebagai bentuk permintaan maaf. Jaka yang tidak menyukai ada orang yang berlutut kepada sesama manusia. Apalagi kepada dirinya, segera saja dia mengayunkan kakinya yang tepat mengenai perut bang Jago. Tendangan kilat itu