Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 172. Menunggu Sampai Malam Jumat Kliwon

Share

172. Menunggu Sampai Malam Jumat Kliwon

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2025-02-22 00:45:51

“Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”

Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”

Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”

Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”

“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   173. Suara Makhluk itu Terdengar Mengerikan  

    Perjalanan di dalam hutan terasa semakin ganjil. Pepohonan yang menjulang tinggi seolah bergerak, menciptakan lorong-lorong yang berputar tanpa arah. Udara semakin berat, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekitar mereka—bisikan, tawa samar, serta isakan lirih yang tidak berasal dari siapa pun di antara mereka.Tiba-tiba, Wina berhenti. “Kita sudah dekat.”Ustadz Harman memejamkan mata sejenak sebelum mengangguk. “Aku juga merasakannya.”Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka hadapi, tapi mereka tidak akan mundur.Lalu, di depan mereka, sebuah cahaya samar mulai terlihat di antara pepohonan.Mereka berjalan mendekat, dan akhirnya tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.Di tengah lapangan itu, Dimas berdiri. Namun, dia tidak sendirian. Bayangan hitam besar b

    Last Updated : 2025-02-23
  • Pesugihan Kandang Bubrah    174. Lila! Sadar! Kau Sedang Diperdaya!

    ”Mbah Niah...,” ucap Lila lirih.Gadis itu tersenyum tipis, tatapannya tajam menembus jiwa mereka.“Kalian akhirnya sampai di sini,” katanya dengan suara yang jauh lebih tua dari wujudnya.Lila dan Jatinegara saling berpandangan. Mereka baru saja menyelesaikan satu konflik.Namun, yang lebih besar kini menanti di depan mereka.Lila berdiri mematung di tengah pasar hutan Srengege, matanya kosong menatap ke depan. Di hadapannya, Mbah Niah duduk dengan anggun di balik meja kayu tua yang dipenuhi benda-benda aneh—botol kaca berisi cairan pekat, tulang-tulang kecil yang terikat benang merah, serta kertas-kertas kuno yang ditulis dengan aksara yang tak bisa ia pahami.Wujud Mbah Niah yang menyerupai gadis berusia 17 tahun tampak begitu tenang. Rambut hitam panjangnya menjuntai indah, kulitnya putih bersih tanpa cela, tapi matanya, matanya tidak seha

    Last Updated : 2025-02-24
  • Pesugihan Kandang Bubrah    175. Jatinegara Menatap Sekeliling Dengan Napas Tersengal

    Ustadz Harman menghela napas panjang. “Kami akan mencari cara lain. Cara yang tidak melibatkan perjanjian kotor seperti ini.”Mbah Niah tertawa pelan. “Kalau begitu, bersiaplah… karena kalian baru saja menolak satu-satunya kesempatan untuk menyelesaikan ini dengan cara yang mudah.”Kabut hitam mulai berkumpul di sekelilingnya, menyelimuti tubuhnya sedikit demi sedikit. “Kita lihat saja… apakah kalian benar-benar bisa keluar dari sini hidup-hidup.”Dalam sekejap, mbah Niah menghilang. Pasar hutan Srengege yang tadinya riuh tiba-tiba sunyi. Tidak ada lagi penjual, tidak ada lagi pengunjung. Hanya mereka berempat yang berdiri di tengah kehampaan, seolah pasar itu sendiri hanya sebuah ilusi.Lila merasakan tubuhnya lemas, hampir jatuh jika tidak ditopang oleh Wina.Jatinegara masih menunduk, matanya kosong. Ia hampir melakukan sesuatu

    Last Updated : 2025-02-25
  • Pesugihan Kandang Bubrah   176. Hutan itu Sudah Menghilang! Bagaimana Bisa Masih Ada Korban?  

    “Apa menurut kalian… dia masih hidup?” tanya Lila pelan.Ustadz Harman tidak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, memandangi bulan yang menggantung di langit. “Aku tidak tahu, Lila. Tapi jika dia masih hidup, maka suatu saat… kita pasti akan melihatnya lagi.”Lila menggigit bibirnya. Ia ingin percaya, tapi entah mengapa, hatinya merasa ini belum benar-benar selesai.Tapi untuk saat ini, mereka butuh istirahat. Besok, mereka akan mencari jawaban.Besok, mereka akan menghadapi apa pun yang masih menunggu mereka.Namun, mereka tidak tahu, teror yang lebih besar sedang menunggu di depan mereka. Pagi di desa terasa lebih tenang dari biasanya. Udara dingin masih menyelimuti rumah Ustadz Harman, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam.Lila membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang masuk dari cela

    Last Updated : 2025-02-26
  • Pesugihan Kandang Bubrah    Bab 177. Mungkin di Alam Lain.

    Dengan ragu, Pak Surip mengangguk dan membawa mereka ke halaman belakang rumah Pak Darmo.Di sanalah mereka melihatnya. Pak Darmo tergeletak di tanah, tubuhnya kaku seperti patung kayu. Matanya terbuka lebar, tetapi tidak ada cahaya kehidupan di sana. Wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang begitu dalam, seolah ia melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan sebelum kematiannya.Jatinegara menelan ludah. “Ini… seperti yang terjadi pada orang-orang yang terjebak di hutan Srengege,” ucapnya spontan dengan wajah lugu.Ustadz Harman mengangguk, ekspresinya gelap. “Benar. Dan itu berarti… hutan belum benar-benar hilang.”Lila merasakan napasnya memburu dan bergumam. ”Jika hutan itu masih ada, itu berarti… mereka belum benar-benar keluar dari teror ini.”Dan sesuatu yang lebih mengerikan masih mengintai mereka. Suasana di seki

    Last Updated : 2025-02-27
  • Pesugihan Kandang Bubrah    178. Jadi, Roh-Roh Itu Masih Ada di Sekitar kita?

    Wina menatap mereka dengan tatapan penuh kehati-hatian sebelum berkata, “Mbah Niah.”Malam harinya, mereka berkumpul kembali di rumah Ustadz Harman.Tidak ada seorang pun yang bisa tidur setelah kejadian tadi pagi. Semua orang masih diliputi ketegangan, terutama dengan fakta bahwa hutan Srengege masih memiliki pengaruh di desa ini.Lila duduk di lantai dengan pikiran penuh. Wina tengah menyiapkan sesuatu di meja, sementara Jatinegara hanya diam menatap ke luar jendela.“Jika kita harus menemui Mbah Niah,” kata Lila akhirnya, “bagaimana caranya? Kita bahkan tidak tahu di mana dia sekarang.”Wina menoleh dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Kita tidak perlu mencarinya. Dia akan datang sendiri.”Lila menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”Wina meletakkan mangkuk kecil berisi air di atas meja. &ldquo

    Last Updated : 2025-02-28
  • Pesugihan Kandang Bubrah   179. Di sana, segalanya dimulai. Dan di sana pula, segalanya harus berakhir.  

    Mbah Niah mengangguk pelan. “Mereka masih mencari tempat mereka. Mereka tidak bisa kembali ke hutan yang telah tertutup, tapi mereka juga tidak bisa benar-benar masuk ke dunia manusia. Mereka… terjebak.”Ustadz Harman menarik napas panjang. “Lalu, bagaimana cara kita menghentikan ini?”Mbah Niah menyeringai. “Pertanyaan bagus, Ustadz.”Ia kemudian melangkah mendekat, menatap mereka satu per satu sebelum berkata, “Satu-satunya cara untuk benar-benar menyelesaikan ini adalah dengan menemukan akar dari kekacauan ini.”Jatinegara mendengus. “Bukankah akar masalahnya sudah jelas? Hutan Srengege dan semua perjanjian yang pernah dibuat di dalamnya.”Mbah Niah menggeleng. “Bukan hutan itu sendiri yang memulai semua ini. Ada sesuatu… atau seseorang… yang menjadi pemicu utama.”

    Last Updated : 2025-03-01
  • Pesugihan Kandang Bubrah   180. Jadi jiwa Arif benar-benar terjebak di sini?  

    Wina menghela napas. “Gerbang hutan Srengege tidak bisa dibuka kapan saja. Tapi dari yang aku pelajari… tempat seperti itu biasanya memiliki waktu tertentu di mana batasnya melemah.”Ustadz Harman mengangguk. “Seperti malam saat kita terjebak di pasar hutan?”Wina mengangguk. “Tepat.”Lila menelan ludah. “Dan kapan gerbang itu akan terbuka lagi?”Wina menatap mereka semua dengan tatapan serius sebelum menjawab. “Malam Jumat Kliwon. Dua hari lagi.”Dua hari kemudian…Malam turun dengan cepat, dan langit dipenuhi oleh awan gelap yang menutupi cahaya bulan. Suara jangkrik yang biasanya riuh di malam hari terasa lebih lirih, seolah alam pun tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.Lila, Jatinegara, Ustadz Harman, dan Wina berdiri di tepi desa, menatap ke arah lahan k

    Last Updated : 2025-03-02

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   255. Tanda-Tanda Kehidupan Baru

    Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh

  • Pesugihan Kandang Bubrah   254. Arif yang Tertinggal

    Lila dan Dimas kembali masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jatinegara tidur dengan tenang, wajahnya damai, tanpa bayangan ketakutan sedikit pun.Lila menatap anaknya lama. Ia mencoba mengingat semua kenangan, semua momen kecil yang mereka bagi.Beberapa sudah kabur. Beberapa masih tersisa, menggantung tipis di benak mereka.Tapi satu hal pasti: cinta itu tetap ada. Lebih kuat dari kenangan apa pun.Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka tidur dalam damai, tanpa ketakutan akan bayangan dari balik pohon.Langit kelabu menaungi Desa Misahan ketika Lila berdiri di dekat nisan sederhana yang terbuat dari batu sungai. Nama "Arif Mahoni" terpahat samar di atasnya. Angin berhembus pelan, membawa suara desir daun kering.Dalam diam, Dimas berdiri di samping Lila, menggenggam erat tangan kecil Jatinegara yang kini berusia lima tahun.Mereka mengenang hari itu.Hari ketika Arif menghilang.***Malam itu

  • Pesugihan Kandang Bubrah   253.Kenangan yang Terkikis dan Panggilan dari Dalam Tanah

    "Jati pertama kali jalan... usia sepuluh bulan..." tulisnya sambil menangis.Dimas di sampingnya berusaha keras mengingat detail kecil, suara tawa, langkah pertama, kata pertama.Tapi setiap kali ia memejamkan mata, wajah Jatinegara kecil menjadi semakin buram.Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar dari halaman.Dimas keluar dengan hati-hati. Ia melihat jejak-jejak samar di tanah, menuju ke arah pohon tua.Di sana, di bawah sinar rembulan, berdiri sesosok bayangan. Tidak sebesar penjaga di dunia bawah, tapi bayangan ini lebih familiar. Lebih dekat."Ayah..."Dimas membeku. Suara itu... suara Jatinegara kecil.Bayangan itu tersenyum, tangan kecilnya terulur."Ayo, main lagi... seperti dulu..."Dimas terhuyung, air mata mengaburkan pandangannya. Setiap serat tubuhnya ingin berlari dan memeluk sosok itu.Tapi ia tahu, itu bukan Jatinegara."Kamu bukan anakku," gumam Dimas parau.Bayangan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   252. Dunia di Balik Pohon

    Lubang itu berdenyut seperti jantung raksasa. Setiap denyutan menghembuskan hawa dingin yang membuat kulit Lila dan Dimas meremang. Mereka berdiri di hadapannya, menggenggam tangan erat-erat, saling menguatkan."Kita lakukan bersama," bisik Lila."Apa pun yang terjadi, jangan lepaskan tangan," balas Dimas.Dengan langkah perlahan, mereka mendekati pohon tua itu. Lubang yang semula tampak kecil kini cukup besar untuk dilalui dua orang dewasa. Cahaya bulan memantul pada dinding-dinding basah di dalam lubang, membentuk jalur berkelok yang menghilang dalam kegelapan.Mengambil napas panjang, mereka melangkah masuk.Begitu melewati ambang lubang, dunia berubah.Udara menjadi berat, penuh aroma logam dan tanah basah. Di sekeliling mereka terbentang hutan aneh, dengan pohon-pohon yang melengkung, dedaunan berwarna hitam keunguan, dan tanah yang berdenyut pelan, seolah makhluk hidup.Tidak ada bintang. Tidak ada angin. Hanya keheningan mencek

  • Pesugihan Kandang Bubrah   251. Bayangan di Balik Pohon dan Jejak dari Lubang

    Srek... srek...Seperti sesuatu yang menggaruk-garuk tanah.Dimas menggenggam obor kecil dan berjalan perlahan ke arah belakang, diikuti Lila. Mereka mengintip dari balik pintu kaca.Pohon tua itu tampak bergoyang pelan, padahal angin malam tidak berhembus.Dan di depan lubang pohon, berdiri sosok kecil. Tubuhnya kurus, kepalanya menunduk, rambutnya menutupi wajah."Siapa itu..." bisik Lila, tubuhnya gemetar.Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata kosong, hitam pekat, menatap langsung ke arah mereka."Itu bukan manusia," bisik Dimas cepat, menarik Lila mundur.Mereka segera mengunci semua pintu dan jendela.Tapi bahkan setelah semua terkunci, suara ketukan perlahan terdengar di pintu belakang.Tok. Tok. Tok."Jangan dibuka apa pun yang terjadi," kata Dimas tegas, memeluk Lila dan Jatinegara yang mulai menangis ketakutan.Di luar, bayangan di balik pohon tetap berdiri, menunggu. Bayangannya mem

  • Pesugihan Kandang Bubrah   250.Tanda-Tanda Baru

    Malam itu, setelah Jatinegara tertidur, Lila dan Dimas duduk di ruang tamu. Mereka membahas lubang di pohon tersebut."Aku merasa aneh, Dim. Setelah semua yang kita lalui... kenapa sekarang muncul lagi tanda-tanda?" tanya Lila lirih, matanya menatap kosong ke arah jendela.Dimas mengangguk, wajahnya tegang. "Aku juga merasakannya. Pohon itu... sepertinya bukan pohon biasa. Bukan sekadar pohon tua."Mereka sepakat untuk keesokan harinya mencari tahu lebih banyak tentang sejarah tanah di sekitar rumah mereka. Tapi sebelum mereka sempat tidur, sesuatu terjadi.Suara dentingan kecil terdengar dari arah dapur.Clink.Seperti koin jatuh.Lila dan Dimas saling pandang. Dimas berdiri pelan, mengambil senter, dan berjalan ke arah suara. Lila mengikutinya dengan jantung berdebar.Saat mereka sampai di dapur, lantainya kosong. Tidak ada koin. Tidak ada apa-apa. Hanya keheningan yang terasa menekan. Bahkan jam dinding seolah berhenti berdetak.Namun saat Dimas mengarahkan senter ke lantai, mereka

  • Pesugihan Kandang Bubrah    249. Bersama Cahaya

    Sore harinya, di ruang tamu, mereka menggelar tikar dan bermain permainan papan sederhana. Tawa mereka menggema memenuhi rumah. Dimas berpura-pura kalah dalam permainan, membuat Jatinegara tertawa terpingkal-pingkal. Lila merekam momen itu dengan kameranya, memastikan mereka bisa selalu mengingat bahwa kebahagiaan sederhana ini pernah ada.Saat malam tiba, Lila menghidangkan sup ayam hangat. Mereka makan bersama dengan penuh syukur."Kalau nanti kita liburan, mau ke mana?" tanya Dimas sambil menyuapkan sendok ke mulut."Ke pantai!" seru Jatinegara tanpa ragu. "Aku mau bikin istana pasir!"Lila tertawa. "Kalau begitu, kita nabung, ya. Biar bisa liburan bareng.""Janji, Bu? Janji, Yah?""Janji," jawab mereka bersamaan.Setelah makan malam, mereka duduk di teras, menikmati malam yang cerah. Bintang-bintang bertaburan di langit, dan angin membawa harum wangi bunga kamboja dari kebun belakang."Dulu, aku pikir kita nggak akan pernah

  • Pesugihan Kandang Bubrah   248. Tak Ada Suara Ketukan

    “Bagaimana Bapak tahu?”“Karena itu warisan keluarga Bagas. Dan karena aku yang menyuruh ibunya menyembunyikannya.”Pak Arwan berdiri. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu. Pintu-pintu seperti yang kalian alami... tidak muncul sendiri. Ia tumbuh dari perjanjian. Perjanjian yang tidak pernah ditepati. Bagas pernah berjanji untuk menyerahkan sesuatu... demi anaknya bisa sembuh dari penyakit. Tapi ia menunda. Dan saat istrinya meninggal, ia kabur. Tapi makhluk itu tidak pernah lupa.”“Jadi semua ini... karena janji yang dilanggar?”“Dan karena tidak ada yang memperingatkan kalian. Kalian datang ke rumah yang menyimpan luka, lalu luka itu meresap ke dalam kalian.”Lila menatap Dimas. “Apa yang harus kita lakukan?”“Bakar surat dan foto itu. Tapi jangan di rumah. Lakukan di tanah tinggi. Bersihkan energi dari tempat kalian tinggal. Dan ajari anak kalian... untuk mengenali perbedaan antara teman dan penunggu.”Malam itu, mereka pergi ke bukit di ujung desa. Di sana, mereka menyalakan api ung

  • Pesugihan Kandang Bubrah   247. Rumah yang Masih Terbelah

    Lila menggenggam tangan anaknya. Ia masih bernapas. Tapi tubuhnya lemas.Dalam keheningan yang tersisa, hanya suara hujan yang terdengar. Tapi suasana rumah sudah berbeda. Tidak lagi terasa ditekan. Tidak lagi ada suara-suara bisik.Namun saat Dimas membantu Lila berdiri, mereka melihat satu hal terakhir.Di dinding tempat bayangan muncul, pasir hitam mengumpul membentuk pola baru.Pola itu menyerupai pintu. Dan di tengah-tengahnya, satu kalimat terukir:“Celah sudah ditutup. Tapi penjaga akan kembali.”Udara pagi di Desa Misahan terasa lebih lembut dari biasanya. Hujan semalam telah membersihkan debu-debu yang selama ini menggantung di antara daun-daun dan atap rumah. Tapi di rumah Lila, meski cahaya mentari menyusup lewat celah tirai dan suara burung bersahutan dari kejauhan, bayangan yang tertinggal belum benar-benar pergi.Jatinegara duduk di dekat jendela ruang tamu. Krayon berwarna hijau muda di tangannya menari pelan di atas kertas putih. Wajahnya tampak lebih segar, pipinya mu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status