Khanza menatap gelisah layar handphone-nya. Keenan belum membalas semua pesan WA darinya. Centang biru dua, tapi tidak dibalas. Nyesak rasanya. Hanya karena masalah kecil, Keenan sudah semarah itu. Bukan Khanza menyelepekan masalah Hani, tapi apa yang dilakukan Hani dan Roman sekarang menurutnya sudah benar.
Di satu sisi Khanza tahu Keenan marah karena dibakar cemburu. Insecure pada Roman. Namun, sudah berjuta-juta kali ia katakan sudah tidak mempunyai rasa apa pun terhadap Roman. Rupanya bagi Keenan, membayangkan Roman menjadi iparnya dan tetap berkaitan dengannya dan Khanza merupakan hal yang tidak nyaman.
"Mas, kenapa nggak dibalas sih? Kamu masih marah? Udah dua hari kamu nggak pulang. Sebenarnya kamu ke mana? Ibu bilang kamu nggak ada di rumah Ibu," ujar Khanza mengirimkan voicenote untuk Keenan.
Belakangan jari jemari Khanza sudah terasa keram dan tidak sanggup memegang handphone lama-lama, mengetikkan tombol-tombol
Keenan mondar mandir di depan ruang operasi. Gelisah buka main. Sudah satu jam terlewati."Doa, Keenan. Mohon sama Allah agar istri dan anakmu diberikan keselamatan," ujar Bu Ida."Iya, Bu," sahut Keenan.Seorang perawat keluar dari ruang operasi dan mendekati Keenan."Alhamdulilah, Pak, anaknya udah lahir. Anaknya laki-laki," kata perawat.Keenan tersenyum semringah. Kebahagiaan meletup-letup dalam hatinya. "Alhamdulillah." Rasanya Keenan ingin melompat masuk ke ruangan itu untuk melihat anaknya secepat mungkin, tapi ia tahu belum diperbolehkan. Terlebih lagi, ada hal lain yang juga penting."Lalu gimana kondisi istri saya, Sus?" tanya Keenan cemas.Bu Ida berdiri di samping Keenan, ikut khawatir."Bu Khanza saat ini sedang istirahat setelah operasi. Beberapa menit lalu sempat terbangun, sekarang tidur lagi," jelas suster."Alhamdulilah. Semua berjalan baik-baik aja," kata
Khanza masih kesal dengan suaminya. Namun, demi rasa sayang pada buah hati yang baru ia lahirkan, rasanya tidak tega harus merusak suasana.Dengan sabar Khanza menggendong bayinya, mesti luka di perutnya masih terasa perih. Berulang kali pula Keenan membantunya mengangkat sang bayi dekat ke Khanza, semua untuk mempermudah Khanza."Anak kita haus. Disusuin dulu ya, sebelum dibawa suster ke ruangan lagi," kata Keenan lembut seraya membelai kepala bayi yang tengah menangis dalam pegangan Khanza."Iya, aku tahu kok, Mas," sahut Khanza masih sewot."Iya, maaf ya." Keenan tampak lesu.Sebenarnya Khanza sudah iba dan tidak tega memusuhi Keenan terus, tapi kalau ingat kelakuan Keenan yang menghilang di saat tergenting dalam hidupnya, api di hatinya masih membara. Suami macam apa yang tega meninggalkan istri di saat hamil tua sampai hampir meregang nyawa di jalanan bersama janin yang masih di dalam rahim?"Za, aku minta
Sudah seminggu setelah Khanza dan bayinya pulang dari rumah sakit. Berangsur-angsur kondisi bayi Altan membaik. Berat badannya yang semula hanya 2,5 kilogram sekarang sudah 2,9 kilogram.Kehidupan Khanza dan Keenan pun berubah seketika. Rumah mereka selalu diisi dengan suara tangisan bayi. Keenan sering pulang kerja lebih cepat demi membantu Khanza mengasuh bayi. Ada babysitter yang membantu, tapi untuk menyusui dan menidurkan tetap harus dilakukan Khanza."Diam dong, Sayang. Jangan nangis lagi ya," bujuk Khanza lembut pada bayi Altan yang tidak berhenti menangis."Altan kenapa, Za? Kok nangis terus dari tadi? Apa masih haus?" Keenan tampak khawatir dan mengambil bayi dari sang istri lalu menimangnya. "Disusuin aja lagi, Za." Keenan menyerahkan bayinya lagi pada Khanza.Khanza menggendong bayi Altan dengan hati-hati. Bayinya malah semakin melengking tangisannya. Khanza sampai kelimpungan dan sudah sangat letih."Aku ng
Hai, teman-teman. Sebelum baca kelanjutan kisah ini, mohon support-nya ya. Vote dan share. Makasih 🙏🏻Mila berjalan perlahan keluar dari toko sore itu. Luar biasa pegal seluruh tubuhnya setelah mem-packing puluhan paket pesanan barang hari itu. Bagian paha dan selangkangannya sampai keram dan berdenyut sakit. Bahkan kedua kaki Mila sudah bengkak.Usia kandungan Mila sudah memasuki delapan bulan lebih. Sudah seharusnya ia beristirahat. Namun, Mila sadar diri ia tidak memiliki siapa-siapa untuk diandalkan. Tidak ada suami ataupun keluarga yang akan menanggung kebutuhannya dan juga bayinya yang akan segera lahir. Beruntung bos tempat Mila bekerja baik. Lebih tepatnya mungkin kasihan. Minggu ini adalah minggu terakhir Mila masuk kerja. Setelah itu ia akan cuti melahirkan dan sudah diberikan gaji sebulan penuh oleh sang bos.Maksud hati dengan uang gaji itu, Mila ingin mencari tempat kos. Membayangkan dirinya
Mila berusaha untuk menuruti intruksi dokter dan perawat agar tidak berteriak, tapi tetap saja saat rasa sakit mendera, ia tidak tahan."Bu, napasnya diatur ya. Kalau teriak-teriak terus nanti lemes, lho," bujuk suster di samping Khanza yang bersiap melahirkan, kakinya sudah dibentang lebar."Sakit, Sus," rintih Mila."Iya, Bu. Memang sakit. Sabar, ya. Kalau Ibu dengar arahan kita, percaya deh, bisa lebih cepat beres. Ibu nggak sakit lagi." Dokter meyakinkan Mila.Mila akhirnya mengangguk berusaha sabar. Saat sakit kontraksi muncul lagi, ia hanya bisa meremas kuat pegangan ranjang. Air matanya mengalir deras. Sudah lemas, tapi tidak boleh menyerah. Ada bayi tidak bersalah yang berhak untuk hidup."Kepalanya sudah kelihatan, Bu. Tetap atur napas. Insya Allah nggak lama lagi dede lahir lancar," kata suster."Semangat ya, Bu Camila," kata dokter. "Apa perlu suaminya kita panggil ke dalam?"Mila t
Dibantu Hani, Mila merebahkan tubuhnya ke ranjang. Masih gemetaran dan sulit bergerak."Hati-hati, Mbak." Dengan lembut Hani membantu Mila."Makasih, Hani," ujar Mila. Sekarang ia sudah pulang ke rumah Bu Ida dan ditempatkan di kamar yang sudah dibereskan spesial untuk Mila. Ada box bayi juga di sana. Semua perkakas bayi yang dibelikan Khanza.Mila kikuk. Merasa tidak enak dan bingung harus berbuat apa. Canggung, sudah pasti. Situasi saat ini tidak nyaman."Mbak Mila tenang aja, ya. Istirahat aja. Ntar biar Hani yang jagain Dede bayinya. Pokoknya Mbak jaga kesehatan, makan yang banyak." Hani tersenyum sayang pada Mila."Hani, kamu baik banget," ujar Mila disertai air mata.Hani malah heran dan langsung menyeka air mata Mila. "Lho? Kok nangis sih, Mbak? Mbak nggak ingat apa kata dokter? Nggak boleh sedih atau stress, kasihan bayinya nanti. Mbak juga nanti sakit. Udah ya. Semangat. Jangan mikirin yang nggak-nggak.
Di tengah tangisan Altan, Khanza menangis. Matanya menatap Keenan di depannya dengan kesal."Jujur aja, Mas. Kamu masih sayang sama Mila, kan?" tanya Khanza."Aku nggak mau jawab," jawab Keenan ikutan kesal."Kenapa, Mas? Pasti karena kamu memang masih sayang kan sama dia?"Keenan malah terdiam. Sorotan matanya hanya tertuju ke Altan yang ada di gendongan Khanza.Keenan lalu tersadar dan teringat pesan ibunya. Segera dia menghampiri Khanza, mencoba memeluknya, tapi Khanza menepisnya."Aku minta maaf, Za. Please, jangan marah lagi. Lain kali aku pasti bilang kalau mau jenguk Mila. Udahlah. Aku nggak macam-macam. Cuma kamu istri aku. Cuma kamu yang aku sayang," kata Keenan.Khanza malah tertawa dingin. "Dialog basi itu, Mas. Udah kayak slogan wajib para buaya."Keenan mengerutkan kening. "Jadi kamu mau aku gimana lagi sih, Za? Apa perlu aku mati aja sekarang di depan kamu?""Hussh! Ngomong apa
Baru saja Bu Ida selesai memindahkan sayur lodeh dari kuali ke wadah, di luar sudah terdengar suara salam. Ada tamu yang datang.Mila sedang meladeni Endaru yang sedang anteng di gendongannya. Sementara Mila membantu membersihkan dapur, bekas masak memasak."Assalamualaikum," ucap suara-suara di depan. Kelihatannya lebih dari satu orang. Ada pria dan wanita."Waalaikumsalam," sahut Bu Ida dan lainnya kuat."Siapa itu, Buk?" tanya Hani penasaran."Ya nggak tahu. Coba kamu lihat sana!" perintah Bu Ida pada Hani.Hani menurut segera ke depan. Sementara Mila lanjut mengelap lemari makanan."Udah. Kamu jangan capek-capek. Tadi kan udah Ibuk bilang kamu nungguin anakmu aja. Ini sayur kamu makannya yang banyak. Bagus buat kamu," ujar Bu Ida."Iya, Bu," sahut Mila diiringi senyuman manis di wajahnya."Anakmu besok jangan lupa dibawa ke rumah sakit. Diimunisasi. Biar nanti tak
Di ruangan KUA itu Vino menunggu dengan jantung berdebar. Mila belum hadir.Orang tua Vino dan saksi duduk ikut menunggu. Beberapa mulai menebak jangan-jangan calon mempelai wanita berubah pikiran.Vino mulai gugup dan memikirkan hal buruk. Bukan gengsi. Sudah lama ia tidak memikirkan itu untuk mendapatkan Mila. Ia hanya berharap bisa merasakan kebahagiaan. Bisa bersatu dengan Mila dan anaknya Endaru, meskipun mungkin Mila belum mencintainya."Assalamualaikum. Maaf, saya terlambat," ujar suara lembut yang langsung dikenali Vino.Terdengar suara orang-orang di ruangan menyahuti salam.Dengan sigap Vino bangkit berdiri menyambut Mila yang baru tiba memasuki ruangan tempat ijab qabul akan dilaksanakan. Seperti mimpi. Mila benar-benar ada di hadapan Vino terlihat sederhana, tapi sangat cantik. Ia mengenakan gaun putih panjangnya di bawah lutut dengan detail brokat pada bagian leher dan lengan. Sepatu balet putih melekat di kaki
Sepulang dari Bali, kehidupan Keenan dan Khanza semakin bahagia. Keenan setiap hari saat di kantor merindukan Khanza dan ingin cepat bertemu. Khanza pun harus bersusah payah berkonsentrasi dengan pekerjaannya sambil mengingat Keenan.Seorang pasien, ibu berusia enam puluh tahun, akan menjalani operasi pagi ini. Operasi besar. Bukan sekadar pemasangan klep jantung.Khanza jadi teringat dengan Bu Ida, mertuanya. Awal mula ia mengenal Keenan adalah saat ia mengoperasi Bu Ida. Ia memang tidak tahu menahu rencana awal Keenan dan mantan suaminya, Roman. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya Keenan adalah jodoh terbaik untuknya."Saya nggak mau dioperasi. Biarin saya mati aja," celetuk ibu itu terlihat lesu dan stress."Bu, jangan ngomong begitu. Dosa, Bu," ujar anak perempuannya kesal. Kelihatan sekali sudah lelah fisik maupun batin."Nggak mau. Buat apa hidup kalau abangmu nggak mau nurutin Ibu?" kata si ibu lagi.
Khanza memindahkan pakaian dari koper ke lemari di kamar hotel. Senyumnya merekah saat memegang lingerie merah muda dan piyama tipis berwarna hijau soft. Ia sendiri yang menyiapkan busana seksi itu untuk menghabiskan malam-malam indah bersama Keenan di Bali.Mereka memutuskan pergi berbulan madu. Altan yang sudah berusia dua tahun dititipkan bersama nenek dan tantenya. Hanya tiga hari waktu yang akan mereka lewati di Bali karena Altan tidak mau ditinggal lama oleh mama dan papanya. Khanza juga tidak bisa cuti lama-lama. Banyak pasien membutuhkan pertolongannya.Napas lembut Keenan menderu di leher Khanza. Diam-diam Keenan mengendap ke kamar dan mendekati Khanza."Sayang," bisik Keenan di telinga Khanza. "Kenapa nggak dipakai ini?" Keenan meraih lingerie di tangan Khanza.Khanza terkikik geli dan menyembunyikan lingerie dari Keenan."Ini kan surprise buat malam. Kamu jangan lihat, Mas." Khanza dengan manja mendorong Keenan.
Beberapa waktu telah berlalu. Sejak menikah dengan Vino, Mila sudah pergi dari rumah Bu Ida membawa Endaru.Seperti janji Mila, ia tetap mengirimkan ASIP untuk Altan, karena kondisi Altan membaik. Sudah mau dibujuk minum dengan dot oleh Keenan.Terbukti kekhawatiran Khanza selama ini bisa diatasi. Harus sabar dan kuat. Memang sulit, tapi jika percaya dengan kekuatan doa, semua akan selesai dengan baik.Khanza mulai tenang dan semakin sabar. Walaupun belum sembuh, masih lumpuh, dan tidak bisa berbuat apa-apa, keluarga di sekeliling Khanza tidak pernah meninggalkannya. Terutama Keenan selalu men-support-nya.Seperti hari ini, Khanza sudah mulai bisa menggerakkan telapak kakinya. Keenan teramat senang. Berulangkali dia mencium Khanza atas kemajuan itu."Alhamdulillah. Yakin sebentar lagi bisa jalan. Bismillah, Sayang," ucap Keenan menyemangati Khanza.Khanza tersenyum. "Aamii
Khanza masuk ke kamar Mila. Mila inisiatif menutup pintu kamar, karena Khanza ingin bicara padanya dari hati ke hati.Tidak ada senyuman di wajah Khanza. Hanya kemuraman. Begitu Mbak ART meninggalkan Khanza dan Mila berdua saja, mereka lama terdiam. Khanza tampak sulit memilih kata-kata."Mbak, doain aja ya biar pernikahanku lancar," ujar Mila memulai pembicaraan.Khanza menatap Mila penuh arti. "Tapi kenapa, Mila?"Mila tersenyum. "Aku juga ingin Endaru bahagia, Mbak. Vino menyayangi Endaru.""Lalu bagaimana dengan kamu?" Khanza menatap Mila tajam.Mila membuang pandangan. Ada kegetiran tergambar di wajahnya. Dijelaskan juga mungkin tidak akan ada yang mengerti. Itu yang dipikirkan Mila.Berat bagi Mila untuk menerima Vino. Seorang korban perkosaaan jarang menerima pemerkosanya sebagai pasangan. Namun, Mila punya alasan lain. Vino memang sudah berbuat jah
Mila duduk melamun di kamar tamu, tempat di mana ia menetap selama tinggal di rumah Khanza dan Keenan. Endaru dan Altan keduanya sedang bermain dengan anggota keluarga yang lain.Pikiran Mila sendiri jadi tidak menentu. Makan pun jadi tidak enak. Suasana saat ini benar-benar tidak nyaman bagi Mila. Setiap kali Mila berpapasan dengan Khanza, wanita itu pasti bertanya apa keputusannya.Masalahnya, menikah dengan lelaki beristri bukan perkara mudah. Meskipun Keenan adalah laki-laki yang dicintai Mila, bahkan hingga saat ini, tapi Mila bukan tipe wanita yang sanggup menjadi madu."Pikirkan Endaru, Mila. Kami berjanji, kalau kamu mau menikah sama Mas Keenan, Endaru akan mendapatkan kasih sayang yang sama dengan Altan. Endaru juga akan diberikan pendidikan agama dan sekolah yang terbaik."Kata-kata Khanza itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Mila. Memang benar Keenan menyayangi anaknya. Namun ... setuju dipoligami?Keenan lewa
Khanza dan Keenan harus menahan getir kesedihan luar biasa. Cobaan datang lagi. Altan harus dirawat di rumah sakit karena kondisi kesehatannya menurun. Dokter mendiagnosis bayi malang mereka kekurangan asupan makanan akibat tidak mau minum susu."Altan ...." Tangis Khanza pecah menyaksikan bayi mungilnya harus ditusuk jarum infus. Memilukan, tapi langkah tersebut mesti dilakukan."Sabar, Khanza," ucap Bu Ida menguatkan Khanza.Entah berapa kali sudah mendengar kata itu. Mungkin sudah menjadi sarapan setiap hari baginya.Menahan derita pada dirinya Khanza masih tahan. Namun, begitu mendengar jeritan tangis kesakitan bayi yang telah ia lahirkan, rasanya tak sanggup."Kita doakan anak kita cepat pulih, Sayang. Dengan diberikan cairan infus, otomatis asupan gizi Altan bisa membaik." Keenan menyemangati Khanza meski dia sendiri ragu.Khanza melamun memandangi Altan yang kini telah tertidur setelah lelah menangi
Keenan menatap Khanza yang masih terisak di kamar. Rasa sakit hati Khanza tidak dimengerti oleh Keenan. Namun, Bu Ida paham dan sudah menasihati Keenan."Za, maafin aku ya, Sayang," ucap Keenan lembut.Khanza masih larut dalam tangisan. Enggan menyahuti Keenan.Keenan membungkuk dekat kursi roda lalu memeluk Khanza. "Maafin aku, Za. Aku salah. Aku udah ambil keputusan tentang anak kita tanpa persetujuan kamu. Maaf ya," ucap Keenan terus menerus.Khanza perlahan mengangkat pandangannya. Ia menatap Keenan sedih. Sudah berkali-kali ia bertengkar dengan Keenan, tapi selalu berakhir baikan. Kali ini, Khanza tidak tahu apa bisa memaafkan Keenan atau tidak. Keenan pasti tidak mengerti perasaannya.Tidak lebih Khanza takut kehilangan Keenan, suaminya, juga takut kehilangan Altan."Za, maafin aku. Aku lakuin itu bukan karena maksud buruk atau seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya ingin Altan, anak kita, sembuh. Tapi kala
Hai, teman-temanku yang baik. Mohon dukungannya ya vote dan follow agar aku semakin semangat menulis dan melanjutkan cerita ini. Boleh juga baca cerita-ceritaku yang lain klik bioku biar kita semakin kenal. Aku berniat menulis banyak cerita roman. Mohon support-nya ya, Teman-Teman semoga dilancarkan cita-citanya bagi yang membaca ceritaku. Hani diam-diam mendekati Keenan saat Khanza selesai dipijat dan dilatih berjalan oleh Keenan. "Mas Keenan, ada masalah," bisik Hani. Keenan mengerutkan kening. "Apa?" "Altan nggak mau minum ASIP yang didapat dari pendonor." Hani kelihatan letih dan bingung. Keenan mengembuskan napas. Lelah dan emosi menyatu. "Ya ampun. Apa lagi ini?" gumam Keenan. Khanza menoleh heran melihat Keenan. "Kenapa, Mas? Ada masalah apa?" Kenan cepat menggeleng. "Nggak