Rong Tian berdiri di atas bukit rendah, memandang Kota Bian Cheng yang terbentang di bawahnya. Tembok kota yang tinggi dan kokoh menjulang dengan empat gerbang utama yang dijaga ketat oleh prajurit berseragam hitam-merah.Matahari sore menyinari pagoda-pagoda tinggi dan bangunan-bangunan dengan atap melengkung yang khas, menciptakan siluet keras melawan langit kemerahan.Kota Bian Cheng—Kota Perbatasan—berdiri tegak di persimpangan jalur perdagangan utama antara wilayah Utara dan Barat Benua Longhai. Arsitektur kota ini unik, mencampurkan gaya Utara yang formal dengan sentuhan Barat yang lebih kasar.Pedagang dari berbagai penjuru dunia memenuhi jalanan, membawa barang dagangan eksotis dan kabar dari negeri jauh."Jadi ini Kota Bian Cheng," gumam Rong Tian, mengamati arus manusia yang bergerak melalui Gerbang Timur. "Tempat di mana semua rahasia tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi."Ia merapikan jubah pelajarnya yang sederhana dan menyesuaikan topi khasnya. Penyamaran sebagai pe
"Tuliskan sebuah puisi tentang perjalananmu ke Bian Cheng. Biarkan aku melihat kemampuanmu."Rong Tian mengambil kuas yang disodorkan, mencelupkannya ke dalam tinta, dan mulai menulis dengan gerakan penuh keyakinan. Ia telah mempersiapkan ini, mempelajari gaya sastra klasik untuk menyempurnakan penyamarannya.Setelah selesai, Guru Lu mengambil kertas itu dan membacanya dengan seksama. Alisnya terangkat sedikit, tanda ketertarikan."Menarik," gumamnya. "Gaya tulisanmu kasar namun memiliki kekuatan tersembunyi. Seperti pedang yang dibungkus kain sutra." Ia menatap Rong Tian dengan pandangan menilai."Baiklah, aku akan menerimamu sebagai murid. Tapi ingat, di paviliun ini, aku yang menetapkan aturan.""Terima kasih, Guru. Saya akan mematuhi semua aturan," jawab Rong Tian."Kau bisa tinggal di kamar kosong di lantai atas. Pelajaran dimulai besok pagi saat matahari terbit," ucap Guru Lu. "Oh, dan satu hal lagi—di Bian Cheng, mata dan telinga ada di mana-mana. Berhati-hatilah dengan apa yan
Suasana mendadak hening. Para pelanggan saling pandang dengan waspada."Jangan bicara sembarangan tentang hal itu di sini," bisik seorang pria tua, matanya melirik ke kiri dan kanan. "Banyak telinga yang mendengar di Pasar Seribu Lentera.""Memangnya kenapa?" Rong Tian pura-pura bingung. "Bukankah itu hanya legenda?""Legenda yang telah membuat banyak orang mati," jawab pria itu dengan suara rendah."Terutama belakangan ini. Kau pendatang baru, jadi kau tidak tahu. Tapi ada banyak orang yang menghilang setelah mencari tahu terlalu banyak tentang harta karun itu."Informasi ini membuat Rong Tian semakin yakin bahwa ia berada di tempat yang tepat. Namun, setelah dua minggu mengumpulkan informasi, ia masih belum menemukan petunjuk nyata tentang peta harta karun atau keberadaan Sekte Tengkorak Api.+++"Mungkin aku salah tempat," gumamnya pada diri sendiri malam itu, sambil membereskan kedai mienya."Besok aku akan kembali ke Biramaki."Saat itulah ia mendengar suara samar—suara jubah sut
Sosok bertopeng putih melesat pergi, menghilang di antara pepohonan lebat Hutan Kabut Ungu. Suara desiran jubahnya perlahan lenyap, menyisakan keheningan mencekam yang hanya diisi oleh hembusan angin malam.Guru Lu dan An Ying kini berdiri berhadapan, dipisahkan oleh jarak sepuluh langkah. Bulan purnama menyinari mereka dari celah-celah dedaunan, menciptakan pola bayangan yang menari-nari di tanah hutan."Kau membiarkan dia pergi," ucap An Ying, matanya menyipit berbahaya. Tangannya perlahan bergerak ke gagang pedang hitam yang tersarung di pinggangnya. "Kau tahu apa yang dia bawa, bukan?"Guru Lu menatap An Ying dengan tenang. Tidak ada lagi kesan lemah lembut seorang guru sastra dalam tatapannya. Yang ada hanyalah ketajaman dan kewaspadaan seorang petarung berpengalaman."Itu bukan urusanmu, An Ying," jawab Guru Lu, suaranya dingin dan tegas. "Kembali ke Kekaisaran Bai Feng-mu, dan jangan ikut campur urusan Kota Bian Cheng."An Ying tertawa rendah. "Kau pikir kau bisa memerintahku?
"Teknik Sembilan Racun Langit!" An Ying melancarkan serangan lanjutan. Pedangnya menusuk udara sembilan kali, meninggalkan jejak energi beracun yang mengarah pada Guru Lu.Rong Tian menahan napas menyaksikan pertarungan ini. Kedua kultivator ini bertarung dengan kecepatan dan kekuatan yang mengesankan. Meski berada di bawah tingkatannya, teknik bertarung mereka sangat matang dan efisien, hasil dari puluhan tahun pengalaman."Formasi Bintang Penghalau Racun!" Guru Lu meneriakkan jurusnya. Kipasnya bergerak dalam pola rumit, menciptakan perisai energi yang menetralisir sembilan racun An Ying.Pertarungan berlanjut dengan intensitas mengerikan. Setiap benturan energi qi mereka menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan area hutan di sekitar. Pohon-pohon tumbang, tanah retak, dan udara dipenuhi dengan energi pertempuran yang mencekam.An Ying melancarkan serangan demi serangan. "Jurus Pedang Api Neraka Menghanguskan! Bara Memusnahkan Dunia! Teknik Tapak Bayangan Iblis!"Guru Lu menang
"Guru Lu..." geramnya, meludahkan darah ke lantai kuil. "Kau licik... sangat licik... Berpura-pura menjadi guru sastra lemah, padahal kau memiliki kekuatan sebesar itu..."An Ying mengeluarkan botol kecil dari balik jubahnya, berisi pil obat berwarna merah. Ia menelan pil tersebut, lalu memejamkan mata, berusaha menstabilkan aliran qi dalam tubuhnya yang kacau."Peta itu... harus menjadi milikku..." gumamnya sebelum jatuh dalam meditasi penyembuhan. "Harta karun Dinasti Xi Tian... akan menjadi milikku...">>>> Sinar bulan menembus celah-celah atap kuil yang rusak, menciptakan pola cahaya dan bayangan di lantai berdebu. An Ying duduk bersila di sudut, darah mengalir dari sudut bibirnya. Luka dalam yang dideritanya akibat pertarungan dengan Guru Lu semakin parah. Aliran qi dalam tubuhnya kacau, dan organ dalamnya mengalami kerusakan serius."Sial... sial..." geramnya, berusaha menstabilkan pernapasan. Pil merah yang ia telan hanya memberikan efek sementara, tidak cukup untuk menyembuhk
Raja Kelelawar Hitam menatapnya dengan mata merah yang dingin. "Aku menawarkan perjanjian. Bekerjalah untukku sebagai mata dan telinga. Cari tahu siapa sosok bertopeng itu, dan laporkan padaku segala yang kau temukan.""Dan apa yang hamba dapatkan sebagai balasannya, Tuanku?" tanya An Ying, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.Raja Kelelawar Hitam mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik jubahnya. Ia membukanya, menampakkan sebuah pil hitam yang mengeluarkan aura dingin dan bau busuk yang menyengat."Pil Iblis Pemulih Jiwa," ucap Raja Kelelawar Hitam. "Dapat menyembuhkan luka dalam terparah sekalipun dalam waktu singkat. Bahkan kultivator yang berada di ambang kematian bisa pulih sepenuhnya."An Ying menatap pil itu dengan campuran keraguan dan keinginan. Pil Iblis Pemulih Jiwa adalah artefak legendaris yang hanya pernah ia dengar dalam cerita. Konon, pil ini dibuat dengan jiwa seribu kultivator, diproses dengan teknik terlarang yang hanya dikuasai oleh beberapa iblis terkuat."B
Bulan purnama telah berganti menjadi bulan sabit, lalu menghilang, dan kembali muncul sebagai bulan purnama yang sempurna—bagai mata langit yang mengawasi dunia fana.Tujuh hari telah berlalu sejak An Ying, sang Pimpinan, Kultivator dari Sekte Bayangan Kegelapan, bersumpah setia pada Raja Kelelawar Hitam—penguasa yang namanya hanya dibisikkan di sudut-sudut gelap Kota Bian Cheng.Tujuh hari tanpa mengenal lelah, mengendap bagaikan bayangan di setiap sudut kota yang dikenal sebagai pusat perdagangan dan intrik di Lembah Lima Sungai.An Ying berdiri bagai patung giok di atap Menara Awan Senja, bangunan tertinggi kedua di Kota Bian Cheng. Matanya yang tajam bagai elang gunung mengawasi jalanan berliku-liku di bawah.Jubah hitam bertenunan sutra bayangan—harta rampasan dari pertarungannya melawan Ketua Sekte Awan Berdarah—berkibar lembut tertiup angin malam, menyamarkan sosoknya dengan bayang-bayang hingga hampir tak terlihat oleh mata biasa.Luka-luka di tubuhnya, termasuk sayatan dalam
* Bab Ekstra.Terima kasih gemnya gaesDari balik gundukan es, Rong Tian menyaksikan pemandangan yang mencengangkan. Bukan sekadar pertarungan kecil yang ia kira—melainkan pertempuran skala besar antara dua kelompok kultivator.Kilatan pedang dan ledakan qi menerangi padang es dalam cahaya merah dan biru yang menyilaukan mata, menciptakan aurora mengerikan yang memantul di permukaan salju."Sekte Bulan Darah," gumam Rong Tian, mengenali simbol bulan merah pada jubah salah satu kelompok. "Mengapa mereka berada di sini?"Duan Meng bergerak sedikit di belakangnya, mata kosongnya fokus pada pertarungan. "Tuanku, lawan mereka mengenakan jubah putih dengan simbol pedang es—seperti kultivator yang kita lihat di padang es sebelumnya.""Sekte Pedang Salju," bisik Rong Tian, keningnya berkerut dalam. "Mereka muncul lagi."Pertarungan di bawah semakin sengit. Puluhan kultivator Sekte Bulan Darah mengepung dengan formasi bulan sabit, qi merah darah mereka berputar membentuk kabut beracun yang meng
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika tiga sosok berjubah hitam melangkah keluar dari gerbang utara Kota Benteng Utara.Salju masih turun perlahan, namun tidak cukup lebat untuk menghalangi pandangan. Udara dingin menusuk tulang, membuat para penjaga gerbang menggigil dalam balutan mantel bulu mereka."Kalian gila pergi ke utara di musim seperti ini," komentar penjaga gerbang dengan suara gemetar. "Tak ada yang di sana selain kematian beku."Rong Tian tersenyum tipis di balik kerudungnya. "Terkadang kematian menyimpan harta yang lebih berharga dari kehidupan," jawabnya skeptis, melempar sekantong koin perak kepada penjaga yang kebingungan.Tanpa menunggu balasan, tiga sosok itu melangkah menembus kabut salju tipis, meninggalkan Kota Benteng Utara. Di depan mereka terbentang padang es luas tanpa ujung, dihiasi pohon-pohon pinus tua yang kokoh menjulang seperti penjaga abadi di tanah beku.Rong Tian melangkah di depan, diikuti Duan Meng dan Fan Liu yang bergerak dalam diam.Ketiga s
Salju turun tanpa henti di Kota Benteng Utara, menyelimuti jalanan berbatu dengan lapisan putih tebal yang menghalangi aktivitas penduduk.Tujuh hari telah berlalu sejak pertarungan berdarah di padang es, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat seperti siksaan abadi.Di sebuah penginapan sederhana di sudut kota yang jarang dilalui orang, Rong Tian duduk bersila di lantai kayu, menghadap jendela yang membeku oleh kristal es.Mata tajamnya menerawang jauh, sementara tangannya menggengam erat pecahan peta yang berhasil ia dapatkan dari sisa-sisa pertarungan sebelumnya—satu-satunya yang tersisa setelah Huang Wenling merebut pecahan lainnya.‘Tujuh hari,’ batinnya geram.‘Tujuh hari terbuang sia-sia tanpa petunjuk!’Napasnya membentuk uap putih di udara dingin kamar penginapan. Sejak kembali dari padang es, ia telah menggunakan segala cara untuk mencari informasi tentang Air Terjun Sembilan Naga di Puncak Tiga Bintang Utara—tempat di mana Dataran Jin Cao tersembunyi.Ia m
Mendadak energi Qi yang berbahaya, memiliki aura gelap kematian menghantam Rong Tian."WUUUSSH!"Sebuah kilatan qi hijau keemasan menyambar tempat Rong Tian berdiri sedetik sebelumnya, meninggalkan kawah baru di permukaan es.Serangan yang luar biasa kuat, mengandung qi murni tingkat Eliksir Emas—jauh melampaui tingkat Kuasi Eliksir Emas milik Rong Tian."Refleks yang bagus, anak muda," suara feminin yang jernih namun penuh otoritas memecah keheningan malam.Rong Tian menyipit, menatap ke arah datangnya serangan. Di bawah sinar bulan sabit yang kini terlihat jelas, sosok seorang wanita melayang turun dengan anggun.Tubuhnya dibalut jubah hijau keemasan yang terbuka di bagian pinggang, memperlihatkan kulit mulus yang kontras dengan usianya yang terlihat tidak muda lagi.Rambutnya yang hitam dengan beberapa helai putih tersanggul tinggi dengan hiasan giok, wajahnya cantik dengan mata tajam dan bibir merah yang melengkung dalam senyum mengejek.Rong Tian merasakan tekanan qi luar biasa d
Malam semakin larut di padang es. Salju turun semakin lebat, butiran-butiran putih tebal berjatuhan dari langit kelam bagaikan tirai sutra yang tak berujung.Angin utara bertiup kencang, membawa udara dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang, membuat dahan-dahan pinus tua bergesekan, menghasilkan suara gemersik menyeramkan seperti bisikan arwah penasaran.Temperatur terus menurun, mengubah permukaan padang es menjadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya bulan sabit yang sesekali mengintip dari balik awan hitam.Di tengah padang es yang luas, dua sosok masih berdiri tegak meski tubuh mereka dipenuhi luka. Darah mereka mengucur, membeku seketika begitu menyentuh permukaan es, menciptakan bunga-bunga merah gelap yang kontras dengan putihnya salju.Pemimpin Sekte Tengkorak Api, dengan jubah hitam berlumuran darah, menggenggam erat pecahan peta di tangan kirinya sementara tangan kanannya membentuk segel rumit. Topeng tengkoraknya telah retak, mengungkapkan separuh wajah keriput dengan
"Cukup!" pemimpin jubah hitam mengangkat tangannya."Inilah perjanjian kita: kami menyerahkan pecahan peta Dinasti Xi Tian, kalian memberikan lokasi persis Dataran Jin Cao."Udara di padang es semakin berat dengan tekanan qi yang saling beradu. Rong Tian menahan napas, akhirnya ada petunjuk tentang Dataran Jin Cao yang ia cari."Serahkan pecahan peta terlebih dahulu," tuntut pemimpin jubah putih, tangannya bergerak ke arah gagang pedang di punggungnya."Ah, tidak secepat itu," balas pemimpin jubah hitam."Beritahu kami lokasi Dataran Jin Cao, lalu kita lakukan pertukaran secara bersamaan."Hening sesaat. Ketegangan meningkat hingga butiran salju di sekitar mereka berubah menjadi kristal es karena tekanan qi yang meletup-letup."Baiklah," akhirnya sosok jubah putih menyetujui."Dataran Jin Cao terletak di lembah tersembunyi antara Tiga Puncak Bintang Utara, tepat di bawah Air Terjun Sembilan Naga."Rong Tian mengerutkan kening. ‘Tiga Puncak Bintang Utara?’‘Itu hanya legenda... omong
Langit Kota Benteng Utara berwarna kelabu, matahari tersembunyi di balik awan tebal yang mengancam menurunkan salju.Tiga hari telah berlalu sejak pembantaian di Hutan Xian Yun, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ia duduk di atap sebuah penginapan kecil, jubah hitamnya berkibar pelan ditiup angin dingin dari utara.Dataran Jin Cao, Rong Tian menggumam dalam hati, matanya menyipit menatap cakrawala yang semakin gelap. Di mana tempat terkutuk itu berada?Tiga hari penuh ia menyusuri setiap sudut Kota Benteng Utara, menyamar sebagai pedagang biasa, mendengarkan percakapan di kedai arak, menyuap penjaga untuk informasi tentang pergerakan tidak biasa, bahkan memeriksa arsip-arsip tua di perpustakaan kota. Hasilnya? Nihil."Sial," gerutunya, kepalan tangannya menghantam genteng hingga retak.Keputusasaan mulai menggerogoti kesabarannya.Kota Benteng Utara terlihat begitu normal—para pedagang berdagang, penjaga kota berpatroli dengan malas, anak-anak bermain di jalan-
"Bicara," perintah Raja Kelelawar Hitam tanpa emosi, satu jarinya terangkat sedikit, membuat salah satu belati bayangan menggores pipi Alp Tegin, meninggalkan luka yang mengeluarkan darah hitam."Atau kematianmu akan berlangsung lama dan menyakitkan."Alp Tegin tertawa keras meski darah menetes dari mulutnya, sikap seorang prajurit sejati yang menolak menyerah."Kau terlambat, Raja Kelelawar Hitam. Pasukan utama sudah tiba tiga hari lalu. Putri Ayrin sendiri yang memimpin mereka dengan tiga ribu pasukan elite. Mereka mungkin sudah mencapai reruntuhan Dataran Jian Chao saat ini. Kami hanyalah pengalih perhatian jika terjadi masalah seperti ini."BOOM!Mata Raja Kelelawar Hitam melebar sedikit di balik topengnya, satu-satunya tanda keterkejutan yang ia tunjukkan. ‘Tiga hari lalu? Itu berarti ia telah salah perhitungan dan tertinggal jauh dari rencana.’"Dan kau ingin tahu yang paling lucu?" lanjut Alp Tegin dengan tawa lemah yang berubah menjadi batuk berdarah."Putri Ayrin mengatakan p
"Bertahan! Alirkan qi ke telinga kalian!" teriak Alp Tegin, sendiri berlutut menahan sakit luar biasa di kepalanya seperti ribuan jarum menusuk otaknya."Jangan biarkan qi jahat memasuki meridian kalian!"Namun perlawanan mereka semakin melemah, seperti lilin yang meleleh di bawah terik matahari. Di tengah kabut hitam, zombie Fan Liu mengalirkan qi jahat ke tangannya, membentuk cakar dari energi hitam yang berkilauan dengan simbol-simbol kuno."Jurus Cakar Setan!" sorak Raja Kelelawar Hitam, nada serulingnya mencapai puncak intensitas, mengirimkan perintah dengan energi spiritual ke setiap zombie di medan pertempuran.Fan Liu melesat maju dengan kecepatan mengerikan yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang kaku, meninggalkan jejak bayangan hitam di belakangnya.Tangannya yang diperkuat qi iblis menebas barisan prajurit tanpa ampun. Lima prajurit terpotong sekaligus, tubuh mereka terbelah seperti terkena pedang pusaka tertajam, qi kehidupan mereka tersedot ke dalam cakar hitam Fan Liu."