“Kau bercanda, kan?” Fjola memandang Arnor yang menatapnya dengan serius. “Kenapa aku harus menjadi budakmu? Aku tidak mau.”“Kau bilang kau percaya padaku,” protes peri itu. Ia kembali memundurkan tubuhnya. Matanya masih tertaut pada Fjola. Kekecewaan tampak terpancar darinya.“Aku hanya .... hanya ....” Fjola duduk dengan gelisah. Ia tidak tahu harus menanggapi permintaan Arnor yang tiba-tiba. Yang dirasakannya sekarang ketika mendengar kata budak memang tidaklah sama dengan yang dirasakannya dulu, saat mendengar kata budak pertama kali terlontar dari mulut peri itu. Bayangan menjadi hamba Arnor memang tidak buruk. Setidaknya, dirinya pasti aman. Arnor kuat, dia tidak sejahat yang dipikirkannya, tampan pula. Namun, tetap saja, seandainya klaim itu terjadi, ia harus selalu bersama Arnor. Padahal, balas dendamnya belum terlaksana. Ia masih ingin kembali ke dalam tembok, menghukum Lilija, Raja Erik, dan Margaret. Lalu, bagaimana dengan Barrant? Pangeran itu pasti sedang kebingungan men
Menurutnya, Arnor bohong saat berkata bahwa sakit yang akan dialaminya sedikit. Sebab, yang dirasakan sesungguhnya sangat sakit. Bahkan, Fjola sampai tak dapat menahan air matanya. Selain itu, sang peri melakukannya tanpa ampun. Berulang-ulang malah. Beberapa kali, gadis itu meminta istirahat sejenak, namun Arnor tak menurutinya.“Sedikit lagi,” selalu kalimat itu yang dikatakannya. “Aku berjanji ini yang terakhir.”Gadis itu kini meringkuk di ranjang. Selimut menutupi badannya yang setengah telanjang. Darah sudah berhenti mengalir, namun rasa sakit di punggungnya masih berdenyut-denyut. Ia terisak.Arnor yang iba berlutut di samping ranjang. Kepalanya sejajar dengan kepala Fjola yang berbaring. Tangannya mengusap air mata dari pipi gadis itu dengan lembut. “Sakit, ya?”Sembari terisak, Fjola mengangguk. Suaranya bergetar ketika berkata, “Seharusnya kau bilang kalau kau akan mengukir punggungku dengan belati.”Arnor mendesah panjang. “Maaf.” Hanya itu yang mampu diucapkannya.Fjola me
Negeri para peri kegelapan tidak mirip dengan negeri manapun yang pernah dibayangkan Fjola. Ketika memasuki gerbang, makhluk-makluk menjijikkan yang besar, berkulit berbonggol, berupa buruk, dan berperilaku kasar menyambut mereka. Meski mereka menunduk, lirikannya kepada Fjola ketika melewati mereka begitu meremehkan. Gadis itu merasa buruk. Ia merasa rendah. Dan ia marah ketika merasakan itu. Meski begitu, ia terpaksa menerima tatapan mereka yang begitu menjatuhkan harga dirinya sebagai manusia. Ia berjalan di belakang. Malakora merangkul punggung Arnor ketika berjalan. Ia bercakap serius dengan peri itu. Ia mengabaikan Fjola sepenuhnya. Yang menarik di matanya hanya kehadiran Arnor di sana. Peri yang memutuskan untuk menjadi jahat itu tertarik dengan kekuatan yang dimiliki oleh Arnor. Ia sendiri terlahir tanpa anugrah. Namun, ia pandai dan licik. Dengan mengabdi pada kegelalapan, ia menjadi kuat. Bahkan lebih kuat dari makhluk yang kini bergabung kepadanya. “Sedikit lagi aku mampu
"Entahlah. Tapi kurasa tidak mungkin," kata Sofia menyapukan sesuatu ke wajah Fjola. Mereka masih di kamar milik Sofia. "Meskipun mereka-maksudku Malakora dan Tuan Evindur-tampak akrab, namun mereka saling bersaing, atau Malakora menganggap Tuan Evindur sebagai pesaing.""Lalu, apa yang terjadi? Bagaimana bisa Arnor menolongmu?""Waktu itu Malakora menyuruhku melayani Tuan Evindur," jelas Sofia. "Ap-apa?" Gadis itu terkejut. Ia tergagap ketika bertanya, "Melayani? Maksudmu, ka-kau dan Arnor ...." Mendadak, wajahnya terasa panas.Sofia tersenyum. Ia lantas menjelaskan, "Tuan Evindur tak menyentuhku sama sekali. Kami hanya mengobrol. Tidak, bukan itu, kebanyakan malah aku yang berbicara. Entah bagaimana terjadinya, tetapi aku menumpahkan segalanya kepada Tuan Evindur malam itu. Aku menangis meratapi nasibku. Aku menuang segala yang membuat hatiku sakit padanya. Waktu itu aku merasa seolah terbius hingga mencurahkan kepedihan yang sudah lama terkubur kepadanya. Padahal, aku baru pertama
Fjola merasa sedih. Sebenarnya bagaimana perasaannya kepada peri itu? Sungguh, ia sendiri bingung. Ia yakin tak mungkin mencintai Arnor. Tetapi tadi, ketika melihat Irina menyentuhnya, ia merasa marah. Sangat marah, malah. Apakah ini yang dinamakan cemburu? Fjola menenggak anggurnya dengan sekali teguk. Seorang pelayan mengisinya lagi hingga penuh.Gadis itu mencoba melanjutkan makannya. Namun tiba-tiba, ia merasa kenyang. Tangannya meraih gelas, meneguk anggurnya sampai habis. Perlahan, pikirannya kembali rileks. Ia tak peduli bagaimana pendapat Arnor tentang sikapnya tadi. Ia tak peduli bagaimana perasaannya sesungguhnya. Persetan dengan itu semua, ia menyesap lagi anggurnya. Ia bahkan tak tahu sudah habis berapa gelas.Arnor yang sudah menyelesaikan makannya segera bangkit. Ia menghampiri Sofia dan berbisik singkat kepadanya. Setelah itu, ia menghadap Malakora, mengucapkan terima kasih kemudian pamit ke kamar yang disediakan untuk istirahat. Ia berasalan terlalu lelah malam itu seh
Di sebuah ranjang yang didominasi warna merah muda terhampar perkamen yang menunjukkan denah negeri peri kegelapan. Cahaya yang meneranginya hanya dari lentera kecil yang didekatkan di atasnya. Sepasang mata menelusuri garis-garis yang ditorehkan pada perkamen dengan saksama. Telunjuknya menunjuk salah satu daerah yang baru-baru ini ditambahkan di sana.“Aku belum pernah ke sini,” katanya.Sepasang mata lagi ikut mengamati denah tersebut. Ia mengedik singkat sebelum berkata, “Bukan di sana yang harus Anda waspadai, Tuan Evindur.” Ia lantas menuntun jemari lawan bicaranya bergeser ke tempat yang sudah ditandai. “Di sini, Anda akan membelakkan mata.”“Kenapa?”Sofia mengangkat lenteranya tinggi. Ia dapat melihat mata peri itu berkilat ketika terpantul cahaya. “Malakora membangun pasukannya di sini.”“Berapa banyak pemburu dan peri yang sudah bergabung?” tanya Arnor gelisah.“Sekarang, Malakora sudah tidak lagi menunggu mereka bergabung. Dia membuatnya.”Kening peri itu mengernyit. “Apa
Fjola membuka matanya dan merasa kecewa ketika tak melihat Arnor di sana. Ia merasa seolah ada yang kurang. Melihat wajah Arnor di pagi hari sudah menjadi rutinasnya beberapa hari terakhir ini. Jadi, ketika peri itu tak ada, ia kesepian. Ke mana dia? Batin Fjola bertanya-tanya.Kamar yang dia tempati lumayan sempit. Namun, jika dibandingkan dengan rumahnya dulu, kamar itu masih sedikit lapang. Dindingnya terbuat dari batu berwarna tanah. Jadi, saat membuka mata, Fjola merasa seolah terkubur. Ada sebuah jendela di sana. Jendela itu tertutup tirai berwarna terang, kontras dengan dinding. Ketika melongokkan kepala di sana, sebuah bukit kecil terlihat. Meski bukit, tak ada rumput yang tampak. Selain salju, hanya ada bebatuan di sana. Di puncak bukit terlihat batu besar, Fjola membayangkan batu itu menggelinding ke bawah, menggencet makhluk-makhluk yang tengah tidur di dalam tenda yang berdiri di belakang istana. Pasti bakal seru sekali, batinnya. Gadis itu bangkit dari ranjang. Mendadak,
FannarFannar tengah mengendap-endap di koridor rumah persembunyian. Ia berhati-hati ketika melangkah supaya tidak meimbulkan bunyi pada lantai yang terbuat dari kayu mengilat. Matanya melirik ke sekeliling rumah yang gelap. Telinganya dilebarkan. Jantungnya berdegup semakin kencang ketika mendekati tujuannya. Tangannya sedikit gemetar ketika mencoba memutar gagang pintu dengan gerak sepelan mungkin. Dalam hati ia berdoa supaya pintu itu tidak terkunci.Meski udara dingin, tangan Fannar berkeringat. Ia kesulitan ketika memutar kenop. Setelah mengusap telapak tangannya ke baju sekilas, ia mencoba lagi. Kali ini ia berhasil memutarnya hingga bunyi klik samar terdengar. Dengan pelan ia mendorong pintu hingga terbuka sedikit, hanya cukup untuk mengintip.Di dalam ruangan, tampak Mr. Q berdiri membelakangi pintu. Di depannya terdapat meja setinggi pinggang yang alasnya berbentuk kotak. Di sekeliling meja itu berdiri anggota Garda. Mata mereka terfokus dengan memandang apa pun yang ada di m
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem