Malam di Kota Biramaki berubah menjadi lautan cahaya. Lentera-lentera merah berjajar di sepanjang jalan, memantulkan cahayanya pada genangan air sisa hujan sore.Distrik Kesenangan, bagian kota yang tak pernah tidur, semakin ramai saat malam semakin larut. Bangunan-bangunan mewah dengan ukiran naga dan phoenix berdiri megah, menantang langit malam dengan kemegahannya.Di antara semua bangunan itu, Paviliun Anggrek berdiri paling mencolok. Bangunan tiga lantai dengan pilar-pilar merah dan atap melengkung berwarna emas ini merupakan rumah bordil paling eksklusif di seluruh Kekaisaran Bai Feng.Halamannya yang luas dipenuhi taman bunga anggrek langka dari berbagai penjuru negeri. Air mancur berbentuk dewi bulan mengalirkan air jernih yang berkilau tertimpa cahaya puluhan lentera kristal.Malam ini, Paviliun Anggrek lebih ramai dari biasanya. Puluhan kereta mewah berjajar di halaman depan, masing-masing dengan lambang keluarga bangsawan atau pejabat tinggi. Para pengawal berdiri tegak di
Sementara itu, di jantung Kota Biramaki, Istana Kekaisaran Bai Feng berdiri megah dengan dinding merah dan atap emas yang berkilau di bawah cahaya bulan. Ribuan lentera menerangi kompleks istana yang luas, menciptakan pemandangan seperti lautan cahaya jika dilihat dari kejauhan.Di bagian timur istana, Paviliun Bunga Peony—kediaman Selir Hanim—berdiri dengan kemegahan yang melebihi paviliun selir lainnya. Taman di sekelilingnya dipenuhi bunga peony langka dari berbagai warna, kolam ikan koi dengan air jernih, dan patung-patung dari batu giok terbaik.Kaisar Liu Yan berjalan tergesa-gesa melewati lorong-lorong paviliun. Jubah kekaisarannya yang berwarna kuning dengan sulaman naga emas berkibar di belakangnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan kekhawatiran mendalam."Hanim!" panggilnya, suaranya menggema di lorong kosong. "Hanim, di mana kau?"Belasan dayang dan kasim mengikuti di belakangnya dengan kepala tertunduk, tak berani menatap langsung kemarahan Kaisar. Kepala Kasi
Kegelapan menyelimuti Gurun Hadarac bagai selimut hitam tak berujung. Malam tanpa bulan menciptakan kekosongan yang mencekam, hanya bintang-bintang jauh yang berkedip lemah, seperti mata-mata pengintai dari dunia lain.Angin gurun bertiup kencang, membawa pasir yang menggigit kulit dan suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan roh-roh kelaparan.Di tengah kegelapan pekat ini, suara derap kaki kuda dan roda kayu yang berderit memecah kesunyian. Sebuah kereta mewah yang ditarik empat kuda hitam besar melaju di atas pasir, meninggalkan jejak yang segera dihapus angin.Kuda-kuda itu mendengus keras, uap putih keluar dari hidung mereka meski udara gurun terasa panas. Mata mereka berkilat merah tidak wajar, menandakan bahwa ini bukan kuda biasa.Kusir bertudung hitam memegang kendali dengan tangan keriput, matanya tajam menatap ke depan, ke arah jurang besar yang menanti di kejauhan—The Abyss of Suffering, jurang kematian yang ditakuti bahkan oleh binatang buas gurun.Di dalam kereta,
Pangeran Jinhai mengangguk bersemangat. "Benar, Yang Mulia. Menurut catatan kuno, Kaisar Jin Xuan menyembunyikan seluruh harta kerajaan sebelum invassi dari timur. Tablet emas, jade hijau langka, benih rumput ajaib, perpustakaan penuh gulungan teknik kultivasi, dan artefak suci termasuk Pedang Emas Langit Barat."Raja Kelelawar Hitam mengangkat kepalanya, menatap Pangeran Jinhai dengan tatapan tajam. "Apa yang kau inginkan dariku, Pangeran? Kau tidak mungkin memberikan informasi ini tanpa pamrih."Pangeran Jinhai membungkuk lagi. "Hamba mengusulkan kerja sama, Yang Mulia. Dengan kemampuan luar biasa Yang Mulia dan sumber daya istana yang hamba miliki, kita bisa menemukan harta karun legendaris ini.”“Hamba hanya meminta setengah dari kekayaan materialnya. Semua gulungan teknik kultivasi dan senjata pusaka bisa menjadi milik Yang Mulia sepenuhnya."Raja Kelelawar Hitam terdiam, menatap peta di tangannya. Meski wajahnya tersembunyi di balik topeng, Pangeran Jinhai bisa merasakan bahwa i
Angin kencang menyapu padang rumput luas Dataran Awan Perak, menggerakkan lautan rumput keperakan yang bergelombang seperti air.Matahari senja memantulkan cahaya keemasan pada setiap helai rumput, menciptakan pemandangan menakjubkan yang biasanya akan membuat para pengembara berhenti untuk mengagumi keindahannya.Namun sore itu, ketenangan padang rumput terganggu oleh derap langkah kaki yang menggema. Seorang pria berlari tertatih-tatih, napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi.Darah mengalir dari luka di bahunya, meninggalkan jejak merah di atas rumput perak. Pakaiannya yang dulunya mungkin terlihat mewah kini compang-camping dan kotor, menunjukkan bahwa ia telah melewati perjalanan panjang yang melelahkan."Berhenti kau, pencuri!" teriak suara kasar dari kejauhan.Pria itu menoleh ke belakang dengan mata liar ketakutan. Enam sosok berpakaian hitam dengan topeng tengkorak mengejarnya, bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, melompati rumput tinggi dengan langkah-langkah rin
"Lebih baik... mati... daripada membiarkan kalian..." Zhao Wei terbatuk, darah segar mengalir dari mulutnya. "Harta itu... hanya untuk... yang berhak..."Dengan kata-kata terakhirnya, Zhao Wei ambruk ke tanah. Matanya yang kosong menatap langit senja, napasnya telah berhenti selamanya."Bodoh!" raung pemimpin kelompok bertopeng, menendang tubuh tak bernyawa Zhao Wei dengan murka. Ia membuka kantong dengan kasar, menumpahkan isinya ke tanah.Tidak ada apa-apa kecuali beberapa keping koin tembaga dan secarik kertas usang yang tampak seperti potongan dari dokumen yang lebih besar. Pemimpin kelompok itu memungut kertas tersebut, membacanya dengan cepat, kemudian meremas dan melemparkannya dengan marah."Sialan!" teriaknya. "Ini hanya potongan! Di mana bagian lainnya?!"Ia berbalik ke arah mayat Zhao Wei, mencengkeram kerah bajunya. "Di mana kau menyembunyikannya?! Di mana peta lengkapnya?!"Tentu saja, tidak ada jawaban dari mayat yang kini terbaring kaku. Dengan murka, pemimpin kelompok
Derap kaki kuda memecah keheningan malam di jalur berbatu menuju perbatasan. Sepuluh sosok bertopeng tengkorak memacu kuda mereka tanpa henti, menembus kabut tebal yang menyelimuti pegunungan. Jubah hitam mereka berkibar seperti sayap kelelawar, menyatu dengan kegelapan malam yang pekat.Tiga hari tiga malam mereka berkuda tanpa istirahat, hanya berhenti sejenak untuk memberi minum kuda-kuda mereka yang mulai kelelahan. Mata merah kuda-kuda itu menunjukkan bahwa mereka bukan hewan biasa, melainkan kuda perang yang telah dilatih khusus dengan teknik kultivasi khusus Sekte Tengkorak Api."Berapa lama lagi kita sampai?" tanya salah satu dari mereka, suaranya serak oleh kelelahan.Pemimpin kelompok, yang mengenakan topeng tengkorak dengan ukiran api di dahinya, menunjuk ke arah barat. "Sebelum fajar menyingsing, kita akan tiba di Kota Bian Cheng. Bersiaplah, Ketua tidak akan senang dengan kegagalan kita."Kata-kata itu membuat semua penunggang kuda menegang. Mereka tahu betul konsekuensi
Akhirnya, sosok itu mengangkat tangannya yang pucat, jari-jarinya yang panjang dan kurus bergerak dengan gerakan anggun namun mematikan."Kegagalan," ucapnya dengan suara yang anehnya terdengar seperti bisikan namun bergema di seluruh ruangan. "Tidak dapat diterima."Belum sempat para anggota Sekte Tengkorak Api bereaksi, sosok bertopeng putih itu melambaikan tangannya dengan gerakan ringan. Seketika, kesepuluh pria bertopeng tengkorak itu terhuyung, tangan mereka mencengkeram leher masing-masing seolah tercekik oleh tangan tak terlihat.Tidak ada teriakan, tidak ada jeritan. Hanya suara napas terakhir yang terengah-engah, kemudian satu per satu mereka ambruk ke lantai batu, tak bernyawa. Mata mereka terbelalak dalam ketakutan abadi, tubuh mereka kaku seperti patung.Sosok bertopeng putih itu bertepuk tangan sekali, suaranya bergema di ruangan seperti lonceng kematian. Dari balik lima pintu di sekeliling ruangan, muncul lima sosok bertopeng lain.Berbeda dengan anggota Sekte Tengkorak
* Bab Ekstra.Terima kasih gemnya gaesDari balik gundukan es, Rong Tian menyaksikan pemandangan yang mencengangkan. Bukan sekadar pertarungan kecil yang ia kira—melainkan pertempuran skala besar antara dua kelompok kultivator.Kilatan pedang dan ledakan qi menerangi padang es dalam cahaya merah dan biru yang menyilaukan mata, menciptakan aurora mengerikan yang memantul di permukaan salju."Sekte Bulan Darah," gumam Rong Tian, mengenali simbol bulan merah pada jubah salah satu kelompok. "Mengapa mereka berada di sini?"Duan Meng bergerak sedikit di belakangnya, mata kosongnya fokus pada pertarungan. "Tuanku, lawan mereka mengenakan jubah putih dengan simbol pedang es—seperti kultivator yang kita lihat di padang es sebelumnya.""Sekte Pedang Salju," bisik Rong Tian, keningnya berkerut dalam. "Mereka muncul lagi."Pertarungan di bawah semakin sengit. Puluhan kultivator Sekte Bulan Darah mengepung dengan formasi bulan sabit, qi merah darah mereka berputar membentuk kabut beracun yang meng
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika tiga sosok berjubah hitam melangkah keluar dari gerbang utara Kota Benteng Utara.Salju masih turun perlahan, namun tidak cukup lebat untuk menghalangi pandangan. Udara dingin menusuk tulang, membuat para penjaga gerbang menggigil dalam balutan mantel bulu mereka."Kalian gila pergi ke utara di musim seperti ini," komentar penjaga gerbang dengan suara gemetar. "Tak ada yang di sana selain kematian beku."Rong Tian tersenyum tipis di balik kerudungnya. "Terkadang kematian menyimpan harta yang lebih berharga dari kehidupan," jawabnya skeptis, melempar sekantong koin perak kepada penjaga yang kebingungan.Tanpa menunggu balasan, tiga sosok itu melangkah menembus kabut salju tipis, meninggalkan Kota Benteng Utara. Di depan mereka terbentang padang es luas tanpa ujung, dihiasi pohon-pohon pinus tua yang kokoh menjulang seperti penjaga abadi di tanah beku.Rong Tian melangkah di depan, diikuti Duan Meng dan Fan Liu yang bergerak dalam diam.Ketiga s
Salju turun tanpa henti di Kota Benteng Utara, menyelimuti jalanan berbatu dengan lapisan putih tebal yang menghalangi aktivitas penduduk.Tujuh hari telah berlalu sejak pertarungan berdarah di padang es, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat seperti siksaan abadi.Di sebuah penginapan sederhana di sudut kota yang jarang dilalui orang, Rong Tian duduk bersila di lantai kayu, menghadap jendela yang membeku oleh kristal es.Mata tajamnya menerawang jauh, sementara tangannya menggengam erat pecahan peta yang berhasil ia dapatkan dari sisa-sisa pertarungan sebelumnya—satu-satunya yang tersisa setelah Huang Wenling merebut pecahan lainnya.‘Tujuh hari,’ batinnya geram.‘Tujuh hari terbuang sia-sia tanpa petunjuk!’Napasnya membentuk uap putih di udara dingin kamar penginapan. Sejak kembali dari padang es, ia telah menggunakan segala cara untuk mencari informasi tentang Air Terjun Sembilan Naga di Puncak Tiga Bintang Utara—tempat di mana Dataran Jin Cao tersembunyi.Ia m
Mendadak energi Qi yang berbahaya, memiliki aura gelap kematian menghantam Rong Tian."WUUUSSH!"Sebuah kilatan qi hijau keemasan menyambar tempat Rong Tian berdiri sedetik sebelumnya, meninggalkan kawah baru di permukaan es.Serangan yang luar biasa kuat, mengandung qi murni tingkat Eliksir Emas—jauh melampaui tingkat Kuasi Eliksir Emas milik Rong Tian."Refleks yang bagus, anak muda," suara feminin yang jernih namun penuh otoritas memecah keheningan malam.Rong Tian menyipit, menatap ke arah datangnya serangan. Di bawah sinar bulan sabit yang kini terlihat jelas, sosok seorang wanita melayang turun dengan anggun.Tubuhnya dibalut jubah hijau keemasan yang terbuka di bagian pinggang, memperlihatkan kulit mulus yang kontras dengan usianya yang terlihat tidak muda lagi.Rambutnya yang hitam dengan beberapa helai putih tersanggul tinggi dengan hiasan giok, wajahnya cantik dengan mata tajam dan bibir merah yang melengkung dalam senyum mengejek.Rong Tian merasakan tekanan qi luar biasa d
Malam semakin larut di padang es. Salju turun semakin lebat, butiran-butiran putih tebal berjatuhan dari langit kelam bagaikan tirai sutra yang tak berujung.Angin utara bertiup kencang, membawa udara dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang, membuat dahan-dahan pinus tua bergesekan, menghasilkan suara gemersik menyeramkan seperti bisikan arwah penasaran.Temperatur terus menurun, mengubah permukaan padang es menjadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya bulan sabit yang sesekali mengintip dari balik awan hitam.Di tengah padang es yang luas, dua sosok masih berdiri tegak meski tubuh mereka dipenuhi luka. Darah mereka mengucur, membeku seketika begitu menyentuh permukaan es, menciptakan bunga-bunga merah gelap yang kontras dengan putihnya salju.Pemimpin Sekte Tengkorak Api, dengan jubah hitam berlumuran darah, menggenggam erat pecahan peta di tangan kirinya sementara tangan kanannya membentuk segel rumit. Topeng tengkoraknya telah retak, mengungkapkan separuh wajah keriput dengan
"Cukup!" pemimpin jubah hitam mengangkat tangannya."Inilah perjanjian kita: kami menyerahkan pecahan peta Dinasti Xi Tian, kalian memberikan lokasi persis Dataran Jin Cao."Udara di padang es semakin berat dengan tekanan qi yang saling beradu. Rong Tian menahan napas, akhirnya ada petunjuk tentang Dataran Jin Cao yang ia cari."Serahkan pecahan peta terlebih dahulu," tuntut pemimpin jubah putih, tangannya bergerak ke arah gagang pedang di punggungnya."Ah, tidak secepat itu," balas pemimpin jubah hitam."Beritahu kami lokasi Dataran Jin Cao, lalu kita lakukan pertukaran secara bersamaan."Hening sesaat. Ketegangan meningkat hingga butiran salju di sekitar mereka berubah menjadi kristal es karena tekanan qi yang meletup-letup."Baiklah," akhirnya sosok jubah putih menyetujui."Dataran Jin Cao terletak di lembah tersembunyi antara Tiga Puncak Bintang Utara, tepat di bawah Air Terjun Sembilan Naga."Rong Tian mengerutkan kening. ‘Tiga Puncak Bintang Utara?’‘Itu hanya legenda... omong
Langit Kota Benteng Utara berwarna kelabu, matahari tersembunyi di balik awan tebal yang mengancam menurunkan salju.Tiga hari telah berlalu sejak pembantaian di Hutan Xian Yun, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ia duduk di atap sebuah penginapan kecil, jubah hitamnya berkibar pelan ditiup angin dingin dari utara.Dataran Jin Cao, Rong Tian menggumam dalam hati, matanya menyipit menatap cakrawala yang semakin gelap. Di mana tempat terkutuk itu berada?Tiga hari penuh ia menyusuri setiap sudut Kota Benteng Utara, menyamar sebagai pedagang biasa, mendengarkan percakapan di kedai arak, menyuap penjaga untuk informasi tentang pergerakan tidak biasa, bahkan memeriksa arsip-arsip tua di perpustakaan kota. Hasilnya? Nihil."Sial," gerutunya, kepalan tangannya menghantam genteng hingga retak.Keputusasaan mulai menggerogoti kesabarannya.Kota Benteng Utara terlihat begitu normal—para pedagang berdagang, penjaga kota berpatroli dengan malas, anak-anak bermain di jalan-
"Bicara," perintah Raja Kelelawar Hitam tanpa emosi, satu jarinya terangkat sedikit, membuat salah satu belati bayangan menggores pipi Alp Tegin, meninggalkan luka yang mengeluarkan darah hitam."Atau kematianmu akan berlangsung lama dan menyakitkan."Alp Tegin tertawa keras meski darah menetes dari mulutnya, sikap seorang prajurit sejati yang menolak menyerah."Kau terlambat, Raja Kelelawar Hitam. Pasukan utama sudah tiba tiga hari lalu. Putri Ayrin sendiri yang memimpin mereka dengan tiga ribu pasukan elite. Mereka mungkin sudah mencapai reruntuhan Dataran Jian Chao saat ini. Kami hanyalah pengalih perhatian jika terjadi masalah seperti ini."BOOM!Mata Raja Kelelawar Hitam melebar sedikit di balik topengnya, satu-satunya tanda keterkejutan yang ia tunjukkan. ‘Tiga hari lalu? Itu berarti ia telah salah perhitungan dan tertinggal jauh dari rencana.’"Dan kau ingin tahu yang paling lucu?" lanjut Alp Tegin dengan tawa lemah yang berubah menjadi batuk berdarah."Putri Ayrin mengatakan p
"Bertahan! Alirkan qi ke telinga kalian!" teriak Alp Tegin, sendiri berlutut menahan sakit luar biasa di kepalanya seperti ribuan jarum menusuk otaknya."Jangan biarkan qi jahat memasuki meridian kalian!"Namun perlawanan mereka semakin melemah, seperti lilin yang meleleh di bawah terik matahari. Di tengah kabut hitam, zombie Fan Liu mengalirkan qi jahat ke tangannya, membentuk cakar dari energi hitam yang berkilauan dengan simbol-simbol kuno."Jurus Cakar Setan!" sorak Raja Kelelawar Hitam, nada serulingnya mencapai puncak intensitas, mengirimkan perintah dengan energi spiritual ke setiap zombie di medan pertempuran.Fan Liu melesat maju dengan kecepatan mengerikan yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang kaku, meninggalkan jejak bayangan hitam di belakangnya.Tangannya yang diperkuat qi iblis menebas barisan prajurit tanpa ampun. Lima prajurit terpotong sekaligus, tubuh mereka terbelah seperti terkena pedang pusaka tertajam, qi kehidupan mereka tersedot ke dalam cakar hitam Fan Liu."