Bab Utama : 2/2 Bab Bonus Gems : 0/1 Ada satu Bab Bonus Gems hari ini ...
Namun Kevin hanya mengangkat sebelah alis, seolah gerakan si kembar itu tak layak mendapat perhatian. Ia tak mengangkat pedangnya, bahkan tak bergeming dari tempat duduknya.Sebaliknya— CLEP!Dalam satu gerakan hampir tak terlihat, Kevin menjentikkan puntung rokok yang masih membara dari sela jemarinya.Puntung itu melesat seperti peluru yang ditembakkan dari senapan dewa. Udara di sekitarnya bahkan berdesing saat benda kecil itu menembus kening sang kembar dalam satu tembakan bersih.TSSKK! Tubuh sang kembar terhenti di tengah lompatan, matanya melebar kosong. Darah mengucur dari lubang kecil di dahinya, lalu tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berat.Namun itu belum berakhir. Puntung rokok itu, setelah menembus kepala, terus melesat tanpa memperlambat laju, menghantam dinding aula megah.BOOOM!Ledakan keras mengguncang seluruh aula. Dinding marmer bergetar hebat, retakan menjalar seperti jaring laba-laba, dan potongan-potongan batuan beterbangan ke segala arah. Beberapa t
Riuh rendah ejekan memenuhi aula megah itu, bergulung seperti badai suara yang menampar dinding-dinding marmer. Semboyan yang diteriakkan oleh para tamu undangan mengalir mengikuti aba-aba Kevin Drakenis, membentuk koor nyaring penuh hinaan. Lampu-lampu kristal berkilauan di atas kepala mereka, namun hawa di dalam ruangan mendadak terasa pengap, seolah setiap ejekan membawa bara yang memperbesar ketegangan di udara.Di tengah kerumunan yang hiruk-pikuk itu, tatapan Kevin — tajam bagaikan tombak — menembus lautan manusia dan mengunci pada satu sosok ... Gubernur Adam Smith. Pria itu berdiri di atas kursi kebesarannya, dengan dagu terangkat tinggi, tubuhnya memancarkan aura keangkuhan yang seolah menantang langit.Kevin melangkah ke depan, suaranya keluar pelan namun tajam, seperti bilah tipis yang bisa membelah batu."Berlutut."Kata itu meluncur, ringan, nyaris berbisik — tapi dampaknya seperti petir yang menggelegar di langit cerah. Suara-suara ejekan berhenti seketika, tercekik di te
Gubernur Adam Smith, yang sejak tadi menahan diri, mengertakkan giginya keras hingga suara berdecit samar terdengar dari rahangnya. Untuk pertama kalinya, kilasan keraguan melintas di matanya — ketakutan yang ia coba sembunyikan dengan memunculkan sorot benci yang membara.Seolah baru saja dicabut dari jurang kematian, para tamu undangan mendadak tersadar. Mereka saling pandang sesaat sebelum satu demi satu mulai berteriak, lantang melontarkan hujatan kepada Gubernur Adam Smith."Gubernur munafik!" "Pembantai Paviliun Drakenis tanpa sebab!" "Biadab!"Aula yang tadi senyap kini bergemuruh oleh suara kecaman, aliran semboyan yang dipaksakan oleh rasa takut akan kematian. Dentuman suara mereka bersatu, membanjiri ruangan seperti gelombang pasang yang tak bisa dihentikan.Namun di balik semangat semu itu, banyak pasang mata tetap mencuri-curi pandang ke arah Kevin, penuh ketakutan membara. Aura mencekam yang melilit tubuh pemuda itu tidak berkurang — justru semakin menebal, seperti kabut
Ledakan spiritual pertama terjadi bahkan sebelum pedang mereka sempat bersentuhan.BOOOOM!!!Tanpa peringatan, udara di dalam aula seperti terkoyak. Aura pembunuh meletup dari tubuh Kevin—bukan sekadar kekuatan, tapi kemarahan yang dimurnikan menjadi energi spiritual. Gelombang kekuatan itu menghantam seisi ruangan seperti badai surgawi. Kristal-kristal berkilauan yang menggantung megah di langit-langit pecah berkeping-keping, jatuh dalam hujan serpihan kaca yang menyilaukan.Dinding-dinding batu tua tak luput—mereka bergetar, merintih, dan merekah membentuk retakan radial. Seolah-olah bangunan kuno itu sendiri menolak kekuatan yang terlalu agung... atau terlalu kejam untuk dunia fana.Sebagian tamu undangan meledak tubuhnya oleh energi spiritual yang meledak dan menyear ke seluruh aula.Teriakan ketakuan mengiringi pertarungan lanjutanSosok Kevin tak bergerak sejenak, namun matanya—yang bersinar tajam seperti dua bintang yang dibakar murka—telah mengunci Adam Smith dalam lingkaran n
Hening.Hanya suara nafas berat dan serpihan abu yang turun perlahan, seperti salju merah kehitaman.Kevin melangkah maju, tatapannya menusuk, dingin... dan mematikan.“Seranganmu sangat megah, Adam,” ucapnya tenang. “Tapi megah bukan berarti mematikan.”Adam Smith jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai yang retak. Darah kental menetes dari sudut bibirnya, mengalir perlahan di dagu, lalu menitik ke lantai, membentuk pola tak beraturan di antara debu dan pecahan batu.Pakaiannya sudah hancur tak karuan oleh tekanan energi spiritual yang kuat saat pertarungan.Nafasnya memburu. Dada naik-turun, terengah-engah dalam rasa sakit yang nyaris membuat dunia tampak berputar. Tapi tatapan matanya... masih menyala—bukan dengan harapan, melainkan dengan kegilaan dan tekad yang menolak padam."Belum selesai..." gumamnya, suara parau seperti geraman binatang yang terpojok.Dengan tangan kirinya yang gemetar, ia menekan tanah. Jemarinya mencakar permukaan lantai batu dan menggambar simbol-simbol
Kuburan Iblis dan Dewa ...Sebuah kuburan kuno yang paling ditakuti oleh seluruh praktisi bela diri di Nagapolis, Propinsi Xandaria yang merupakan propinsi terbesar di Negara Vandarian."Kevin Drakenis, aku hadiahkan Pedang Dewa Ilahi kepadamu. Seluruh ilmu Pedang Dewa Ilahi telah kuajarkan kepadamu! Roh Pedang juga ada di dalam pedang ini, kalau kemampuanmu sudah mencapai maksimum maka Roh Pedang akan muncul membantumu! Tinggal kamu tunjukkan pedang ini kepada Klan Vasendra maka keturunanku ini akan membantumu sebaik mungkin."Pemuda yang berumur sekitar 18 tahun ini menatap pedang yang berwarna biru pada bilah pedangnya ini dan memantulkan kilatan cahaya yang menyilaukan. Tangannya dengan ringan mengayunkan pedang besar yang cukup berat ini. Tidak ada ucapan apapun dari pemuda ini ... wajahnya terlihat dingin menerima pedang pusaka ini."Ada beberapa ilmu pedang lain di dalam Kitab Ilmu Pedang Dewa yang bisa kamu pelajari untuk meningkatkan ilmu pedangmu!" lanjut bayangan yang membe
Sepuluh bayangan yang menyerupai roh, setengahnya adalah bayangan putih sedangkan setengahnya adalah bayangan hitam berkumpul bersama dengan mengelilingi Kevin Drakenis yang berada di tengah. Aura mengerikan terpancar dari seluruh bayangan ini yang membuat suasana Kuburan Iblis dan Dewa ini seperti mengalami badai kosmis. Aura mengerikan ini menunjukkan kehebatan mereka di masa kejayaan serta jaman keemasan dewa dan iblis ini.Saat ini, sepuluh penghuni Kuburan Iblis dan Dewa yang masih aktif ini tampak sangat berbahagia. Setelah lima tahun berlalu, mereka masih enggan untuk melepaskan Kevin ke dunia luar yang kejam.Ratusan tahun menunggu pewaris yang tepat, akhirnya mereka menemukan Kevin yang terjerumus masuk ke dalam Kuburan Iblis dan Dewa. Sekarang mereka tampak bahagia terhadap Kevin, tapi lima tahun lalu saat Kevin pertama kali tiba di kuburan ini, ia mengalami siksaan lahir-batin dari iblis dan dewa yang menghuni Kuburan Iblis dan Dewa ini selama berabad-abad lamanya.Sekarang
Kevin Drakenis masih saja tidak habis pikir dengan sikap kekasihnya yang berbalik membencinya."Ayahku memperlakukanmu dengan baik, menerima keluargamu saat kalian hampir bangkrut! Begini cara kalian membalasnya?!" suaranya penuh kemarahan, namun tubuhnya terlalu lemah untuk melawan. Helena mendekat, menatap Kevin seolah ia adalah serangga yang pantas dihancurkan. "Kau sudah bukan Jenius Bela Diri lagi, Kevin. Sekarang, akulah yang akan menggantikanmu! Dan hari ini, Keluarga Drakenis akan binasa dari Vandaria!" Pernyataan itu menyadarkannya. Kevin berbalik dan berlari secepat mungkin, mengabaikan rasa sakit yang menjalari seluruh tubuhnya. Ketika akhirnya ia tiba di Paviliun Drakenis, semua sudah terlambat. Bangunan yang dulu megah kini hanya reruntuhan yang dilalap api. Bau anyir darah bercampur dengan asap hitam yang membubung ke langit. Mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang halaman, tubuh mereka dingin dan tak bernyawa Di antara mereka, Kevin menemukan sosok yang paling ia
Hening.Hanya suara nafas berat dan serpihan abu yang turun perlahan, seperti salju merah kehitaman.Kevin melangkah maju, tatapannya menusuk, dingin... dan mematikan.“Seranganmu sangat megah, Adam,” ucapnya tenang. “Tapi megah bukan berarti mematikan.”Adam Smith jatuh berlutut, lututnya menghantam lantai yang retak. Darah kental menetes dari sudut bibirnya, mengalir perlahan di dagu, lalu menitik ke lantai, membentuk pola tak beraturan di antara debu dan pecahan batu.Pakaiannya sudah hancur tak karuan oleh tekanan energi spiritual yang kuat saat pertarungan.Nafasnya memburu. Dada naik-turun, terengah-engah dalam rasa sakit yang nyaris membuat dunia tampak berputar. Tapi tatapan matanya... masih menyala—bukan dengan harapan, melainkan dengan kegilaan dan tekad yang menolak padam."Belum selesai..." gumamnya, suara parau seperti geraman binatang yang terpojok.Dengan tangan kirinya yang gemetar, ia menekan tanah. Jemarinya mencakar permukaan lantai batu dan menggambar simbol-simbol
Ledakan spiritual pertama terjadi bahkan sebelum pedang mereka sempat bersentuhan.BOOOOM!!!Tanpa peringatan, udara di dalam aula seperti terkoyak. Aura pembunuh meletup dari tubuh Kevin—bukan sekadar kekuatan, tapi kemarahan yang dimurnikan menjadi energi spiritual. Gelombang kekuatan itu menghantam seisi ruangan seperti badai surgawi. Kristal-kristal berkilauan yang menggantung megah di langit-langit pecah berkeping-keping, jatuh dalam hujan serpihan kaca yang menyilaukan.Dinding-dinding batu tua tak luput—mereka bergetar, merintih, dan merekah membentuk retakan radial. Seolah-olah bangunan kuno itu sendiri menolak kekuatan yang terlalu agung... atau terlalu kejam untuk dunia fana.Sebagian tamu undangan meledak tubuhnya oleh energi spiritual yang meledak dan menyear ke seluruh aula.Teriakan ketakuan mengiringi pertarungan lanjutanSosok Kevin tak bergerak sejenak, namun matanya—yang bersinar tajam seperti dua bintang yang dibakar murka—telah mengunci Adam Smith dalam lingkaran n
Gubernur Adam Smith, yang sejak tadi menahan diri, mengertakkan giginya keras hingga suara berdecit samar terdengar dari rahangnya. Untuk pertama kalinya, kilasan keraguan melintas di matanya — ketakutan yang ia coba sembunyikan dengan memunculkan sorot benci yang membara.Seolah baru saja dicabut dari jurang kematian, para tamu undangan mendadak tersadar. Mereka saling pandang sesaat sebelum satu demi satu mulai berteriak, lantang melontarkan hujatan kepada Gubernur Adam Smith."Gubernur munafik!" "Pembantai Paviliun Drakenis tanpa sebab!" "Biadab!"Aula yang tadi senyap kini bergemuruh oleh suara kecaman, aliran semboyan yang dipaksakan oleh rasa takut akan kematian. Dentuman suara mereka bersatu, membanjiri ruangan seperti gelombang pasang yang tak bisa dihentikan.Namun di balik semangat semu itu, banyak pasang mata tetap mencuri-curi pandang ke arah Kevin, penuh ketakutan membara. Aura mencekam yang melilit tubuh pemuda itu tidak berkurang — justru semakin menebal, seperti kabut
Riuh rendah ejekan memenuhi aula megah itu, bergulung seperti badai suara yang menampar dinding-dinding marmer. Semboyan yang diteriakkan oleh para tamu undangan mengalir mengikuti aba-aba Kevin Drakenis, membentuk koor nyaring penuh hinaan. Lampu-lampu kristal berkilauan di atas kepala mereka, namun hawa di dalam ruangan mendadak terasa pengap, seolah setiap ejekan membawa bara yang memperbesar ketegangan di udara.Di tengah kerumunan yang hiruk-pikuk itu, tatapan Kevin — tajam bagaikan tombak — menembus lautan manusia dan mengunci pada satu sosok ... Gubernur Adam Smith. Pria itu berdiri di atas kursi kebesarannya, dengan dagu terangkat tinggi, tubuhnya memancarkan aura keangkuhan yang seolah menantang langit.Kevin melangkah ke depan, suaranya keluar pelan namun tajam, seperti bilah tipis yang bisa membelah batu."Berlutut."Kata itu meluncur, ringan, nyaris berbisik — tapi dampaknya seperti petir yang menggelegar di langit cerah. Suara-suara ejekan berhenti seketika, tercekik di te
Namun Kevin hanya mengangkat sebelah alis, seolah gerakan si kembar itu tak layak mendapat perhatian. Ia tak mengangkat pedangnya, bahkan tak bergeming dari tempat duduknya.Sebaliknya— CLEP!Dalam satu gerakan hampir tak terlihat, Kevin menjentikkan puntung rokok yang masih membara dari sela jemarinya.Puntung itu melesat seperti peluru yang ditembakkan dari senapan dewa. Udara di sekitarnya bahkan berdesing saat benda kecil itu menembus kening sang kembar dalam satu tembakan bersih.TSSKK! Tubuh sang kembar terhenti di tengah lompatan, matanya melebar kosong. Darah mengucur dari lubang kecil di dahinya, lalu tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara berat.Namun itu belum berakhir. Puntung rokok itu, setelah menembus kepala, terus melesat tanpa memperlambat laju, menghantam dinding aula megah.BOOOM!Ledakan keras mengguncang seluruh aula. Dinding marmer bergetar hebat, retakan menjalar seperti jaring laba-laba, dan potongan-potongan batuan beterbangan ke segala arah. Beberapa t
Gubernur Adam hanya mengangkat alis tipis, seulas senyum kecil menghias bibirnya. Isyarat itu cukup—dan pria itu merasa dirinya kebal.Dengan suara lantang, nyaring menusuk, pria itu berteriak, "Anak kurang ajar! Berani-beraninya kau membuat kekacauan di perayaan ulang tahun Gubernur!"Ia mendekat lebih lagi, mengangkat dagunya dengan sikap mengejek. Matanya menatap Kevin seolah ia hanyalah kutu yang bisa diinjak kapan saja."Kenapa aku harus mendengarkanmu?" lanjutnya, suaranya bergetar dengan kombinasi emosi dan kesombongan. "Aku adalah Ketua Asosiasi Dagang dan Industri Nagapolis! Kau pikir siapa dirimu berani bertingkah di depan Gubernur Adam Smith?!"Sebagian tamu tersentak kecil, sebagian lagi menahan napas. Di tengah aroma tembakau, darah, dan wine, satu pertanyaan membara di hati semua orang: Apakah pria ini baru saja menandatangani surat kematiannya sendiri?Di atas peti mati, Kevin hanya menghembuskan asap rokok lagi, matanya setenang lautan beku. Tapi di kedalaman tatapa
Gubernur Adam Smith masih berdiri kaku, seolah membatu di tempatnya. Tatapannya tajam, penuh kalkulasi, seperti seorang pemburu yang menimbang apakah binatang buas di depannya bisa ia taklukkan atau justru akan mencabik-cabiknya. Helaan napasnya berat, nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi mereka yang peka untuk merasakan ketegangan yang kian menebal di udara.Di atas sebuah peti mati hitam spiritual yang mengilap pekat seperti malam tanpa bintang, Kevin Drakenis berdiri tegap. Bayangan tubuhnya memanjang di lantai marmer, membelah kerumunan yang kini bergidik ngeri. Dengan mata yang seolah memancarkan es, Kevin melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suaranya, saat akhirnya berbicara, tajam dan menusuk, serupa bilah pedang yang menggores kulit."Apa kalian masih ingin hidup?" tanyanya, tenang namun mengerikan.Suara itu merayap di antara para tamu undangan seperti kabut maut. Sebagian dari mereka, pria dan wanita dalam pakaian megah, tampak pucat pasi, tangan mereka gemetar saa
KRRAAAK!!Suara mengerikan terdengar saat formasi raksasa itu mulai retak. Garis-garis merah membelah rune-rune suci, seperti es yang pecah di musim semi. Dalam sekejap, formasi itu runtuh, meledak menjadi serpihan cahaya darah yang berhamburan dan lenyap ditelan kekosongan.Grand Rune Master Weng terhuyung mundur, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Wajahnya yang biasanya tenang kini pucat seperti kertas, matanya membelalak ngeri menatap kehancuran yang baru saja terjadi.Namun Kevin tidak memberinya waktu untuk bernapas.Dengan gerakan halus, tubuh Kevin melesat ke depan—hanya sebuah bayangan hitam yang membelah jarak di antara mereka. Dalam sekejap, ia sudah berdiri tepat di hadapan Grand Rune Master Weng.Mata mereka bertemu. Milik Weng penuh ketakutan. Milik Kevin, kosong. Tak berperasaan.Kevin menatap dingin ke arah lawannya, lalu berbisik dengan suara datar, nyaris seperti gumaman, namun setiap katanya menusuk seperti bilah pedang."Aku tidak suka bertarung menggunakan jim
Namun sebelum Kevin sempat melangkah maju, udara di medan pertempuran tiba-tiba menegang. Dari kerumunan yang berjarak, sebuah suara mengguntur, berat dan dipenuhi kekuatan yang menusuk hingga ke sumsum."Kevin Drakenis!"Grand Rune Master Weng melangkah maju, jubah panjangnya berkibar keras dihempas badai spiritual yang ia ciptakan. Tatapan matanya tajam seperti tombak kuno, membelah jarak di antara mereka. Suaranya mengandung gema keabadian, seolah dunia itu sendiri berhenti sejenak untuk mendengarkan.Di tangannya, ia mencengkeram sebuah jimat kuno—selembar kain tipis berwarna merah darah, penuh dengan rune-rune kuno yang berdenyut seperti nadi makhluk hidup. Cahaya merah menyala dari jimat itu, membentuk pusaran rune raksasa di udara."Atas nama Dao... kuhancurkan kau!" teriak Weng, suara amarah bercampur dengan hukum alam itu sendiri.BOOOM! Jimat itu meledak, menghamburkan ratusan sinyal kuno ke segala penjuru. Rune-rune tersebut melesat, berpadu, dan berputar membentuk segel k