Dibantu Hani, Mila merebahkan tubuhnya ke ranjang. Masih gemetaran dan sulit bergerak.
"Hati-hati, Mbak." Dengan lembut Hani membantu Mila.
"Makasih, Hani," ujar Mila. Sekarang ia sudah pulang ke rumah Bu Ida dan ditempatkan di kamar yang sudah dibereskan spesial untuk Mila. Ada box bayi juga di sana. Semua perkakas bayi yang dibelikan Khanza.
Mila kikuk. Merasa tidak enak dan bingung harus berbuat apa. Canggung, sudah pasti. Situasi saat ini tidak nyaman.
"Mbak Mila tenang aja, ya. Istirahat aja. Ntar biar Hani yang jagain Dede bayinya. Pokoknya Mbak jaga kesehatan, makan yang banyak." Hani tersenyum sayang pada Mila.
"Hani, kamu baik banget," ujar Mila disertai air mata.
Hani malah heran dan langsung menyeka air mata Mila. "Lho? Kok nangis sih, Mbak? Mbak nggak ingat apa kata dokter? Nggak boleh sedih atau stress, kasihan bayinya nanti. Mbak juga nanti sakit. Udah ya. Semangat. Jangan mikirin yang nggak-nggak.
Di tengah tangisan Altan, Khanza menangis. Matanya menatap Keenan di depannya dengan kesal."Jujur aja, Mas. Kamu masih sayang sama Mila, kan?" tanya Khanza."Aku nggak mau jawab," jawab Keenan ikutan kesal."Kenapa, Mas? Pasti karena kamu memang masih sayang kan sama dia?"Keenan malah terdiam. Sorotan matanya hanya tertuju ke Altan yang ada di gendongan Khanza.Keenan lalu tersadar dan teringat pesan ibunya. Segera dia menghampiri Khanza, mencoba memeluknya, tapi Khanza menepisnya."Aku minta maaf, Za. Please, jangan marah lagi. Lain kali aku pasti bilang kalau mau jenguk Mila. Udahlah. Aku nggak macam-macam. Cuma kamu istri aku. Cuma kamu yang aku sayang," kata Keenan.Khanza malah tertawa dingin. "Dialog basi itu, Mas. Udah kayak slogan wajib para buaya."Keenan mengerutkan kening. "Jadi kamu mau aku gimana lagi sih, Za? Apa perlu aku mati aja sekarang di depan kamu?""Hussh! Ngomong apa
Baru saja Bu Ida selesai memindahkan sayur lodeh dari kuali ke wadah, di luar sudah terdengar suara salam. Ada tamu yang datang.Mila sedang meladeni Endaru yang sedang anteng di gendongannya. Sementara Mila membantu membersihkan dapur, bekas masak memasak."Assalamualaikum," ucap suara-suara di depan. Kelihatannya lebih dari satu orang. Ada pria dan wanita."Waalaikumsalam," sahut Bu Ida dan lainnya kuat."Siapa itu, Buk?" tanya Hani penasaran."Ya nggak tahu. Coba kamu lihat sana!" perintah Bu Ida pada Hani.Hani menurut segera ke depan. Sementara Mila lanjut mengelap lemari makanan."Udah. Kamu jangan capek-capek. Tadi kan udah Ibuk bilang kamu nungguin anakmu aja. Ini sayur kamu makannya yang banyak. Bagus buat kamu," ujar Bu Ida."Iya, Bu," sahut Mila diiringi senyuman manis di wajahnya."Anakmu besok jangan lupa dibawa ke rumah sakit. Diimunisasi. Biar nanti tak
Endaru merengek terus dari malam sampai Subuh hari. Mila sudah sempoyongan kecapekan menjaga bayinya yang sedang demam. Sampai pagi demam Endaru belum juga reda."Ayo dibawa ke rumah sakit aja, Mbak." Hani buru-buru mengajak Mila.Mila ikut menangis karena anaknya menangis. "Iya, Hani. Ayo.""Hati-hati, Mila, Hani. Apa kata dokternya didengerin bener. Kalau ada perlu apa, misal ada yang kurang, secepatnya hubungi Ibuk," kata Bu Ida tampak sama khawatirnya. Kocar kacir daritadi malam sibuk mengompres Endaru sembari membacakan ayat-ayat Al Qur'an.Mereka bergegas pergi ke rumah sakit. Namun, sayang, taksi yang dipesan datangnya lama. Endaru terus saja menangis. Sementara Mila sudah kalut."Cup cup, Sayang. Sabar ya, Nak. Sakit ya, Nak." Mila tidak tahan untuk tidak menangis. "Mama sayang Dede," ucap Mila sedih sambil mendekap bayinya."Duh, kok driver-nya lama? Udah urgent begini," kata Hani panik.Eh
Keenan memasang senyuman begitu dia masuk ke kamar Khanza. Tanpa banyak berkata dia mengecup kening Khanza.Khanza yang tubuhnya kaku menatap Keenan penuh arti."Apa kata dokter, Mas?" tanya Khanza.Keenan masih tersenyum. "Kamu tenang ya, Sayang. Ada beberapa orang yang mengalami seperti kamu. Mereka sembuh dengan terapi. Aku yakin sebentar lagi kamu sembuh."Air mata Khanza meleleh tanpa bisa tertahan. "Aku sakit apa, Mas?"Keenan diam, tidak menjawab."Jawab, Mas. Aku sakit apa, Mas?" tanya Khanza agak keras.Lagi-lagi Keenan tidak menjawab. Namun, kediaman Keenan itu justru memberikan pemahaman pada Khanza."Huaaaaa! Aku nggak mau! Ya Allah, lebih baik cabut aja nyawaku!" teriak Khanza histeris.Keenan langsung memeluk Khanza erat. Semakin hancur merasakan tubuh yang ia peluk begitu kaku."Aku mau mati aja, Mas!" pekik Khanza.Suster mulai berdatangan ke r
Keenan tiba di rumah dalam waktu cepat sepulang kerja. Hasil dari ngebut. Kalau saja Khanza tahu, istrinya itu pasti akan marah. Atau ngambek seperti biasa.Tidak banyak waktu yang dipunyai Keenan. Sehabis melihat Altan, dia harus cepat ke rumah sakit merawat Khanza. Orang tua Khanza sudah kembali ke desanya setelah seminggu menjaga Khanza. Kasihan. Sudah sepuh dan keletihan. Sekarang Keenan hanya menjaga Khanza bergantian dengan ibu dan Hani.Mbak Suster membawa Altan yang menangis kencang dalam gendongannya."Pak Keenan, ini Altan nangis terus dari tadi," kata Mbak Suster.Keenan segera menggendong anaknya. Sebentar saja tidak bertemu sudah rindu sekali. Namun, setiap kali melihat wajah Altan dia langsung sedih. Tidak tega. Anak sekecil Altan harusnya masih bermanja di sisi ibunya."Kenapa, Nak? Kok nangis terus? Ada Papa di sini," ujar Keenan lembut."Begini, Pak. Persediaan ASIP Bu Khanza habis," ujar
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Di ruangan KUA itu Vino menunggu dengan jantung berdebar. Mila belum hadir.Orang tua Vino dan saksi duduk ikut menunggu. Beberapa mulai menebak jangan-jangan calon mempelai wanita berubah pikiran.Vino mulai gugup dan memikirkan hal buruk. Bukan gengsi. Sudah lama ia tidak memikirkan itu untuk mendapatkan Mila. Ia hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan. Bisa bersatu dengan Mila dan anaknya Endaru, meskipun mungkin Mila belum mencintainya."Assalamualaikum. Maaf, saya terlambat," ujar suara lembut yang langsung dikenali Vino.Terdengar suara orang-orang di ruangan menyahuti salam.Dengan sigap Vino bangkit berdiri menyambut Mila yang baru tiba memasuki ruangan tempat ijab qabul akan dilaksanakan. Seperti mimpi. Mila benar-benar ada di hadapan Vino terlihat sederhana, tapi sangat cantik. Ia mengenakan gaun putih panjangnya di bawah lutut dengan detail brokat pada bagian leher dan lengan. Sepatu balet putih melekat di kaki
Sepulang dari Bali, kehidupan Keenan dan Khanza semakin bahagia. Keenan setiap hari saat di kantor merindukan Khanza dan ingin cepat bertemu. Khanza pun harus bersusah payah berkonsentrasi dengan pekerjaannya sambil mengingat Keenan.Seorang pasien, ibu berusia enam puluh tahun, akan menjalani operasi pagi ini. Operasi besar. Bukan sekadar pemasangan klep jantung.Khanza jadi teringat dengan Bu Ida, mertuanya. Awal mula ia mengenal Keenan adalah saat ia mengoperasi Bu Ida. Ia memang tidak tahu menahu rencana awal Keenan dan mantan suaminya, Roman. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya Keenan adalah jodoh terbaik untuknya."Saya nggak mau dioperasi. Biarin saya mati aja," celetuk ibu itu terlihat lesu dan stress."Bu, jangan ngomong begitu. Dosa, Bu," ujar anak perempuannya kesal. Kelihatan sekali sudah lelah fisik maupun batin."Nggak mau. Buat apa hidup kalau abangmu nggak mau nurutin Ibu?" kata si ibu lagi.
Khanza memindahkan pakaian dari koper ke lemari di kamar hotel. Senyumnya merekah saat memegang lingerie merah muda dan piyama tipis berwarna hijau soft. Ia sendiri yang menyiapkan busana seksi itu untuk menghabiskan malam-malam indah bersama Keenan di Bali.Mereka memutuskan pergi berbulan madu. Altan yang sudah berusia dua tahun dititipkan bersama nenek dan tantenya. Hanya tiga hari waktu yang akan mereka lewati di Bali karena Altan tidak mau ditinggal lama oleh mama dan papanya. Khanza juga tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pasien membutuhkan pertolongannya.Napas lembut Keenan menderu di leher Khanza. Diam-diam Keenan mengendap ke kamar dan mendekati Khanza."Sayang," bisik Keenan di telinga Khanza. "Kenapa nggak dipakai ini?" Keenan meraih lingerie di tangan Khanza.Khanza terkikik geli dan menyembunyikan lingerie dari Keenan."Ini kan surprise buat malam. Kamu jangan lihat, Mas." Khanza dengan manja mendorong Keenan.
Beberapa waktu telah berlalu. Sejak menikah dengan Vino, Mila sudah pergi dari rumah Bu Ida membawa Endaru.Seperti janji Mila, ia tetap mengirimkan ASIP untuk Altan, karena kondisi Altan membaik. Sudah mau dibujuk minum dengan dot oleh Keenan.Terbukti kekhawatiran Khanza selama ini bisa diatasi. Harus sabar dan kuat. Memang sulit, tapi jika percaya dengan kekuatan doa, semua akan selesai dengan baik.Khanza mulai tenang dan semakin sabar. Walaupun belum sembuh, masih lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa, keluarga di sekeliling Khanza tidak pernah meninggalkannya. Terutama Keenan selalu men-support-nya.Seperti hari ini, Khanza sudah mulai bisa menggerakkan telapak kakinya. Keenan teramat senang. Berulangkali dia mencium Khanza atas kemajuan itu."Alhamdulillah. Yakin sebentar lagi bisa jalan. Bismillah, Sayang," ucap Keenan menyemangati Khanza.Khanza tersenyum. "Aamii
Khanza masuk ke kamar Mila. Mila inisiatif menutup pintu kamar, karena Khanza ingin bicara padanya dari hati ke hati.Tidak ada senyuman di wajah Khanza. Hanya kemuraman. Begitu Mbak ART meninggalkan Khanza dan Mila berdua saja, mereka lama terdiam. Khanza tampak sulit memilih kata-kata."Mbak, doain aja ya biar pernikahanku lancar," ujar Mila memulai pembicaraan.Khanza menatap Mila penuh arti. "Tapi kenapa, Mila?"Mila tersenyum. "Aku juga ingin Endaru bahagia, Mbak. Vino menyayangi Endaru.""Lalu bagaimana dengan kamu?" Khanza menatap Mila tajam.Mila membuang pandangan. Ada kegetiran tergambar di wajahnya. Dijelaskan juga mungkin tidak akan ada yang mengerti. Itu yang dipikirkan Mila.Berat bagi Mila untuk menerima Vino. Seorang korban perkosaaan jarang menerima pemerkosanya sebagai pasangan. Namun, Mila punya alasan lain. Vino memang sudah berbuat jah
Mila duduk melamun di kamar tamu, tempat di mana ia menetap selama tinggal di rumah Khanza dan Keenan. Endaru dan Altan keduanya sedang bermain dengan anggota keluarga yang lain.Pikiran Mila sendiri jadi tidak menentu. Makan pun jadi tidak enak. Suasana saat ini benar-benar tidak nyaman bagi Mila. Setiap kali Mila berpapasan dengan Khanza, wanita itu pasti bertanya apa keputusannya.Masalahnya, menikah dengan lelaki beristri bukan perkara mudah. Meskipun Keenan adalah laki-laki yang dicintai Mila, bahkan hingga saat ini, tapi Mila bukan tipe wanita yang sanggup menjadi madu."Pikirkan Endaru, Mila. Kami berjanji, kalau kamu mau menikah sama Mas Keenan, Endaru akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Altan. Endaru juga akan diberikan pendidikan agama dan sekolah yang terbaik."Kata-kata Khanza itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Mila. Memang benar Keenan menyayangi anaknya. Namun ... setuju dipoligami?Keenan lewa
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak