Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Apakah peri tak pernah tidur? Fjola membatin. Sebab, ketika malam sudah larut, ia masih mendengar gerakan dari dalam gua. Ia sendiri tak bisa tidur. Bagaimana ia dapat memejamkan mata sementara peri yang bersamanya masih usil. Entah sedang mengerjakan apa, Fjola tak mau tahu. Ia juga tak dapat melihat karena sekarang ia tengah berbaring miring menghadap dinding gua. Ia hanya melihat bayangan Arnor yang menari-nari di dinding gua. Kemeja dan celananya yang basah disampirkan di dekat api. Untung jaket pemburu yang dikenkannya panjang. Jadi, dapat menutupi lutut Fjola yang telanjang. Sepatu bot ikut dijemur di dekat api.Gadis itu gelisah. Alas tidur yang keras tak mengganggunya, tetapi suara gesekan dua benda terdengar berisik di keheningan malam. Fjola jadi penasaran dengan kegiatan yang dilakukan oleh Arnor. Ia ingin mengintip. Namun, posisinya tidak memungkinkan dirinya mengintip. Bahkan untuk sekadar bergerak pun ia tak sanggup. Ia tak mau Arnor mengetahui bahwa dirinya belum terlel
Paginya langit kembali suram, seolah bersiap melakukan serangan. Butir-butir salju turun perlahan. Arnor kembali memakai kemejanya yang sudah kering. Jubah putihnya ia tanggalkan. Sebagai ganti, ia mengenakan jubah kamuflase. Tudungnya ia tutupkan ke kepala. Ia sedang merapikan peralatan yang digunakannya untuk memasak, memasukkannya ke sebuah tas besar. Setelah menginjak bara api supaya padam, ia membawa tas itu keluar gua. Fjola yang baru bangun pun terkejut. Di dekatnya tidur tampak sewadah bubur gandum. Akan tetapi, saat melihat Arnor mengemasi barang, gadis itu panik. Ia mengabaikan sarapannya. Ia segera bangkit dan menyusul sang peri. Ia takut pemuda itu meninggalkannya. Padahal, ia memerlukannya untuk membantu kembali ke Negeri Veggur. Dengan bertelanjang kaki, Fjola keluar gua. Kerikil dan batu yang diinjak membuat kakinya sakit. Namun, ia tak peduli. Ketika mencapai mulut gua, ia melihat Arnor tengah mencantolkan tasnya ke sisi pelana seekor kuda. Kuda itu tampak anggun, be
Fannar“Kau cukup menarik, Nak,” kata pemimpin Garda. Jemarinya yang berbonggol ia tautkan ke depan lutut. Matanya memandang Fannar yang masih berlutut. Zoe berdiri di belakang pemuda belia itu. Rowan di sisinya. Luke mengamati dari jauh, namun masih dalam jangkauan. Mereka semua diam, menanti keputusan krusial sang pimpinan.“Kau tahu?” lanjut sang ketua, “Garda bukanlah organisasi yang kecil. Menurutmu, bagaimana kami bisa mengambil sesuatu dari lokasi satu dan memberi sesuatu ke lokasi lainnya? Jumlah kami tidak kecil. Kami harus menjaga rahasia masing-masing kelompok. Nah, jika kau ingin nyawa pangeran, aku tidak bisa memberikannya.”Fannar menatap nanar pemimpin itu. Ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Dengan penuh keberanian, ia berkata, “Tapi, kalian pemberontak.”Sang ketua mengibaskan sebelah tangannya dengan tak acuh. “Itu bukan tujuan kami, asal kau tahu.”“Tapi—““Dengar,” sang ketua memajukan tubuh. Tangannya mencengkeram pundak Fannar. “Aku tahu
Malam sudah semakin larut, namun jalanan hampir tak pernah sepi. Di gang-gang sempit yang mereka lalui tercium bau pesing yang hampir sama, sepasang sejoli mabuk yang hampir serupa melakukan kegiatan yang juga serupa—memangut bibir, meraba tubuh, membuka gaun dan celana, dan mengerang. Mereka mengabaikannya.Salju sudah berhenti turun. Namun, dinginnya masih terasa menyesakkan. Tapak kaki kuda diikuti suara jentera yang beradu dengan bebatuan sesekali terdengar. Seruan kusir menghela kuda terdengar bagai intermezo di kesunyian malam.Fannar membawa para Garda ke jalanan kota. Mereka melangkah dalam diam. Begal, perampok, maupun pencuri yang masih beroperasi tak berani menyentuh, apalagi mendekati mereka. Hal itu disebabkan oleh ketua Garda yang profilnya bak raksasa. Meski jalannya sedikit timpang, ia mampu mengimbangi langkah para anak muda yang bersamanya.Zoe yang sudah mulai lelah memprotes. “Apa masih jauh?”“Sedikit lagi,” jawab Fannar tanpa menoleh. Keyakinannya begitu kuat sek
FjolaBenar apa kata Arnor tadi. Gerbang Negeri Veggur yang menuju ke luar tembok perbatasan dijaga ketat. Setiap jalan yang mengarah ke sana hampir penuh dengan para prajurit yang siaga. Para prajurit itu tak kenal ampun. Bahkan, mereka tak berpikir terlebih dahulu sebelum membunuh.Nyatanya, ketika Fjola berniat mendekat, dan memberitahu mereka bahwa dia adalah manusia bukannya peri dan ingin kembali ke dalam tembok, bukannya sambutan yang ia terima melainkan anak panah yang segera dilesatkan. Hal itu membuat Arnor segera menariknya untuk bersembunyi.“Mustahil berbicara dengan mereka,” jelasnya.“Lalu, aku harus bagaimana?” Fjola menggertakkan giginya. Ia kesal. Tinggal selangkah lagi ia dapat pulang, namun para prajurit sialan itu mempersulitnya.“Sudah kukatakan, kita harus melewati lembah kematian.”“Itu mustahil.”“Ya. Itu mustahil. Jadi, lebih baik kau menculik salah satu prajurit kemudian memaksanya percaya padamu,” tukas Arnor ikut kesal.Fjola memutar bola matanya. “Baiklah
"Jangan. Sentuh. Aku." Fjola perlahan mundur. Matanya melirik jurang di belakangnya dengan takut. Tungkainya gemetar. "Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau melemparku ke sana."Langkah Arnor terhenti. Ia menaruh kedua tangannya di pinggang. "Tidak ada cara lain."Fjola menoleh ke arah tembok sekali lagi, kemudian dia ingat pernah melihat sebuah cahaya dulu. Waktu itu ia tengah berduaan dengan Barrant di atas tembok. Dari sana ia melihat sesosok bercahaya yang sanggup melompati jurang itu dengan gampang. Awalnya, ia mengira bahwa itu adalah kunang-kunang. Namun semakin ia perhatikan, ia yakin bahwa itu bukanlah kunang-kunang. Meski tak tahu apa itu, Fjola berani berkata, "Aku pernah melihat seseorang atau sesuatu yang mampu melewati jurang ini.""Aku bisa melewatinya," sahut Arnor enteng. "Lompatanku lumayan jauh, asal kau tahu."Setelah sang peri berkata seperti itu, Fjola mengingat sosok bercahaya itu lagi. Ia sampai memgernyitkan kening. Serta merta ia yakin sosok itu memiliki cir
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem