Sekuat tenaga, Fjola menahan air matanya supaya tidak tumpah. Ia menekan perasaan sedihnya yang semakin berat untuk ditanggung. Ia berusaha. Namun, ketika area di mana celah yang akan membawanya kembali ke dalam tembok terlihat, Fjola tak bisa menyembunyikan lagi raut wajahnya yang sedih.Gadis itu tahu bahwa inilah saatnya ia harus pergi, kembali ke negeri yang telah diimpikannya selama ini. Namun, ia juga menyadari betapa berubahnya perasaannya sekarang. Jika hal ini terjadi beberapa minggu yang lalu, niscaya ia akan senang bukan kepalang. Namun kini, ia tak yakin dengan perasaan itu lagi. Ia tahu persis alasan perubahan itu. Yaitu Arnor.Peri itu telah mengubahnya. Ia yang dulu sangat menginginkan kembali ke dalam tembok, sekarang menjadi ragu. Satu sisi, ia ingin bersama sang peri. Namun di sisi lain, ia mesti kembali ke dalam tembok untuk mencari tahu apa yang terjadi terhadap ayahnya. Batinnya bergejolak. Risiko apa yang mesti dihadapi dalam setiap pilihan itu?Seandainya Fjola
Apa kau pernah melihat sebuah cangkang yang kosong, Fjola?Suatu hari, ibunya pernah bertanya kepadanya. Waktu itu umurnya masih remaja.Ya, Ibu, aku pernah melihatnya, jawab Fjola duduk di sebelah ranjang ibunya. Tangannya mengamit jemari sang ibu yang tergolek lemah karena penyakit. Orang bilang, ibunya hanya lelah. Namun, Fjola tahu ibunya sakit parah karena kelelahan.Bagimana menurutmu? tanya ibunya lagi. Matanya yang setengah tertutup memandang langit-langit rumah.Aku tidak tahu, jawab gadis itu jujur.Sang ibu tersenyum Meski begitu, setetes air mata turun dari sudut matanya. Rasanya sangat menakutkan.Kening Fjola mengernyit. Kenapa?Karena sudah tidak ada lagi yang tersisa di dalamnya. Kosong. Nihil. Tidak ada lagi yang mengisi ruang-ruang itu, tidak ada lagi yang menjadi penghangatmu, bahkan tidak ada lagi yang menjadi penggerakmu untuk ke depan. Kau akan dilupakan. Kau akan menjadi tidak berguna.Tapi, lambat laun sesuatu yang lain akan mengisi cangkang itu bukan? tanya Fj
Sang PangeranWaktu Barrant untuk menemukan kekasihnya sudah hampir habis. Ia kecewa terhadap dirinya sendiri karena ketidakbecusannya melindungi Fjola. Setiap hari, di sela pencariannya, pangeran itu selalu menyalahkan diri sendiri. Selama ini dia terlalu sombong dengan meremehkan Margaret, meremehkan masalahnya. Ia sesumbar bahwa akan berhasil menemukan Fjola hanya dengan lima prajurit. Namun nyatanya seminggu sebelum waktu yang disepakatinya dengan sang ayah habis, ia belum juga menemukan gadis itu.Ia tengah frustrasi di atas tembok, tempat favoritnya bersama Fjola dulu. Penampilannya sekarang lebih berantakan dibanding dulu. Ia membiarkan cambang tumbuh di dagunya. Tidak lebat, tetapi cukup membuat pangeran itu tampak kotor dan kacau. Rambut yang biasanya disisir ke belakang dengan rapi ia biarkan terurai berantakan. Matanya tampak lelah. Asal lingkar panda yang menghiasi kantungnya.“Di mana kau?” gumamnya kepada angin. Ia memandang menerawang ke lembah kematian yang menganga di
Dari kecil, pikir Margaret, orang tuanya tidak pernah menganggapnya penting. Hal itu disebabkan dia berbeda dengan kedua saudaranya. Kakaknya yang paling besar, kakak lelakinya yang tampan dan berbakat selalu mendapat keburuntungan. Begitupun dengan kakak perempuannya yang cantik, yang malah tampak lebih muda darinya. Mereka semua diberi anugerah yang tak terkira. Ia sempat berpikir bahwa ia bukanlah anak kandung mereka. Dan, ya, dilihat dari manapun, ia bukanlah anak mereka. Bagaimana mungkin seorang peri yang menikah dengan peri lainnya mendapat anak seorang manusia? Itu mustahil.Ya, orang tua Margaret, atau orang-orang yang dia anggap sebagai ayah dan ibu adalah peri. Sejak kecil, ia diasuh mereka. Baru ketika mencapai usia remaja, ia diberitahu bahwa yang selama ini dianggap ayah dan ibu bukanlah orang tua kandungnya.Duku, sewaktu ia bayi, sang ibu menemukannya di hutan. Beliau membesarkan Margaret hingga dewasa di negeri para peri.Hidup di negeri tersebut membuat Margaret sela
FannarSeminggu lagi pernikahan Pangeran Barrant akan dilaksanakan. Para Garda menyusun rencana dengan teliti. Mereka melatih strategi yang akan mereka gunakan untuk membunuh sang pangeran. Kini mereka bebas berlatih secara terang-terangan. Tamu mereka alias Aguste telah menghilang. Pada pagi-pagi buta, ia menyelinap pergi.Fannar yang selalu bangun terlebih dahulu dibanding yang lain mendapati pintu rumah terbuka. Awalnya ia mengira ada pencuri yang masuk. Namun, setelah memeriksa isi rumah, ia merasa tak ada yang aneh. Ia lantas turun ke ruang bawah tanah. Di sana ia tak menemukan pria asing itu. Saat melihat selimut yang terlipat rapi di ranjang, ia menyimpulkan bahwa Aguste pergi. Entah apa alasannya, yang jelas pria itu tidak mau repot-repot berpamitan maupun berterima kasih. Fannar mendecih.Pemuda belia itu memberi tahu Mr. Q yang tumben sekali menginap di rumah itu. Dia memilih untuk tidak memikirkan kepergian Aguste yang mendadak. Masih banyak hal yang membebani pikirannya sa
“Yah, banyak kabar simpang siur tentang putri itu.” Luke berkomentar. Semua orang yang ada di ruangan itu kini menoleh ke arahnya. Mata mereka seolah berkata, yang benar saja?“Apa?” tanyanya merasa tak enak karena mendadak menjadi pusat perhatian. “Aku hanya memberi tahu kalian.”Mr. Q berdeham. “Terima kasih, Luke. Tetapi tanpa kau beritahu pun kami sudah tahu.” Ia lantas menaruh tangannya ke bahu Fannar. “Aku tidak tahu kau adalah adik Fjola Ha—Addalward. Sebenarnya, aku tidak terlalu mengikuti urusan itu. Tetapi, aku turut bersimpati padamu. Aku percaya bahwa ada sesuatu di balik menghilangnya kakakmu. Dan tentu saja sesuatu yang tidak seperti yang mereka bicarakan itu. Meski begitu, kuharap ini tidak memengaruhimu dalam menjalankan misi kali ini. Sebab, aku sangat berharap kau berhasil. Apa kau mengerti?”Fannar mengusap air matanya yang sempat menetes ke pipi dengan kasar. Ia lantas mengangguk. “Aku akan menjadikan itu sebagai motivasi untuk melakukan yang terbaik.”“Bagus,” kat
FjolaMasuk ke Negeri Haust ternyata tidaklah sulit. Orang-orang maupun prajurit tidak ada yang menoleh, maupun yang curiga kepada dua orang gadis yang mengendarai kuda melewati jalan-jalan berkerikil menuju istana. Dalam pikiran mereka, kedua gadis itu hanyalah orang biasa. Toh, mereka tampak tidak berbahaya. Tidak mungkin mereka mampu mengancam keutuhan mereka.Bahkan, ketika melewati gerbang istana pun, mereka hanya disambut segelintir prajurit yang bertanya identitas dan tujuan mereka secara ogah-ogahan.“Nama?” tanya prajurit dengan raut wajah bosan. Bobot tubuhnya sebagian besar ia tumpukan ke tombak yang tengah dipegang dengan pangkal menancap ke tanah. Ia tengah berdiri di sisi gerbang yang terbuka.“Bella,” sahut Sofia tanpa turun dari kudanya. Fjola yang duduk di belakangnya mengintip prajurit itu sekilas sebelum memalingkan pandangannya ke tempat lain. Gadis itu ingat prajurit tersebut pernah mengantarkan makanan ke rumahnya dulu, ketika dia akan berangkat ke Negeri Veggur.
Gadis itu duduk sendiri di ruangan yang biasanya ia gunakan untuk menjamu tamu dari luar istana. Tudung dari jubah berwarna putih yang tampak kotor menutupi kepalanya. Tangannya tertaut di meja. Punggungnya menegak. Ketika Raja Erik melewati pintu, gadis itu tidak menoleh.“Siapa kau? Jangan macam-macam padaku,” ujar raja itu berderap masuk. Ia mengambil duduk di depan gadis yang tengah menunduk itu. Ia mengibaskan tangan sekilas, mengusir pengawalnya keluar. “Kau berbohong dengan mengatakan bahwa kau Fjola Addalward. Dia sudah mati.”“Sayang sekali, Yang Mulia.” Fjola membuka tudungnya. “Aku belum mati.”Raut terkejut terpampang di muka raja itu. Matanya terbuka sangat lebar. “F-fjola! Bagai-bagaimana kau—aku melihatmu.” Ia tergagap. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya lewat mulut. Ia memejamkan mata sejenak, menenangkan syarafnya sekejap kemudian berkata lagi. “Aku mendengar Margaret mengirimmu ke luar tembok. Aku percaya padanya, jadi aku tidak mencarimu. Kalau kutahu
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem