Bagi kebanyakan orang, mimpi indah dapat membuat pagi hari lebih ceria, tetapi tidak berlaku untuk Fjola. Meski indah, mimpi itu justru menjadi ironi yang menyesakkan jiwanya.
Mimpi itu bukanlah mimpi yang muluk-muluk, hanya sebuah mimpi sederhana yang berasal dari masa lalunya. Dalam mimpi itu ia dapat melihat ayah dan ibunya tengah bermesraan di padang rumput yang luas sembari menatap hamparan langit yang terang nan indah. Mereka duduk berselonjor kaki di rumput. Raut mereka tampak tanpa beban. Senyum merekah di wajah mereka. Tangan mereka saling tertaut. Sesekali, mereka melemparkan pandangan penuh damba.
Fannar, adiknya yang masih belia berlarian, mencoba menangkap belalang. Pekik keceriaannya terasa bagaikan simponi yang menyenangkan.
Fjola berjalan ke arah mereka dengan lambat. Tangannya terulur ke depan, seolah ingin meraih mimpi itu, tetapi tak bisa. Mereka tak menyadari keberadaannya. Ia mencoba berteriak, memanggil mereka. Namun, suaranya tak keluar. Fjola menunduk frustrasi. Ia ingin ke sana, ikut bersama keluarganya.
Mendadak sebuah usapan terasa hangat di pipinya. Mata Fjola menelusuri pemilih tangan lembut yang membelainya. Ia melihat ayahnya tersenyum di hadapannya. Ayahnya dapat berdiri dengan tegak, tanpa bantuan tongkat. Kakinya yang buntung kembali utuh. Fjola menangis haru.
“Ayah,” ucapnya dengan susah payah.
Sang ayah menggerakkan bibirnya. Ia mengatakan sesuatu, tetapi Fjola tak dapat mendengarnya. Fjola mulai panik. Ia ingin ayahnya mengulangi perkataannya, tetapi mulutnya terkunci.
Sekali lagi, batinnya merana, katakan sekali lagi, aku tak bisa mendengarmu.
Seolah dapat mendengar permintaan anaknya, sang ayah mengulangi lagi ucapannya. Akan tetapi, tetap saja Fjola tak dapat mengerti.
“Sekali lagi, kumohon,” ratapnya. Alih-alih, ayahnya malah tersenyum.
Fjola tersentak dari tidurnya. Ia membuka matanya lebar-lebar. Padang rumput tadi hilang, digantikan pemandangan stalakmit dan stalaktit yang menggantung mengancam, seolah bersiap menghujamnya. Sosok ayah yang tadi ada di depannya menghilang. Tangan yang tadi mengelus pipinya juga lenyap. Kehangatan yang sempat dirasakannya musnah. Fjola menangis lagi. Bahunya sampai berguncang.Gadis itu tak mau bangun. Ia ingin terus bermimpi. Sebab, saat terbagun, ia sadar bahwa ia tak mungkin dapat bertemu dengan ayahnya. Ayahnya sudah meninggal, digantung di tengah alun-alun. Fjola tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Namun, ia yakin kematian tragis yang dialami ayahnya adalah ulah orang-orang itu. Orang-orang yang juga membuangnya ke luar tembok perbatasan. Orang-orang yang menginginkan kematiannya.
Sebulan yang lalu, Fjola hanyalah gadis miskin yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia nekat pergi ke hutan terlarang negerinya untuk berburu demi bertahan hidup dan tanpa sengaja membunuh harimau pemberian Raja Valdimar, penguasa tembok perbatasan. Demi mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia dikirim ke Negeri Veggur untuk menjadi kandidat selir Raja Valdimar. Di sana, ia bertemu dengan Lilija, putri dari negeri lain yang juga dikirim untuk menjadi kandidat selir.
Selain Lilija, ia juga bertemu dengan seorang prajurit yang rupanya adalah pangeran negeri itu. Diam-diam, Fjola sering bertemu dengan Barrant, nama pangeran itu. Lambat laun, cinta tumbuh di hati mereka.
Seolah mendapat restu, Raja Valdimar mengumumkan bahwa pemilihan selir kali itu diperuntukkan sang pangeran yang usianya sudah mencapai dewasa. Tak pelak lagi, Barrant memilih Fjola sebagai calon permaisurinya. Namun, Lilija yang serakah mengkhianati Fjola. Dengan bantuan Margaret, kakak ipar raja, ia menguak asal-usul Fjola yang hanyalah rakyat jelata, bukan putri raja maupun bangsawan. Ia juga menyebarkan berita bohong supaya keterpilihan Fjola menjadi permaisuri dianulir.
Persidangan dibuka, bukti-bukti dan saksi dihadirkan. Meski Fjola dapat mempertahankan posisinya sebagai calon permaisuri, ia harus merelakan sang ayah yang dinyatakan bersalah. Jon, ayahnya, dituduh memanipulasi status Fjola yang merupakan rakyat biasa. Padahal, sama seperti Fjola, Jon hanyalah korban dari kebiadaban para petinggi negeri yang egois.
Tak hanya itu, Lilija yang dipercayanya, sekali lagi berkhianat dengan menculik dan mengirimnya ke luar tembok perbatasan supaya menjadi santapan makhluk liar.
Mengingat jalan hidupnya yang panjang dan penuh pengkhianatan, kebencian terpancar dari mata gadis itu. Ia tak akan menyerah di sini. Ia harus kembali ke negerinya dan membalas orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun sebelum itu, ia harus bertahan hidup. Ia mesti menemukan gerbang tembok dan bertemu dengan Barrant. Ya, pangerannya pasti akan membantunya. Namun, tahukah Barrant kalau drinya masih hidup, masih bernapas, dan masih mengharapkannya?
Pandangan Fjola sedikit kabur karena air mata yang rupanya keluar tanpa ia sadari. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi tak bisa. Ia merasa kaku. Kerogkongannya begitu kering hingga membuatnya tersedak.
“Kau sudah bagun?” Suara seorang pria yang tiba-tiba terdengar membuatnya terbelalak kaget. Bibirnya yang terkatup tampak bergetar. Mendadak rasa dingin merayap ke ulu hatinya.
Siapa pria itu? Hal terakhir yang diingatnya sebelum menutup mata adalah seorang pemburu kejam menghunuskan mata panah ke kepalanya. Ia sudah pasrah menerima kematian. Namun, setelah bangun di tempat pengap dan gelap itu, serta merasakan nyeri di punggung, ia yakin dirinya masih hidup.
Mungkinkah lelaki itu adalah pemburu yang hendak membunuhnya? Kalau begitu, kenapa dia tak segera membunuhnya, dan malah membawanya ke tempat ini?Dengan sekuat tenaga, Fjola menggerakkan jemari tangannya. Ia memfokuskan saraf-sarafnya. Perlahan, ia dapat mengangkat tangannya. Ia mengamati kedua lengannya yang kotor dan lecet di beberapa bagian, tetapi utuh. Ia lantas mencoba menggerakkan kaki-kakinya. Ia tak dapat merasakan otot-ototnya. Fjola takut. Kaki ayahnya dipotong oleh para pemburu. Jangan-jangan, kedua kakinya pun telah dipotong mereka.
Gadis itu berkonsentrasi dengan sungguh-sungguh. Jemari kakinya perlahan bergerak. Ia dapat meraskan sensasi menggelitik di jempolnya. Ia tak tahu apa yang menimbulkan sensasi itu, tetapi ia tak peduli. Ia bersyukur tubuhnya masih lengkap. Fjola menekuk lututnya, menumpukan beban tubuh ke siku. Ia berusaha bangkit.
“Jangan bagun kalau kau tak ingin menyesal,” kata suara itu lagi.
Sejenak, Fjola membeku. Matanya mencari keberadaan lelaki itu. Namun, ia tak melihat sosoknya. Ia hanya bisa melihat bayangannya yang bergerak-gerak tertimpa cahaya dari api unggun. Bayangan lelaki itu tampak besar di dinding yang penuh stalagmit, berlenggak-lenggok oleh api yang berderak-derak.
“Si-siapa kau?” tanya Fjola dengan suara parau.
“Malaikatmu,” jawabnya singkat.
Fjola tambah curiga. Ia kembali berusaha duduk. Ketika bangkit, matanya menangkap daun-daun kering yang jatuh dari jubah yang menutupinya. Keningnya berkerut dalam ketika melihat pakaiannya yang berubah. Seingatnya, sebelum menutup mata, ia mengenakan gaun yang kotor dan koyak. Namun sekarang, ia tak lagi memakai gaun, tetapi kemeja longgar dan celana yang terbuat dari bahan yang lembut.
Mata Fjola menjelajah ke sekeliling. Cahaya dari api yang menyala membuatnya dapat melihat bebatuan di sekitarnya. Rupanya, ia tengah berada di dalam sebuah gua. Udara lembap nan dingin membuat kulitnya bergidik. Di mulut gua tampak salju tengah mengamuk. Butirannya tertumpuk hingga menggunung di tanah. Di dekat sana, tepat di pojok mulut gua teronggok kain kumal. Fjola mengamati kain itu dengan saksama, kemudian sadar bahwa itu adalah gaunnya.
Mata Fjola beralih. Ia memandang punggung malaikatnya dengan batin bertanya-tanya. Dilihat dari profilnya, Fjola yakin bahwa siapa pun yang mengaku malaikatnya telah berbohong. Sebab, tak ada sayap di punggungnya. “Siapa kau?"
Pemuda yang tengah duduk menghangatkan diri di depan api unggun itu pun menjawab, “Pangeran baik hatimu, kalau begitu.” Ia tak mengalihkan pandangannya dari api.
Mata Fjola memicing. Pemuda itu duduk dengan membelakangi cahaya sehingga ia tak dapat melihat wajahnya. Ia hanya melihat siluetnya yang ramping, dan ... tunggu dulu! Apakah dia tak memakai baju atasan? Fjola terkesiap. Ia meraba tubuhnya sendiri lalu sadar bahwa kemeja yang dipakainya pastilah milik pemuda itu. Lantas, siapa yang mengenakannya ke tubuhnya kalau bukan pemuda itu? Seketika, ia marah. “Apa yang telah kau lakukan terhadapku? Dan demi Tuhan, katakan siapa kau sebenarnya?”
Pemuda itu berbalik. Ia mendesah lantas bangkit dan menghampiri Fjola.
“Tunggu! Berhenti di sana!” Fjola beringsut mundur. Punggungnya membentur dinding gua. Tangannya meraba-raba, mencari belati yang tadinya ia bawa. “Di mana belatiku?”
“Woa, woa,” pemuda itu memajukan tangannya, seolah mendorong udara kosong. “Bisakah kau bertanya satu per satu? Aku bingung harus menjawab yang mana lebih dulu.”
Fjola memutar bola mata. “Siapa kau?”
“Sudah kujawab tadi,” jawab sang pemuda ringan. Meski membelakangi cahaya, Fjola dapat melihat cengirannya yang nakal. Matanya berkilat jenaka. Hal itu membuat Fjola tambah kesal.
“Di mana pemburu itu? Apa kau temannya?”
“Tidak. Aku bukan teman pemburu yang ingin membunuhmu. Kalau di mana dia, yah, aku tak tahu. Mungkin tubuhnya sudah dimakan hewan buas yang sering diburunya.”
Fjola mengernyit. Otaknya memproses informasi dari pemuda itu. Setelah mengetahui arti perkataannya, ia pun bertanya, “Maksudmu, dia mati?”
“Well, kurasa begitu,” kata sang pemuda mengedikkan bahu.
“Kenapa kata-katamu berputar-putar? Bilang saja dia mati,” Fjola memprotes.
“Kau bertanya di mana dia, dan aku tak tahu. Kalau kau bertanya apa pemburu itu mati, akan kujawab ya.”
Fjola mendengkus jengkel. “Lalu, apa yang kau perbuat padaku?”
Pemuda itu diam sejenak kemudian menjawab, “Tak ada.”
“Bohong!”
“Serius! Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu.”
Mata Fjola memicing. Jelas, ia tak percaya kepada pemuda di depannya itu. Namun, ia juga tak berani mendengar jawaban jujur sang pemuda. “Di mana belatiku?”
“Belati apa?” tanya pemuda itu pura-pura tak tahu.
“Apa kau yang membawaku ke sini?”
Pemuda itu tampak ragu. Namun, ia menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu, kau pasti menemukan belatiku.”
Kepala sang pemuda ditelengkan. Ia bergumam sebentar sebelum berkata, “Aku tak tahu maksudmu.” Tangan yang tadinya terulur ke depan kini beralih ke belakang. Jemarinya menyuntuh benda yang dicari sang gadis, menekannya ke dalam sabuk dan menyembunyikannya.
Fjola yang melihat gelagat mencurigakan itu pun mendengus. “Kau pembohong. Sekarang, berikan benda itu padaku.”
“Tidak mau,” sahut sang pemuda. “Kalau kuberikan, kau akan membunuhku dengan itu, kan?”
“Tidak,” jawab Fjola tanpa pikir panjang.
“Kau pembohong yang payah, tahu!”
Fjola mendecih. Matanya menatap siluet sang pemuda dengan tajam. Setelah memelotot lama, ia kelalahan. Perdebatan dengan pemuda itu menguras tenaganya. Kaki yang digunakan untuk menyangga beban tubuh mulai goyah. Luka-luka lecet dan memar yang dideritanya mulai nyut-nyutan. Meski begitu, ia masih mampu bertahan. “Kenapa kau membawaku ke sini?”
“Karena tak ada tempat lain yang aman selain di sini.”
Gadis itu memutar bola matanya. Bukan itu jawaban yang ia harapkan. Jadi, ia mengulangi pertanyaanya, “Kenapa kau menyelamatkanku?”
Pemuda itu mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin, aku menyukaimu.”
Fjola mendengkus lagi. Ia menganggap semua yang keluar dari mulut pemuda itu adalah dusta. Ia tak percaya kepadanya. Kepalanya mendadak pening, membuat pandangannya berkunang-kunang. Tulangnya ngilu, terutama lututnya. Untuk menopang tubuh saja rasanya tak sanggup. Kerongkongannya juga terasa kering. Ia sampai menjilat bibirnya yang pecah-pecah. Tubunya kembali lunglai. Punggungnya yang menempel dinding gua merosot jatuh.
Melihat gadis itu ambruk, pemuda itu berderap maju. Ia menangkap tubuh Fjola sebelum kepalanya membentur tanah. Tanpa kesulitan, ia mengangkat tubuh gadis itu.
“Jangan sentuh aku,” ujar gadis itu. Tangannya yang lemah mendorong dada sang pemuda.
Pemuda itu lantas membaringkan Fjola ke tampatnya tadi. Dengan gesit ia mengambil sesuatu dari dekat api unggun. Setelah kembali ke samping sang gadis, ia mengulurkan secawan air ke mulut gadis itu. “Minumlah,” perintahnya.
Fjola memalingkan muka. “Aku tidak mau.”
Pemuda itu mendecih. “Turuti perintahku atau kupaksa!” Dia menyodorkan cawan itu ke bibir Fjola.
“Aku tidak mau. Kau pasti ingin meracuniku.” Pandangan gadis itu semakin menggelap.
Melihat sang gadis semakin melemah, pemuda itu berpindah ke belakang Fjola. Dadanya menyangga punggung gadis itu. Satu tangannya mencengkeram pergelangan tangan Fjola yang memberontak lemah, menguncinya. Tangannya yang lain mencekokkan ramuan ke mulut gadis itu.
“Hentikan, kumohon,” ratap gadis itu sia-sia.
***
Fjola tersedak oleh cairan yang dipaksa masuk ke mulutnya. Matanya sampai berair. Meski begitu, orang yang mencekokinya menahan lehernya supaya tetap mendongak. Setelah menelan habis ramuan itu, ia menyumpah. "Berengsek! Apa yang kau berikan padaku?""Dengarkan aku!" Sang pemuda mulai hilang kesabaran. "Kau sekarat saat kubawa kemari. Aku berusaha menyembuhkanmu dengan anugerah yang kumiliki. Tetapi, itu saja tak cukup. Jadi, jika kau masih ingin hidup, minum ramuan itu." Setelah bicara seperti itu, pemuda itu bangkit. Ia duduk menghadap api. Ia menggosok-gosok telapak tangannya.Fjola yang berhasil memproses ucapan pemuda itu pun tersentak. "Anugerah? Apa maksudmu?"Fjola tak mendapat jawaban. Sebagai ganti, ia malah dapat melihat profil sang pemuda lebih jelas. Kulitnya yang pucat seolah bersinar diterpa cahaya api. Rambutnya yang gelap terjalin indah. Matanya yang hijau berkilat-kilat, berserobok dengan mata Fjola. Dagunya kokoh, begitupun dengan bahunya yang telanjang. Tubuhnya ra
Salju yang turun dengan lebat menampar tubuh Fjola secara ganas. Langkahnya terseok-seok di undukan es yang menggunung. Tangannya ia rapatkan ke badannya yang gemetar. Giginya sampai bergemeletuk saat menahan dingin. Uap berembus dari mulutnya saat bernapas. Wajahnya yang cantik tampak begitu pucat hingga bibirnya membiru. Perutnya keroncongan. Fjola menoleh. Pandangannya terganggu karena salju yang sedari tadi tak henti-hentinya turun. Angin dingin menerpa tepi kemejanya yang longgar, mengepak-ngepakkanya keras, seolah ingin menariknya kembali ke gua. Namun, Fjola tak mau kembali. Ia harus melarikan diri.Gadis itu terus melangkah. Pijakannya pada salju tampak ragu. Dalam hati, ia bertekad tak akan menyebut nama Arnor. Namun, setan seolah membisikkan nama itu terus menerus ke telinganya. Ia sampai harus menggigit bibirnya erat-erat. Perlahan namun pasti tenaga gadis itu melemah. Kelopak matanya ingin menutup. Namun, Fjola tak boleh menyerah sekarang. Ia tak boleh kalah. Rambutnya y
Salju sudah berhenti turun ketika Fjola membuka mata. Udara dalam gua masih lembap, namun tidak sedingin sebelumnya. Tulangnya terasa ngilu. Meski begitu, ia mampu bangkit. Di sampingnya Arnor tampak memanggang sesuatu. Pemuda itu sudah memakai pakaian di balik jubah putihnya. Menyadari hal itu, mata Fjola membelalak. Jangan-jangan, dia telah mencopot kemeja Fjola. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu melihat kemejanya masih melekat di tubuhnya. Kalau begitu, dari mana Arnor mendapat baju itu?Di dekat tempat sang peri duduk teronggok sesuatu yang tak asing bagi Fjola. Setelah diamati lebih teliti lagi, rupanya benda itu adalah jaket berbulu milik pemburu yang mengejarnya dulu. Fjola ingat betul bentuk dan warna bulunya yang abu-abu. Rupanya, dari mereka, atau sisa tubuh merekalah Arnor mendapatkannya.“Kau lapar? Apa kau mau makan?” tanya Arnor tanpa mengalihkan pandangan dari benda yang dipanggagnya di atas bara api. “Cari sendiri,” tambahnya kemudian.Fjola memutar bola matanya. Dengan
FannarOrang bilang, mereka adalah legenda. Walaupun tak ada yang pernah melihat mereka. Beberapa orang mengaku ditolong oleh mereka. Beberapa lagi mengaku keluarganya dibunuh oleh mereka. Mereka bukanlah hantu. Sebab, tak ada hantu yang dapat membawa gandum kepada masyarakat miskin, tak ada hantu yang mencuri harta para bangsawan, atau membunuhi petinggi yang zalim. Mereka bagai malaikat yang diam-diam dikirim Tuhan untuk menolong manusia yang pupus harapan.Namun bagi para bangsawan, mereka adalah perampok keji, begal, dan pencuri. Mereka sering menjarah barang dagangan para bangsawan kikir. Tak heran, mereka menjadi momok bagi bangsawan yang semena-mena.Bagi petinggi negeri, mereka merupakan musuh, perusak hirarki, dan pemberontak. Setiap prajurit diperintahkan untuk mengeksekusi mereka. Akan tetapi, baik masyarakat, para bangsawan, maupun para prajurit dan petinggi negeri tak tahu siapa mereka sebenarnya dan berapa anggota mereka. Orang-orang menyebut mereka Garda. Selama ini,
Pisau mengayun, siap menancap ke leher Fannar. Matanya membelalak menatap ujungnya yang tajam dan berkilat. Udara terasa tersekat di keongkongannya. Gadis di depannya menampilkan ekspresi tanpa ampun. Anak muda itu menjerit, “A-aku ingin menjadi Garda!”Ayunan itu berhenti mendadak. Ujung pisau yang tajam nyaris mengenai kulitnya. Napas Fannar tersengal. Jatungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya pun gemetar. Sesuatu yang basah terasa di sela pahanya. Saking takutnya, ia kencing di celana.Sang gadis yang mengancam nyawanya pun mundur. Matanya melirik ke bawah dengan jijik. “Apa itu? Kau ngompol? Astaga!” Gadis itu terbahak.Menyadari perbuatannya, Fannar malu. Wajahnya sampai memerah. Ia juga marah kepada diri sendiri karena kepengecutannya. Ia kehilangan muka di depan anggota Garda.“Zoe!” Seorang lelaki mendekat. Pakaiannya sama dengan yang dikenakan sang gadis yang dipanggilnya. Posturnya lebih tinggi. “Apa kau sudah membereskannya? Kita harus cepat pergi.”Zoe mengusap sudut mat
Kereta yang ditumpangi Fannar berhenti di tengah kota yang padat. Setah turun dari pedati, pemuda itu dituntun memasuki gang sempit yang diapit dua bangunan. Salah satunya merupakan kedai makanan yang saat itu ramai. Bangunan yang lain merupakan milik pengrajin besi. Pemuda itu tak menyangka bahwa persembunyian Garda malah mencolok. Ia memuji pemikiran sang pemimpin yang memilih tempat itu sebagai persembunyian. Sebab, justru pada tempat-tempat seperti inilah mereka tak akan dicurigai. Bagaimanapun, seandainya dia adalah prajurit, dia akan mencari para Garda di hutan-hutan yang sepi, yang jauh dari pemukiman penduduk.Gang itu tidak terlalu panjang. Namun juga tidak pendek. Setelah membelok ke kanan satu kali, sampailah mereka ke sebuah bangunan. Mata Fannar semakin melebar saat melihat rumah tempat persembunyian Garda. Rumah itu merupakan bangunan yang umum dijumpai di Negeri Veggur. Warnanya tidak mencolok. Ditambah letaknya yang di tengah membuatnya tidak menonjol sama sekali. Pin
Fjola.Rasanya, darah Fjola mengumpul semua ke kepala. Hal itu membuatnya pusing. Pandangannya serba terbalik. Ia meronta tetapi ketika sia-sia ia pun berhenti. Ia menarik napas dalam-dalam. Sekuat tenaga, ia menekuk tubuhnya ke atas. Tangannya berusaha meraih tali yang mengikat kakinya. Ia mencoba melawan grafitasi. Namun sayang, rupanya grafitasi lebih unggul. Alih-alih berhasil, ia malah mengayun tubuhnya yang tergantung secara terbalik. Akibatnya, suara kelontang terdengar lagi. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.“Butuh bantuan?” Arnor duduk di salah satu dahan pohon di seberang sungai. Ia duduk dengan posisi santai di sana. Punggungnya bersandar pada batang, satu kakinya berselonjor sejajar dahan. Satu tangannya memutar-mutar anak panah, sedangkan tangan lainnya memegang busur.Fjola yang memandang peri itu dalam posisi terbalik menjadi tambah pusing. “Apa kau mengikutiku?” tanyanya.Sebenarnya, ia enggan menerima bantuan peri itu lagi. Namun, ia tak memiliki pilihan sekarang.
Senjata tak berguna bagi Fjola. Sebab, musuh yang kali ini ia hadapai bukanlah musuh yang bernyawa, tetapi dapat mengancam nyawa. Uap berembus dari udara yang dikeluarkannya. Tubuhnya kaku. Ia harus hati-hati melangkah, salah-salah dirinya bisa tercebur ke danau yang dinginnya minta ampun. Ia bakal mati beku kalau hal itu sampai terjadi.Ia ingat pernah merasakan dingin itu, tetapi ia tak ingat kapan dan bagaimana dirinya bisa tercebur. Ingatan itu seolah-olah datang dari alam bawah sadarnya. Padahal sejak kecil ia selalu diwanti-wanti sang ibu supaya tidak mendekati danau. Ia juga yakin tak pernah mendekati danau. Jadi, bagaimana mungkin ia meniliki memori tercebur? Aneh sekali. Mungkin karena ia baru saja mengalami kejadian traumatis, memorinya masih tumpang tindih. Ia berpikir positif.Perlahan, Fjola menggerakkan kakinya ke belakang. Ia berniat mundur dan kembali ke tempat dia datang tadi. Retakan pada es di permukaan danau terbentuk ketika bobot tubuh tertumpu pada salah satu kak
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Fjola tengah ditanya apakah ia bersedia menerima Barrant apa adanya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, dalam kaya maupun miskin, ketika guncangan itu terjadi. Ia memakai gaun terindah yang pernah dikenakannya, terlembut yang pernah disentuh oleh kulitnya, teringan yang pernah disangganya. Rambutnya yang pendek setengah teralin ke belakang. Sepatunya yang tinggi tampak mengilap dan bersih. Bunga yang disusun indah digenggamnya dengan mantap. Matanya yang sembap karena lagi-lagi menangis, berhasil ditutupi olesan bedak oleh Ishak.Meskipun demikian, kecantikan Fjola hanya menarik decak kagum dari tamu para tamu khusus itu sebentar saja. Sebab, setelah guncangan yang membuat gedung tempat dilaksanakan upacara pernikahan itu bergoyang, orang-orang yang ada di dalamnya terpekik terkejut. Dengung bagai lebah terdengar dari mulut mereka. Tak lama berselang, guncangan itu terjadi lagi. Saking besarnya sampai-sampai tanah bergetar, atap runtuh. Seketika keadaan menjadi kacau
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Zoe setelah melihat Margaret pergi dari menara.Fannar bungkam. Banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Apakah isi tong itu racun? Kenapa membawanya ke gerbang? Dituang di mana? Apakah wanita tua itu bermaksud meracuni seluruh prajurit yang menjaga gerbang? Untuk apa? Apakah dia berniat melarikan diri ke luar tembok? Kenapa perlu meracuni prajurit? Fannar sungguh bingung.“Hei! Bagaimana? Jadi tidak membakar menara ini?” tanya Zoe lagi.Fannar memutuskan, “Kurasa kita harus ganti rencana.” Ia segera menyusul Mr. Quin. Zoe mengikutinya dengan kesal.“Kenapa tiba-tiba?” tanya gadis itu.“Wanita tadi jahat. Kurasa dia tengah merencanakan sesuatu yang berbahaya.”“Tapi, dia petinggi Garda.”Fannar menggeleng. “Kita ditipu, kau ditipu, Garda ditipu.”Mendadak, Zoe berhenti. “Apa?”“Tak ada waktu untuk menjelaskannya.” Fannar menarik tangan gadis itu bersamanya. “Kita harus menghentikan racun itu.”Mereka memelesat mengikuti sang ketua Gard
Margaret melenggang ke menara belakang istana dengan mata berbinar-binar. Akhirnya rencananya selama ini berjalan dengan sempurna. Ia akan berkuasa. Meski beberapa kali Barrant menjegal langkahnya, ia tak menyerah. Ia sudah berkorban banyak, termasuk waktu yang lama untuk dihabiskannya dengan berpura-pura mengabdi kepada negara bobrok yang tak berguna ini. Dengan bantuan anak-anak bodoh yang ditipunya, ia mampu mengeksekusi ramuannya yang berharga. Wanita tua itu sudah mencari resep dari tempat yang bahkan berbahaya untuk dimasuki. Demi tujuannya menjadi penguasa, ia bahkan rela kehilangan hati nurani. Ia sudah muak hidup di tengah para manusia bodoh yang selalu merendahkannya. Ia ingin mereka tunduk di kakinya.Setelah hadirnya Fjola kembali ke negeri tersebut, ia tahu bahwa rencana yang telah disusunnya jauh-jauh hari gagal lagi. Ia yang semestinya menjadikan Lilija penguasa pun luput. Semua karena ulah para Garda yang bodoh itu. Seharusnya, ia tak mempercayakan tugas penting itu k
Rencananya, Fannar akan mematik api di bangunan tempat penyimpanan anggur yang letaknya tak jauh dari dapur. Tentu, dengan begitu ia yakin istana akan hancur. Namun, dalam prosesnya ternyata tidak semudah yang dia kira. Tempat penyimpanan anggur itu terkunci. Setiap beberapa menit, ada saja pelayan yang hilir mudik mengambil tong-tong anggur itu. Jadi, dengan sedikit inprovisasi, ia mengubah targetnya menjadi menara tak terpakai di bagian belakang istana.Tanpa diketahui Fannar, menara itu merupakan menara yang sama tempat kakaknya dulu dijebak dan diculik. Zoe membantu pemuda itu mencuri alkohol untuk disiramkan ke kayu-kayu yang bertumpuk di menara. Saat ia kembali, ia melihat Fannar bersembunyi di pohon besar dekat menara itu. Melihat tingkahnya yang aneh, Zoe pun mendekatinya dengan langkah sepelan mungkin.“Ada apa? Kenapa kau bersembunyi di sini?” tanyanya berbisik.Fannar menempelkan telunjuk di bibir, kemudian menunjuk pintu menara yang terbuka. “Aku melihat Rowan dan Luke mem