"Dia benar-benar luar biasa ya," gumam Alaric sambil menatap layar ponselnya. "Maaf?" Caspian yang sibuk dengan tabletnya, sampai mendongak. "Tuan sedang membicarakan siapa?" "Tentu saja istriku, Ian," jawab Alaric tanpa merasa ragu. "Oh, tentu saja." Caspian memutar bola matanya dengan gemas. "Aku tidak tahu kalau kau punya hobi menonton siaran ulang." "Ini bukan siaran ulang." Alaric pada akhirnya meletakkan ponselnya. "Ini adalah video yang dengan sengaja aku simpan untuk ditonton lagi nanti." "Wah, sejak kapan seorang Alaric bisa jadi orang yang suka menonton?" tanya Caspian hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lupakan saja soal itu untuk sementara, aku ingin kau melaporkan hal yang lain saja. Bagaimana dengan ini?" tanya Alaric menyodorkan sepotong kertas. "Ah, kalau ini dia hasilnya seperti ini." Caspian menjawab dengan cepat. Tentu saja dengan cara menulis di atas kertas yang baru saja disodorkan. Setelah membaca tulisan sang asisten, Alaric kembali bertanya. Kali
"Anna, kita tidak perlu melakukan ini." Alaric mencoba memberitahu sang istri. "Kenapa?" Alih-alih menurut, Anna malah bertanya. Dia melakukannya sembari menatap diri di depan cermin besar. "Pertama, jelas kita bermusuhan dengan Marjorie." Tentu saja Alaric tidak akan keberatan untuk menjelaskan. "Kedua, kau itu baru keluar dari rumah sakit. Kau butuh istirahat yang banyak." "Tapi, anak Marjorie kan tidak punya masalah dengan kita," ucap Anna sembari beranjak dan menghampiri sang suami. "Lalu aku mungkin butuh istirahat, tapi aku juga butuh hiburan. Acara ini mungkin akan sedikit menghiburku." Alaric hanya bisa mengembuskan napas, ketika dia menatap sang istri yang tengah mengancingkan kemejanya. Dia bukan dengan sengaja tidak mengancing kemeja itu, tapi Alaric sedang sibuk meyakinkan Anna. "Lain kali, jangan berjalan ke mana-mana dengan kemeja yang tidak dikancing," ucap Anna setelah merapikan kemeja sang suami. "Walau sudah tua, kau itu masih menggoda tahu." "Kenapa kau
"Halo, Nyonya Crawford." Seseorang mendekat dengan takut-takut. "Halo juga." Anna menyapa dengan ramah pada salah satu tamu pesta Marjorie. "Apa ada yang bisa aku bantu?" "Tentu saja itu ...." Perempuan yang tadi menyapa melirik ke arah Alaric, tampak sangat ragu untuk mengatakan apa pun itu. "Katakan saja apa yang ingin kau katakan," ucap Anna, sembari menyikut suaminya. Dia tahu kalau Alaric sepertinya memelototi setiap orang yang melihat ke arah mereka. Hal itu tentu saja membuat Alaric menggeram pelan. Siku istrinya itu cukup tajam dan terkena di bagian perut dengan cukup keras. Sebagus apa pun otot Alaric, rasanya akan cukup sakit. "Anakku mengatakan ingin berfoto dengan kalian berdua, apa boleh?" tanya perempuan yang tadi menyapa, masih terlihat cukup gugup. "Oh, tentu saja. Kami dengan senang hati akan berfoto dengan kalian." "Anna." Alaric langsung menunduk dan berbisik di telinga istrinya, untuk melakukan protes. "Aku tidak suka melakukan ini." "Oh, ayolah Al.
"Hei, kau anak haram. Kenapa jalanmu lama sekali?" tanya seorang anak lelaki yang kira-kira sudah berumur sepuluh tahun. "Aku punya ayah," jawab Bastian dengan sangat pelan, bahkan sedikit terbata. "Tapi katanya ayahmu itu tidak jelas." Anak lelaki yang lain ikut berbicara. "Bisa saja ayahmu bukan si waria Landon itu." "Ayahku lelaki." Bastian kembali menjawab dengan bibir mencebik. "Siapa yang tahu." Anak lelaki pertama mengedikkan bahu. "Orang-orang mengatakan kau tidak punya ayah. Si waria itu bukan ayah kandungmu." Kali ini, Bastian tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya bisa menunduk dengan bibir mencebik, bahkan sudah siap untuk menangis. Tapi, dia jelas tidak punya waktu untuk itu karena sudah diseret untuk pergi ke tempat yang lebih jauh lagi. "Aku dengar, di dekat sini ada hutan." Anak lelaki yang kedua dan sedikit lebih tinggi berbicara. "Bagaimana kalau kita tinggalkan saja dia di sana?" "Ide yang bagus." Anak lelaki pertama mengangguk sangat yakin. "Tapi ki
"Astaga, Bastian." Marjorie berlari menghampiri putranya yang kini sudah kembali menjejak di atas tanah. "Ada apa denganmu? Kenapa kau berantakan sekali? Apa ada yang mengganggumu?" "Kenapa kau menatapku?" tanya Anna dengan kening berkerut pada Marjorie yang menatapnya dengan tatapan yang jelas-jelas menunjukkan kemarahan. "Apa yang kau lakukan pada putraku?" tanya Marjorie dengan mata melotot. "Maksudnya?" Tentu saja Anna akan balas bertanya. "Bastian datang dengan wajah merah dan berantakan, lalu kau datang bersamanya. Jadi siapa lagi yang akan mengganggu putraku kalau bukan kau?" Anna menaikkan kedua alis mendengar tuduhan yang jelas-jelas saja tidak masuk akal itu. Bagaimana mungkin dia akan mengganggu anak kecil, apalagi dia juga datang bersama dengan Alaric. "Apakah kau buta?" tanya Alaric dengan kening berkerut tidak suka. "Aku datang bersama dengan istriku dan kau masih menuduh dia?" "Kau pasti yang menghentikan kelakuan jahat istrimu kan?" tanya Marjorie menatap
"Landon, jangan melucu." Marjorie jelas saja akan tertawa. "Kau baru tiba. Memangnya kau tahu apa?" "Kata siapa aku baru datang?" tanya Landon terlihat sudah mulai bicara serius. "Aku sudah lumayan lama dan menyadari kalau Bastian sempat diseret dua anak nakal pergi ke arah menuju hutan." "Mana buktinya?" balas Marjorie dengan mata melotot. "Lagi pula, kau kan pernah mengincar Anna. Mana aku tahu kalau kau ingin melindungi selingkuhanmu itu." "Ya, Tuhan." Anna langsung mengeluh ketika mendengar masalah yang semula hanya tentang anak kecil, kini merambat ke mana-mana. "Apa aku boleh memukul orang?" "Tidak boleh." Sayangnya, Alaric melarang. "Kalau ada orang yang ingin kau pukul, bilang saja. Aku akan memukul mereka untukmu." "Bung, tolong jangan mengatakan hal berbahaya seperti itu." Landon yang mendengar jelas saja akan mencegah. "Ini masih dalam masa kampanye dan kau bisa kena masalah." Anna langsung menahan lengan sang suami mendengar hal itu. Dia jelas tidak ingin Alari
"Tolong aku." Marjorie nyaris saja berteriak pada ponselnya. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk menyingkirkan Anna. Bunuh dia." "Bunuh katamu?" Lelaki yang menemani Marjorie berbicara malah tertawa. "Apa aku tidak salah dengar, atau kau mungkin lupa dengan perjanjian kita." "Oh, ayolah Pak Tua." Marjorie menggeram pelan. "Banyak perempuan lain di luar sana, kenapa harus Anna?" "Karena dia adalah Anna," jawab lelaki itu. "Jawaban yang sangat singkat, padat dan jelas bukan? Tapi sayangnya, kau tidak berhasil melakukan apa pun." "Aku berhasil membuatnya diculik, kehilangan anak, bahkan membuat dia jadi korban pemerkosaan. Apa lagi yang kurang?" tanya Marjorie dengan dua alis terangkat. "Itulah masalahnya Marjorie," desis lelaki yang hanya terdengar suaranya itu. "Aku memintamu menjauhkan mereka dan sedikit mengancamnya, tapi yang kau lakukan malah melukai barang milikku." "Aku rasa itu hanya luka kecil." "Bagimu kecil, tapi bagiku itu adalah kerugian yang cukup besar. Kau har
"Oh, Tuhan! Aku tiba-tiba saja merasa takut." "Tidak perlu takut." Alaric tersenyum miring melihat kelakuan istrinya yang seperti murid baru di sekolah yang baru. "Aku ada di sampingmu. Lebih tepatnya, kau hanya perlu menempel padaku." "Yakin tidak ada yang perlu aku lakukan?" tanya Anna dengan mata melebar. "Biar bagaimana, ini kampanyemu kan? Setidaknya aku harus melakukan sesuatu." Kali ini, Anna menemani sang suami untuk melakukan kampanye yang tinggal beberapa hari lagi. Dia bersedia untuk ikut, karena merasa bosan kalau harus di rumah terus. Lagi pula, mereka bisa sekalian jalan-jalan, karena tentu saja Alaric akan berkeliling. "Kau tidak perlu melakukan apa pun," balas Alaric dengan senyum lebar. "Cukup berdiri dan mengekoriku saja." "Aku kan bukan anak anjing, kenapa harus mengekorimu terus?" Anna pura-pura cemberut, hanya untuk mengganggu suaminya. "Tentu saja agar aku bisa menjagamu dengan benar," jawab Alaric tanpa ragu. "Apalagi nanti pasti akan sangat ramai, j
"Sudah mati pun dia masih bikin susah." "Mom, jangan ngomong gitu dong." Anna segera menegur mertuanya. "Tidak baik membicarakan orang yang sudah meninggal seperti itu." Anna yang duduk di sebelah sang mertua, segera memeluk lengan Elizabeth. Niatnya sih untuk menghentikan perempuan tua itu, terutama saat mereka sekeluarga sedang berkumpul di rumah Elizabeth. "Tapi itu kenyataannya." Sayangnya, Elizabeth enggan berhenti, bahkan sampai melotot saking marahnya. "Gara-gara dia, kita semua harus melakukan tes darah." "Sebenarnya, kita tidak perlu melakukan tes darah." Alaric mengembuskan napas lelah. "Tidak satu pun dari kita yang pernah kontak langsung dengan darah Marjorie, apalagi kotoran dan hal lainnya." "Siapa yang bisa menjamin?" tanya Elizabeth makin melotot saja. "Dia itu sangat pendendam, bisa saja dia dengan sengaja meneteskan darahnya ke dalam kopimu atau minuman Anna. Atau bisa saja dia menyuruh orang lain melakukan itu." "Mom, aku mohon." Tidak tahan mendengarny
"Apakah Bastian tidak ikut?" Itu adalah hal pertama yang diucapkan oleh Anna, ketika disambut oleh ayah Marjorie. "Dia tentu saja datang dan sedang bersama ayahnya di sana." Anna menoleh dan menatap ke arah yang ditunjuk lelaki paruh baya di depannya. Dari tempatnya, dia bisa melihat anak yang dia cari sedang menatap peti mati dengan bibir mencebik. Tentu saja dalam gendongan Landon. "Bolehkah aku pamit untuk bertemu Bastian dulu?" tanya Anna demi sopan santun. "Tentu saja, tapi aku sarankan kau tidak menemui Landon berdua saja." Ayah Marjorie malah memberi nasihat. "Kadang ada orang jahat yang akan menebar gosip, walau dalam keadaan berduka sekali pun." "Terima kasih banyak atas sarannya." Anna membalas dengan senyum tipis dan segera mengajak dua orang yang datang bersamanya untuk berpindah tempat. "Aku senang kalian masih mau dan menyempatkan diri untuk datang." Landon segera menyambut dengan senyuman. "Seharusnya itu kalimat yang ditujukan untukmu." Kali ini Astrid y
"Maaf, Tuan." Caspian terpaksa harus menggeleng. "Aku rasa, akan sulit bagi kita untuk bergerak atau memberi tekanan lebih pada kasus ini.""Sialan." Alaric tidak segan melempar pena yang dia gunakan. "Kenapa juga harus ada kasus di masa penting seperti sekarang ini. Mana Anna juga habis kena musibah.""Jujur saja, kalau bisa aku ingin sekali memaki mendiang Marjorie. Sayangnya bukan hal baik memaki orang yang sudah meninggal." Caspian ikut menunjukkan rasa kesalnya. "Kalau bukan dia yang terus mengejarmu, mungkin kita tidak akan tersangkut kasus.""Aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Anna?" tanya Alaric yang kini menyugar rambutnya dengan frustrasi dan asal. "Dia tidak terbiasa menghadapi tekanan."Caspian hanya bisa mengembuskan napas. Dia ingin protes kalau tekanan yang mereka dapatkan juga besar, tapi sepertinya sang atasan tidak akan mendengar. Sepertinya. Alaric kini hanya akan memedulikan istrinya saja.Untungnya saja, Alaric tidak berlama-lama merasa frustrasi. Itu
"Bagaimana?" Fritz bertanya dengan ponsel yang dipegang oleh seorang lelaki. "Baik, Tuan." Suara perempuan terdengar dari seberang sambungan telepon. "Hasilnya justru di luar dugaan. Alaric dan Anna malah ikut terseret kasus ini, bahkan menjadi terduga pelaku." "Ingat, aku masih butuh Anna." Fritz mengingatkan. "Tapi kau jangan lupa untuk membuat Alaric tersudut dalam kasus ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dia, tapi Anna harus utuh." "Tentu saja Tuan." Si perempuan penelepon menyanggupi. "Aku akan berusaha sebaik mungkin." "Jangan jadi Marjorie kedua, Fiona," ucap Fritz sebelum menutup teleponnya dan melirik ke arah lelaki yang tadi memegang benda pipih itu. "Apakah Tuan masih butuh sesuatu?" tanya lelaki itu setelah menelan liur dengan ekspresi gugup, bahkan matanya nyaris melotot. "Haruskah kau bertanya?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Kita sedang kekurangan perempuan untuk memuaskanku, jadi tentu saja kau yang harus melakukan semuanya." ***
"Tidak bisakah kalian lebih lembut sedikit?" Alaric melotot ketika melihat sendiri apa yang terjadi dengan sang istri, dari balik kaca satu arah. Hanya dia yang bisa melihat ke dalam ruangan, sementara Anna tidak bisa melihatnya. "Kami hanya menjalankan prosedur, Tuan." Polisi lelaki yang menemani Alaric hanya bisa tersenyum. "Lagi pula, itu sudah sangat lembut." "Kalau istriku sampai ketakutan dan muncul trauma, aku akan menuntut kalian." Tentu saja Alaric tidak akan tinggal diam begitu saja. "Yah, terserah kau saja." Si polisi mengedikkan bahu dengan santainya. "Lagi pula, status kalian berdua itu sama. Sama-sama terduga pelaku, jadi aku tidak akan takut." "Luar biasa sekali." Alaric mendengus pelan. "Hanya karena Marjorie punya masalah dengan kami, kalian langsung menuduh seenak hati." "Tenang saja, karena kalian bukan satu-satunya. Ada si mantan suami, bahkan ayah kandung korban. Satu lagi, status kalian masih saksi sih." Alaric menggeram kesal. Kalau bisa, dia ingi
"Pak Alaric, bagaimana pendapatmu tentang kasus ini?" "Apa benar ada perselisihan antara korban dan dirimu sebelumnya?" "Atau mungkin ada perselisihan dengan istrimu, terutama karena korban adalah mantan tunanganmu." "Pak Alaric, tolong berikan sepatah dua patah kata." Alih-alih menjawab semua pertanyaan dari wartawan yang menyerbu, Alaric memilih untuk memeluk istrinya yang tampak sedikit ketakutan. Biar bagaimana, mereka tidak bisa terus diam di tempat dan harus bergegas masuk ke dalam kantor polisi. "Bereskan yang ada di luar sini," ucap Alaric tidak terlalu keras, memberi perintah pada asistennya. Tanpa perlu diperintah dua kali, Caspian langsung membalikkan badan ketika tuannya sudah masuk ke dalam kantor polisi. Dia yang akan bertugas menjawab pertanyaan wartawan hari ini, sementara Darcy akan masuk dan mendampingi dua tuannya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Alaric melepas pelukannya dengan pelan. "Peganganku tidak membuatmu sakit kan?" "Tidak." Anna menggeleng pel
"Pindah warga negara?" tanya Anna dengan mata melotot. "Ya, biar bagaimana kau itu kan istriku." Alaric mengangguk, sambil melepas dasinya karena tangan Anna berhenti bergerak. "Aneh jika kau belum mengurus sesuatu seperti itu, walau tidak bisa langsung juga." "Bukannya proses pindah warga negara itu butuh beberapa tahun ya?" tanya Anna kembali membantu sang suami merapikan pakaian yang sudah dibuka. "Sebenarnya ya." Kini Alaric beralih duduk di sofa panjang yang ada di depan ranjang. "Tapi karena kau istriku, mungkin ini bisa sedikit dipermudah. "Mungkin tidak perlu menunggu selama bertahun-tahun. Mungkin setahun sudah bisa." "Itu namanya menyalahgunakan kekuasaan, Al." Anna berdecak pelan. "Itu tidak baik." "Aku tidak melakukannya." Alaric mengedikkan bahu dengan santai. "Yang aku lakukan hanya menjamin dirimu sebagai suami, apalagi kau sudah tinggal cukup lama bukan? Mungkin sudah lebih setengah tahun?" Kedua mata Anna berkedip mendengar apa yang diucapkan sang suami.
"Oh, Tuhan! Aku tiba-tiba saja merasa takut." "Tidak perlu takut." Alaric tersenyum miring melihat kelakuan istrinya yang seperti murid baru di sekolah yang baru. "Aku ada di sampingmu. Lebih tepatnya, kau hanya perlu menempel padaku." "Yakin tidak ada yang perlu aku lakukan?" tanya Anna dengan mata melebar. "Biar bagaimana, ini kampanyemu kan? Setidaknya aku harus melakukan sesuatu." Kali ini, Anna menemani sang suami untuk melakukan kampanye yang tinggal beberapa hari lagi. Dia bersedia untuk ikut, karena merasa bosan kalau harus di rumah terus. Lagi pula, mereka bisa sekalian jalan-jalan, karena tentu saja Alaric akan berkeliling. "Kau tidak perlu melakukan apa pun," balas Alaric dengan senyum lebar. "Cukup berdiri dan mengekoriku saja." "Aku kan bukan anak anjing, kenapa harus mengekorimu terus?" Anna pura-pura cemberut, hanya untuk mengganggu suaminya. "Tentu saja agar aku bisa menjagamu dengan benar," jawab Alaric tanpa ragu. "Apalagi nanti pasti akan sangat ramai, j
"Tolong aku." Marjorie nyaris saja berteriak pada ponselnya. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk menyingkirkan Anna. Bunuh dia." "Bunuh katamu?" Lelaki yang menemani Marjorie berbicara malah tertawa. "Apa aku tidak salah dengar, atau kau mungkin lupa dengan perjanjian kita." "Oh, ayolah Pak Tua." Marjorie menggeram pelan. "Banyak perempuan lain di luar sana, kenapa harus Anna?" "Karena dia adalah Anna," jawab lelaki itu. "Jawaban yang sangat singkat, padat dan jelas bukan? Tapi sayangnya, kau tidak berhasil melakukan apa pun." "Aku berhasil membuatnya diculik, kehilangan anak, bahkan membuat dia jadi korban pemerkosaan. Apa lagi yang kurang?" tanya Marjorie dengan dua alis terangkat. "Itulah masalahnya Marjorie," desis lelaki yang hanya terdengar suaranya itu. "Aku memintamu menjauhkan mereka dan sedikit mengancamnya, tapi yang kau lakukan malah melukai barang milikku." "Aku rasa itu hanya luka kecil." "Bagimu kecil, tapi bagiku itu adalah kerugian yang cukup besar. Kau har