Jam sepuluh pagi terlihat karyawan yang mendapat shift pagi sudah terlihat sibuk, ada yang mengangkut sampah membersihkan kaca mengepel lantai dan pekerjaan di cafe lainnya.
Ada situasi berbeda yang sungguh kontras dengan keadaan itu, di salah satu sudut ruangan di cafe seorang pria paruh baya tengah duduk bersandar di sebuah kursi empuk dengan secangkir coffelatte di mejanya.
Ia sepertinya sedang berbicara dengan seseorang di telpon.
"Hari ini kita bisa bertemu 'kan?, kamu sudah siapkan biduanmu yang akan kamu tempatkan di cafe ini?" ucapnya dengan teman bicaranya.
"Saya selalu siap untuk anda pak!, dan mengenai biduan itu sudah saya atur jangan khawatir begitu di butuhkan mereka akan segera saya suruh ke cafe."
"Baik tunggu aku di tempat biasa kita bertemu sekitar setengah jam lagi, dan jangan lupa siapkan satu biduanmu untukku."ucap laki-laki itu terkikih.
"Hahaha siap pak, saya sungguh telah tahu apa yang bapak sukai."
Gilb
Nyonya Smith memasuki ruang makan menggandeng tangan Tiara, sungguh dekat perasaan orang tua itu dengan Tiara meskipun baru dua kali mereka bertemu. Dalam rasa bahagianya hari itu, sesuatu mengganjal di benak Tiara, tetapi ia tidak berani menyakan hal itu kepada Nyonya Smith apalagi Erick. Rumah ini begitu besar 'nan mewah tapi tampak sepi selain beberapa orang asisten rumah tangganya, hanya ada Erick dan Nyonya Smith saja. "Ayo makan yang banyak, jangan malu-malu ibu justru sangat senang dengan kedatangan tamu seperti ini," ucap Nyonya Smith dengan senyumnya yang tampak selalu telihat ramah. "Iya Bu terima kasih," jawab Tiara. Hari itu ia bagaikan mendapat durian runtuh, Tiara sungguh merasa nyaman bertemu dengan seseorang yang amat menghargainya, menerima dirinya dengan baik walaupun ia hanyalah karyawannya. Erick yang mulanya ia anggap pemuda yang sombong dan tidak punya sopan santun ternyata salah, Tiara sungguh menikmati pertemuan
Erick dan Tiara masih berada di lobi hotel merkuri, Erick masih menunggu Tiara mengingat pembicaraannya dengan Gilbert waktu itu. Setelah beberapa lama menyusun dalam ingatannya Tiara pun mulai bercerita, "Pak Gilbert pernah mengantar saya pulang, Nyonya Smith saat itu datang ke cafe, dia mengajak saya mendukungnya untuk mengambil hak kepemilikan cafe d'Arts." "Ia juga menjanjikan akan memberi saya posisi di cafe jika ia berhasil," tambah Tiara lagi. "Dan kamu menyetujuinya?," sela Erick memotong bicaranya. "Tidak, ... saya belum memberinya jawaban sampai saat saya di tuduh memberi pengaruhi ke teman-teman di cafe." Apa yang di katakan oleh Tiara, membuat Erick semakin yakin dengan dugaannya semula, bahwa Gilbert ada di balik semua masalah yang terjadi di cafe. "Tiara, ... Gilbert mungkin kecewa dengan penolakan kamu sehingga ia menyuruh seseorang untuk menebar fitnah agar kamu tidak lagi bisa bernyanyi di sana," Tiara hanya te
Udara panas hari ini tidak terasa sedikitpun bagi mereka yang sedang menjalankan aktifitas dan pekerjaannya di dalam ruangan. Di cafe, di dalam ruangan yang terasa sejuk dengan pendingin udara, Erick sedang membuka beberapa berkas dari laptopnya, ia sedang mencari nama beberapa karyawan yang sudah menjadi kaki tangan Gilbert dan di tandainya satu-persatu. "Coba kamu cek apa semua sudah sesuai dengan orang-orang yang sudah kamu pastikan mereka di bawah pengaruh Gilbert sesuai laporan kamu?" tanya Erick kepada Lucy yang kemudian membenarkannya. "Apa tidak sebaiknya bapak melaporkan saja orang-orang ini kepada pihak berwajib?" Kata Lucy memberinya masukan. "Melaporkan mereka atas apa Lucy?" "Yah itu, ... atas kelakuan mereka pak, mereka telah merencanakan aksi bersama-sama merebut kepemilikan cafe, ibaratnya?, ... kudeta!, ... iya itu, ... dan itu artinya mereka tidak menghargai bapak sebagai pemilik dari cafe ini." "Tidak Lucy, mereka ha
Lucy yang mengungkap sebenarnya bahwa dia wanita misterius yang di maksud bu Ratri, membawa dirinya dalam jurang penyesalan. Niatnya semula untuk datang dan bercerita banyak hal dengan Tiara menjadi sulit. Lucy sama sekali tidak menyadari jika apa yang baru saja ia ungkapkan bisa saja menjadi bumerang bagi rencananya sendiri. Akan tetapi tanpa disadari nya di balik semua penjelasan itu memunculkan nuansa baru di hati Tiara mengenai Erick, Tiara dan pertemuannya kemarin dengan Erick dan Nyonya Smith membawa dirinya dalam sebuah hubungan yang dirasa begitu nyaman olehnya, merasa ia masih memiliki orang-orang yang perhatian dan memberinya nilai dalam hidupnya walaupun ia hanya seorang penyanyi biasa. Hal yang diungkap kan Lucy membuat hatinya gamang. Tiara masih sangat muda, niat baik yang di rencanakan Erick dan Lucy mungkin saja di lihatnya dari sisi yang berbeda. Mendatangi rumahnya diam-diam sungguh membuat tak nyaman baginya. "Tiara, ... aku minta maaf ya kalau itu membuat k
Masih pagi buta matahari belum menyeruak kabut dengan iringan bunyi murai yang bersahut-sahutan, hawa yang begitu dingin seperti menusuk ke tulang.Bu Ratri sudah terlihat sibuk beres-beres di dalam rumah, sudah beberapa tahun, itu sudah menjadi kebiasaannya.Setelah dianggapnya semua selesai, ia ke kamar Tiara untuk membangunkannya, Tiara yang masih pulas berdekap tangan dengan selimutnya."Tiara, ... ayo bangun nak!, katanya mau bangun cepat?" Pelan suaranya ia membangunkan putrinya.Tiara belum juga bergeming apalagi menjawabnya, ia masih tertidur pulas dalam hangatnya selimut dan buaian mimpinya.Bu Ratri tidak memaksanya, ia hanya merapikan beberapa barang-barang milik Tiara yang tergeletak tidak beraturan di dalam kamarnya.Ada beberapa sobekan kertas dengan tulisan-tulisan yang tidak terbaca, serta sebuah foto usang berukuran kecil, foto almarhum ayah Tiara yang masih terpajang di sampul buku diari miliknya.Wanita paruh baya itu mendesir hatinya terenyuh tatkala melihat wajah
Di lantai dua cafe d'Arts di dalam ruangan yang meskipun sejuk namun tak mampu membuat hati Tiara ikut tersejukkan. Hatinya telah kehilangan rasa percaya, menganggap bahwa kehangatan dan rasa akrab yang ia dapatkan dari Erick hanyalah semu dan penyamaran saja. "Jadi, ... apa Tiara?, apa hal penting itu?" tanya Erick terlihat santai. "Pak Erick yang terhormat!, seperti yang bapak tahu saya sungguh merasa senang di beri kesempatan berkenalan dengan bapak dan keluarga bapak meskipun saya hanya karyawan biasa." Tiara berbicara dengan bibir yang bergetar tapi kali ini tanpa air mata sedikitpun. "Bapak sudah banyak membantu saya agar tetap bisa bekerja di sini tapi, ... ada sesuatu hal yang tiba-tiba mengubah semua pemikiran saya tentang bapak," Tambah Tiara. Erick hanya diam dan terus mendengarkan Tiara berbicara. Tiara terdiam sebentar lalu melanjutkan lagi bicaranya. "Saya sudah percaya kalau bapak itu orang baik, tapi kenapa bapak sampai menyuruh seseorang diam-diam membuntuti s
Frida mengibas-ngibaskan sebuah majalah bekas di ruang tamu, ia gerah dengan hawa panas hari ini yang terasa membakar tubuh. "Tiara kamu di mana 'sih!, lama banget!" seru Frida yang mulai tak tenang. "Ayo aku sudah siap 'nih." "Iya kamu sudah siap dan kelihatan segar baru saja berdandan, ... aku hampir dehidrasi menunggu kamu di sini, besok kalau sudah jadi istri manajer kamu beli kipas angin ya!" Kata Frida mengomel. "Yuk ah, mengomel melulu." Kata Tiara sambil menarik lengan Frida. Hari ini Frida akan mentraktir Tiara makan di sebuah restoran yang baru di buka. "Kita makan di mana Frid?" "Di restoran baru buka 'gak jauh 'kok dari cafe jadi kita bisa hemat waktu yang lumayan di pakai untuk bersantai." Perasaan Tiara ada yang terasa kurang dengan makan siang hari ini tanpa kehadiran teman-temannya yang lain, "Kamu tidak mengajak yang lain?" "Ajak sih, tapi semua pada sibuk, tidak ada waktu kamu saja yang 'gak dan selalu ada untukku, ah so sweet." kata Frida. "Tapi sepertiny
Sore sudah menghampiri gelap, matahari sudah kembali keperaduannya ketika sebuah mobil sedan berwarna pink cerah melaju memasuki parkiran cafe d'Arts.Dengan sangat terburu-buru Tiara dan Frida keluar dari dalam mobil, sebentar lagi ia harus bekerja, setelah beberapa hari mendapat skors."Tiara aku duduk di sana ya!" ucap Frida menunjuk ke suatu meja di dalam cafe."Iya aku ganti pakaianku dulu."Setelah beberapa hari tidak bekerja suasana di dalam cafe terlihat berbeda dari sebelumnya, tampak beberapa wajah-wajah baru di sana."Kamu mau ke toilet?" Tanya seseorang karyawan melihat Tiara berdiri di depan sebuah kamar toilet."Iya mba." Jawab Tiara dengan tersenyum.Karyawan itu mempersilahkan Tiara untuk masuk lebih dulu, "Kalau begitu kamu duluan saja ke dalam."Ia menyuruh Tiara masuk ke toilet padahal dirinya lebih dulu berada di sana."Loh mba kan lebih dulu sebelum saya.""Gak apa-apa kok sepertinya kamu sedang buru-buru masuk saja," ucap wanita itu dengan sopan kepada Tiara."Te
Sebuah hubungan cinta harus berjalan bersama, jika di dalamnya ada tujuan yang berbeda maka ia harus saling memahami dan tebuka, bukan saling menutupi dan saling menyalahkan. Begitu pula yang harus dlakukan oleh Tiara dan Erick, ada sesuatu hal yang tidak berjalan semestinya diantara mereka, membuat hubungannya yang baru saja seumur jagung seakan terombang ambing tak tentu arah. "Memiliki hubungan itu ribet ya," ucap Tiara. "Ribet seperti apa maksud kamu, gak juga kok kalau kamu dan Erick saling memahami, dan mau saling terbuka," sahut Frida. "Aku?, ... Apa yang aku tutupi darinya Frid?, apa aku saja yang harus memahaminya sementara dia?" sahut Tiara. Frida terdiam mendengar Tiara mulai tersulut emosi, ia biasanya akan menenangkan jika sahabatnya itu mulai meninggikan nada suaranya. Mobil mereka melaju membelah jalan kota, suasana sudah mulai tampak lengang, tak banyak lagi kendaraan yang berseliweran seperti biasanya di jam-jam itu. Sementara Erick dan Maria serta teman-temann
Tiara dan Frida urung menjalankan rencananya melihat Erick yang tengah duduk bersantai dengan Maria di sebuah meja tepat di depan panggung. "Jadi mau gimana lagi, kita harus menjalankan rencana lainnya, ayo silahkan mba Tiara," kata Frida seraya menunjuk ke arah panggung. Tanpa melihat sedikitpun ke arah mereka Tiara langsung menggebrak panggung. Erick terhenyak menyaksikan Tiara, ia tak menyangka sedikitpun jika kekasihnya itu yang menjadi biduan di live musik cafe malam itu. "Pantas saja Tiara gak mau aku ajak, dia ternyata nyanyi di sini." Erick bergumam. Ia tak dapat menyembunyikan rasa heran di depan Maria, "Erick kamu kok terlihat heran seperti itu, kamu kaget kalau Tiara itu nyanyi di sini?" "Gak, ... Aku cuma kaget saja tiba-tiba bertemu dia di sini," sanggah Erick sedikit ingin menutupi dari Maria, tak terjadi apa-apa di antara Tiara dan dirinya. "Daripada harus membicarakan dia, kita bernostalgia saja dengan kenangan kita, bagaimana?" Rayu Maria. "Nostalgia yang sep
Malam hari tiba, terlihat cerah secerah hati Tiara yang sudah kasak kusuk mempersiapkan diri sembari menunggu dijemput Frida. Bu Ratri hanya nampak tersenyum melihat anak gadisnya terlihat sibuk di depan cermin tak hentinya menatap wajahnya melihat riasan yang dipakainya. Tak lama kemudian Frida datang menemui Tiara di kamarnya yang tengah sibuk itu. "Udah beres kan dandannya?" tanya Frida. "Gimana menurut kamu udah bagus kan?" "Iya gitu aja gak usah lama, ingat tempatnya di puncak loh!" kata Frida. "Yuk kita berangkat sekaramg!" Tiara dan Frida berangkat bersama menuju cafe M&M tempat Tiara akan menyanyi dan untuk pertama kalinya di cafe ini. "Kamu santai aja dong, kok seperti pertama nyanyi saja kamu," kata Frida melihat Tiara terlihat sedikit gugup. "Iya nih, gak tahu aku kok sedikit gugup ya, apa karna lama gak nyanyi ya?" "Kamu sih, aku ajak nyanyi ke acara kampusku kamu tolak, makanya sekarang jadi grogi kelamaan gak manggung." Mobil yang dikendarai Frida sudah melam
"Tiara bagaimana jika pamanmu tidak terima dengan pengakuan kita padanya tentan rumah ini yang sudah dijual," "Terserah dia saja bu, kali ini aku tidak akan takut dengan ancamannya, kita sudah lama diperlakukan semena-mena olehnya, dia harus berpikir bahwa Tiara sudah berubah sekarang," jawab Tiara dengan semangat."Dan aku rasa mba Maria akan sepenuhnya membantu dalam masalah ini, ibu jangan khawatir," kata Tiara kembali membuang segala ketakutan ibunya."Kamu angkat dulu telpon kamu," ucap Bu Ratri mendengar ponsel yang berdering.[Halo Tiara, maaf ya kalo aku ganggu kamu malam-malam takutnya kalau nunggu besok aku bisa lupa] kata Maria.[Ada apa ya mba?][Besok kamu bisa mulai nyanyi di cafe hari ini semua persiapan panggung sudah siap][Ok mba aku akan mulai besok] kata Tiara begitu senang mendengar kabar dari Maria."Ibu mulai besok aku bisa kerja di cafe mba Maria, aku senang banget loh bu," "Ibu juga senang mendengarnya nak, semoga saja kamu betah di sana, apa Frida sudah tah
Tiara masih menatap tajam pria paruh baya yang ada di hadapannya, seorang kakak dari ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki tapi memiliki hati begitu tega perlakuannya terhadap Tiara dan ibunya."Ayo duduk jangan berdiri seperti itu di hadapanku, semakin memperjelas bahwa kau tak pernah di ajari sopan santun dari orang tuamu," kata Novo yang begitu menyakitkan.Tiara masih saja terdiam, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, hanya tatapannya yang semakin tajam ke arah Novo, sorot matanya berapi-api.Tidak seperti Bu Ratri yang masih terlihat tenang menghadapi keadaan ini, ia memberi isyarat agar Tiara menurutinya untuk duduk di sampingnya.Dengan wajah kaku Tiara menurutinya dan mulai angkat bicara, "Paman Novo, aku menganggap paman sebagai seorang pengganti dari ayahku namun aku ternyata salah," kata Tiara."Seorang ayah tidak pernah membuat anaknya jatuh ke dalam kondisi yang begitu sulit seperti ini, paman sungguh tega mengusir kami dari rumah yang ayah bangun dari
Setelah melakukan rembuk bersama, Tiara dan Frida beranjak meninggalkan cafe menuju kantor polisi untuk menemui Maria yang sedang menjadi saksi sebuah kasus. Sampai di sana Tiara dan Frida oleh petugas tidak di perbolehkan menemui Maria, karna sesuatu hal. "Mba Maria sedang jadi saksi atas kasus apa pak!?" tanya Frida kepada salah seorang petugas. "Maria menjadi saksi atas kepemilikan barang terlarang, jadi untuk sementara beliau belum bisa menemui siapapun." Tiara dan Frida tersentak mendengar apa yang diucapkan petugas itu, terlebih Tiara yang sepertinya harus mengurungkan niatnya untuk minta tolong padanya. "Kamu kan lebih mengenal dekat mba Maria bahkan pernah di ajak ke apartemennya, dia itu orangnya seperti apa sih, kok bisa jadi saksi segala?" tanya Frida pada Tiara. "Waktu di ajak kemarin sih hanya pesta kecil saja, dan ada beberapa teman bisnisnya di sana yang pesta mabuk malam itu," jelas Tiara. "Tuh kan, mungkin teman-teman bisnisnya itu yang jadi pemilik barang terl
Malam itu hanya ada wajah-wajah murung yang nampak di raut muka Tiara dan ibunya, kedatangan Novo semalam hanya membuat keadaan semakin buruk bagi mereka. Bagaimana mungkin bu Ratri merelakan rumah, satu-satunya harta peninggalan almarhum suaminya yang mereka miliki harus mereka tinggalkan. Pikiran Tiara berkecamuk, entah dengan siapa kali ini ia harus meminta tolong dengan masalah yang seperti ini. Malam sudah larut Bu Ratri masih bersandar lemas di sebuah kursi di depan teras rumahnya. Ia sudah terkantuk-kantuk namun masih saja di tahannya untuk menemani Tiara yang juga tengah nestapa sama sepertinya. "Bu sebaiknya ibu ke dalam, istirahat dulu masalah ini biar aku yang memikirkan," ucap Tiara melihat ibunya sudah menguap menahan rasa kantuknya. "Kenapa ya Bu, paman Novo sampai setega itu pada kita?" tanya Tiara dengan suara yang berat. Bu Ratri belum menjawab apapun, ia selama ini berbaik hati pada Novo karna menganggap ia adalah kakaknya sendiri, namun sepertinya ia salah.
Tiara masih saja berdiri dari balik tirai jendela ia belum membuka pintu sebelum melihat siapa pria yang ada di depan. "Tiara siapa yang datang!?" Sahut Bu Ratri dari dalam. Bahkan pertanyaan ibunya 'tak dijawabnya agar ia tidak ketahuan sedang mengintip dari balik tirai. Siapa sih orang ini kok 'gak berbalik gumamnya, pikiran yang muncul pun bermacam-macam memenuhi isi kepalanya, jangan-jangan ibu punya utang lagi dan orang ini datang menagih. Beberapa menit Tiara menunggu pria itu berbalik untuk melihat wajahnya, namun ia hanya asyik menghisap rokoknya. Apa sebaiknya aku tinggalkan saja orang ini, menyebalkan membuang waktu saja, pikir Tiara. Namun baru aja ia berniat kembali ke dapur sosok pria itu kembali mengeruk pintu, lalu Tiara kembali membuka sedikit tirai jendela untuk melihat siapa orang itu. Alangkah terkejutnya ia melihat paman yang sangat di benci olehnya yang datang berkunjung. Tanpa membuka pintu ia kembali ke dalam dapur dengan kesal, wajahnya memerah menahan
Frida yang sejak tadi menelpon Maria tak juga menerima panggilan darinya, seperti biasa di waktu-waktu seperti itu ia banyak menghabiskan waktunya bekerja atau mungkin malah sedang mengadakan pesta. "Ponselnya aktif tapi 'gak di angkat, kali aja dia sedang sibuk?" "Mungkin saja, mba Maria 'kan banyak kerjaan sebagai bos di beberapa bisnisnya." Kata Tiara mengamini ucapan Frida. Jika ada kabar dari mba Maria, aku akan kesini besok, kita datang saja ke cafenya bagaimana Tiara?" "Ok!, besok aku tunggu ya!" Jawab Tiara dan mengantarkan Frida hingga ke pintu depan, lalu kembali ke aktifitasnya seperti biasa duduk untuk menulis di buku diary miliknya. Tiara menuliskan kata demi kata dalam buku diary itu, apa yang di alami kemarin bersama Erick tak lupa ia tuangkan di dalamnya. Namun kata-kata indah yang mengalir harus terhenti mendengar teriakan ibunya yang memanggil dari dalam dapur. "Tiara tolong belanjakan ibu bahan kue, untuk pesanan, hari ini ibu terlalu sibuk jadi tidak sempat