Fjola yang berhasil mengembalikan napasnya dapat menghirup tubuh Arnor yang seperti bau musim semi itu. Perlahan namun pasti kesadarannya pulih. Nyeri yang dirasakannya pelan-pelan hilang. “Apa itu tadi?” tanyanya masih bersuara parau.Tubuh Arnor gemetar. Bibirnya terkatup rapat. Dalam benak, ia bertarung dengan kekuatannya sendiri hingga sulur yang membelit dirinya kembali terkendali. Mereka kembali ke tanah. Setelah yakin berhasil mengendalikan kekuatan itu, Arnor melepas pelukannya. Tenaganya seolah terkuras. Meski udara dingin, keringat mengucur dari dahinya. “Maafkan aku, Fjola. Sungguh, maafkan aku,” katanya dengan susah payah. Napasnya tersengal karena lelah.Air mata Arnor membuat hati gadis itu terenyuh. Dari pangkuan, ia melihat wajah pucat sang peri. Tangan Fjola perlahan terangkat. Ia mengusap pipi Arnor yang basah. Kemudian, saat sadar dengan apa yang dilakukannya, ia merona. Jantungnya berdentum-dentum aneh. Bukan dentum keras seperti sepuluh detik yang lalu ketika ia
FannarJantung pemuda belia berdebar kencang ketika melihat ketua Garda membuka pintu. Langkahnya yang timpang meninggalkan jejak basah saat masuk. Jenggotnya yang panjang terkena tetesan salju yang tercurah dari langit. Mantel panjangnya ia tanggalkan dan dengan gesit, Fannar menerimanya, kemudian menggantungkannya ke cantolan jas di belakang pintu. Derap langkahnya menggema waktu berjalan ke dalam ruang tengah. Kursi berdecit ketika pantatnya mengempas, seolah protes dengan beban yang ditanggungnya tiba-tiba.“Panggil Zoe dan Rowan!” perintahnya.Fannar dan Luke degera ke kamar mereka berdua. Mereka berpencar. Karena Fannar berada lebih dekat dengan tangga, maka dia yang memanggil Zoe supaya turun. Ia menaiki tangga dengan langkah dua-dua sekaligus. Setelah sampai di depan kamar Zoe, ia mengetuk. Ia menunggu beberapa waktu sebelum berkata, “Ketua sudah datang. Kita diharapkan ke ruang tengah.”Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan kembali menuruni tangga. Saat di tengah tangga, ia
Keringat muncul di dahi Fannar ketika anjing yang dibawa prajurit kembali mengendusnya. Ia gugup saat anjing itu melolong. Untungnya, si prajurit menarik tali yang mengikat anjing itu. Sejenak, pemuda belia itu mampu bernapas dengan lega. Mendadak, peluit terdengar dari arah jalanan. Para prajurit yang menginterogasi Fannar segera beranjak pergi. Mereka bahkan tidak mengucap apa-apa ketika meninggalkan pemuda itu.Setelah punggung para prajurit itu tak terlihat, Fannar lekas membersihkan jejak darah yang sempat mengotori pintu. Kemudian, ia menutup pintu dan menguncinya. Ia juga menutup jendela. Ia berniat menyusul Rowan ke ruang rahasia di mana ia membawa lelaki asing tadi. Namun, belum sempat melaangkah lebih jauh ke dalam rumah, Zoe menyabar lengannya.“Kau ikut denganku. Kita ke pasar. Ada tanaman herbal yang musti kita beli,” jelasnya.“Tapi—“ Fannar ingin menolak, tetapi Zoe segera memotongnya,“Ketua yang memerintahkan.”Mau tak mau, Fannar menurutinya. Ia menyahut mantel yan
Fjola“Negeri yang akan kita masuki adalah negeri paling berbahaya di luar tembok. Namun sekaligus negeri paling bersahabat, setidaknya bagi kami, para peri,” jelas Arnor kepada Fjola yang tengah mendengarkan. Mereka tengah berkemah di puncak gunung. Salju yang turun menampar-nampar sisi tenda dengan ganas. Udara berembus dingin. Mereka tengah duduk di kursi depan perapian. Sup jahe dan teh yang telah dihabiskan berhasil membuat tubuh mereka tidak membeku. Selimut tebal mereka sampirkan ke punggung untuk menambah kehangatan. Mereka duduk saling berhadapan. Meja makan menjadi penghalang di antara mereka.Setelah perjalanan mendaki yang sulit, mereka mendirikan tenda di tanah datar yang berada tepat di bawah puncak. Tanah datar itu tak seluas lapangan, tetapi cukup untuk mendirikan tenda dengan tegak.Dalam cuaca seperti ini, bahaya jika mereka mermalam di puncak gunung bersalju. Selain dingin, salju yang tebalnya hampir selutut bisa saja longsor karena terkena angin.Hujan salju datang
“Kau bercanda, kan?” Fjola memandang Arnor yang menatapnya dengan serius. “Kenapa aku harus menjadi budakmu? Aku tidak mau.”“Kau bilang kau percaya padaku,” protes peri itu. Ia kembali memundurkan tubuhnya. Matanya masih tertaut pada Fjola. Kekecewaan tampak terpancar darinya.“Aku hanya .... hanya ....” Fjola duduk dengan gelisah. Ia tidak tahu harus menanggapi permintaan Arnor yang tiba-tiba. Yang dirasakannya sekarang ketika mendengar kata budak memang tidaklah sama dengan yang dirasakannya dulu, saat mendengar kata budak pertama kali terlontar dari mulut peri itu. Bayangan menjadi hamba Arnor memang tidak buruk. Setidaknya, dirinya pasti aman. Arnor kuat, dia tidak sejahat yang dipikirkannya, tampan pula. Namun, tetap saja, seandainya klaim itu terjadi, ia harus selalu bersama Arnor. Padahal, balas dendamnya belum terlaksana. Ia masih ingin kembali ke dalam tembok, menghukum Lilija, Raja Erik, dan Margaret. Lalu, bagaimana dengan Barrant? Pangeran itu pasti sedang kebingungan men
Menurutnya, Arnor bohong saat berkata bahwa sakit yang akan dialaminya sedikit. Sebab, yang dirasakan sesungguhnya sangat sakit. Bahkan, Fjola sampai tak dapat menahan air matanya. Selain itu, sang peri melakukannya tanpa ampun. Berulang-ulang malah. Beberapa kali, gadis itu meminta istirahat sejenak, namun Arnor tak menurutinya.“Sedikit lagi,” selalu kalimat itu yang dikatakannya. “Aku berjanji ini yang terakhir.”Gadis itu kini meringkuk di ranjang. Selimut menutupi badannya yang setengah telanjang. Darah sudah berhenti mengalir, namun rasa sakit di punggungnya masih berdenyut-denyut. Ia terisak.Arnor yang iba berlutut di samping ranjang. Kepalanya sejajar dengan kepala Fjola yang berbaring. Tangannya mengusap air mata dari pipi gadis itu dengan lembut. “Sakit, ya?”Sembari terisak, Fjola mengangguk. Suaranya bergetar ketika berkata, “Seharusnya kau bilang kalau kau akan mengukir punggungku dengan belati.”Arnor mendesah panjang. “Maaf.” Hanya itu yang mampu diucapkannya.Fjola me
Negeri para peri kegelapan tidak mirip dengan negeri manapun yang pernah dibayangkan Fjola. Ketika memasuki gerbang, makhluk-makluk menjijikkan yang besar, berkulit berbonggol, berupa buruk, dan berperilaku kasar menyambut mereka. Meski mereka menunduk, lirikannya kepada Fjola ketika melewati mereka begitu meremehkan. Gadis itu merasa buruk. Ia merasa rendah. Dan ia marah ketika merasakan itu. Meski begitu, ia terpaksa menerima tatapan mereka yang begitu menjatuhkan harga dirinya sebagai manusia. Ia berjalan di belakang. Malakora merangkul punggung Arnor ketika berjalan. Ia bercakap serius dengan peri itu. Ia mengabaikan Fjola sepenuhnya. Yang menarik di matanya hanya kehadiran Arnor di sana. Peri yang memutuskan untuk menjadi jahat itu tertarik dengan kekuatan yang dimiliki oleh Arnor. Ia sendiri terlahir tanpa anugrah. Namun, ia pandai dan licik. Dengan mengabdi pada kegelalapan, ia menjadi kuat. Bahkan lebih kuat dari makhluk yang kini bergabung kepadanya. “Sedikit lagi aku mampu
"Entahlah. Tapi kurasa tidak mungkin," kata Sofia menyapukan sesuatu ke wajah Fjola. Mereka masih di kamar milik Sofia. "Meskipun mereka-maksudku Malakora dan Tuan Evindur-tampak akrab, namun mereka saling bersaing, atau Malakora menganggap Tuan Evindur sebagai pesaing.""Lalu, apa yang terjadi? Bagaimana bisa Arnor menolongmu?""Waktu itu Malakora menyuruhku melayani Tuan Evindur," jelas Sofia. "Ap-apa?" Gadis itu terkejut. Ia tergagap ketika bertanya, "Melayani? Maksudmu, ka-kau dan Arnor ...." Mendadak, wajahnya terasa panas.Sofia tersenyum. Ia lantas menjelaskan, "Tuan Evindur tak menyentuhku sama sekali. Kami hanya mengobrol. Tidak, bukan itu, kebanyakan malah aku yang berbicara. Entah bagaimana terjadinya, tetapi aku menumpahkan segalanya kepada Tuan Evindur malam itu. Aku menangis meratapi nasibku. Aku menuang segala yang membuat hatiku sakit padanya. Waktu itu aku merasa seolah terbius hingga mencurahkan kepedihan yang sudah lama terkubur kepadanya. Padahal, aku baru pertama
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem