Selamat pagi ... selamat berlibur ... Bab Utama : 1/2 Bab Bonus : 0/1 Terima kasih untuk sobat readers yang telah memberikan gems ya ... Bonus akan bertambah kalau target Gems tercapai.
Langit mendadak bergemuruh. Bukan karena badai. Bukan pula karena petir yang menggelegar. Tapi karena satu sosok—sebuah entitas yang berdiri di puncak dunia dengan napas agung dan mata yang menembus lapisan realitas.Kevin Drakenis telah bangkit.Namun, ia bukan lagi manusia biasa. Bukan lagi pemuda yang berdarah dan berdaging seperti yang dikenal banyak orang. Ia kini menjelma menjadi sesuatu yang hanya pernah disebut dalam desahan doa, hanya digambarkan dalam catatan langit kuno—Mahadewa Pedang Tak Terkalahkan.Udara di sekelilingnya menjadi sunyi. Bahkan angin pun menahan napasnya, seperti makhluk kecil yang sadar sedang berada di hadapan penguasa semesta. Daun-daun yang tadinya beterbangan di udara perlahan gugur dengan tenang, seolah menghaturkan hormat.Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, namun setiap jejak yang ia tinggalkan membuat tanah bergetar perlahan. Aura keagungannya menjulang tak terlihat namun terasa—mendesak dan melingkupi, seperti lautan energi suci yang menguar d
Kevin dan pedangnya... telah menyatu. Seperti kabut yang menjadi bagian dari udara, seperti nyala yang menyatu dengan api. Tak terlihat, namun terasa—mengerikan dan pasti.Dan kemudian—“HEAVEN-SUNDERING FLASH!!”Suara itu meledak dari langit, seperti tiupan sangkakala yang menggetarkan bintang-bintang. Cahaya turun dari atas, bukan sekadar terang—tapi terang yang menyayat. Sebilah pedang ilahi menyayat langit, turun bagaikan kilatan meteor surgawi yang hendak memisahkan dunia dari langit.Varion mendongak. Matanya membelalak.Terlambat.Formasi lotus mulai retak—retakan kecil, lalu menjalar, membelah, menghancurkan. Satu demi satu, lapisan perisai spiritualnya runtuh seperti kaca diserang badai bintang.“Tidak—!” seru Varion, mengangkat tombaknya.Tapi kekuatan itu… terlalu besar.Tubuhnya terpental seperti boneka, terdorong puluhan meter ke belakang. Tumitnya menggores lantai arena, menciptakan parit mendalam yang menyala dengan percikan api spiritual. Setiap gesekan membakar tanah s
Langit seketika berubah kelam. Bukan hanya gelap—tetapi gelap yang padat, seperti tinta ilahi tumpah menutupi kanvas dunia. Tak ada gerakan. Tak ada bisikan angin. Bahkan suara dedaunan, langkah semut, dan bisikan roh pun… lenyap.Segalanya membeku, terhenti dalam satu detik yang terlalu panjang untuk disebut waktu.Hanya satu bunyi yang tetap bertahan. Detak jantung.Detak jantung Kevin.Suara itu terdengar jelas—menggema, menggetarkan dada setiap makhluk yang menyaksikannya. Seperti dentang lonceng perang surgawi, membangkitkan rasa gentar dan takjub sekaligus. Bum… bum… bum… tiap detaknya mengandung kekuatan yang bisa membangunkan roh para leluhur atau menjatuhkan para dewa.Kevin berdiri tak bergerak. Ia menatap ke depan—mata yang dulu bersinar kini berubah menjadi galaksi kecil yang menyala, seperti ada bintang yang terbakar hidup-hidup di dalam tatapannya.Dengan suara rendah namun bergema hingga ke dasar jiwa, ia berucap:“Ini akhir dari segalanya …”Nafasnya tenang. Tapi tiap
“AAAAARRRGGHHH!!”Jeritan Varion melesat ke langit seperti kilat yang menusuk jantung semesta. Suaranya memecah udara, memantul di antara dinding langit spiritual yang bergemuruh, mengguncang pilar-pilar cahaya surgawi yang berdiri rapuh di kejauhan.Tubuhnya terlempar seperti meteor liar, membelah angkasa dengan jejak api spiritual yang berkelip-kelip. Dalam sekejap, ia menghantam dinding batu surgawi—benteng yang bahkan waktu segan menyentuhnya. Ledakannya mengguncang dimensi itu, memicu runtuhan dahsyat. Pilar-pilar suci hancur tak bersisa, beterbangan seperti debu emas diterjang badai. Dentuman itu menggema panjang, lalu perlahan menghilang, digantikan keheningan yang nyaris tak wajar.Tanah tempat Varion jatuh membentuk kawah dalam—sebuah bunga lotus terbalik, seolah-olah alam sendiri mengejek ironi. Ia, sang penerus teknik Lotus Spiritual, kini menjadi puing di tengah simbolnya sendiri.Partikel-partikel debu spiritual melayang di udara, mengambang lembut dalam cahaya senja yang
“Kevin…”Suara itu datang pelan, nyaris terbisik di antara desir angin pagi yang menyisir puing-puing dan noda darah di tanah yang masih hangat oleh amarah. Suara itu tak lantang, tapi menusuk—menembus dinding waktu dan luka, langsung ke dalam relung hatinya yang paling dalam. Hanya satu suara yang bisa mengguncang hatinya sedemikian rupa, meski tahun-tahun telah berlalu dan dunia telah berubah menjadi tempat yang asing dan kejam.Tubuh Kevin bergeming sejenak. Seperti patung batu yang mulai retak, ia perlahan memutar tubuhnya. Gerakannya kaku, tertahan oleh nyeri yang menyayat dari luka-luka dalam. Darah merembes dari sudut bibirnya, menelusuri dagu, lalu menetes di atas tanah yang menghitam. Napasnya berat, berembus kasar seperti desah badai yang kehilangan arah.Dan di sana, hanya beberapa langkah dari bayangan tubuhnya yang nyaris roboh, berdirilah seseorang yang terlalu familiar untuk disebut asing.Clara Vesper.Namanya membentur benaknya seperti gema dari masa lalu yang tak pern
Angin pagi bertiup lebih keras, membawa aroma logam darah dan tanah yang basah oleh penderitaan. Di balik langit yang mulai mendung, cahaya matahari pagi meredup, seperti malu-malu untuk menatap dunia.Kevin memandang langit yang tak lagi bersahabat, lalu menatap Clara. Matanya melembut, untuk pertama kalinya hari itu.“Aku tak akan membiarkan mereka menyakitimu, Clara. Aku janji. Dari dasar lubuk hatiku yang terdalam… aku belum pernah melupakanmu.”Clara menatap Kevin dengan tatapan penuh kasih sayang sambil tersenyum. Selama ini, ia juga tidak pernah tertarik dengan pria lain dan berharap suatu saat Kevin akan kembali.“Aku tahu, Kev… apa kamu mau mengunjungi makam Paman dan Bibi?” tanya Clara tiba-tiba, suaranya pelan, seperti ragu apakah pertanyaan itu pantas diucapkan saat ini.Kevin terdiam. Napasnya tercekat. Tubuhnya mendadak bergetar hebat, seolah hantaman petir baru saja menyambar dari dalam dadanya.“Apa… apa yang kamu katakan barusan?” bisiknya, matanya membelalak tak perca
Langkah Kevin terasa berat saat ia menyusuri jalur setapak yang membelah hutan kecil di pinggiran Nagapolis. Clara berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arahnya dengan cemas. Udara sore terasa dingin, menyimpan aroma dedaunan basah dan tanah yang mulai lembap oleh kabut senja.Di ujung jalan, dua batu nisan sederhana berdiri berdampingan. Tak ada ukiran mewah atau pelita spiritual. Hanya semak-semak liar yang tumbuh di sekeliling, dan sebuket bunga liar yang sudah mulai layu. Namun justru kesederhanaan itu yang mencabik dada Kevin lebih dalam.Ia jatuh berlutut di depan makam itu, tak peduli pada debu yang mengotori bajunya yang lusuh. Tangannya bergetar saat menyentuh tanah di depan nisan bertuliskan:"Drakenis Aethron & Elenia — Cahaya Paviliun yang Telah Padam.""Ayah… Ibu…" gumamnya lirih. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi tanah yang dingin. "Maafkan aku… aku tak bisa melindungi kalian..."Clara berdiri tak jauh darinya, tangan di dada, menahan isak yang nyaris pecah
Aura kematian menebal di udara, menggelayut seperti kabut kelabu yang menyesakkan dada. Tanah di bawah kaki bergetar pelan, mengirimkan getaran gelisah hingga ke akar pepohonan tua. Daun-daun gugur berputar liar di udara, seolah ikut panik, seolah alam pun sadar akan malapetaka yang sebentar lagi meledak. Udara menjadi dingin, bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran beberapa sosok berjubah hitam yang kini mengepung Kevin seperti bayangan kematian yang tak mengenal ampun.Di antara mereka, Vaelen, pemimpin dari kelompok itu, menyeringai lebar—sebuah senyum yang lebih mirip cemoohan yang dibalut kebencian. Namun senyumnya hanya bertahan sebentar, karena segera berganti menjadi ekspresi haus darah yang liar dan gila."Hancurkan dia!" teriak Vaelen, suaranya tajam, membelah kesunyian seperti cambuk petir.Dua anak buahnya tak menunggu aba-aba kedua. Mereka melesat ke depan seperti bayangan tanpa bentuk—gerakan mereka nyaris tak bersuara, hanya menyisakan desir angin tajam yang memotong d
Tiba-tiba, suara derap langkah bergema keras, teratur seperti genderang perang yang dipukul serempak. Dari kedua sisi aula, pasukan pengawal Gubernur Adam Smith memasuki ruangan dengan formasi militer yang disiplin. Lantainya bergetar pelan setiap kali kaki mereka menghantam marmer, seakan kekuatan kolektif mereka mampu mengguncang fondasi gedung tua itu.Ratusan pria dan wanita berseragam hitam berlapis emas muncul dari balik pintu besar. Seragam mereka berkilat di bawah cahaya kristal gantung, dengan hiasan logam berbentuk naga membungkus helm mereka seperti penjaga legenda kuno. Di dada masing-masing, terpatri lambang mata merah menyala—simbol ketaatan mutlak dan ambisi yang membara. Sorot mata mereka tajam, tidak hanya menyoroti kesiapan bertempur, tapi juga hasrat untuk diakui. Mereka bukan hanya datang untuk bertarung... mereka datang untuk terlihat bertarung.Seorang kapten, dengan jubah sedikit lebih panjang dan emblem perak di bahunya, melangkah ke depan dan mengacungkan peda
Udara di dalam aula megah itu mendadak berubah—seakan suhu turun beberapa derajat dalam sekejap. Aroma rempah dari alat aroma terapi yang sebelumnya mendominasi ruangan kini tercampur dengan jejak tipis asap rokok yang menggantung di langit-langit, membentuk sulur-sulur samar yang belum sempat lenyap. Di tengah keremangan cahaya kristal gantung, Kevin berdiri tenang, sebatang rokok terselip di jarinya, abu di ujungnya bergetar ringan—seperti merespon ketegangan yang menggumpal di udara.Lalu... BRAAAK! Sebuah tekanan spiritual menghantam ruangan seperti gelombang tak terlihat, membuat udara seolah-olah membeku. Para tamu tersentak. Sebagian kehilangan keseimbangan, dan yang lain meremas dada, berusaha bernapas. Seolah-olah langit menggantung tepat di atas kepala mereka—berat, gelap, dan penuh ancaman.Tiba-tiba, dari balik pilar-pilar marmer putih, kilatan cahaya menusuk udara. Secepat kilat, tujuh sosok muncul dalam lompatan nyaris tak terlihat mata biasa. Jubah panjang mereka berkib
Di dalam aula mewah yang dikelilingi lampu kristal berkilauan dan aroma wine mahal yang menguar lembut di udara, Gubernur Adam Smith duduk dengan santai di singgasananya yang megah. Matanya yang tajam menyapu seluruh ruangan, namun sedikit pun tak menunjukkan keterkejutannya saat Kevin Drakenis masuk ke dalam aula pesta dan menghinanya.Asistennya, seorang wanita berjas putih dengan tablet di tangan, telah menunjukkan video viral yang menampilkan pria itu—Kevin Drakenis, sosok misterius yang mengendarai peti mati spiritual di tengah Kota Godam. Adam mengangguk pelan kala itu, sambil menyesap anggur merahnya.Kini, ia memandangi Kevin dari singgasananya, menilai dengan penuh minat, lalu berdiri. Dengan suara berat yang bergema ke seluruh ruangan, ia berkata sambil membuka kedua tangannya lebar, "Kau datang juga akhirnya. Keberanianmu patut dipuji! Aku memang selalu menyukai anak muda yang tangguh dan punya nyali besar!"Ia melangkah turun, mendekati Kevin. Para tamu menahan napas."Apa
Hening berubah menjadi gelombang riuh."Apa?! Peti mati?"“Gila! Itu penghinaan! Apa Paviliun Drakenis sudah bosan hidup?”“Bukankah mereka sudah musnah lima tahun lalu?”Kerumunan mulai berdesis dan mengerutkan kening, mencari siapa yang berani menyebut nama itu—nama yang seharusnya sudah terkubur dalam sejarah berdarah.Lalu, perlahan, sebuah bayangan muncul dari balik gerbang utama. Peti mati hitam berukir pola naga terkutuk melayang anggun di udara, mengeluarkan aura dingin yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat. Di atasnya berdiri seorang pemuda berjubah putih, tubuhnya tegak, langkahnya tenang bagai tak tersentuh tekanan ratusan pasang mata yang menatap tajam.Wajah-wajah para tamu berubah pucat, sebagian bahkan mundur setapak, seolah keberadaan pemuda itu adalah racun yang bisa meledak kapan saja. Namun pemuda itu tidak menunjukkan ketegangan sedikit pun. Dengan santai, ia mengambil sebungkus rokok dari dalam jubahnya, menyalakan sebatang, lalu menghembuskan asap ke la
Halaman depan kediaman Gubernur Adam Smith malam itu bagaikan lautan manusia. Lentera kristal tergantung di sepanjang jalan masuk, memancarkan cahaya keemasan yang menari-nari di permukaan marmer putih, memantulkan siluet para tamu berpakaian mewah. Aroma dupa kayu cendana dan bunga kastuba bercampur dalam udara malam, menambah suasana sakral dan megah.Di tengah keramaian, para petinggi kota dan pemimpin paviliun berdiri berbaris dengan wajah penuh senyum dan tangan memegang kotak persembahan. Mereka tidak hanya datang untuk merayakan ulang tahun Gubernur yang ke-55, tetapi juga berlomba-lomba menunjukkan loyalitas dan mencari restu dari orang paling berpengaruh di Provinsi Xandaria.Desiran bisik-bisik terdengar dari paviliun-paviliun kecil yang berdiri di bawah tenda-tenda bermotif naga dan burung phoenix. Meskipun mereka tahu posisi mereka jauh di bawah nama-nama besar seperti Paviliun Caraxis—yang reputasinya musnah hanya dalam satu hari oleh tangan dingin Kevin Drakenis—namun mer
Langit Kota Godam siang itu tampak cerah, nyaris tanpa awan. Udara dipenuhi aroma manisan dan daging panggang dari festival ulang tahun Gubernur yang ke-55. Namun, keceriaan itu mendadak membeku ketika sebuah bayangan besar melintas di atas alun-alun.Sebuah peti mati berwarna hitam legam—melayang perlahan, sekitar tiga meter dari tanah. Di atasnya berdiri seorang pria muda berjubah putih panjang, dengan rambut hitam tergerai tertiup angin. Matanya yang tajam memandang ke bawah, diam namun penuh arti, seperti membawa beban ratusan rahasia yang tak diucapkan.Kerumunan yang awalnya tertawa dan menari kini terdiam. Langkah mereka tertahan, kepala menengadah. Bisikan-bisikan mulai menggema di antara orang-orang yang berdiri di alun-alun, menciptakan gelombang kegelisahan.“Apa yang sedang terjadi?” gumam seorang ibu yang memeluk anaknya erat.“Siapa dia? Kenapa muncul hari ini? Apa dia sudah gila, membuat keributan di hari sebesar ini?” seorang lelaki paruh baya mengomel dengan nada tak p
Fajar baru saja menyingsing di langit Kota Nagapolis. Kabut tipis menyelimuti halaman Paviliun Dracarys, menciptakan bayangan samar yang menari di antara pepohonan. Kevin Drakenis berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya dibalut jubah putih yang berkibar tertiup angin pagi. Di bahunya, sebuah peti mati berwarna hitam legam terpanggul dengan mantap, menciptakan kontras mencolok dengan cahaya lembut matahari pagi.Claudia, pemimpin Pavilun Dracarys cabang Nagapolis, melangkah cepat mendekatinya. Alisnya berkerut menunjukkan kebingungan."Chief, kenapa tidak naik mobil saja? Perjalanan ke Kota Godam cukup jauh, dan membawa peti mati seperti itu... agak mencolok," katanya dengan nada khawatir.Kevin menoleh sekilas, matanya tajam. "Peti mati ini lebih cepat dari mobil," jawabnya singkat.Claudia terdiam, mencoba mencerna jawaban yang tidak masuk akal itu. Ia menatap peti mati besar yang tampak berat dan tidak mungkin digunakan sebagai kendaraan."Bukankah lebih nyaman naik mobil, Chief? Na
KRAAAAK!Lantai di bawah kaki Vandar retak, pecah seperti kaca diinjak. Sang master buru-buru membentuk perisai energi berwarna ungu pekat. Aura spiritualnya melonjak, membungkus tubuhnya seperti kepompong sihir kuno. Tapi sorot matanya berubah—tak lagi percaya diri.“Ini... bukan aura manusia,” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Ini… ini seperti... seperti aura iblis yang bangkit dari kematian.”WUUUSH!Angin berdesir kencang. Dalam kedipan mata, Kevin sudah berdiri di hadapannya. Kepalan tangannya menyala dengan cahaya biru keemasan, menyalakan dunia yang muram dengan percik kekuatan murni.BOOOM!!!Pukulan itu menghantam perisai Vandar. Dalam sepersekian detik, tameng spiritualnya pecah bagai kaca dilempar batu. Tubuh sang master terhempas, melesat seperti boneka tanpa jiwa, menghantam tanah dan menggores parit dalam sejauh lima puluh meter.Jeritan panik meledak dari sisa-sisa pengikut sekte. Sebagian membuang senjatanya, yang lain langsung berlutut sambil menangis ketakutan.Aura sp
Kabut merah pekat, seolah darah yang menguap dari bumi, masih menggantung berat di atas medan pertarungan yang porak-poranda. Bau logam, darah, dan abu bercampur di udara, menusuk hidung dan membuat paru-paru terasa sesak. Bangunan utama Sekte Jubah Hitam—yang dulunya berdiri megah dengan arsitektur kuno penuh simbol kutukan—kini telah menjadi reruntuhan. Pilar-pilarnya tumbang, simbol-simbol iblis yang tertanam di dinding meleleh seperti lilin terbakar sebelum akhirnya padam, menghilang ke kekosongan selamanya.Tubuh-tubuh terkapar di tanah, sebagian hangus, sebagian terkoyak. Tak ada yang bergerak. Dunia seakan diam—sunyi dalam trauma kekalahan yang mutlak.Namun di tengah pusaran kehancuran itu… sesuatu bergerak.Langkah kaki terdengar, berat namun mantap. Setiap hentakannya memunculkan retakan halus di tanah yang telah terluka. Aura hitam keunguan menyelubungi sosok itu, bergulung-gulung di udara seperti tentakel iblis yang lapar.Lalu muncullah dia—seorang pria tua berjubah hitam