Beranda / Fiksi Remaja / Petaka Di Lorong Kampus / Bab 5. Terkuaknya Kisah

Share

Bab 5. Terkuaknya Kisah

Penulis: SunnyBells09
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Renata membiarkan rambutnya acak-acakan, dia tak ingin membereskanya dengan masuk ke toilet, lebih baik dia rapihkan dengan jari dan pergi dari tempat itu untuk masuk ke kelasnya. Tak dihiraukanya Seno yang terus memanggil-manggil namanya.

Namun tetap saja Renata tak dapat memfokuskan dirinya untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan sang dosen. Dia terus memikirkan segala kemungkinan tentang Seno, tapi juga dengan cepat menyangkal pemikiranya sendiri, begitu seterusnya yang Renata pikirkan, hingga kemudian ada bunyi beep berasal dari ponselnya.

[“Re, ada yang mau gue ceritain, pulang kuliah lo bisa ga dateng ke rumah gue?”]

Renata membaca pesan singkat dari Nadia, untunglah tak lama kemudian dosen mengakhiri kelasnya dan berlalu meninggalkan para mahasiswanya yang sedang bersiap pindah ke kelas selanjutnya, ada juga yang bersiap pulang. Seperti halnya Renata, ini adalah kelas terakhirnya untuk hari ini, dia membereskan buku-bukunya dan mendial nomor Nadia tanpa beranjak dari tempatnya semula, dia langsung menanyakan apa yang ada di benaknya begitu terdengar kata hallo dari seberang sana. “Mau ngomongin apaan? Kenapa harus ke rumah lo segala?”

[“Orang kalo nelpon tuh ngucap salam dulu, jangan maen semprot aja”]

“Ehh iya.. Assalamu’alaikum ukhti”

[“Wa’alaikumsalam, ada apa gerangan paduka ratu menelpon hamba yang syantik ini?”]

“Ada juga gue yang nanya, lo mau ngomongin apaan? Ngapain pake nunggu selesai kuliah dulu? Kenapa ga sekarang aja?”

[“Sabar shay... lo mau tau soal Seno kan? gue cuma bisa kasih jawabanya di rumah, bukan di area kampus”]

“Kenapa begitu?”

[“Nanti juga lo akan tau, kelas lo selesai jam berapa? Gue sama Yoke udah lagi siap-siap mau pulang nih”]

“Sama, gue juga baru aja kelar kelas terakhir, ya udah ketemu di parkiran ya”

Renata menutup telpon dan menyadari bahwa kini di ruangan itu dia tertinggal sendirian, ruang kelas itu sendiri berada di lantai 8, itu adalah ruang kelas Pak Damar, dosen yang mengajar ilmu sosial budaya. Renata bergidik ngeri menyadari dia seorang diri di lantai atas bangunan kampusnya. Dilihatnya dari balkon kelasnya itu dibawahnya adalah jalan raya besar yang padat kendaraan. Perasaan Renata jadi tak karu-karuan melihat pemandangan dibawahnya. Buru-buru dia keluar dari kelas tersebut dan langsung menuju lift untuk turun.

***

Ketiga gadis remaja sedang berkumpul di ruang tamu, mereka adalah Renata, Yoke dan Nadia selaku tuan rumahnya. Rumah Nadia ternyata tak jauh dari rumah Yoke, hanya berjarak sekitar 15 menitan, pantas saja mereka berdua jadi cepat akrab ditambah lagi mereka kuliah mengambil jurusan yang sama, yaitu fakultas ekonomi jadi wajar saja kalau mereka kemana-mana selalu berdua.

“Kakak lo masih lama ga pulangnya Nad?” tanya Renata sudah tak sabar ingin mendengar cerita apa yang ingin disampaikan oleh Nadia padanya.

“Sabar Re, tadi Kak Wendi bilang udah di depan jalan sana, tinggal belok doang”

“Beloknya kemana? Ko dari tadi ga sampe-sampe?” kali ini Yoke ikutan memprotes Nadia.

Mereka bertiga sedang menunggu Wendi, kakaknya Nadia. Karena hanya Wendi yang bisa menceritakan hal yang dijanjikan Nadia pada Renata tadi, setidaknya begitu menurut Nadia. Tak berapa lama terdengar seseorang mengucap salam, yang langsung dijawab oleh ketiganya.

“Nah tuh, Kak Wendi udah pulang” ucap Nadia.

“Hai, lama ya nunggunya?” Wendi langsung menyapa teman-teman adiknya dengan ramah, setelah berbasa basi dan berkenalan dengan Renata, Wendi berpamitan untuk ke kamarnya dulu karena ingin mengambil sesuatu yang akan di perlihatkan pada Renata.

“Sebenarnya ada apa sih kalian pengen aku kesini? Ko kaya misterius gitu?”

“Tenang ya Re, biar Kak Wendi yang jawab dan jelasin”

Wendi berdehem kecil setelah mendengar namanya disebut oleh Yoke, membuat ketiga remaja putri itu menoleh kearahnya. Wendi kembali bergabung dengan membawa sebuah album foto.

“Lihat deh Re, ini ada beberapa foto semasa perkenalan kampus angkatanku dulu, aku juga pernah berfoto sama Dylan dan Seno, coba kamu perhatiin deh, Seno ini bukan yang kamu kenal?” Wendi menarik kursi single untuk duduk berhadapan dengan Renata dan memperlihatkan foto-foto yang dibawanya.

Renata meraih foto yang disodorkan oleh Wendi, dan melihat ada 3 orang dalam foto tersebut, yaitu Wendi, Dylan dan juga Seno. “Iya kak, ini dia Seno yang sering ketemu aku, jadi kalian satu angkatan?”

“Bukan hanya satu angkatan di kampus, tapi kami bertiga juga satu SMA dulu saat sekolah, bahkan satu kelas”

“Ohh... begitu, lah terus apa urusanya dengan membawaku kesini?”

Wendi mendadak menggenggam tangan Renata, “Re... Seno itu udah meninggal 3 tahun lalu, dia meninggal karena bunuh diri.”

“Ngga mungkin, itu bohong kan?” suara Renata seakan tercekat di tenggorokan, dia mulai mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan Seno di pagi hari saat kampus masih sepi, hingga kecurigaanya sendiri yang selalu disangkalnya.

“Itu kenyataanya Re, coba lo liat lagi foto yang tadi di kasih Kak Wendi, benerkan orangnya yang itu?” kali ini Yoke ikut berusaha meyakinkan Renata.

“Kalo memang Seno udah meninggal, terus yang gue temuin itu siapa? Yang ngobrol sama gue itu siapa? Ga mungkin hantu kan?”

Tak ada yang menjawab pertanyaan Renata kali ini, semuanya terdiam dan hanya saling pandang satu sama lain.

“Re, setelah kejadian 3 tahun lalu itu ga pernah ada kejadian seperti yang kamu alami, Seno ga pernah menampakan dirinya pada siapapun, itu sebabnya kakak juga kaget pas denger cerita dari Yoke tentang kamu yang selalu bercerita soal Seno anak semester 7 jurusan tehnik, tapi kakak juga harus meastikan sendiri apakah itu Seno teman kami atau bukan yang kamu maksud.” Akhirnya Wendi bersuara dan berusaha menenangkan Renata.

“Apa Kak Wendi yakin Seno udah meninggal karena bunuh diri ka?”

“Jadi gini Re, soal kejadian yang sebenarnya kakak juga kurang tau pasti, karena kan kakak beda jurusan dengan Seno maupun Dylan, kakak ambil ekonomi sedangkan mereka berdua ambil tehnik sipil.” Wendi berhenti sesaat untuk menarik napas dan menatap Renata lebih dalam, baru kemudian dia melanjutkan kalimatnya.

“Soal kematian Seno sendiri sebenarnya banyak versi, ada yang bilang kecelakaan ada yang bilang bunuh diri, tapi internal kami yang teman dekat Seno sih lebih percaya ke versi bunuh diri.”

“Ko bisa begitu kak? Emang ga lapor polisi buat diusut? Kenapa kita dulu ga pernah denger soal kejadian ini?”

“Pihak kampus sepertinya sengaja merahasiakan ini dari dunia luar, karena untuk menjaga nama baik kampus kita, dan setelah kejadian Seno ditemukan tewas itu tak ada lagi orang yang berani nyebut-nyebut nama Seno terutama di lingkungan kampus hingga sekarang”

“Jadi selama ini gue ngobrol sama hantunya Seno ya? Pantesan banyak yang bilang gue sering ngomong sendirian, jadi ternyata yang ngeliat Seno cuma gue sendiri ya?” gumam Renata pelan seperti hanya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Bab terkait

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 6. Lorong Tak Bertepi

    “Ini gila sih, masa sih Seno ternyata orang yang udah meninggal?.” Renata berjalan mondar mandir di kamarnya sambil terus bergumam sendiri, saat kembali dari rumah Nadia tadi memang Renata langsung pulang dan langsung mengunci diri dalam kamarnya. “Aku harus mencari tau sendiri, aku ga percaya Seno sudah meninggal,” gumam Renata namun sesaat kemudian dia termenung. “Tapi mata Seno memancarkan aura aneh sih, aku kadang takut kalo ngeliat matanya” Renata masih saja bermonolog. Hingga sebuah hembusan angin dingin menerpa wajahnya, Renata tersentak dan langsung menoleh ke arah AC kamarnya, di raihnya remote AC dan dia memeriksanya. Saat dia melihat tidak ada yang salah dari setinganya, dia pun mengabaikan apa yang baru saja terjadi. “Aku bukan anak indigo yang bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata, jika aku bisa melihat Seno berarti Seno adalah manusia” Renata masih gelisah memikirkan semua apa yang di katakan sahabatnya, terkadang dia merebahkan dirinya di atas ranjang, sesaa

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 7. Maaf Dylan...

    Renata belum sempat mencerna apa yang terjadi dengan dirinya saat beberapa pria berdatangan dengan memegang senjata di tangan masing-masing. “Mau apa kalian? Pergi! Jangan ganggu aku!” Pria-pria berbadan tegap tersebut tak menggubris omongan Renata, bahkan mereka malah menertawakannya, Renata tak mampu melihat wajah-wajah mereka dengan jelas. “Pergiiii! jangan ganggu aku!” Karena ketakutan, Renata berusaha berlari kembali, namun tangan kekar para pria tersebut berhasil menangkap tubuh Renata. “Tidaakkk.... jangan sakiti aku, tolooooonggg” Teriakan Renata seolah memantul dalam lorong tersebut, tak ada siapapun disana yang bisa menolongnya, Renata terus meronta dan berteriak meminta tolong. “Tolooooong....” Renata melihat tangan kekar mereka hendak menyentuhnya, Renata sudah bersiap untuk menangkis dan melawan sebisanya, hingga yang dia rasakan adalah tepukan lembut di pipinya. “Renata... Renata bangun Re” Terdengar lirih sebuah suara yang lembut memanggil Renata yang masih be

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 8. Permintaan Seno

    Dylan mengantarkan Renata sampai di rumahnya, dan malam ini baik Yoke maupun Nadia memutuskan untuk menginap di rumah Renata, Dylan pun berpamitan pulang setelah sebelumnya membuat Renata setuju untuk bertemu denganya di cafe ataupun menginjinkanya untuk kembali mengunjungi Renata di rumahnya, dan memintanya untuk bicara hanya berdua saja.Malam ini ketiga gadis tersebut tidur dalam satu kamar, walaupun ranjang Renata berukuran single tetapi kamarnya lumayan besar, hingga Mba Iyus bisa menyiapkan extra bed untuk Yoke dan Nadia.“Re, lo istirahat aja, tidur di ranjang, biar gue sama Nadia tidur di bawah, di extra bed”“Iya Re, lagian extra bednya empuk ko” Nadia menimpali perkataan Yoke.Yoke dan Nadia sudah mengatur posisi ternyamannya, dan merebahkan diri. Melihat kedua temanya bersiap untuk tidur, Renata pun ikut merebahkan diri di ranjangnya, meskipun sebenarnya dia sangat ingin menceritakan pada Yoke dan Nadia tentang hal yang dialaminya saat di ruang UKM, namun dia memutuskan unt

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 9. Rencana

    Akhirnya dengan terpaksa Renata menyanggupi permintaan Seno, dia terus memutar otak bagaimana menyelidiki kasus Seno. Namun selalu saja pikiranya berakhir buntu, dia tak bisa menemukan ide apapun untuk membantu Seno mengingat kembali masa lalunya. “Kau pulanglah dulu Seno, aku harus beristirahat, semoga besok pagi otakku bisa kupakai untuk mencari ide cemerlang untuk mengungkapkan kasusmu” Tanpa menunggu jawaban Seno, Renata langsung beranjak dan kembali lagi ke dalam kamarnya. Disana dia melihat kedua sahabatnya masih tertidur pulas. ‘Apa aku minta bantuan dua orang ini aja ya?’ pikir Renata. Renata pun memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Yoke dan Nadia esok hari, dia segera naik ke atas ranjang dan berusaha untuk kembali tidur. Namun matanya seperti susah untuk diajak kerjasama, semakin dia berusaha semakin matanya terjaga. Alhasil itu membuat Renata terus berguling ke kanan dan ke kiri, menimbulkan suara berisik yang membuat Yoke terbangun. “Re? Lo ga bisa tidur ya?” R

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 10. Saingan Seno

    Pagi ini Renata cs kembali membahas masalah Seno, walaupun mereka telah bangun namun ketiganya masih setia rebahan di kasur, belum ada satupun yang keluar kamar.“Non... Non Rena, bangun non, sarapanya sudah siap”Seperti biasa Mba Iyus selalu membangunkan Renata untuk sarapan.“Iya mba, ini sudah bangun kok dari tadi” sebelum Renata sempat membuka mulutnya, Yoke terlebih dahulu menjawab dengan tereakanya yang membahana, Mba Iyus yang berdiri di depan pintu sampai harus menutup kedua telinganya.Hari ini sesuai janjinya pada Seno, Renata bertekad akan berusaha mencari informasi mengenai Seno ataupun orang-orang yang terlibat kejadian di hari Seno ditemukan tewas. Renata tak banyak bicara saat mereka menyantap sarapan yang disediakan Mba Iyus, hanya sesekali Nadia terdengan berbicara seputar gosip kampus, Yoke pun terlihat enggan mengeluarkan suaranya, dia hanya makan sambil tanganya sibuk memainkan ponsel.“Ke, kamu serius amat ngeliatin hp, lagi chatingan sama siapa?”“Ah.. lo kepo b

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 11. Tangan Itu...

    “Maksud Kak Dylan? Aku ga ngerti deh, bukanya kalian bersahabat ya?”“Kami berempat memang dekat dari jaman sekolah dulu, tapi Seno selalu menganggapku adalah sainganya”“Berempat?” Renata pura-pura tidak mengerti siapa yang Dylan maksud dengan berempat.“Jaman sekolah dulu kami bersahabat, ada empat orang, aku, Seno, Wendi dan Yasmine”“Yasmine?”Wajah Dylan terlihat murung saat Renata menanyakan hal tentang Yasmine.“Maaf kak, kalau pertanyaanku susah untuk dijawab, ga usah di jawab aja”Dylan menarik napas panjang, dan menggelengkan kepala.“Tidak apa-apa Re, hanya saja... ada hal yang mungkin kau tidak akan mengerti jika kuceritakan”Renata langsung antusias mendengarnya. “Coba aja dulu cerita kak, kali aja ternyata aku mengerti”Dylan tertawa melihat sikap Renata yang dianggapnya seperti anak kecil yang sedang membujuknya untuk memberikan mainan baru.“Aku juga ga ngerti, setelah masuk kuliah sikap Seno sedikit berubah, dia seperti bersaing denganku, entah... aku sendiri tidak t

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 12. Dylan Bohong?

    Seno menatap tanganya sendiri, terdapat tanda di dekat pangkal jari kelingkingnya, tidak terlalu besar dengan bentuk acak berwarna coklat gelap. Seno tampak sedang memikirkan sesuatu, dia mengerutkan keningnya dalam.“Seno? Kamu lagi mikirin apa?”Bukanya menjawab pertanyaan Renata, Seno malah terlihat asik dengan pikiranya sendiri, hingga perlahan Renata melihat tubuh Seno menjadi samar dan menghilang sama sekali.***Pagi ini Renata sudah kembali pada aktivitas kuliahnya, karena Mang Arija ijin cuti untuk pernikahan anaknya di kampung, jadilah Renata menyetir mobil sendiri ke kampusnya. Dalam perjalanan Renata menerima pesan singkat dari Dylan.[“Renata, jangan lupa sore ini kita bertemu lagi di cafe kemarin, dan aku belum menerima kiriman foto kita”]Renata menghembuskan napasnya kasar dan mengusap wajahnya. “Bagaimana cara aku mengirimkan fotonya? Disana bukan hanya ada kami berdua, tapi ada satu sosok yang menyerupai Seno ikutan berfoto”Hingga sampai di kampus Renata masih tidak

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 13. Tidak Nyaman Dengan Perlakuan Damar

    Renata tidak mengatakan apapun lagi, dia berniat akan mencari tau sendiri apa yang disembunyikan Dylan ataupun Wendi. Setelah sarapan mereka berpisah untuk masuk ke kelas masing-masing. Pikiran Renata tak bisa fokus ke materi pelajaran yang disampaikan oleh dosen, dia tenggelam dalam lamunanya sendiri. Hingga salah seorang teman yang duduk di sebelah Renata mencoleknya. “Hei... kamu di panggil tuh sama Pak Damar” Renata gelagapan karena dia tidak mendengar dosen memanggil namanya. “Iy..iya pa?” “Kamu kalau di kelas selalu melamun? Bagaimana kamu bisa lulus kelas saya kalau kamu tak pernah menyimak materi yang saya berikan?” “Maaf pa.. saya tidak akan mengulangi lagi” Beruntung bagi Renata dosen tersebut tidak mempermasalahkan ataupun mengeluarkan Renata dari kelasnya, dia hanya menyuruh Renata menemuinya di ruang dosen setelah perkuliahan selesai. *** Setelah jam kuliah selesai Renata hendak pergi ke ruangan Damar, karena langkahnya terburu-buru tanpa sengaja Renata menabrak s

Bab terbaru

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 104. Sakitnya Dibohongi

    Renata terbengong sendiri mendengar perkataan Sena, sedangkan Sena tersenyum-senyum menatap wajah Renata dan membayangkan mereka tinggal bersama.“Sebentar deh Sena, kamu kan baru aja kuliah disini, kenapa mau pindah?”“Ya ga papa sih, abis ternyata disini membosankan suasananya, apalagi kalau nanti ga ada kamu, bisa kebayang kan sekeriting apa otakku nanti?”Renata tertawa renyah mendengar kelakar Sena, “Ada-ada aja kamu Sena”“Kalian berdua lagi ngomongin apaan sih?” Yoke tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Renata dan ikut duduk disisinya.“Hei Yoke, kamu tambah manis aja hari ini”“Aduh Sena, ga usah ngegombalin gue deh, kaga mempan tau ga?! Kemaren gue abis mutusin cowo gue, gara-gara gombalan dia udah basi, udah expired”“Ya ampun Ke, lo sadis banget sih”“Iihh abisnya dia ga kreatif ngerayu cewe Re, bikin bosen”“Ke, lo dalam sebulan ini udah berapa kali ganti pacar?”“Ehm... lupa gue, abis rata-rata mereka pada jahat, cuma pe ha pe doang”Renata hanya geleng-geleng kepala

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 103. Lamaran

    “Jadi... maksud saya datang kesini adalah untuk melamar Dek Camelia, untuk menjadi istri saya dan juga mamanya Dylan, dan saya juga bersedia menjadi ayah bagi Rama dan Leon,” ucap Bramantyo sambil menyodorkan kotak beludru warna biru yang di dalamnya berisi cincin berlian.Camelia terkesiap mendengar lamaran yang diucapkan oleh Bramantyo. Dia memang sudah bisa menebak rasa yang belum diungkapkan oleh laki-laki yang usianya hampir kepala lima itu. Bahkan hari kemarin saat mereka pulang setelah main seharian di mall, Camelia sebenarnya terus menghindari percakapan dengan Bramantyo, karena dia sudah bisa membaca dan menebak arah dari kalimat laki-laki yang pernah menjadi atasan mendiang suaminya itu.Dylan yang mengantar ayahnya untuk melamar Camelia hanya menganggukan kepala dan tersenyum saat Bramantyo melanjutkan kalimatnay yang mengatakan bahwa anaknya pun sudah memberikan restu dan menerima jika Camelia mau menjadi istrinya.Camelia menjadi serba salah, disatu sisi dia tak ingin ke

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 102. Diam Diam Tidak Suka

    Bramantyo mengajak Camelia dan kedua anak balita itu untuk keluar dan jalan-jalan ke mall, meskipun awalnya Camelia menolak, namun karena melihat wajah Rama dan Leon yang melompat senang dengan tawaran dari Bramantyo, akhirnya dia pun mengalah dan menuruti keinginan ketiga pria berbeda usia tersebut.Mereka juga mengajak kedua pengasuh Rama dan Leon untuk ikut serta. Jadilah mereka bertujuh dengan supir pribadi Bramantyo, berangkat menuju mall di pusat kota Jakarta.“Papa Bram, nanti di mall kita boleh jajan es krim ga?” Leon bertanya dengan menatap wajah Bramantyo penuh harap, dan langsung tersenyum serta melompat bahagia karena mendapat persetujuan dari Bramantyo dan juga Camelia.“Aku juga mau”“Iya Rama, nanti kita beli es krim yang banyak dan kita bisa makan bersama-sama”“Yeeyyy, terimakasih Papa Bram”“Sama-sama sayang”Camelia yang melihat interaksi kedua bocah itu dnegan Bramantyo hanya bisa tersenyum haru, dia berpikir andaikan saja dulu Damar bisa sehangat itu sikapnya pada

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 101. Tawaran beasiswa

    Renata akhirnya memutuskan untuk berjalan menuju kantin demi menemui Yoke dan Nadia. Keduanya memang masih berada di kantin karena menunggu Renata sambil juga menunggu kelas mereka selanjutnya.“Disebelah sini Re” Yoke dengan suara cemprengnya yang khas memanggil Renata yang baru saja tiba di kantin.Renata mengambil tempat duduk dan bergabung dengan Nadia dan Yoke.“Ternyata Kak Dylan kenal dengan Sena, tadi aku lihat mereka ngobrol seolah sudah saling mengenal lama”“Iya Re, kami sudah tau itu, tadi sewaktu kamu di kelas, kami sudah bertemu dengan Kak Dylan, dan menceritakan tentang sosok mahasiswa yang wajahnya mirip dengan Seno”Renata menoleh dan menatap Nadia. “Jadi kalian menceritakan perihal Sena ke Kak Dylan?”“Iya Re, terus Kak Dylan bilang Sena itu adik sepupu jauh Seno, papanya Sena itu sepupuan sama papanya Seno” Yoke menjelaskan apa yang di dengarnya dari Dylan dengan antusias.Renata mengangguk-anggukan kepalanya, kini dia baru mengerti. “Oh.. Jadi Sena itu masih ada ik

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 100. Kamu Seno Kan?

    Flashback onPagi ini Renata mengantarkan kedua orangtuanya sampai ke bandara, hari ini mereka harus kembali karena cuti yang diambil ayahnya sudah habis.“Re, kalau ada apa-apa cepat kabari mommy, terus kamu jangan telat makan ya”“Iya mom, Re akan selalu ingat nasehat mommy”“Re, jangan terima tamu lagi kalau malam-malam, batas akhir bertamu itu jam sepuluh, ingat itu!”“Iya papi, Re akan terapkan aturan itu ke semua temen-temen Re”Setelah memberikan wejangan panjang lebar pada anak semata wayang mereka, tibalah kini waktunya mereka untuk berpisah, karena nomor penerbangan pesawat ayah dan ibu Renata sudah dipanggil.Renata pun sekali lagi berpelukan dengan kedua orangtuanya, dan melepaskan mereka untuk kembali ke Kalimantan.Setelah dari bandara, Renata langsung pergi ke kampusnya karena dia ada jadwal kuliah siang ini.“Re, di sebelah sini” Teriakan Yoke langsung menyambutnya kala Renata baru saja turun dari mobil yang baru saja diparkirkanya. Dilihatnya Yoke dan Nadia melambaik

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 99. Permintaan Dylan

    Dylan menatap ayahnya dengan pandangan horor. Namun Bramantyo mengangguk dengan mantap. Kali ini giliran Dylan yang menarik napas dalam serta menggelengkan kepalanya.“Untung aku tidak jadi menikah dengan Yasmine, apa jadinya nanti jika papa menikah dengan Kak Lia, berarti papa jadi kakak iparku dong”“Eh, enak aja kamu nikah sama Yasmine. Papa tidak setuju, asal kamu tau ya Lan, sebenarnya Yasmine itu selalu mengancam papa bahwa dia akan menyebarkan informasi pada media jika anak yang di kandungnya itu adalah anakmu, dan kamu tidak mau bertanggung jawab, itulah sebabnya papa setuju dengan usulan Damar untuk mengirim Yasmine ke luar negeri, agar dia tutup mulut, tetapi setelah tinggal disana, Yasmine selalu meminta uang ke papa dalam jumlah besar”“Oh.. itu.. ehm, jadi itu sebenarnya... Yasmine pun sedang diancam pah, dan dia harus mengirimkan uang dalam jumlah besar, tapi papa tidak usah khawatir, uang papa masih ada kok, utuh”“Maksud kamu apa Lan?”Dylan pun kemudian menceritakan p

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 98. Percakapan Di Meja Makan

    Camelia mendengar seluruh pertengkaran Yasmine dan kedua orangtua Damar, dia juga mendengar semua yang diucapkan Damar saat Yasmine pergi dengan membawa amarahnya atas penolakan kedua orangtua Damar tersebut, juga tentang ancaman Ayah Damar yang tidak akan memberikan warisanya jika terbukti bahwa anak yang dikandung Yasmine itu adalah anaknya.Setelah Damar pun kemudian pergi karena di suruh Sri untuk menemui Camelia di rumah sakit, Camelia pun keluar dari persembunyianya dan langsung menemui Sri dan Abdulah yang terkejut melihat kemunculan Camelia yang tiba-tiba di rumah mereka.“Lia? Sejak kapan kamu datang nak?” tanya Sri dengan wajah cemas dan was-was kalau Camelia mendengar semua pertengkaran yang baruan terjadi.“Lia sudah mendengar dan mengetahui semuanya bu, jadi bapak dan ibu tak perlu menutupi hal ini lagi dari Lia”Sri langsung menangis dan memeluk Camelia. “Maafkan anak ibu nak, damar itu memang laki-laki bodoh yang menyia-nyiakan wanita baik sepertimu, tapi ibu mohon jang

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 97. Camelia

    Mulut Renata terbuka lebar heran sekaligus merasa geli sendiri dengan apa yang Dylan ucapkan. “Kak Dylan kaya anak kecil aja sih, lagian aku kan bukan barang, aku juga bisa jaga diri aku sendiri”Renata menyembunyikan tawanya dengan berdehem beberapa kali. “Jadi Kak Dylan malam-malam datang kesini cuma buat ngomongin ini?”“Yy… ya ga gitu juga Re, aku kesini karena khawatir sama kamu” Dylan nampak tergagap menjawab pertanyaan Renata.“Khawatir? Aku kan ada di rumah, lagipula ada mommy dan papiku disini”Dylan langsung terlihat salang tingkah dan menundukan kepalanya, bukan karena kalimat yang diucapkan Renata, tetapi karena papinya Renata yang terlihat sedang menuruni tangga dan melihat ke arah mereka berdua.“Malam om” Dylan berdiri dan menganggukan kepalanya.“Malam, ada hal penting apa sampai kamu bertamu malam-malam begini ke rumah seorang gadis?”Renata ikut berdiri dan menolah ke belakang saat mendengar suara bariton milik sang ayah.“Eh papi, kenalin pih, ini temen Re... namany

  • Petaka Di Lorong Kampus   Bab 96. Seno Berpamitan

    “Kenapa kamu ga pernah keliatan setelah kejadian di kampus itu? Kamu juga ga datang sewaktu aku di rawat di rumah sakit”Renata menatap Seno yang tengah menatapnya dengan senyuman tersungging di bibir tipisnya.“Kata siapa aku tidak datang? Aku selalu ada di sisimu, hanya saja kamu sudah tidak bisa lagi melihat atau mendengarku”“Memangnya kenapa?”“Karena… waktuku sudah hampir habis Rena, aku datang kesini hendak berpamitan denganmu, dan terimakasih banyak karena kamu sudah mau membantuku, kini aku tak lagi merasakan kemarahan dalam hatiku, juga kegelisahan itu tak pernah lagi ada di hatiku”“Sekarang aku sudah bisa menerima semuanya, dan sebentar lagi aku akan dijemput, jika kamu merindukan aku, kamu bisa menatap langit, disana aku melihatmu dan juga mendoakan dirimu”Mata Renata berkaca mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Seno, ada rasa sesak dalam dadanya. Seno mengangkat satu tanganya untuk mengusap airmata yang bergulir di pipi Renata.“Jangan menangis, kau tau? Aku p

DMCA.com Protection Status