Aku tertawa keras, seolah-olah baru mendengar lelucon yang sangat lucu.Santos duduk di sofa sambil merokok. Mungkin ini hanya gagasan yang dipikirkannya sebelumnya, tetapi sekarang dia sudah menetapkan keputusan.Santos mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya. Tatapannya padaku sama sekali tidak mengandung emosi, melainkan penuh dengan perhitungan untung dan rugi."Bagaimanapun kamu adalah putriku dan nama keluargamu Wirawan. Kamu harus berguna untuk keluarga ini. Kenapa diam saja? Kamu masih menungguku mengajarimu cara mendekati pria?" ucap Santos.Pria ini benar-benar memperlakukanku seperti benda mati. Apa di matanya, aku hanyalah barang yang bisa diperjualbelikan?Amarah berkobar di dadaku. Seharusnya aku sadar sejak awal bahwa aku sudah tidak memiliki rumah. Sejak kedua orang tuaku bercerai, aku kehilangan segalanya.Tempat ayahku tidak bisa disebut rumah karena dia sudah memiliki keluarga baru. Tempat ibuku juga bukan rumah karena aku tidak termasuk dalam kehidu
Aku mengenali gadis kecil yang digandeng Matthew. Dia Cecil, adik Yuna. Aku mengernyit, tetapi segera tenang kembali.Aku pernah berkhayal akan berkeluarga bersama Matthew. Di pagi hari yang cerah, kami akan bergandengan tangan, membawa anak-anak kami pergi sekolah.Namun, fantasi itu tidak seharusnya ada. Aku juga tidak seharusnya menganggap Matthew sebagai suami masa depanku.Keduanya kian dekat ke pintu. Matthew juga sedang memperhatikanku. Aku lantas berbalik dan menoleh ke arah anak lainnya."Sini, Bu Guru bantu kamu pakai sepatu," ucapku sambil membungkuk, tersenyum pada seorang anak kecil.Anak itu mengangguk dengan manis. Aku membantunya memakai sepatu dengan telaten.Matthew dan Cecil sudah tiba di sampingku. Pemuda itu menatapku lekat-lekat. Aku berusaha tetap tenang di bawah tatapan intensnya."Kamu kerja paruh waktu di sini?" tanya Matthew.Aku tidak menyahut pertanyaannya. Sikap dinginku sepertinya membuatnya merasa tidak nyaman. Matanya menyorot kian dalam.Kami akan menj
Aku berucap dengan raut muram, "Aku turut menyesal atas kejadian ini, tapi bukan berarti kamu bisa menghinaku seperti ini. Kalau kamu punya bukti, silakan berikan pada polisi. Kalau nggak, artinya kamu memfitnahku dan menyerangku secara pribadi. Apa kamu berani menanggung konsekuensi atas perbuatanmu ini?"Aku tidak akan diam saja saat dicaci sedemikian rupa. Atas dasar apa dia bisa menuduhku sembarangan?Namun, kata-kataku justru membuat Paula kian marah. Dia menyerbu ke arahku dengan wajah beringas. Sebelum aku sempat bereaksi, dia mengangkat tangannya untuk menamparku.Aku memejamkan mataku, menanti tamparannya. Namun, setelah beberapa saat, aku sama sekali tidak merasakan apa-apa di pipiku.Seseorang bertubuh tinggi berdiri mengadang di depanku."Ini rumah sakit. Kalau ada masalah, jangan ribut di sini," ujar Matthew dengan suara seraknya.Aku tidak menyangka Matthew akan melindungiku. Setelah rasa terkejut itu reda, aku memandang tiga orang di depanku.Yuna yang memasang ekspresi
Yuna menatapku, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu."Bukannya adikmu nggak datang?" tanyaku. Aku tahu dia datang untuk menemuiku, tetapi aku tidak ingin meladeninya.Yuna menghampiriku, mengadang jalanku. Dia berucap, "Aku minta maaf atas kejadian waktu itu. Aku nggak menyangka ibuku akan begitu emosi hingga ingin menamparmu. Jadi, aku sengaja datang untuk meminta maaf."Yuna berpura-pura baik dengan meminta maaf atas kejadian di rumah sakit tempo hari."Kalau kamu memang merasa bersalah, seharusnya kamu langsung bertindak saat itu juga, bukannya datang meminta maaf setelah masalahnya selesai," balasku.Diamnya Yuna saat itu menunjukkan dukungannya pada sikap sang ibu. Aku tidak tahu seberapa tulus permintaan maafnya, tetapi yang jelas aku tidak suka dengan pendekatan seperti ini."Kalau ada yang ingin dikatakan, langsung saja. Jangan bertele-tele," ucapku lagi.Sikapku sangat dingin. Nada bicaraku juga jauh dari kata ramah. Tidak ada yang ingin kubicarakan dengan o
Keesokan harinya, aku bangun lumayan siang. Kelasku sudah berjalan seminggu penuh, murid-muridku juga butuh istirahat. Aku turun dari tempat tidur dan bersih-bersih sebentar. Aku membuang dua botol bir yang sudah kosong ke tempat sampah.Aku merasa lembaran baru dalam hidupku sudah resmi dimulai. Saat aku sedang larut dalam harapan, terdengar suara ketukan pintu dari luar.Tidak banyak yang tahu bahwa aku tinggal di sini, jadi kehadiran tamu membuatku sedikit bingung. Aku makin kaget saat melihat sosok Santos dan Felly dari lubang intip."Leila, buka pintu. Ini Ayah," ucap Santos sambil terus menggedor pintu dengan gelisah.Aku tidak tahu alasan mereka datang ke sini. Meski sedikit jengkel, aku tidak bisa membiarkan mereka terus mengetuk pintuku. Aku pun akhirnya membuka pintu.Begitu pintu dibuka, kedua orang itu langsung masuk. Santos terlihat gelisah, sementara Felly tampak enggan."Ayah minta maaf karena marah-marah padamu hari ini. Kamu harus maklum, Ayah terlalu sibuk bekerja hi
"Siapa sangka dia begitu pintar mengambil hati orang lain? Mulai sekarang, awasi dia baik-baik. Jangan biarkan dia kabur dari rumah lagi!" marah Santos. Dia juga menyuruh Felly mengawasiku.Setelah mengganti baju, aku membuka pintu dan keluar, ikut mereka pulang ke rumah. Tindakan Santos dengan menjemputku pulang secara pribadi justru membuatku merasa tidak nyaman.Sesampainya di rumah, aku merapikan barang-barangku. Begitu keluar kamar, aku langsung berhadapan dengan Felly yang memasang tampang marah.Gadis itu berucap, "Jangan kira kamu bisa sok hanya karena hubunganmu dengan Keluarga Suratman. Aku nggak tahu kenapa Keegan bisa datang mencarimu semalam. Karena kamu nggak di rumah, dia bahkan mengancam Ayah agar menjemputmu pulang."Felly bukan tipe orang yang bisa merahasiakan sesuatu. Hanya dengan ucapan pendeknya, dia sudah memberitahukan semua yang terjadi.Ternyata kemarin malam Keegan datang ke Kediaman Wirawan. Dia ingin menemuiku, tetapi aku tidak berada di rumah.Felly langsu
Sebelum aku sempat menolak, Keegan sudah mengambil koperku sambil tersenyum cerah."Aku bisa bawa sendiri," ucapku.Aku berniat mengambil kembali koperku, tetapi Keegan tidak memberiku kesempatan. Dia berjalan cepat dengan membawa koperku, lalu baru berhenti dan menatapku saat kami tiba di dekat asrama putri.Aku mengeluarkan daftar mahasiswa baru dan mencari nomor kamar asramaku. Keegan melirikku sekilas, lalu segera membawa koperku masuk. Aku terkejut hingga tidak bisa berkata-kata melihat tingkahnya. Tanpa daya, aku hanya bisa berlari kecil menyusulnya.Sesampainya di kamar asramaku, Keegan segera menaruh koperku di lantai. Kemudian, dia mulai merapikan tempat tidurku."Nggak perlu repot-repot, aku bisa lakukan sendiri," kataku.Aku tidak ingin berutang budi atau menjalin kontak dekat dengan Keegan. Namun, dia seperti tidak mendengar penolakanku. Dia tetap membereskan tempat tidurku dengan telaten."Kamu yang namanya Leila, ya? Pacarmu keren banget. Dia perhatian banget sama kamu!"
Di saat aku tengah memikirkan cara untuk mencairkan suasana, Keegan sudah duduk di sebelahku. Dia mengambilkan lauk untuk semua orang, lalu mengobrol dengan akrab dengan semuanya.Tidak heran Keegan bisa muncul di sini. Sebab, dia sudah mengambil hati para teman sekamarku sejak awal.Saat kami sedang menikmati makan malam, dua orang tamu tak diundang muncul. Dunia ini kecil sekali. Aku tidak menyangka akan bertemu musuhku di sini.Yuna berjalan mendekat sambil tersenyum ramah. Tangannya merangkul lengan Matthew dengan mesra."Kebetulan banget, Leila. Nggak kusangka akan bertemu kamu di sini!" ucap Yuna.Orang bilang, musuh selalu bertemu. Namun, mengapa gadis ini harus selalu mengusikku? Begitu keduanya muncul, suasana yang semula hangat tiba-tiba berubah membeku."Apa dia temanmu?" tanya teman sekamarku. Dia belum pernah melihat Yuna sebelumnya, tetapi dia sepertinya terkesan dengan keramahan yang ditunjukkan Yuna."Hanya teman sekolah," sahutku dengan dingin, jelas tidak senang melih
Makanya, meskipun Felly memberiku obat dan ingin membuatku malu di hadapan semua orang, aku tidak ingin menggunakan cara yang sama untuk membalasnya."Aku bisa bantu." Matthew berkata, "Latar belakang Keluarga Hutama nggak termasuk buruk. Ini termasuk pilihan bagus untuk Santos."Aku menoleh, melihat Matthew memandang ke luar jendela. Malam ini terasa sangat panjang.Saat kapal berlabuh, Santos membawa sekelompok orang masuk. Mereka langsung menuju ke kamar Matthew. Dari kejauhan, terdengar suara Madhu yang berpura-pura menenangkan, "Santos, jangan marah. Semua bisa dibicarakan baik-baik."Segera, mereka mendorong pintu dan masuk. "Matthew, Leila bukan wanita sembarangan. Dia ...."Santos seketika tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Aku berdiri di belakangnya, berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. "Ada apa ini?"Matthew yang memakai pakaian serba hitam pun berjalan keluar. "Apa maksudmu, Pak?" Matthew melirik sekeliling. "Selain itu, ngapain kamu membawa begitu banyak orang kemari
Matthew membawaku ke kamarnya. Aku berpura-pura merasa tidak nyaman. Segera, dia menurunkanku ke ranjang.Aku mengepalkan tanganku, merasakan Matthew perlahan-lahan mendekat. Ketika bernapas, aku merasakan aroma kayu yang semakin kuat.Aku menjulurkan tangan ke nakas untuk mengambil lampu. Aku ingin menghantamkannya ke kepala Matthew. Namun, Matthew tiba-tiba menahan tanganku dan berujar, "Jangan bergerak."Suaranya terdengar rendah. Aku memelotot. Dia memiringkan kepalanya dan mencium telingaku. "Felly lagi mengawasi kita di luar."Setelah mendengarnya, aku tanpa sadar menatap Matthew. Dia menggenggam tanganku, sesekali mencium leherku. "Sabar sedikit. Saat aku memberi keluargamu proyek hari itu, Santos bisa melihat aku menyukaimu.""Belakangan ini, Keluarga Sanjaya punya proyek baru lagi. Santos meneleponku dan bilang kondisi kesehatan nenekmu buruk, jadi menyuruhku membawamu keluar bermain."Ciuman Matthew makin liar. Aku kesulitan bertahan. Entah dari mana tenagaku, aku sontak mend
"Wow!" Cassey berseru dengan kagum, "Leila, mereka lucu sekali. Aku hampir meleleh dibuat mereka!"Ketika melihat Cassey seperti ini, suasana hatiku menjadi lebih rileks.Sekitar 20 menit kemudian, rombongan lumba-lumba pergi dan tak terlihat lagi. Cassey merasa agak kecewa, tetapi aku merasa sangat puas.Yosef menghampiri untuk menggoda Cassey. Aku menatap keduanya, merasa ada yang aneh dari mereka.Pada akhirnya, aku pergi. Ketika aku mengambil jus, Matthew tiba-tiba menggenggam pergelangan tanganku. Aku mendongak menatapnya. Dia menyuruhku memandang ke arah matahari terbit.Aku mengikuti instruksinya, lalu melihat lumba-lumba pink mengapung di permukaan laut. Aku terkejut hingga menutup mulutku. Matthew bertanya, "Cantik nggak?"Aku mengangguk. Matthew berbisik di samping telingaku. "Dia punya nama."Aku menoleh. Matthew tersenyum dan meneruskan, "Namanya Pangsit."Pangsit .... Aku tiba-tiba teringat saat aku SMA 2, aku bersikeras makan bersama Matthew. Karena terlambat, yang tersis
Aku bergegas mundur dan menaruh tanganku di belakang punggung. Tangan Matthew sontak terbuka karena penolakanku yang terlalu besar. Pada akhirnya, dia menarik tangannya kembali dan berkata, "Tanganmu berdarah."Aku menggigit bibir tanpa menyahut. Saat ini, Cassey dan lainnya datang. Cassey membawa ember dan berlari menghampiri, lalu menunjukkan isinya kepadaku. "Leila, aku tangkap ubur-ubur. Yosef bilang ubur-uburnya akan bersinar di malam hari.""Serius?" Aku merasa lega. Aku menatap ubur-ubur setengah transparan di dalam ember. "Kita cari akuarium saja supaya dia punya tempat."Usai mengatakan itu, aku menarik Cassey ke kamar tanpa peduli pada Matthew. Tidak ada tempat untuk menaruh ubur-ubur. Pada akhirnya, Cassey mencari Yosef. Yosef memberikannya vas bunga transparan.Setelah memasukkan ubur-ubur ke vas, Cassey baru menyadari tanganku berdarah. Dia menarik tanganku dan berkata dengan alis berkerut, "Tanganmu ....""Nggak apa-apa." Aku melirik sekilas punggung tanganku yang berdara
Aku merasa sangat panas. Sekujur tubuhku seolah-olah dibakar api. Aku ingin menghindar, tetapi tidak tahu caranya.Mimpi buruk terus bermunculan. Aku bermimpi tentang kehidupan lampau saat Matthew pergi setelah menerima telepon dari Yuna, juga bermimpi saat Matthew memohon kepadaku untuk melepaskan Yuna di ruang privat.Pada akhirnya, adegan mimpiku berhenti. Saat itu, kami selesai berhubungan badan. Matthew menatapku layaknya sampah. "Leila, kamu menjijikkan sekali.""Bu ... bukan aku ...." Aku sontak membuka mata dan memandang langit-langit."Sudah bangun?" Terdengar suara Matthew di samping telingaku. Aku perlahan-lahan menoleh.Wajah Matthew agak berkumis. Dia terlihat sangat lelah. Entah berapa lama aku tertidur. Aku ingin mengambil ponsel, tetapi Matthew menahan tanganku."Jangan sembarangan gerak. Kamu lagi diinfus." Setelah mendengarnya, aku baru menyadari ada beberapa kantong cairan infus yang digantung."Berapa lama aku tidur?" tanyaku dengan susah payah. Tenggorokanku terasa
Pagi hari, aku dibangunkan oleh Cassey. Aku bersembunyi di dalam selimut. Dia menarikku dan bertanya, "Leila, kami mau pergi snorkeling. Kamu mau ikut nggak?""Nggak mau." Aku masih sangat ngantuk. Aku menunjukkan tanganku yang terluka kepadanya dan meneruskan, "Dokter bilang tanganku nggak boleh kena air."Setelah mendengarnya, Cassey baru ingat. Dia tidak membangunkanku lagi dan hanya berpesan beberapa hal sebelum pergi.Sekitar 5 menit kemudian, rasa kantukku malah hilang. Aku pun terpaksa bangkit dari ranjang. Selesai mandi, aku mencari baju di koper.Begitu koper dibuka, ternyata semua isinya adalah terusan. Aku mengambil sebuah terusan berwarna putih, lalu membentangkannya dan mendapati terusan itu hanya mencapai bagian atas pahaku.Aku mengernyit, lalu mengambil terusan berwarna biru lagi. Yang ini lebih panjang, tetapi ada lubang di punggung dan di pinggang. Pada akhirnya, aku memilih terusan berwarna hitam dengan garis leher V yang sangat ketat.Setelah mandi dan berganti paka
Aku melihat jam di ponsel. Ternyata baru pukul 3 subuh lewat. Karena tidak ingin mengganggu Cassey, aku mengambil selimut dari lemari dan menaruhnya di bahuku. Kemudian, aku keluar untuk melihat bintang.Mungkin ada yang salah dengan cuaca tahun ini. Aku merasa angin yang bertiup agak panas.Setelah jauh dari kota, bintang di langit menjadi lebih terang. Pemandangan seperti ini tidak bisa dilihat di kota.Sesaat setelah aku duduk bersila, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Aku menoleh. Ternyata Matthew keluar dari pintu lain dan berdiri di depan pagar pembatas.Matthew masih mengenakan pakaian sebelumnya. Ketika dia melangkah keluar dari kegelapan, entah mengapa aku merasa dia terlihat seperti orang yang kesepian.Aku menggeleng, merasa pemikiranku ini agak konyol. Matthew selalu disanjung oleh orang-orang. Bagaimana mungkin orang seperti ini merasa kesepian?Ketika aku hendak kembali, tiba-tiba Matthew mengeluarkan sebungkus rokok dan menyalakannya. Asap mengepul. Aku melihat Ma
Entah mengapa, aku merasa agak malu. Aku yang ingin menghindar lagi sontak mematung. Matthew memanggil, "Hm?"Aku menggigit bibirku, lalu sengaja menyahut dengan tidak acuh, "Aku nggak ingin lihat."Senyuman di bibir Matthew menjadi makin jelas. Dengan suara rendah, dia bertanya, "Gimana kalau aku ingin kamu lihat?"Seketika, telingaku merasa geli. Aku sontak memalingkan wajah. Matthew juga menoleh untuk melihatku. Tiba-tiba, jarak di antara kami pun menjadi sangat dekat. Dekat sampai aku bisa mencium aroma krim cukurnya."Sudah selesai." Terdengar suara dokter. Aku sontak tersadar kembali, lalu menyingkirkan tangan Matthew yang menutup mataku.Dokter sudah melepaskan sarung tangannya. Dia menginstruksi, "Tanganmu nggak boleh kena air selama tiga hari. Jangan sering digerakkan juga. Aku akan membantumu mengganti perban setiap hari.""Setengah bulan juga sembuh." Dokter sedang membereskan kotak P3K. Dia menambahkan, "Oh ya, benang yang kupakai untuk kecantikan. Jadi, nggak usah khawatir
Para pria di tempat juga tidak sempat bereaksi. Aku hanya bisa menyaksikan Prilly melemparkan pecahan gelas kepadaku. Aku tanpa sadar menjulurkan tangan. Saat berikutnya, pecahan gelas menggores punggung tanganku.Seketika, pecahan gelas yang ternodai darahku pun terjatuh ke lantai. Aku kesakitan hingga berjongkok.Cassey segera maju untuk memapahku. "Leila ...."Matthew dan Yosef buru-buru menghampiri dari dek. Ketika melihat tanganku berdarah, wajah Matthew menjadi suram. Dia mendekatiku, lalu mengambil kain bersih untuk menekan tanganku. "Sakit sekali ya?"Aku sangat takut sakit, tetapi juga sangat pintar menahan sakit. Sebelumnya saat demam tinggi, Aku sama sekali tidak menangis. Namun, kali ini mataku malah berkaca-kaca. Aku mendongak menatap Matthew, melihat kecemasan pada tatapannya."Ya, sakit ...." Setelah mendengar jawabanku, Matthew menjadi panik. Dia menyuruh Yosef memanggil dokter yang mengikuti perjalanan ini, lalu menggendongku ke kamar."Nggak apa-apa, dokter akan seger