Bab 19
“Bagian mana yang kamu anggap gagal, Mbak?” tanyanya lagi.“Lihatlah, setelah apa yang kamu lalui, yang aku sendiri tahu pasti itu tidaklah mudah, kamu masih bisa menjadi ibu terhebat bagi Pandu dan juga Widuri.” Lanjut Cantika, tak berniat memberi kesempatan kepada Wintang untuk menjawab pertanyaan yang ia berikan.“Lihatlah, kamu masih jadi tempat ternyaman untuk Widuri,” ucap Cantika lagi. Kali ini ia menatap wajah Widuri, membayangkan jika dirinya juga memiliki anak secantik dan se menggemaskan keponakannya itu.“Entahlah …. Aku tidak tahu dari sudut mana kamu memandang,” balas Wintang, ikut menatap wajah Widuri yang sedang asyik terbuai oleh mimpi indah yang menyenangkan setelah apa yang baru saja ia lewati sebagai penghibur lara di hati bocah kecil itu.“Entah cara pandangmu yang salah, atau aku yang terlalu kufur akan nikmat yang Allah subhanahu wa ta'ala berikan sehingga hidupku seberantakan ini sekarang.” Lanjut WintBab 20Mendengar kata yang sama terucap dari mulut Bumi dan juga Denjaka, Ali tersenyum puas dan penuh kemenangan. Sejak awal, inilah yang sedang Ali rencanakan. Sebagai pengganti orang tua keduanya, Ali harus tetap memastikan bahwa Bumi dan Denjaka yang saling membutuhkan tidak sampai terpecah belah sampai kapanpun.Meski sudah menyatukan Bumi dan Denjaka kembali, Ali tahu tugasnya kali ini belum selesai. Sebab, dalam penglihatan Ali yang lain, asap hitam itu masih beterbangan di atas kepala Denjaka, enggan meninggalkan mangsa incarannya meski sudah dicoba lenyapkan oleh Ali.“Makanan sudah siap!” Cantika berteriak kencang dari depan teras, memanggil semua orang untuk datang.Mendengar teriakan Cantika, Bumi dan Denjaka buru-buru bangkit, berebutan untuk sampai lebih dulu, tak lagi ingat jika Pak Lek mereka masih tertinggal di sana. Sementara itu, dengan kepergian Denjaka yang begitu cepat, analisis yang sedang Ali lakukan secara diam-diam kini menjadi gag
Bab 21Menemukan Denjaka sudah tak berdaya di lantai, berada dalam dekapan Wintang yang kini tengah menangis tersedu-sedu di atas tubuh sang suami, lengkap dengan mata yang berkaca-kaca, Wintang tampak berusaha membangunkan Denjaka yang sedang tak sadarkan diri. Melihat itu, tentu saja Ali tidak tinggal diam, dengan gerakan yang sengaja ia buat cepat secepat mungkin, Ali menyingsing sarungnya dan segera mengambil alih posisi, meminta Wintang agar memberikan sedikit ruang untuk dirinya. Detik-detik berikutnya pikiran Ali berkecamuk, menimang apa yang akan ia lakukan sekarang.Kali ini, Ali tak bisa tenang. Pasalnya, ketika baru memasuki area dapur, asap hitam yang sejak awal mencuri perhatian Ali, mengepul sampai ke luar, memperlihatkan eksistensinya dengan jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Bahkan, saat ini kepulan asap itu semakin tebal, membentuk sebuah wajah wanita mengerikan yang sedang menatap Denjaka penuh kepuasan. Ali bisa melihat, jika apa yang sedang dit
Bab 22Padahal, saat ini situasi sedang tak memingkinkan untuk sekedar melempar guyonan, sebab Denjaka belum berhasil dibuat sadarkan diri. Akan tetapi, ekspresi Ali yang memang memiliki wajah slengean tentu saja selalu mengundang kelucuan, meski ia sama sekali tak berniat melucu sekali pun.“Opo iyo ngunu?” Ali malah kembali memberi balasan.Setelah bersusah payah, akhirnya tubuh Denjaka berhasil dipindahkan ke dalam kamar. Namun, untuk mengangkatnya ke atas ranjang dan membaringkannya di tempat tidur, sepertinya baik Ali dan Cantika, keduanya sudah tak menyanggupinya, menyerah begitu saja.“Aku ndak sanggup kalau harus mengangkat tubuh Denjaka yang beratnya seperti orang kebanyakan dosa ini,” kata Ali, angkat tangan lebih dulu.“Saya pun.” Cantika ikut menimpali, menumpukan kedua tangannya pada lutut, membungkuk dengan nafas tersengal-sengal.“Ya sudah, biar di sini saja,” kata Ali mulai mengambil keputusan, membiarkan tubuh De
Bab 23Mendengar permintaan maaf dari sang istri tanpa ada angin dan hujan, tentu saja Bumi merasa heran, langsung menoleh ke arah Cantika yang sejak tadi duduk di sebelahnya, menelisik, mencoba mencari jawaban atas apa yang ada pada istrinya.“Maaf untuk apa, Sayang?” tanya Bumi, heran mendapati wajah sang istri yang mendadak terdapat raut kesedihan di kedua netra indah yang selalu berhasil kagum sendiri.“Maaf karena sampai saat ini aku belum juga bisa menghadirkan anak-anak selucu Pandu dan Widuri dalam pernikahan kita,” jawab Cantika dengan manik mata yang mendadak menjadi basah.Cantika sangat mengenali sang suami. Sejak dulu, ia memang sangat menyukai anak kecil. Tak heran mengapa ia bisa begitu mencintai Pandu dan Widuri, keponakannya sendiri. Tak dapat dielak, kasih sayang yang tercurahkan kepada Pandu dan Widuri, itu semua adalah bentuk ketidakmampuan Bumi untuk menyampaikannya ke anaknya sendiri, Cantika tahu betul akan hal itu.
Bab 24Meski tidak terdengar nyaring, karena jarak lorong menuju kamarnya dan pintu utama berada lumayan jauh, namun indera pendengaran Cantika berhasil menangkapnya dengan jelas. Penasaran siapa yang datang bertamu, Cantika mengubah tujuannya, menunda menenangkan diri di dalam kamar, beralih menuju ruang depan di mana pintu utama terpasan“Assalamualaikum!” Seseorang mengucap salam.“Waalaikumsalam,” balas Cantika sembari mempercepat langkah kakinya.Tidak ingin membuat seseorang di luar sana menunggu terlalu lama, siapa tahu datang karena membutuhkan bantuan Denjaka untuk menangani masalah genting yang ia hadapi, Cantika sampai setengah berlari agar segera sampai dan bisa membukakan pintu.Klek!Kriiiieeet!Berhasil meraih gagang pintu, Cantika langsung membuka daun pintu lumayan lebar, menyambut seseorang yang datang.Rupanya, tak hanya satu orang yang ada di balik pintu, melainkan tiga orang, satu laki-laki
Bab 25“Inggih, Mas Den,” jawab Mbah Tarjo.“Bukannya Mas Den sendiri yang meminta saya pindah dari rumah lama dan tinggal di tengah kampung ini,” katanya lagi, tak punya rasa malu.Jelas-jelas ia tahu maksud dari apa yang pernah Denjaka katakan kepada dirinya. Hanya saja Mbah Tarjo sengaja menyalah artikannya demi mengambil sebuah kesempatan yang akan menguntungkan ia dan keluarganya, terutama Winingsih, putri kesayangannya.“Oh itu ….” Denjaka sekarang mulai mengerti, ia ingat apa yang memang pernah ia katakan kepada Mbah Tarjo sewaktu dalam perjalanan menuju rumah laki-laki tua itu dan keluarganya.Denjaka memang merasa miris, kasihan, sekaligus tak tega melihat Mbah Tarjo yang sudah sangat tua hidup sendirian tanpa adanya tetangga satu pun. Apa lagi dengan fasilitas yang sama sekali tidak memadai. Denjaka hanya tidak ingin Mbah Tarjo mengalami kesulitan jika sedang tidak sehat. Dengan medan jalan yang amat susah, licin, sempit serta b
Bab 26Mendengar apa yang sang suami katakan, Mbok Marni tentu saja tidak setuju. Ia mana mungkin terima jika capek-capek mengerjakan semua tanpa mendapatkan apa-apa. Pemikirannya selama ini terlalu realistis, Mbok Marni selalu ogah menggerakkan badannya jika tak ada keuntungan yang bisa ia dapatkan nantinya, tak peduli apapun alasannya.Merasa gemas karena suaminya bicara seenaknya tanpa memikirkan dirinya, diam-diam Mbok Marni menyelipkan tangannya, meletakkannya tepat pada sela-sela antara pangkal pahanya dan juga sang suami, mencubitnya kuat-kuat.Mendadak mendapatkan rasa sakit, persisi dicapit kalajengking, Mbah Tarjo terangkat, tubuhnya menggeliat, menahan sakit yang sengaja sang istri berikan kepadanya tanpa pesan terlebih dahulu serta tak memberikan aba-aba.“Aduh!” Mbah Tarjo menjerit kesakitan, tak bisa menahan diri meski saat ini ia tahu betul jika ia sedang berusaha mencuri simpati dari Denjaka.Mendengar jeritan kesakitan da
Bab 27Tentu saja, mendengar Wintang akan memberikan tempat bekas anak-anaknya, Mbah Tarjo senang bukan kepayang. Bukan apa-apa, pasalnya, belum apa-apa Mbah Tarjo merasa sudah berjaya, sudah berhasil menyingkirkan anak-anak Denjaka dan juga Wintang, mengambil alih kamar mereka. Atas dasar apa yang ada di dalam pikirannya, Mbah Tarjo menganggap ini adalah awal yang sangat baik, lebih dari apa yang sejak awal ia harapkan.“Apakah tidak apa-apa?” tanya Denjaka sekali lagi.Sebenarnya, ia juga merasa tak tega jika menolak Mbah Tarjo dan keluarganya tinggal di sini. Hanya saja, Denjaka tidak ingin keberadaan orang asing akan membuat kenyamanan ia dan keluarganya merasa terganggu. Biar bagaimanapun juga, Denjaka sangat mengerti jika anak dan istrinya juga membutuhkan privasi.“Hanya untuk sementara, Kang Mas. Setidaknya sampai Mbah Tarjo dan Keluarganya bisa menemukan tempat tinggal baru,” jawab Wintang, lengkap dengan senyum manis yang ia lemparkan ke
Bab 43Bersamaan dengan suara ngorok yang tak lagi terdengar tertahan di kerongkongan, sebelumnya Mbah Tarjo muda menukak, mengikuti gerakan mengangkat tubuhnya yang ia lakukan sebagai gerakan alami ketika menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya masih dalam pangkuan Mbok Marni.Setelah itu, tubuh Mbah Tarjo sama sekali tidak bergerak, terdiam kaku tanpa ada yang bisa dilakukan selain membiarkan wajahnya terdongak ke atas dengan mulut ternganga dengan sendirinya serda kedua manik mata yang mendelik sempurna.“Huhuhuhu ….” Tahu sang suami sudah tak lagi bernyawa, Mbok Marni hanya bisa menangis menggugu, mencoba menumpahkan beban di dada yang sedang ia rasakan.Cukup lama, Mbok Marni tak merubah posisi duduknya sama sekali, tetap duduk bersila dengan kepala Mbah Tarjo tetap berada di dalam pangkuannya.Lelah dengan tangis tiada henti yang sejak tadi ia lakukan, akhirnya tangis Mbok Marni selesai juga. Bukan karena tak lagi menanggung duka
Bab 42Baru berjalan beberapa langkah melewati ambang pintu penghubung antara dapur dengan ruangan yang lain, Winingsih menyadari jika sesuatu hal yang salah telah terjadi. Di ruangan tempat ia berdiri saat ini, Winingsih mendapati kabut hitam tebal berada di mana-mana, menyebar rata sampai menghalangi pandangannya dalam menentukan setiap langkah yang akan ia jalankan, menutup segala rintangan yang mungkin saja ada di depan mata pada langkah berikutnya.“Ya ampun,” pekik Winingsih lirih, langsung menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua telapak tangan miliknya yang ia bekapkan.Winingsih tertegun, tak percaya bukan main atas apa yang sedang ia saksikan saat ini. Dengan kabut hitam setebal ini, tentu saja ada sesuatu yang salah, apalagi Denjaka tak kunjung datang menemui dirinya sebagaimana yang sudah direncanakan sejak awal.Ingin mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, Winingsih mengedarkan sepasang matanya, mengelilingi setiap sudut rua
Bab 41Dilanda rasa sakit luar biasa pada seluruh permukaan kulitnya yang kini terkelupas semua dengan sendirinya, tidak membuat Mbah Tarjo lupa pada ritual yang belum sempat ia selesaikan. Sambil berguling-guling di lantai, merasakan rasa sakit dan panas yang sudah tak bisa ia tahan, Mbah Tarjo memang mengerang kesakitan, namun isi kepalanya tidak tinggal diam dan pasrah pada keadaan begitu saja, tetap memikirkan cara bagai mana agar ritual yang sebelumnya ia lakukan tetap bisa diselesaikan. Sebab, kalau sampai gagal, itu artinya apa yang saat ini sedang Winingsih upayakan tidak mungkin bisa berhasil juga. Jika sudah begitu, mau tidak mau, Mbah Tarjo harus memulai dari awal lagi, mencari hari yang tepat kembali yang tak tau kapan akan ada untuk yang kedua kali."Bu, cepat rapikan wadah perapen diang Bapak!" Dalam kepanikan bercampur kesakitan luar biasa, Mbah Tarjo berteriak, memerintahkan Mbok Marni untuk segera melakukan apa yang ia pinta."Apa, Pak?" B
Bab 40Setelah memilah beberapa saat, akhirnya Mbah Tarjo muda sudah membuat keputusan. Dengan langkah mantap dan penuh kepastian, serta merasa amat begitu yakin, Mbah Tarjo muda berjalan melewati para gadis yang duduk terikat tak beraturan, menuju seorang gadis belia bertubuh tambun yang sudah kehilangan banyak bobot tubuhnya gara-gara tak pernah makan maupun minum selama disekap, namun masih terlihat lebih segar jika dibandingkan dari para gadis lain yang turut serta bernasib sama, menjadi tawanan penculikan yang telah Mbah Tarjo muda lakukan tanpa diperlakukan sebagai mana mestinya seorang manusia diperlakukan, apa lagi mereka semua adalah perempuan yang sudah pasti layak mendapatkan perlakuan baik dalam hal apapun yang memang menjadi hak setiap perempuan di dunia ini.Tanpa permisi, Mbah Tarjo muda langsung mencekal kerah baju yang digunakan oleh gadis itu, menyeretnya hingga sejauh beberapa meter, membawanya ke depan semua orang, di mana sebuah dipan telah ia
Bab 39 Benar saja, setelah perjanjian yang ia buat bersama Nyai Welas Asih beberapa waktu yang lalu, kini kebahagiaan menyerbak, datang tak terduga di tengah-tengah keluarga kecilnya. Dengan kebahagiaan tiada tara, Mbah Tarjo muda duduk memangku sang istri tercinta sembari mengelus lembut perut Mbok Marni muda yang mulai kelihatan membuncit. Tiga bulan berselang setelah kepulangan sang suami yang tak ia ketahui dari mana, pulang ke rumah dalam keadaan lusuh serta pakaian basah dan juga kotor melekat pada tubuhnya, lemas tak bertenaga, kini Mbok Marni mengandung begitu saja. Telah lama menantikan momen bahagia yang hari ini ia rasakan, tentu saja Mbok Marni muda sangat bersenang hati sekarang. "Mas .... Akan kita beri nama siapa anak kita nanti?" tanyanya antusias, begitu penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh sang suami tercinta. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan ol
Bab 38Sosok itu adalah Nyai Welas Asih, sosok penunggu hutan larangan yang sejak awal ia cari-cari. Sembari menarik ujung selendang yang ia biarkan menjuntai ke bawah, serta salah satu telapak tangan yang ia tumpu pada telapak tangan yang lain, dijadikan alas penahan agar terlihat cantik dan juga anggun.Sosok perempuan dari bangsa lelembut bernama Nyai Welas Asih itu memang cantik jelita. Berbeda dari cerita yang tersebar dari mulut ke mulut yang mengatakan sosok Nyai Welas asih sungguh mengerikan dan juga kejam, kenyataan yang Mbah Tarjo lihat justru memiliki paras paripurna nan penuh pesona. Siapapun pemilik pasang mata yang melihat kecantikan Nyai Welas Asih, sudah pasti ia akan jatuh cinta."Kau bilang rela berpaling dari Tuhanmu itu jika aku berani muncul di hadapanmu?!" kata Nyai Welas Asih, mencebik penuh rasa tidak suka ketika mendengar Mbah Tarjo muda tanpa sengaja mengucap kalimat istigfar ketika terkejut."Buktikan jika kamu memang ma
Bab 37Bersamaan dengan para burung yang beterbangan keluar, meninggalkan kawasan hutan, semilir angin yang sebelumnya sibuk menggoyangkan dahan pohon dan juga dedaunan, kini menghentikan tariannya. Tak ada sedikit pun hembusan yang dapat terasa.Hawa dingin yang sebelumnya menusuk hingga meresap masuk ke dalam tulang, kini juga hilang seketika, berganti dengan hawa panas yang menjalar pelan dari ujung kaki Mbah Tarjo muda, naik perlahan sampai ke ubun-ubun kepala.Suasana hutan saat ini sangat benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Hawa yang semula mencekam, kini semakin mendalam dan menyeramkan.Di tengah hutan yang dipayungi rintik hujan, Mbah Tarjo berlutut menghadang sosok makhluk penguasa hutan yang sangat ia harapkan akan muncul di hadapannya, sosok yang sejak awal menjadi tujuannya demi menghapus segala duka lara yang ia derita. Dengan mata yang penuh penyesalan dan luka, ia masih menunggu sosok itu, mengorbankan segala keselamatan ya
Bab 36Mbah Tarjo tahu betul jika di dalam hati Denjaka hanya ada nama istrinya seorang. Sungguh mustahil untuk membuat Winingsih menempati sebagian hati Denjaka. Itulah sebabnya, mau tidak mau, Mbah Tarjo harus melakukan hal ini, meminta bantuan kepada Ndoro Nyai Asparasih, sang penguasa hutan larangan yang berada dekat dengan desa mati tempat ia tinggal sebelumnya, persis seperti apa yang ia lakukan belasan tahun lalu ketika berputus asa ingin memiliki seorang anak dalam pernikahannya yang sudah berjalan puluhan tahun lamanya.Dahulu, dalam keputus asaannya yang tak kunjung dikaruniai seorang anak oleh Allah Subhanahu wa ta'ala di usianya yang tak lagi muda, Mbah Tarjo mulai merasa gelisah. Ia takut, jika seumur hidupnya, ia dan istri tak akan pernah merasakan bagai mana rasanya jadi orang tua serta akan merenta berdua saja tanpa ada yang akan mengurus ia dan juga sang istri di usia senja yang pasti akan tiba.Ditambah, setiap hari Mbah Tarjo harus menya
Bab 35Meski sudah beberapa saat, bara-bara api berbentuk serpihan kecil-kecil yang ada di seluruh permukaan lantai pada ruangan tersebut tetap menyala, menyalap terang bak tak bisa padam. Beberapa serpihan bahkan masih menempel pada badan Mbah Tarjo. Bukannya berkurang, jumlahnya justru kian bertambah, menempel kembali akibat Mbah Tarjo yang tak bisa berhenti mengguling-gulingkan tubuhnya. Seolah tidak ingat jika hampir seluruh permukaan lantai di ruangan tersebut penuh dengan serpihan bara api yang berhamburan di mana-mana."Panas! Panas! Panas!" Sama seperti sebelumnya, Mbah Tarjo terus berteriak kesakitan sembari berguling rata, meratakan serpihan bara api yang masih menyala.Melihat keadaan sang suami uang ada di depan mata, Mbak Marni tertegun beberapa saat. Ia bingung harus berbuat apa sekarang untuk menolong sang suami yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan luka lepuhan yang sudah memecah, menyingkapkan kulit yang sedang mengalami luka bakar, menyis