Bab 153. PENGAKUAN YANG MENGEJUTKAN Dipan kayu tempat tidur Jaka kelud berderit begitu tubuh Jaka Kelud berbaring di atasnya. Sebuah senyuman mengembang di sudut bibir Jaka Kelud mendengar deritan tempat tidurnya yang terbuat dari kayu dan beralaskan pelupuh bambu, dilapisi kardus dan selembar kasur kapuk yang sudah sangat tipis saking lamanya dimakan usia. “Betapa nyamannya bisa tidur di kamar kesayanganku ini.” Tak berapa lama setelah tubuhnya di baringkan di atas tempat tidur yang sangat jelek, mata Jaka Kelud langsung terpejam dan dalam sekejap sudah berpindah alam, ke alam mimpi. Saking lelahnya mengemudi selama puluhan jam dari Jakarta hingga ke kota Kediri, dimana kampung halamannya berada, membuat mata Jaka Kelud tidak tahan lagi untuk segera memejamkan mata. “Jaka, kamu kini sudah benar-benar berubah. Kulitmu terlihat lebih bersih dan pakaian yang kamu pakai terlihat begitu bagus. Sepertinya kamu ini sebelumnya berasal dari keluarga kaya, kal
Bab 154. SUARA TANPA RUPA Suminten menatap tajam wajah anak muda ganteng yang telah dirawat nya dengan penuh kasih sayang sejak bayi yang ada di depannya. Sepasang mata tua suminten perlahan mulai digenangi air mata, setelah dia mengatakan kenyataan yang selama ini dirahasiakan. Sebenarnya Suminten ingin menyimpan rahasia ini selamanya hingga ke liang lahat. Akan tetapi ketika sekarang dia melihat penampilan Jaka Kelud yang seperti orang kaya, sebuah kesadaran langsung masuk ke relung hatinya yang paling dalam. “Jaka… sebenarnya emak dan bapak menemukanmu di sungai yang ada di Jakarta. Waktu itu emak dan bapak adalah seorang pemulung, kami sedang mencari botol bekas dan kardus di tepi sungai, ketika tiba-tiba bapak melihat ada sebuah benda hanyut yang di kira adalah sampah yang dibuang ke sungai. Alangkah terkejutnya emak dan bapak setelah mengambil sampah itu ternyata ada bayi kecil di dalamnya.” Sekali lagi Suminten menghentikan ceritanya, airmatan
Bab 155. BERTEMU GURU NAGA MAJAPAHIT Dalam gelapnya malam, tiba-tiba terlihat sepasang mata dari tebalnya kabut putih yang menyelimuti lereng gunung Kelud. Mata itu sangat tajam, seakan pemilik mata itu adalah penguasa gunung Kelud. Memang benar, pemilik mata itu adalah seekor siluman Naga yang bertapa di kedalaman gunung Kelud. “Siapa… siapa yang berbicara…?” Jaka kelud kembali bertanya kepada udara dingin yang menyelimuti sekitar rumahnya. “Jaka cucuku, datanglah ke pertapaanku,” suara itu terdengar lagi meninggalkan gema yang mendayu-dayu seakan pemilik suara sedang berbicara di dalam sebuah gua atau gedung yang besar. Pada saat Jaka Kelud sedang di penuhi rasa bingung, tiba-tiba saja ada seberkas cahaya putih yang menyelimuti tubuhnya. Sebelum Jaka Kelud sadar akan apa yang terjadi, sosoknya sudah menghilang dari tempat dia berdiri sebelumnya. Jaka Kelud merasa kalau dirinya di bawa ke sebuah tempat yang aneh, begitu dia tersadar dari ket
Bab 156. MEDALI DIMENSI Pria tua itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Jaka Kelud. Melihat tanggapan pertapa tua di depannya, segera saja Jaka menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat kepada pertapa tua yang ada di depannya. Meskipun menganggukkan kepalanya sebagai tanda percaya kalau pertapa tua di depannya adalah gurunya, akan tetapi dalam hatinya yang terdalam, Jaka masih tidak percaya kalau pria tua dengan pakaian pertapa ini adalah seekor Naga yang memberikannya kekuatan. Bagaimana mungkin Jaka Kelud bisa percaya, sebagai manusia yang hidup di jaman modern seperti sekarang, mana mungkin ada hewan yang bisa berubah menjadi manusia seperti dirinya. Demi untuk tidak mengecewakan pertapa tua di depannya, Jaka hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai tanda percaya dan tanda hormat kepada dirinya. “Bagus, bagus, kamu memang anak yang mempunyai sopan santun kepada orang yang lebi
Bab 157. LURAH BAMBANG Setelah menentukan pilihan, Jaka segera masuk ke rumahnya. Apalagi udara semakin dingin ketika malam semakin larut, meskipun bagi Jaka yang menguasai ilmu Prana, dinginnya suhu udara gunung Kelud, bukanlah apa-apa. Keesokan paginya, Jaka menikmati suasana pagi hari bersama Suminten dengan duduk di depan perapian. Di dekatnya ada satu gelas kopi hitam yang menebarkan aroma harum dari kopi asli Indonesia yang sangat harum dan nikmat. Saat pagi berganti siang, Jaka berpamitan kepada ibunya untuk jalan-jalan ke kampung yang ada di bawah. Meskipun rumah orang tuanya masih satu kampung dengan pusat perkampungan di bawahnya, akan tetapi jarak terdekat dari tetangganya sekitar seribu meter. Maklumlah, keluarganya Jaka Kelud merupakan keluarga paling miskin di desa lereng gunung Kelud ini. Sehingga almarhum Sarno atau ayahnya hanya bisa membangun rumah di tempat terjauh dari perkampungan. Sesampainya di pusat perka
Bab 158. KETERKEJUTAN SUMINTEN “Tapi kalau kamu memang punya uangnya, maka tidak masalah jika kamu ingin merenovasi rumah orang tuamu,” kata lurah Bambang melanjutkan perkataannya setelah menjeda perkataannya. Kemudian mereka mulai melakukan pembicaraan serius untuk merenovasi rumah orang tua Jaka Kelud. Dan sebagai bukti kalau Jaka Kelud serius dengan rencananya, dia mentransfer uang sebanyak lima ratus juta sebagai modal awal renovasi rumah orang tuanya. “Pak Lurah, uangnya sudah saya transfer. Nanti akan saya kirim lagi jika uang ini sudah habis. Saya mempercayakan pembangunan rumah ini kepada anda,” kata Jaka Kelud dengan nada penuh dengan pengharapan. Maklumlah, Jaka sebagai anak dari keluarga miskin, sama sekali tidak punya orang yang bisa dipercaya selain lurah Bambang yang terkenal bijaksana dan amanah. “Baiklah, saya akan segera mencari pekerja untuk merenovasi rumah orang tuamu dan melakukan pemesanan materialnya ke toko bangunan.”
Bab 159. MENGHIBUR SUMINTEN Melihat ibunya tampak gemetar memegang uang pemberiannya, Jaka Kelud segera berpindah tempat duduknya dan duduk di samping Suminten. “Mak, itu uang hasil kerja Jaka di Jakarta. Mulai sekarang emak tidak perlu bekerja menjual sayur lagi. Emak itu sudah tua, jadi Jaka ingin emak bersantai saja di rumah dan tidak perlu bekerja menjual sayur di pasar. Kalau emak memang ingin tetap jualan sayur, sebaiknya emak memanggil orang untuk menjualnya ke pasar,” kata Jaka Kelud sambil memeluk bahu Suminten dengan penuh kasih sayang. Sepasang mata tua Suminten tiba-tiba berkabut begitu mendengar perkataan Jaka Kelud. Dalam hati, Suminten tidak menyangka kalau anak yang dipungutnya di sungai melakukan dirinya dengan begitu baik setelah dia dewasa. Perasaan haru inilah yang membuat sepasang mata Suminten berkaca-kaca dan dengan sembunyi-sembunyi berusaha mengusap matanya yang akan menjatuhkan bulir air mata. “Mak, nanti mungkin pak Lur
Bab 160. REBUTAN TEMPAT “Eh nak Jaka, kenalkan ini pak Ir Hendra, arsitek yang akan membantu mengawasi pembangunan rumah nak Jaka,” kata lurah Bambang memperkenalkan pria yang terlihat berpendidikan disampingnya. “Saya Jaka, tolong dibantu ya pak,” kata Jaka sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ir Hendra. “Baik mas, anda tenang saja, saya pasti akan memberikan hasil yang memuaskan anda. Saya juga tidak ingin mengecewakan kepercayaan pak Lurah,” kata Ir Hendra sambil menyambut uluran tangan Jaka Kelud. Setelah itu mereka bertiga berbincang cukup serius membahas pembangunan rumah Jaka Kelud. Ternyata Ir Hendra lebih lengkapnya Ir Hendra Putra cukup berpengalaman dalam proyek pembangunan rumah. Bahkan dia memberi ide yang sangat bagus mengenai konstruksi dan dekorasi rumah yang akan dibangun. Sementara itu Suminten yang melihat begitu banyak orang bekerja di rumahnya tampak bersemangat. Bahkan banyak warga kampung y
Bab 162. RAYUAN MAYANG Jaka langsung terdiam mendengar perkataan Mayang, wanita cantik yang datang entah dari mana ke mejanya. Melihat Jaka Kelud terdiam dan tidak jadi pergi, Mayang segera melanjutkan perkataannya, “sebenarnya saya sedang kesusahan untuk membayar sewa kontrakan, karena itulah saya berani mendekati anda.” Jaka tetap diam, tidak ada keinginan untuk bertanya maupun simpati atas perkataan Mayang. Melihat sikap Jaka yang pasif, sekali lagi Mayang mulai berkata, “Sebenarnya saya masih kuliah semester tiga, tapi… karena saya berasal dari keluarga miskin akhirnya saya menjajakan tubuh saya agar bisa membiayai kuliah dan hidup saya di kota Semarang ini.” Jaka masih tetap diam, hanya saja dahinya tampak berkerut begitu mendengar pengakuan Mayang, kalau dia adalah seorang penjaja cinta atau pelacur. Rasa sesak mulai menyesakkan dada Jaka Kelud mendengar pengakuan ini, ternyata bagi wanita yang berasal dari keluarga miskin dan mempunyai iman y
Bab 161. PELACUR KESEPIAN “Sialan aku telah dikadali kedua gadis sialan ini, baiklah mungkin memang tidak seharusnya aku berebut dengan kedua gadis ini,” gumam Jaka Kelud sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kemudian Jaka Kelud meninggalkan kedua gadis belia itu dan menuju ke saung utama yang merupakan bangunan joglo yang cukup besar, yang bisa menampung dua puluh meja. “Sepertinya saya harus duduk beramai-ramai dengan banyak orang di joglo ini,” gumam Jaka Kelud yang segera duduk di salah satu meja yang kosong. Setelah duduk di meja yang kosong, Jaka meletakkan nomor meja yang dibawanya. Memang di Cafe ini nomor meja tidak berurut, karena setiap pelanggan bebas memilih meja dimanapun mereka akan makan dengan meletakkan nomor meja yang dipasang pada sebuah tongkat kecil yang bisa di letakkan di atas meja yang mereka pilih. Tak lama kemudian pesanan Jaka kelud datang diantar pelayan, saat sedang menikmati makan malamnya. Tiba-tiba
Bab 160. REBUTAN TEMPAT “Eh nak Jaka, kenalkan ini pak Ir Hendra, arsitek yang akan membantu mengawasi pembangunan rumah nak Jaka,” kata lurah Bambang memperkenalkan pria yang terlihat berpendidikan disampingnya. “Saya Jaka, tolong dibantu ya pak,” kata Jaka sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Ir Hendra. “Baik mas, anda tenang saja, saya pasti akan memberikan hasil yang memuaskan anda. Saya juga tidak ingin mengecewakan kepercayaan pak Lurah,” kata Ir Hendra sambil menyambut uluran tangan Jaka Kelud. Setelah itu mereka bertiga berbincang cukup serius membahas pembangunan rumah Jaka Kelud. Ternyata Ir Hendra lebih lengkapnya Ir Hendra Putra cukup berpengalaman dalam proyek pembangunan rumah. Bahkan dia memberi ide yang sangat bagus mengenai konstruksi dan dekorasi rumah yang akan dibangun. Sementara itu Suminten yang melihat begitu banyak orang bekerja di rumahnya tampak bersemangat. Bahkan banyak warga kampung y
Bab 159. MENGHIBUR SUMINTEN Melihat ibunya tampak gemetar memegang uang pemberiannya, Jaka Kelud segera berpindah tempat duduknya dan duduk di samping Suminten. “Mak, itu uang hasil kerja Jaka di Jakarta. Mulai sekarang emak tidak perlu bekerja menjual sayur lagi. Emak itu sudah tua, jadi Jaka ingin emak bersantai saja di rumah dan tidak perlu bekerja menjual sayur di pasar. Kalau emak memang ingin tetap jualan sayur, sebaiknya emak memanggil orang untuk menjualnya ke pasar,” kata Jaka Kelud sambil memeluk bahu Suminten dengan penuh kasih sayang. Sepasang mata tua Suminten tiba-tiba berkabut begitu mendengar perkataan Jaka Kelud. Dalam hati, Suminten tidak menyangka kalau anak yang dipungutnya di sungai melakukan dirinya dengan begitu baik setelah dia dewasa. Perasaan haru inilah yang membuat sepasang mata Suminten berkaca-kaca dan dengan sembunyi-sembunyi berusaha mengusap matanya yang akan menjatuhkan bulir air mata. “Mak, nanti mungkin pak Lur
Bab 158. KETERKEJUTAN SUMINTEN “Tapi kalau kamu memang punya uangnya, maka tidak masalah jika kamu ingin merenovasi rumah orang tuamu,” kata lurah Bambang melanjutkan perkataannya setelah menjeda perkataannya. Kemudian mereka mulai melakukan pembicaraan serius untuk merenovasi rumah orang tua Jaka Kelud. Dan sebagai bukti kalau Jaka Kelud serius dengan rencananya, dia mentransfer uang sebanyak lima ratus juta sebagai modal awal renovasi rumah orang tuanya. “Pak Lurah, uangnya sudah saya transfer. Nanti akan saya kirim lagi jika uang ini sudah habis. Saya mempercayakan pembangunan rumah ini kepada anda,” kata Jaka Kelud dengan nada penuh dengan pengharapan. Maklumlah, Jaka sebagai anak dari keluarga miskin, sama sekali tidak punya orang yang bisa dipercaya selain lurah Bambang yang terkenal bijaksana dan amanah. “Baiklah, saya akan segera mencari pekerja untuk merenovasi rumah orang tuamu dan melakukan pemesanan materialnya ke toko bangunan.”
Bab 157. LURAH BAMBANG Setelah menentukan pilihan, Jaka segera masuk ke rumahnya. Apalagi udara semakin dingin ketika malam semakin larut, meskipun bagi Jaka yang menguasai ilmu Prana, dinginnya suhu udara gunung Kelud, bukanlah apa-apa. Keesokan paginya, Jaka menikmati suasana pagi hari bersama Suminten dengan duduk di depan perapian. Di dekatnya ada satu gelas kopi hitam yang menebarkan aroma harum dari kopi asli Indonesia yang sangat harum dan nikmat. Saat pagi berganti siang, Jaka berpamitan kepada ibunya untuk jalan-jalan ke kampung yang ada di bawah. Meskipun rumah orang tuanya masih satu kampung dengan pusat perkampungan di bawahnya, akan tetapi jarak terdekat dari tetangganya sekitar seribu meter. Maklumlah, keluarganya Jaka Kelud merupakan keluarga paling miskin di desa lereng gunung Kelud ini. Sehingga almarhum Sarno atau ayahnya hanya bisa membangun rumah di tempat terjauh dari perkampungan. Sesampainya di pusat perka
Bab 156. MEDALI DIMENSI Pria tua itu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Jaka Kelud. Melihat tanggapan pertapa tua di depannya, segera saja Jaka menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat kepada pertapa tua yang ada di depannya. Meskipun menganggukkan kepalanya sebagai tanda percaya kalau pertapa tua di depannya adalah gurunya, akan tetapi dalam hatinya yang terdalam, Jaka masih tidak percaya kalau pria tua dengan pakaian pertapa ini adalah seekor Naga yang memberikannya kekuatan. Bagaimana mungkin Jaka Kelud bisa percaya, sebagai manusia yang hidup di jaman modern seperti sekarang, mana mungkin ada hewan yang bisa berubah menjadi manusia seperti dirinya. Demi untuk tidak mengecewakan pertapa tua di depannya, Jaka hanya bisa menganggukkan kepalanya sebagai tanda percaya dan tanda hormat kepada dirinya. “Bagus, bagus, kamu memang anak yang mempunyai sopan santun kepada orang yang lebi
Bab 155. BERTEMU GURU NAGA MAJAPAHIT Dalam gelapnya malam, tiba-tiba terlihat sepasang mata dari tebalnya kabut putih yang menyelimuti lereng gunung Kelud. Mata itu sangat tajam, seakan pemilik mata itu adalah penguasa gunung Kelud. Memang benar, pemilik mata itu adalah seekor siluman Naga yang bertapa di kedalaman gunung Kelud. “Siapa… siapa yang berbicara…?” Jaka kelud kembali bertanya kepada udara dingin yang menyelimuti sekitar rumahnya. “Jaka cucuku, datanglah ke pertapaanku,” suara itu terdengar lagi meninggalkan gema yang mendayu-dayu seakan pemilik suara sedang berbicara di dalam sebuah gua atau gedung yang besar. Pada saat Jaka Kelud sedang di penuhi rasa bingung, tiba-tiba saja ada seberkas cahaya putih yang menyelimuti tubuhnya. Sebelum Jaka Kelud sadar akan apa yang terjadi, sosoknya sudah menghilang dari tempat dia berdiri sebelumnya. Jaka Kelud merasa kalau dirinya di bawa ke sebuah tempat yang aneh, begitu dia tersadar dari ket
Bab 154. SUARA TANPA RUPA Suminten menatap tajam wajah anak muda ganteng yang telah dirawat nya dengan penuh kasih sayang sejak bayi yang ada di depannya. Sepasang mata tua suminten perlahan mulai digenangi air mata, setelah dia mengatakan kenyataan yang selama ini dirahasiakan. Sebenarnya Suminten ingin menyimpan rahasia ini selamanya hingga ke liang lahat. Akan tetapi ketika sekarang dia melihat penampilan Jaka Kelud yang seperti orang kaya, sebuah kesadaran langsung masuk ke relung hatinya yang paling dalam. “Jaka… sebenarnya emak dan bapak menemukanmu di sungai yang ada di Jakarta. Waktu itu emak dan bapak adalah seorang pemulung, kami sedang mencari botol bekas dan kardus di tepi sungai, ketika tiba-tiba bapak melihat ada sebuah benda hanyut yang di kira adalah sampah yang dibuang ke sungai. Alangkah terkejutnya emak dan bapak setelah mengambil sampah itu ternyata ada bayi kecil di dalamnya.” Sekali lagi Suminten menghentikan ceritanya, airmatan