Akhirnya, sosok itu mengangkat tangannya yang pucat, jari-jarinya yang panjang dan kurus bergerak dengan gerakan anggun namun mematikan."Kegagalan," ucapnya dengan suara yang anehnya terdengar seperti bisikan namun bergema di seluruh ruangan. "Tidak dapat diterima."Belum sempat para anggota Sekte Tengkorak Api bereaksi, sosok bertopeng putih itu melambaikan tangannya dengan gerakan ringan. Seketika, kesepuluh pria bertopeng tengkorak itu terhuyung, tangan mereka mencengkeram leher masing-masing seolah tercekik oleh tangan tak terlihat.Tidak ada teriakan, tidak ada jeritan. Hanya suara napas terakhir yang terengah-engah, kemudian satu per satu mereka ambruk ke lantai batu, tak bernyawa. Mata mereka terbelalak dalam ketakutan abadi, tubuh mereka kaku seperti patung.Sosok bertopeng putih itu bertepuk tangan sekali, suaranya bergema di ruangan seperti lonceng kematian. Dari balik lima pintu di sekeliling ruangan, muncul lima sosok bertopeng lain.Berbeda dengan anggota Sekte Tengkorak
Kota Angin Senja tidak lagi seperti dulu. Tembok batu kelabu yang mengelilingi kota kini tampak lebih suram, seperti dinding penjara alih-alih pelindung.Bendera-bendera Kekaisaran Bai Feng berkibar kaku di setiap menara pengawas, lambang phoenix putih yang tercetak di kain merah tampak mengawasi setiap sudut kota dengan tatapan tajam.Di kedua gerbang utama kota—Gerbang Selatan dan Gerbang Utara—barisan prajurit kekaisaran berdiri tegak dengan tombak di tangan.Armor mereka yang berwarna merah dengan aksen emas berkilau tertimpa cahaya matahari, menunjukkan kekuatan dan otoritas Kekaisaran Bai Feng. Pos-pos pemeriksaan didirikan di depan setiap gerbang, lengkap dengan meja kayu besar tempat para pejabat mencatat setiap orang yang keluar masuk kota."Pemeriksaan ketat! Semua orang harus diperiksa!" teriak seorang komandan bertubuh kekar dengan bekas luka melintang di pipinya. "Tidak ada pengecualian!"Para pedagang dan pengembara berbaris dengan wajah lelah, menunggu giliran untuk dip
Papan nama kayu berukir di depannya bertuliskan "Penginapan Bulan Perak", dengan lambang bulan sabit yang diukir dengan indah.Penginapan itu tampak lebih ramai dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Lantai pertamanya adalah restoran besar dengan meja-meja kayu berkualitas tinggi. Lampion-lampion merah tergantung di langit-langit, memberikan cahaya hangat ke seluruh ruangan.Aroma masakan lezat menguar dari dapur, membuat perut Rong Tian bergemuruh mengingatkan bahwa ia belum makan sejak pagi."Selamat datang di Penginapan Bulan Perak!" sambut seorang pelayan wanita setengah baya dengan senyum ramah. "Apakah Tuan ingin makan atau mencari kamar?""Keduanya," jawab Rong Tian. "Sastrawan ini menginginkan kamar terbaik yang kalian miliki, dan makan malam yang layak."Pelayan itu membungkuk hormat. "Tentu saja, Tuan. Kami memiliki kamar di lantai tiga dengan pemandangan kota. Untuk makan malam, chef kami baru saja menyiapkan bebek panggang saus plum, sup tulang sapi dengan jamur gunung,
Rong Tian meletakkan sumpit dengan tenang, menyeka bibirnya dengan kain bersih, dan menyesap tetes terakhir arak plum dari cawannya. Matanya yang tajam tak pernah meninggalkan pintu keluar, tempat sosok kecil Xiao Hu menghilang beberapa saat lalu."Berapa total tagihannya?" tanyanya pada pelayan yang mendekat."Lima puluh tael perak, Tuan Sastrawan," jawab pelayan dengan hormat.Rong Tian mengeluarkan sekantong koin dari lengan jubahnya, menghitung dengan cepat dan menambahkan beberapa keping ekstra. "Ini untuk pelayananmu yang cekatan."Pelayan itu membungkuk dalam, matanya berbinar melihat jumlah tip yang diberikan. "Terima kasih, Tuan. Kamar Anda telah disiapkan di lantai tiga, pemandangan terbaik menghadap kota.""Sastrawan ini akan kembali nanti malam," ucap Rong Tian sambil bangkit. "Pastikan kamarnya tetap siap."Dengan langkah mantap, ia keluar dari penginapan, mata tajamnya segera menyapu jalanan mencari sosok kecil Xiao Hu. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan bayang
"Kau gila?" bentak Xiao Lei. "Kita tidak bisa mempercayai siapa pun! Kau lupa apa yang terjadi dengan Bibi Liu dan Paman Chen? Mereka mati karena mencoba membantu kita!""Tapi kita tidak bisa terus hidup seperti ini," bantah Xiao Hu. "Makanan kita hampir habis, dan musim dingin akan segera tiba. Kita butuh bantuan.""Lebih baik kelaparan daripada dibunuh oleh orang-orang bertopeng itu," gumam gadis kecil berkepang, tubuhnya gemetar mengingat sesuatu yang mengerikan.Rong Tian mengerutkan kening. Orang-orang bertopeng? Mungkinkah mereka berbicara tentang anggota Sekte Tengkorak Api yang membunuh Zhao Wei?Percakapan anak-anak itu terhenti tiba-tiba saat suara langkah kaki terdengar dari luar kuil. Wajah mereka seketika pucat pasi, makanan di tangan terlupakan saat mereka bergegas bersembunyi di balik altar yang runtuh.Pintu kuil yang setengah rusak terbuka dengan suara berderit mengerikan. Lima sosok melangkah masuk dengan langkah berat, masing-masing mengenakan jubah berwarna berbeda
Angin malam berhembus dingin melalui celah-celah dinding Kuil Malaikat Keadilan yang rusak. Di bawah cahaya bulan yang temaram, sosok zombie Duan Meng berdiri dengan tegak, matanya memancarkan cahaya merah menyala.Tubuhnya yang kaku bergerak dengan kecepatan menakjubkan, dipandu oleh melodi seruling hitam yang dimainkan Rong Tian dari kegelapan.Lima sosok bertopeng dari Sekte Tengkorak Api—masing-masing dengan topeng merah, biru, hijau, kuning, dan hitam—mengepung zombie tersebut. Mereka adalah utusan terbaik dari Aliansi Lima Misteri, organisasi rahasia yang ditakuti di seluruh Kekaisaran Bai Feng."Apa-apaan ini?" teriak si topeng merah, Fang Xue. "Siapa yang berani menghalangi misi Aliansi Lima Misteri?"Zombie Duan Meng hanya mengeluarkan geraman rendah, matanya yang kosong namun tajam mengawasi setiap gerakan lawannya."Ini pasti ulah kultivator iblis!" seru si topeng biru. "Hanya penganut aliran sesat yang bisa mengendalikan mayat hidup!"Dari balik pilar kuil yang rusak, lima
Rembulan tenggelam di ufuk barat, menyisakan kegelapan pekat sebelum fajar.Kuil Malaikat Keadilan yang rusak berdiri sunyi, menyimpan rahasia pertarungan yang baru saja terjadi. Aura kematian masih mengambang di udara seperti kabut tipis, menyelimuti reruntuhan dan altar yang rusak.Angin malam berhembus, membawa aroma darah samar yang telah mengering. Kemudian, keheningan itu terusik oleh suara tajam—seperti angin yang terbelah oleh benda-benda yang bergerak cepat.Lima sosok mendarat dengan keras di halaman kuil bagian timur, mengenakan jubah putih bersih dengan sulaman emas."Berhati-hatilah," bisik Tian Zhang dari Sekte Langit Murni. "Ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini."Mereka adalah pemimpin lima sekte aliran putih terbesar di Kekaisaran Bai Feng—Tian Zhang, Guang Jian dari Sekte Pedang Cahaya, Xue Mei dari Sekte Bunga Salju, Feng Zhen dari Sekte Angin Sejati, dan Yue Sheng dari Sekte Bulan Suci.Hampir bersamaan, lima sosok berjubah hitam dengan aksen merah darah menda
Rong Tian berdiri di atas bukit rendah, memandang Kota Bian Cheng yang terbentang di bawahnya. Tembok kota yang tinggi dan kokoh menjulang dengan empat gerbang utama yang dijaga ketat oleh prajurit berseragam hitam-merah.Matahari sore menyinari pagoda-pagoda tinggi dan bangunan-bangunan dengan atap melengkung yang khas, menciptakan siluet keras melawan langit kemerahan.Kota Bian Cheng—Kota Perbatasan—berdiri tegak di persimpangan jalur perdagangan utama antara wilayah Utara dan Barat Benua Longhai. Arsitektur kota ini unik, mencampurkan gaya Utara yang formal dengan sentuhan Barat yang lebih kasar.Pedagang dari berbagai penjuru dunia memenuhi jalanan, membawa barang dagangan eksotis dan kabar dari negeri jauh."Jadi ini Kota Bian Cheng," gumam Rong Tian, mengamati arus manusia yang bergerak melalui Gerbang Timur. "Tempat di mana semua rahasia tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi."Ia merapikan jubah pelajarnya yang sederhana dan menyesuaikan topi khasnya. Penyamaran sebagai pe
* Bab Ekstra.Terima kasih gemnya gaesDari balik gundukan es, Rong Tian menyaksikan pemandangan yang mencengangkan. Bukan sekadar pertarungan kecil yang ia kira—melainkan pertempuran skala besar antara dua kelompok kultivator.Kilatan pedang dan ledakan qi menerangi padang es dalam cahaya merah dan biru yang menyilaukan mata, menciptakan aurora mengerikan yang memantul di permukaan salju."Sekte Bulan Darah," gumam Rong Tian, mengenali simbol bulan merah pada jubah salah satu kelompok. "Mengapa mereka berada di sini?"Duan Meng bergerak sedikit di belakangnya, mata kosongnya fokus pada pertarungan. "Tuanku, lawan mereka mengenakan jubah putih dengan simbol pedang es—seperti kultivator yang kita lihat di padang es sebelumnya.""Sekte Pedang Salju," bisik Rong Tian, keningnya berkerut dalam. "Mereka muncul lagi."Pertarungan di bawah semakin sengit. Puluhan kultivator Sekte Bulan Darah mengepung dengan formasi bulan sabit, qi merah darah mereka berputar membentuk kabut beracun yang meng
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika tiga sosok berjubah hitam melangkah keluar dari gerbang utara Kota Benteng Utara.Salju masih turun perlahan, namun tidak cukup lebat untuk menghalangi pandangan. Udara dingin menusuk tulang, membuat para penjaga gerbang menggigil dalam balutan mantel bulu mereka."Kalian gila pergi ke utara di musim seperti ini," komentar penjaga gerbang dengan suara gemetar. "Tak ada yang di sana selain kematian beku."Rong Tian tersenyum tipis di balik kerudungnya. "Terkadang kematian menyimpan harta yang lebih berharga dari kehidupan," jawabnya skeptis, melempar sekantong koin perak kepada penjaga yang kebingungan.Tanpa menunggu balasan, tiga sosok itu melangkah menembus kabut salju tipis, meninggalkan Kota Benteng Utara. Di depan mereka terbentang padang es luas tanpa ujung, dihiasi pohon-pohon pinus tua yang kokoh menjulang seperti penjaga abadi di tanah beku.Rong Tian melangkah di depan, diikuti Duan Meng dan Fan Liu yang bergerak dalam diam.Ketiga s
Salju turun tanpa henti di Kota Benteng Utara, menyelimuti jalanan berbatu dengan lapisan putih tebal yang menghalangi aktivitas penduduk.Tujuh hari telah berlalu sejak pertarungan berdarah di padang es, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat seperti siksaan abadi.Di sebuah penginapan sederhana di sudut kota yang jarang dilalui orang, Rong Tian duduk bersila di lantai kayu, menghadap jendela yang membeku oleh kristal es.Mata tajamnya menerawang jauh, sementara tangannya menggengam erat pecahan peta yang berhasil ia dapatkan dari sisa-sisa pertarungan sebelumnya—satu-satunya yang tersisa setelah Huang Wenling merebut pecahan lainnya.‘Tujuh hari,’ batinnya geram.‘Tujuh hari terbuang sia-sia tanpa petunjuk!’Napasnya membentuk uap putih di udara dingin kamar penginapan. Sejak kembali dari padang es, ia telah menggunakan segala cara untuk mencari informasi tentang Air Terjun Sembilan Naga di Puncak Tiga Bintang Utara—tempat di mana Dataran Jin Cao tersembunyi.Ia m
Mendadak energi Qi yang berbahaya, memiliki aura gelap kematian menghantam Rong Tian."WUUUSSH!"Sebuah kilatan qi hijau keemasan menyambar tempat Rong Tian berdiri sedetik sebelumnya, meninggalkan kawah baru di permukaan es.Serangan yang luar biasa kuat, mengandung qi murni tingkat Eliksir Emas—jauh melampaui tingkat Kuasi Eliksir Emas milik Rong Tian."Refleks yang bagus, anak muda," suara feminin yang jernih namun penuh otoritas memecah keheningan malam.Rong Tian menyipit, menatap ke arah datangnya serangan. Di bawah sinar bulan sabit yang kini terlihat jelas, sosok seorang wanita melayang turun dengan anggun.Tubuhnya dibalut jubah hijau keemasan yang terbuka di bagian pinggang, memperlihatkan kulit mulus yang kontras dengan usianya yang terlihat tidak muda lagi.Rambutnya yang hitam dengan beberapa helai putih tersanggul tinggi dengan hiasan giok, wajahnya cantik dengan mata tajam dan bibir merah yang melengkung dalam senyum mengejek.Rong Tian merasakan tekanan qi luar biasa d
Malam semakin larut di padang es. Salju turun semakin lebat, butiran-butiran putih tebal berjatuhan dari langit kelam bagaikan tirai sutra yang tak berujung.Angin utara bertiup kencang, membawa udara dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang, membuat dahan-dahan pinus tua bergesekan, menghasilkan suara gemersik menyeramkan seperti bisikan arwah penasaran.Temperatur terus menurun, mengubah permukaan padang es menjadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya bulan sabit yang sesekali mengintip dari balik awan hitam.Di tengah padang es yang luas, dua sosok masih berdiri tegak meski tubuh mereka dipenuhi luka. Darah mereka mengucur, membeku seketika begitu menyentuh permukaan es, menciptakan bunga-bunga merah gelap yang kontras dengan putihnya salju.Pemimpin Sekte Tengkorak Api, dengan jubah hitam berlumuran darah, menggenggam erat pecahan peta di tangan kirinya sementara tangan kanannya membentuk segel rumit. Topeng tengkoraknya telah retak, mengungkapkan separuh wajah keriput dengan
"Cukup!" pemimpin jubah hitam mengangkat tangannya."Inilah perjanjian kita: kami menyerahkan pecahan peta Dinasti Xi Tian, kalian memberikan lokasi persis Dataran Jin Cao."Udara di padang es semakin berat dengan tekanan qi yang saling beradu. Rong Tian menahan napas, akhirnya ada petunjuk tentang Dataran Jin Cao yang ia cari."Serahkan pecahan peta terlebih dahulu," tuntut pemimpin jubah putih, tangannya bergerak ke arah gagang pedang di punggungnya."Ah, tidak secepat itu," balas pemimpin jubah hitam."Beritahu kami lokasi Dataran Jin Cao, lalu kita lakukan pertukaran secara bersamaan."Hening sesaat. Ketegangan meningkat hingga butiran salju di sekitar mereka berubah menjadi kristal es karena tekanan qi yang meletup-letup."Baiklah," akhirnya sosok jubah putih menyetujui."Dataran Jin Cao terletak di lembah tersembunyi antara Tiga Puncak Bintang Utara, tepat di bawah Air Terjun Sembilan Naga."Rong Tian mengerutkan kening. ‘Tiga Puncak Bintang Utara?’‘Itu hanya legenda... omong
Langit Kota Benteng Utara berwarna kelabu, matahari tersembunyi di balik awan tebal yang mengancam menurunkan salju.Tiga hari telah berlalu sejak pembantaian di Hutan Xian Yun, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ia duduk di atap sebuah penginapan kecil, jubah hitamnya berkibar pelan ditiup angin dingin dari utara.Dataran Jin Cao, Rong Tian menggumam dalam hati, matanya menyipit menatap cakrawala yang semakin gelap. Di mana tempat terkutuk itu berada?Tiga hari penuh ia menyusuri setiap sudut Kota Benteng Utara, menyamar sebagai pedagang biasa, mendengarkan percakapan di kedai arak, menyuap penjaga untuk informasi tentang pergerakan tidak biasa, bahkan memeriksa arsip-arsip tua di perpustakaan kota. Hasilnya? Nihil."Sial," gerutunya, kepalan tangannya menghantam genteng hingga retak.Keputusasaan mulai menggerogoti kesabarannya.Kota Benteng Utara terlihat begitu normal—para pedagang berdagang, penjaga kota berpatroli dengan malas, anak-anak bermain di jalan-
"Bicara," perintah Raja Kelelawar Hitam tanpa emosi, satu jarinya terangkat sedikit, membuat salah satu belati bayangan menggores pipi Alp Tegin, meninggalkan luka yang mengeluarkan darah hitam."Atau kematianmu akan berlangsung lama dan menyakitkan."Alp Tegin tertawa keras meski darah menetes dari mulutnya, sikap seorang prajurit sejati yang menolak menyerah."Kau terlambat, Raja Kelelawar Hitam. Pasukan utama sudah tiba tiga hari lalu. Putri Ayrin sendiri yang memimpin mereka dengan tiga ribu pasukan elite. Mereka mungkin sudah mencapai reruntuhan Dataran Jian Chao saat ini. Kami hanyalah pengalih perhatian jika terjadi masalah seperti ini."BOOM!Mata Raja Kelelawar Hitam melebar sedikit di balik topengnya, satu-satunya tanda keterkejutan yang ia tunjukkan. ‘Tiga hari lalu? Itu berarti ia telah salah perhitungan dan tertinggal jauh dari rencana.’"Dan kau ingin tahu yang paling lucu?" lanjut Alp Tegin dengan tawa lemah yang berubah menjadi batuk berdarah."Putri Ayrin mengatakan p
"Bertahan! Alirkan qi ke telinga kalian!" teriak Alp Tegin, sendiri berlutut menahan sakit luar biasa di kepalanya seperti ribuan jarum menusuk otaknya."Jangan biarkan qi jahat memasuki meridian kalian!"Namun perlawanan mereka semakin melemah, seperti lilin yang meleleh di bawah terik matahari. Di tengah kabut hitam, zombie Fan Liu mengalirkan qi jahat ke tangannya, membentuk cakar dari energi hitam yang berkilauan dengan simbol-simbol kuno."Jurus Cakar Setan!" sorak Raja Kelelawar Hitam, nada serulingnya mencapai puncak intensitas, mengirimkan perintah dengan energi spiritual ke setiap zombie di medan pertempuran.Fan Liu melesat maju dengan kecepatan mengerikan yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang kaku, meninggalkan jejak bayangan hitam di belakangnya.Tangannya yang diperkuat qi iblis menebas barisan prajurit tanpa ampun. Lima prajurit terpotong sekaligus, tubuh mereka terbelah seperti terkena pedang pusaka tertajam, qi kehidupan mereka tersedot ke dalam cakar hitam Fan Liu."