Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?
Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.
“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.
Fjola memutar bola matanya. Dengan tubuh sempoyongan ia berdiri. Ia melangkah ke mulut gua. Cacing dalam perutnya seolah berorasi.
“Aku cuma bercanda,” sahut Arnor menghentikan langkah gadis itu. “Sini, kemarilah! Duduklah di sampingku. Ada jamur lezat yang siap kau santap.”
Wangi jamur panggang itu membuat perut Fjola bergemuruh. Sialan, batinnya. Sebenarnya, dia tidak mau duduk bersama sang peri, apalagi makan bersamanya. Ia takut jamur itu diberi racun, atau sihir. Gadis itu melanjutkan langkahnya.
“Hm .... Jamurnya lembut sekali. Kematangannya sempurna. Astaga, aku pandai sekali memasak,” puji Arnor pada dirinya sendiri.
Fjola menggigit bibirnya. Perutnya sudah memprotes, kakinya pun. Ia tak kuat menahan lapar. Alhasil, ia berbalik. Matanya memandang sang pemuda yang menikmati makanannya dengan terang-terangan. Rupanya selain memanggang jamur, pemuda itu juga membuat sup. Ia bahkan menyeruput kuah supnya dengan suara berisik. Hal itu membuat liur Fjola terproduksi lebih banyak. Sungguh sialan peri itu.
Setelah melihat Fjola duduk di seberangnya, Arnor tak langsung menawari gadis itu. “Bukankah kau mau pergi?” tanyanya menggoda.
Fjola mendengkus kesal. “Sebenarnya, kau menawariku makan atau tidak?”
Kening Arnor berkerut. Bibirnya mengerucut. Ia seolah sedang mempertimbangkan pertanyaan Fjola dengan serius.
Hal itu membuat sang gadis jengkel. “Ya sudah, lupakan! Aku akan cari makanan sendiri.” Fjola lantas kembali bangkit. Namun, baru setengah mengangkat pantat, Arnor mencegahnya.
“Bilang saja kau mau. Susah sekali, sih!” gerutu Arnor.
“Baiklah. Ya. Aku mau makanan itu,” ujar Fjola dengan hati mendongkol. Kalau tubuhnya tidak lemah sekarang, ia bertekad bakal menghajar Arnor habis-habisan.
“Kau punya tangan, kan? Kalau iya, ambil sendiri makananmu.”
Fjola mengelus dadanya supaya sabar. Ia lantas merangkak mendekati Arnor, sebab sup dan jamur itu terletak di antara sang peri dan dinding gua. Jadi, kalau ingin mengambilnya, ia harus melewati Arnor terlebih dahulu.
Setelah mengambil wadah yang terbuat dari kulit buah yang keras, Fjola mengulurkan tangannya ke panci untuk mengambil sup. Lengannya tak sengaja menyenggol tubuh Arnor. Tak hanya itu, wajahnya berada sangat dekat dengan wajah sang peri. Jatungnya bakal berdetak kencang seandainya Arnor tidak meringis. Meski tampan, rautnya terlihat konyol. Fjola yakin telinga milik pemuda itu pastilah palsu. Sebab, dari ilustrasi buku yang pernah dibacanya dulu, peri merupakan makhluk yang anggun. Arnor tak mencerminkan keanggunan sama sekali.
“Bisakah kau minggir? Aku kesulitan mengambil sup itu,” pinta Fjola.
Masih meringis, Arnor menggeleng. “Bilang dulu, please.”
“Please,” beo Fjola menggerakkan gigi.
Arnor tambah nyengir. Ia lantas mundur dan berpindah tempat, memberi keleluasaan terhadap gadis itu. Sup buatan sang peri ternyata memang lezat. Toping berupa jamur panggang membuatnya kaya rasa. Fjola sampai tak sadar telah menghabiskan dua mangkuk.
“Apa kau tak takut kalau sup itu kumasukan racun?” tanya Arnor tiba-tiba.
Fjola menggeleng. “Kau sudah memakannya tadi. Dan, kau baik-baik saja. Jadi, tidak mungkin sup ini beracun.”
“Bukan racun yang akan membuatmu mati, tetapi racun yang akan membuatmu menuruti segala perintahku.”
Gadis itu tersedak. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk. Seketika, ia ingin memuntahkan sup itu. “Berengsek, kau!”
Melihat Fjola menghujaninya dengan sumpah serapah, Arnor terbahak. Ia tergelak sampai sudut matanya basah. Setelah puas tertawa, ia berkata, “Aku cuma bercanda.”
“Tidak lucu!” Fjola lantas bangkit, meninggalkan sisa sup pada mangkuk ke-tiganya begitu saja. Ia mengulurkan sebelah tangannya dan berkata dengan serius kepada sang peri, “Aku berterima kasih padamu karena menyelamatkanku, tetapi aku harus pergi. Maaf aku tidak mau menjadi budakmu. Jadi, kumohon, kembalikan belatiku. Aku perlu benda itu. Aku tidak bisa bertahan hidup di sini tanpa belatiku.”
Bibir merah Arnor merengut. Ia tampak kecewa. Namun, ia mengangguk. Ia mencopot sabuk belati dari pinggangnya. Ia lalu mengembalikannya kepada Fjola.
Setelah mengaitkan sabuk yang berisi belati itu ke pinggang, gadis itu pun melangkah ke mulut gua. “Sekali lagi aku berterima kasih. Mungkin, kita tidak akan bertemu lagi. Namun, jika takdir berkata lain, aku akan membalas kebaikanmu. Aku berjanji.”
Arnor mengedikkan bahu kemudian berkata, “Baiklah. Hati-hati di jalan." Seulas senyum tersungging di bibirnya yang cantik. Hal itu membuatnya tampak seratus kali lebih tampan. Ia juga melambai.
Sekilas, hati Fjola bergetar. Namun, ia segera berbalik dan pergi. Baru beberapa langkah, Anror memanggilnya. Gadis itu pun menoleh. Ia mengira Arnor bakal mencegahnya pergi. Namun, rupanya tidak.
Sang peri malah berkata, "Jangan lupa bernapas."
Fjola memutar bola matanya. Ia meninggalkan gua dengan langkah pasti. Namun, setelah lumayan jauh dari gua langkahnya menjadi ragu. Sikap Arnor yang melepasnya begitu saja membuatnya curiga. Mungkinkah ia salah tentang peri? Apakah mereka sebenarnya baik?
Kalau dipikir-pikir, Arnor tak pernah berbuat kurang ajar kepadanya, kecuali mengganti bajunya tanpa izin dan membuatnya selalu kesal dengan komentar-komentarnya. Meski begitu, dia telah menyelamatkannya. Dua kali malah.
Mendadak, Fjola tersentak. Ia heran dengan perasaannya sendiri yang seolah membela peri itu. Jangan-jangan hal itu karena sup yang dimakannya tadi. Pasti Arnor telah memasukkan sesuatu ke dalam sup itu. Lagi pula, ia baru sadar, nyeri yang dirasakannya tadi menghilang. Langkahnya ringan. Dingin yang mengusiknya juga lenyap.
Kurang ajar! Batin Fjola geram. Ia ingin kembali ke gua dan meminta penjelasan peri itu.
Akan tetapi, bagaimana kalau itu hanya prasangkasnya saja?
Tidak. Fjola tak mau kembali ke gua. Kalau memang benar sup itu dicampur ramuan, maka menjauhi pemuda itulah cara satu-satunya agar dia terbebas dari ancaman perbudakan.
Gadis itu mempercepat langkahnya. Salju masih menumpuk. Pohon-pohon mati mengelilingnya. Langit masih suram. Namun, seberkas cahaya matahari tampak menyorot di balik awan kelabu. Darinya, Fjola mampu menentukan arah. Ia mengira-ngira arah mana gerbang ke Negeri Veggur berada. Setelah yakin, ia melangkah ke sana.
Fjola terus berjalan. Tenggorokannya mulai kering lagi. Ia meraup setumpuk salju dan memakannya. Giginya langsung ngilu. Tetapi, Fjola tak peduli. Yang penting ia tidak dehidrasi.
Matahari semakin condong ke barat. Pohon-pohon mati yang dilewatinya mulai tertinggal. Suara air yang bergemericik membuat Fjola berhenti. Nalurinya mengatakan ia harus menemukan sumber air itu.
Mengandalkan pendengaran, ia pun mulai mencari sumber air tersebut.Tak lama kemudian, ia menemukannya. Tak hanya itu, ia juga menemukan sarang telur di dekat sungai. Entah telur apa, yang jelas ukurannya besar, lebih besar dari telur angsa. Ada tiga telur yang terletak di tengah susunan daun-daun kering. Fjola merasa beruntung. Ia lantas berderap, menghampiri telur-telur itu. Kurang dari sejangkah ia dapat mengambil telur itu.
Namun, kakinya mendadak terjerat tali yang terkubur salju. Tubuhnya terangkat ke atas dalam posisi terbalik. Rambutnya yang panjang menggelantung ke bawah. Belatinya terlepas dari sarung dan terlempar ke tanah. Rupanya, itu adalah jebakan.
Suara kelontang segera terdengar. Siapa pun yang membuat jebakan itu pasti bakal cepat-cepat ke sana.
Fjola berusaha melepaskan diri. Namun, mustahil. Ia tak dapat menjangkau tali yang mengikat kakinya. Ia semakin panik ketika mendengar pekikan dalam bahasa yang tak asing dari jauh. Ditambah suara derap kuda yang mendekat, ia yakin bahwa pembuat jebakan itu adalah pemburu. Ia harus bergegas meloloskan diri kalau tidak, ia bakal mati.
***
FannarOrang bilang, mereka adalah legenda. Walaupun tak ada yang pernah melihat mereka. Beberapa orang mengaku ditolong oleh mereka. Beberapa lagi mengaku keluarganya dibunuh oleh mereka. Mereka bukanlah hantu. Sebab, tak ada hantu yang dapat membawa gandum kepada masyarakat miskin, tak ada hantu yang mencuri harta para bangsawan, atau membunuhi petinggi yang zalim. Mereka bagai malaikat yang diam-diam dikirim Tuhan untuk menolong manusia yang pupus harapan.Namun bagi para bangsawan, mereka adalah perampok keji, begal, dan pencuri. Mereka sering menjarah barang dagangan para bangsawan kikir. Tak heran, mereka menjadi momok bagi bangsawan yang semena-mena.Bagi petinggi negeri, mereka merupakan musuh, perusak hirarki, dan pemberontak. Setiap prajurit diperintahkan untuk mengeksekusi mereka. Akan tetapi, baik masyarakat, para bangsawan, maupun para prajurit dan petinggi negeri tak tahu siapa mereka sebenarnya dan berapa anggota mereka. Orang-orang menyebut mereka Garda. Selama ini,
Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin
Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Apakah peri tak pernah tidur? Fjola membatin. Sebab, ketika malam sudah larut, ia masih mendengar gerakan dari dalam gua. Ia sendiri tak bisa tidur. Bagaimana ia dapat memejamkan mata sementara peri yang bersamanya masih usil. Entah sedang mengerjakan apa, Fjola tak mau tahu. Ia juga tak dapat melihat karena sekarang ia tengah berbaring miring menghadap dinding gua. Ia hanya melihat bayangan Arnor yang menari-nari di dinding gua. Kemeja dan celananya yang basah disampirkan di dekat api. Untung jaket pemburu yang dikenkannya panjang. Jadi, dapat menutupi lutut Fjola yang telanjang. Sepatu bot ikut dijemur di dekat api.Gadis itu gelisah. Alas tidur yang keras tak mengganggunya, tetapi suara gesekan dua benda terdengar berisik di keheningan malam. Fjola jadi penasaran dengan kegiatan yang dilakukan oleh Arnor. Ia ingin mengintip. Namun, posisinya tidak memungkinkan dirinya mengintip. Bahkan untuk sekadar bergerak pun ia tak sanggup. Ia tak mau Arnor mengetahui bahwa dirinya belum terlel
Paginya langit kembali suram, seolah bersiap melakukan serangan. Butir-butir salju turun perlahan. Arnor kembali memakai kemejanya yang sudah kering. Jubah putihnya ia tanggalkan. Sebagai ganti, ia mengenakan jubah kamuflase. Tudungnya ia tutupkan ke kepala. Ia sedang merapikan peralatan yang digunakannya untuk memasak, memasukkannya ke sebuah tas besar. Setelah menginjak bara api supaya padam, ia membawa tas itu keluar gua. Fjola yang baru bangun pun terkejut. Di dekatnya tidur tampak sewadah bubur gandum. Akan tetapi, saat melihat Arnor mengemasi barang, gadis itu panik. Ia mengabaikan sarapannya. Ia segera bangkit dan menyusul sang peri. Ia takut pemuda itu meninggalkannya. Padahal, ia memerlukannya untuk membantu kembali ke Negeri Veggur. Dengan bertelanjang kaki, Fjola keluar gua. Kerikil dan batu yang diinjak membuat kakinya sakit. Namun, ia tak peduli. Ketika mencapai mulut gua, ia melihat Arnor tengah mencantolkan tasnya ke sisi pelana seekor kuda. Kuda itu tampak anggun, be
Fannar“Kau cukup menarik, Nak,” kata pemimpin Garda. Jemarinya yang berbonggol ia tautkan ke depan lutut. Matanya memandang Fannar yang masih berlutut. Zoe berdiri di belakang pemuda belia itu. Rowan di sisinya. Luke mengamati dari jauh, namun masih dalam jangkauan. Mereka semua diam, menanti keputusan krusial sang pimpinan.“Kau tahu?” lanjut sang ketua, “Garda bukanlah organisasi yang kecil. Menurutmu, bagaimana kami bisa mengambil sesuatu dari lokasi satu dan memberi sesuatu ke lokasi lainnya? Jumlah kami tidak kecil. Kami harus menjaga rahasia masing-masing kelompok. Nah, jika kau ingin nyawa pangeran, aku tidak bisa memberikannya.”Fannar menatap nanar pemimpin itu. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Dengan penuh keberanian, ia berkata, “Tapi, kalian pemberontak.”Sang ketua mengibaskan sebelah tangannya dengan tak acuh. “Itu bukan tujuan kami, asal kau tahu.”“Tapi—““Dengar,” sang ketua memajukan tubuh. Tangannya mencengkeram pundak Fannar. “Aku tahu
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem