Rong Tian berdiri dengan tegap di tengah kerumunan, jubah hitamnya melambai pelan tertiup angin. Wajahnya yang tampan menunjukkan ketenangan yang kontras dengan kemarahan yang meluap di mata hitamnya yang tajam."Sungguh mengherankan," ucapnya dengan suara tenang namun penuh wibawa, "bahwa putri seorang pejabat terhormat seperti Wakil Menteri Zhao bisa bersikap begitu kasar pada seorang lansia yang hanya ingin memberikan penghormatan terakhir."Zhao Hua membeku sejenak, matanya melebar melihat sosok yang sangat dikenalnya. Ekspresi duka yang dipasangnya seketika berubah menjadi kebencian murni."Rong Tian!" desisnya. "Berani-beraninya kau muncul di sini! Apa maumu, pengemis rendahan?"Kerumunan mulai berbisik. Beberapa orang yang mengenal Rong Tian terkejut melihat penampilannya yang begitu berbeda—tidak lagi seperti pemuda sederhana yang mereka kenal, melainkan seorang cendekiawan dengan aura keagungan yang tak biasa.Rong Tian membungkuk dengan gerakan penuh martabat, seolah memberi
Kerumunan masih terpaku menyaksikan Zhao Hua yang tertelungkup di tanah, meronta-ronta seperti ditindih beban tak terlihat. Pemimpin Guang memperhatikan kejadian ini dengan mata tajam seorang kultivator berpengalaman. Sesuatu tentang situasi ini terasa tidak wajar baginya.Pemimpin Guang melangkah maju, jubah putihnya melambai dengan anggun. Matanya yang tajam mengamati Rong Tian dengan seksama, mencari petunjuk di balik penampilan pemuda itu yang terlalu tenang untuk situasi kacau seperti ini."Anak muda?" suaranya tenang namun mengandung ketajaman tersembunyi. "Kamu siapa? Siapa Gurumu?"Pertanyaan itu terdengar sopan, namun Rong Tian bisa merasakan bahaya di baliknya. Ini bukan pertanyaan biasa—ini adalah ujian.Rong Tian, dengan gerakan yang tak terlihat oleh mata biasa, segera menghancurkan jimat di punggung Zhao Hua. Jari-jarinya bergerak cepat dalam segel rahasia, membatalkan mantra yang telah ia pasang. Tidak ada yang menyadari apa yang baru saja ia lakukan."Nama saya Rong T
Sinar matahari sore menerobos jendela lantai dua restoran mewah "Peony Merah", menyinari wajah cantik Hanim yang masih mengamati prosesi pemakaman Wakil Menteri Zhao yang bergerak perlahan di bawah. Bibirnya yang merah delima tersenyum tipis, matanya yang tajam tak lepas dari sosok Rong Tian yang kini membantu ayahnya menjauh dari kerumunan."Pemuda itu..." gumam Hanim, jemarinya yang lentik memainkan cangkir teh porselen. "Ada sesuatu yang tidak biasa darinya."Guru Negara Lin Zhao, pria paruh baya dengan jenggot tipis yang terawat, menyesap tehnya dengan tenang. Jubah kebesarannya yang berwarna biru tua dengan sulaman naga perak menunjukkan statusnya yang tinggi di istana."Apakah itu penting, Nona Hanim?" tanyanya dengan suara rendah. "Hanya seorang pemuda dari keluarga rendahan yang kebetulan memiliki refleks bagus."Hanim melirik Lin Zhao dengan tatapan tajam. "Jangan meremehkan hal-hal kecil, Guru Negara. Kau tahu sendiri bahwa kerikil kecil bisa menggagalkan roda kereta besar.
Siang itu, matahari bersinar terik di atas Kota Biramaki. Jalanan ramai oleh pedagang dan penduduk yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Di antara kerumunan, seorang pria muda berpakaian sederhana berjalan dengan langkah tenang.Jubah abu-abunya yang usang dan topi bambu lebar menutupi sebagian wajahnya, menyamarkan ketampanan yang biasa menarik perhatian.Rong Tian telah memilih penampilan seorang pengelana biasa hari ini—tidak terlalu miskin hingga menarik belas kasihan, namun tidak pula mencolok untuk mengundang perhatian. Sebuah tas kain tersampir di bahunya, berisi beberapa gulungan dan jimat yang tersembunyi dengan baik.Ia berjalan melewati pasar, sesekali berhenti di kedai teh pinggir jalan, mendengarkan percakapan para pedagang dan pengunjung. Telinganya yang terlatih menangkap berbagai informasi—dari harga beras yang naik hingga desas-desus tentang pergerakan pasukan di perbatasan barat."Kekaisaran Matahari Emas semakin berani," bisik seorang pedagang tua kepada temanny
Kegelapan malam semakin pekat di Kuil Tao Dewa Api yang tua. Rong Tian perlahan bangkit dari posisi duduknya, merapikan jubah abu-abunya yang usang. Informasi yang baru saja ia dengar terlalu berharga untuk diabaikan. Ia harus segera mempersiapkan diri untuk pertemuan rahasia di Hutan Kabut Ungu besok malam."Hendak pergi, Saudara?" tanya pengemis tua berjenggot putih yang tadi menyapanya. "Malam masih panjang, dan di luar sangat dingin."Beberapa pengemis lain menoleh ke arah Rong Tian, wajah mereka menunjukkan keheranan. Seorang wanita setengah baya yang tadi ikut mendengarkan cerita Lao Wang mengerutkan keningnya."Tinggallah bersama kami, Anak Muda. Tidak aman berkeliaran di malam hari, apalagi dengan rumor tentang Raja Kelelawar Hitam yang berkeliaran."Rong Tian tersenyum tipis, menarik topi bambunya lebih rendah untuk menutupi wajahnya. "Terima kasih atas kebaikan kalian, tetapi saya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.""Urusan apa yang begitu penting hingga harus kelu
Senja mulai turun di Kota Biramaki. Bayangan-bayangan panjang terbentuk saat matahari perlahan tenggelam di balik pegunungan barat. Di kediamannya yang sederhana, Rong Tian duduk bersila di ruang meditasi, matanya terpejam namun pikirannya bergerak liar seperti angin badai.Kematian para pengemis di Kuil Tao Dewa Api terus menghantuinya. Mereka hanyalah orang-orang biasa yang tidak sengaja mendengar percakapan berbahaya—dan dibunuh karenanya. Ini bukan sekadar intrik istana lagi; ini adalah permainan nyawa yang kejam."Masalah ini sudah terlalu serius," gumamnya pada diri sendiri, membuka mata yang kini berkilat dingin. "Aku tidak bisa menunggu lagi."Rong Tian bangkit, melangkah ke sudut tersembunyi ruangan. Dengan gerakan cepat, ia menyingkirkan tikar bambu yang menutupi lantai, mengungkap pintu rahasia yang mengarah ke ruang bawah tanah. Di ruangan gelap itu, sebuah peti kayu hitam dengan ukiran naga dan kelelawar menunggunya.Ia membuka peti itu perlahan, mengungkap jubah hitam de
Rong Tian melangkah maju dengan tenang. "Sudah kubilang, akulah Raja Kelelawar Hitam yang asli. Lin Zhao telah menipu kalian semua."An Ying, masih terjerat dalam Jaring Kegelapan, menggelengkan kepalanya keras. "Tidak! Kami telah melihat buktinya! Raja Kelelawar Hitam yang kami kenal memiliki pasukan mayat hidup yang legendaris!""Maksudmu seperti ini?" Rong Tian mengeluarkan seruling hitamnya. "Seruling Pemanggil Jiwa, warisan Raja Kelelawar Hitam yang asli."Ia mulai meniup seruling itu, menghasilkan melodi aneh yang terdengar seperti ratapan jiwa-jiwa yang tersiksa. Udara di sekitar mereka bergetar, suhu mendadak turun drastis. Kabut ungu di sekitar mereka berputar, membentuk dua sosok tinggi besar.Dari dalam kabut, muncul dua mayat hidup dengan pakaian Sekte Langit Murni yang telah usang.Wajah mereka pucat kebiruan, mata mereka kosong namun memancarkan kekuatan yang mengerikan. Mereka adalah Duan Meng dan Fan Liu, dua Penatua Sekte Langit Murni yang telah tewas dan kini menjadi
"Sesungguhnya aku kecewa," ujarnya dengan suara yang diubah oleh topeng. "Kalian mengadakan pesta tanpa mengundang tuan rumah yang sebenarnya?"Lin Zhao adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Ia tertawa gugup, berusaha tampak tenang meski keringat dingin mulai membasahi dahinya."Apa maksudmu? Akulah yang mengundang Pemimpin An dan Pemimpin Yan ke sini. Dan siapa kau sebenarnya, berani menyamar sebagai Raja Kelelawar Hitam?"Rong Tian mendengus. "Ironis sekali, penipu menuduh yang asli sebagai penipu."Ia melangkah maju dengan tenang, setiap gerakannya penuh percaya diri. "An Ying dan Yan Mo tidak akan datang malam ini. Mereka sudah tahu siapa Raja Kelelawar Hitam yang asli, dan itu bukan kau, Lin Zhao."Hanim melangkah maju, matanya menyipit berbahaya. Aura Kuasi Eliksir Emas memancar kuat dari tubuhnya, menunjukkan kekuatan yang selama ini ia sembunyikan dengan baik."Jadi kau yang menghalangi mereka," desisnya. "Berani sekali kau mengganggu rencana kami."Rong Tian tertawa
* Bab Ekstra.Terima kasih gemnya gaesDari balik gundukan es, Rong Tian menyaksikan pemandangan yang mencengangkan. Bukan sekadar pertarungan kecil yang ia kira—melainkan pertempuran skala besar antara dua kelompok kultivator.Kilatan pedang dan ledakan qi menerangi padang es dalam cahaya merah dan biru yang menyilaukan mata, menciptakan aurora mengerikan yang memantul di permukaan salju."Sekte Bulan Darah," gumam Rong Tian, mengenali simbol bulan merah pada jubah salah satu kelompok. "Mengapa mereka berada di sini?"Duan Meng bergerak sedikit di belakangnya, mata kosongnya fokus pada pertarungan. "Tuanku, lawan mereka mengenakan jubah putih dengan simbol pedang es—seperti kultivator yang kita lihat di padang es sebelumnya.""Sekte Pedang Salju," bisik Rong Tian, keningnya berkerut dalam. "Mereka muncul lagi."Pertarungan di bawah semakin sengit. Puluhan kultivator Sekte Bulan Darah mengepung dengan formasi bulan sabit, qi merah darah mereka berputar membentuk kabut beracun yang meng
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika tiga sosok berjubah hitam melangkah keluar dari gerbang utara Kota Benteng Utara.Salju masih turun perlahan, namun tidak cukup lebat untuk menghalangi pandangan. Udara dingin menusuk tulang, membuat para penjaga gerbang menggigil dalam balutan mantel bulu mereka."Kalian gila pergi ke utara di musim seperti ini," komentar penjaga gerbang dengan suara gemetar. "Tak ada yang di sana selain kematian beku."Rong Tian tersenyum tipis di balik kerudungnya. "Terkadang kematian menyimpan harta yang lebih berharga dari kehidupan," jawabnya skeptis, melempar sekantong koin perak kepada penjaga yang kebingungan.Tanpa menunggu balasan, tiga sosok itu melangkah menembus kabut salju tipis, meninggalkan Kota Benteng Utara. Di depan mereka terbentang padang es luas tanpa ujung, dihiasi pohon-pohon pinus tua yang kokoh menjulang seperti penjaga abadi di tanah beku.Rong Tian melangkah di depan, diikuti Duan Meng dan Fan Liu yang bergerak dalam diam.Ketiga s
Salju turun tanpa henti di Kota Benteng Utara, menyelimuti jalanan berbatu dengan lapisan putih tebal yang menghalangi aktivitas penduduk.Tujuh hari telah berlalu sejak pertarungan berdarah di padang es, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat seperti siksaan abadi.Di sebuah penginapan sederhana di sudut kota yang jarang dilalui orang, Rong Tian duduk bersila di lantai kayu, menghadap jendela yang membeku oleh kristal es.Mata tajamnya menerawang jauh, sementara tangannya menggengam erat pecahan peta yang berhasil ia dapatkan dari sisa-sisa pertarungan sebelumnya—satu-satunya yang tersisa setelah Huang Wenling merebut pecahan lainnya.‘Tujuh hari,’ batinnya geram.‘Tujuh hari terbuang sia-sia tanpa petunjuk!’Napasnya membentuk uap putih di udara dingin kamar penginapan. Sejak kembali dari padang es, ia telah menggunakan segala cara untuk mencari informasi tentang Air Terjun Sembilan Naga di Puncak Tiga Bintang Utara—tempat di mana Dataran Jin Cao tersembunyi.Ia m
Mendadak energi Qi yang berbahaya, memiliki aura gelap kematian menghantam Rong Tian."WUUUSSH!"Sebuah kilatan qi hijau keemasan menyambar tempat Rong Tian berdiri sedetik sebelumnya, meninggalkan kawah baru di permukaan es.Serangan yang luar biasa kuat, mengandung qi murni tingkat Eliksir Emas—jauh melampaui tingkat Kuasi Eliksir Emas milik Rong Tian."Refleks yang bagus, anak muda," suara feminin yang jernih namun penuh otoritas memecah keheningan malam.Rong Tian menyipit, menatap ke arah datangnya serangan. Di bawah sinar bulan sabit yang kini terlihat jelas, sosok seorang wanita melayang turun dengan anggun.Tubuhnya dibalut jubah hijau keemasan yang terbuka di bagian pinggang, memperlihatkan kulit mulus yang kontras dengan usianya yang terlihat tidak muda lagi.Rambutnya yang hitam dengan beberapa helai putih tersanggul tinggi dengan hiasan giok, wajahnya cantik dengan mata tajam dan bibir merah yang melengkung dalam senyum mengejek.Rong Tian merasakan tekanan qi luar biasa d
Malam semakin larut di padang es. Salju turun semakin lebat, butiran-butiran putih tebal berjatuhan dari langit kelam bagaikan tirai sutra yang tak berujung.Angin utara bertiup kencang, membawa udara dingin yang menusuk hingga ke sumsum tulang, membuat dahan-dahan pinus tua bergesekan, menghasilkan suara gemersik menyeramkan seperti bisikan arwah penasaran.Temperatur terus menurun, mengubah permukaan padang es menjadi cermin raksasa yang memantulkan cahaya bulan sabit yang sesekali mengintip dari balik awan hitam.Di tengah padang es yang luas, dua sosok masih berdiri tegak meski tubuh mereka dipenuhi luka. Darah mereka mengucur, membeku seketika begitu menyentuh permukaan es, menciptakan bunga-bunga merah gelap yang kontras dengan putihnya salju.Pemimpin Sekte Tengkorak Api, dengan jubah hitam berlumuran darah, menggenggam erat pecahan peta di tangan kirinya sementara tangan kanannya membentuk segel rumit. Topeng tengkoraknya telah retak, mengungkapkan separuh wajah keriput dengan
"Cukup!" pemimpin jubah hitam mengangkat tangannya."Inilah perjanjian kita: kami menyerahkan pecahan peta Dinasti Xi Tian, kalian memberikan lokasi persis Dataran Jin Cao."Udara di padang es semakin berat dengan tekanan qi yang saling beradu. Rong Tian menahan napas, akhirnya ada petunjuk tentang Dataran Jin Cao yang ia cari."Serahkan pecahan peta terlebih dahulu," tuntut pemimpin jubah putih, tangannya bergerak ke arah gagang pedang di punggungnya."Ah, tidak secepat itu," balas pemimpin jubah hitam."Beritahu kami lokasi Dataran Jin Cao, lalu kita lakukan pertukaran secara bersamaan."Hening sesaat. Ketegangan meningkat hingga butiran salju di sekitar mereka berubah menjadi kristal es karena tekanan qi yang meletup-letup."Baiklah," akhirnya sosok jubah putih menyetujui."Dataran Jin Cao terletak di lembah tersembunyi antara Tiga Puncak Bintang Utara, tepat di bawah Air Terjun Sembilan Naga."Rong Tian mengerutkan kening. ‘Tiga Puncak Bintang Utara?’‘Itu hanya legenda... omong
Langit Kota Benteng Utara berwarna kelabu, matahari tersembunyi di balik awan tebal yang mengancam menurunkan salju.Tiga hari telah berlalu sejak pembantaian di Hutan Xian Yun, namun bagi Rong Tian, waktu terasa berjalan begitu lambat. Ia duduk di atap sebuah penginapan kecil, jubah hitamnya berkibar pelan ditiup angin dingin dari utara.Dataran Jin Cao, Rong Tian menggumam dalam hati, matanya menyipit menatap cakrawala yang semakin gelap. Di mana tempat terkutuk itu berada?Tiga hari penuh ia menyusuri setiap sudut Kota Benteng Utara, menyamar sebagai pedagang biasa, mendengarkan percakapan di kedai arak, menyuap penjaga untuk informasi tentang pergerakan tidak biasa, bahkan memeriksa arsip-arsip tua di perpustakaan kota. Hasilnya? Nihil."Sial," gerutunya, kepalan tangannya menghantam genteng hingga retak.Keputusasaan mulai menggerogoti kesabarannya.Kota Benteng Utara terlihat begitu normal—para pedagang berdagang, penjaga kota berpatroli dengan malas, anak-anak bermain di jalan-
"Bicara," perintah Raja Kelelawar Hitam tanpa emosi, satu jarinya terangkat sedikit, membuat salah satu belati bayangan menggores pipi Alp Tegin, meninggalkan luka yang mengeluarkan darah hitam."Atau kematianmu akan berlangsung lama dan menyakitkan."Alp Tegin tertawa keras meski darah menetes dari mulutnya, sikap seorang prajurit sejati yang menolak menyerah."Kau terlambat, Raja Kelelawar Hitam. Pasukan utama sudah tiba tiga hari lalu. Putri Ayrin sendiri yang memimpin mereka dengan tiga ribu pasukan elite. Mereka mungkin sudah mencapai reruntuhan Dataran Jian Chao saat ini. Kami hanyalah pengalih perhatian jika terjadi masalah seperti ini."BOOM!Mata Raja Kelelawar Hitam melebar sedikit di balik topengnya, satu-satunya tanda keterkejutan yang ia tunjukkan. ‘Tiga hari lalu? Itu berarti ia telah salah perhitungan dan tertinggal jauh dari rencana.’"Dan kau ingin tahu yang paling lucu?" lanjut Alp Tegin dengan tawa lemah yang berubah menjadi batuk berdarah."Putri Ayrin mengatakan p
"Bertahan! Alirkan qi ke telinga kalian!" teriak Alp Tegin, sendiri berlutut menahan sakit luar biasa di kepalanya seperti ribuan jarum menusuk otaknya."Jangan biarkan qi jahat memasuki meridian kalian!"Namun perlawanan mereka semakin melemah, seperti lilin yang meleleh di bawah terik matahari. Di tengah kabut hitam, zombie Fan Liu mengalirkan qi jahat ke tangannya, membentuk cakar dari energi hitam yang berkilauan dengan simbol-simbol kuno."Jurus Cakar Setan!" sorak Raja Kelelawar Hitam, nada serulingnya mencapai puncak intensitas, mengirimkan perintah dengan energi spiritual ke setiap zombie di medan pertempuran.Fan Liu melesat maju dengan kecepatan mengerikan yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang kaku, meninggalkan jejak bayangan hitam di belakangnya.Tangannya yang diperkuat qi iblis menebas barisan prajurit tanpa ampun. Lima prajurit terpotong sekaligus, tubuh mereka terbelah seperti terkena pedang pusaka tertajam, qi kehidupan mereka tersedot ke dalam cakar hitam Fan Liu."