Aku kalau ketemu sekali dua kali memang masih berusaha seramah mungkin dengan menampilkan senyum palsu yang menawan, tapi kalau terus-terusan, ya gimana, ya? Gak bisa aku tu kalau pura-pura terlalu lama. Mau enggak mau harus menunjukkan sifat aslinya juga.
"Makan lagi aja, gak papa."Mau selapar apa pun kalau makannya sambil dilihatin begini enggak bakal ketelen. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti makan sekalian."Kenapa? Kok, gak jadi makan?""Udah kenyang."Dia manggut-manggut, lalu menyandarkan punggungnya di kursi."Kamu beda dari cewek-cewek yang aku temui sebelumnya. Biasanya mereka yang deketin aku, tapi kamu enggak. Emangnya aku kurang menarik, ya, di mata kamu?"Please, aku paling enggak suka ditanyain hal begini. Kenapa Tuhan mempertemukan aku dengan laki-laki model begini?"Bukan gak menarik, tapi emang bukan seleranya aja mungkin," jawabku."Jadi, aku bukan selera kamu?"Aku meringis, "Iya mungkin.""Emang selera kamu yang gimana?"Aku mengatur napas. Melelahkan sekali."Yang kayak Jefri Nichol."Jo ketawa, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan."Artinya aku kurang ganteng, ya?"Aku hanya tersenyum."Mungkin kedengeran buru-buru, tapi sejak melihat kamu, aku tertarik sama kamu, Mir."Tolong! Sekarang aku harus ngapain ini? Aku harus ngomong apa lagi? Apa aku harus baper? "Cringe, ya. Sory, tapi aku gak bisa basa-basi. Aku gak minta kamu balas perasaanku sekarang, aku cuma pengen kamu tahu aja. Kalau suatu saat aku makin terang-terangan, setidaknya kamu udah paham."Aku cuma bisa diam seribu bahasa. Mana mungkin seorang laki-laki yang sudah punya istri dan anak mengutarakan perasaannya kepada wanita lain? Apa semua laki-laki memang begitu saat sedang jauh dari keluarganya?Jo merogoh ponsel dari saku celana nya saat benda itu berdering. Sepertinya panggilan penting karena setelahnya Jo pamit pergi duluan.Tinggal aku yang masih mematung dengan perasaan entah. Mendengar Jo mengutarakan perasaannya malah membuatku jadi kesal dan makin yakin kalau aku harus segera menjauh darinya.Aku ingat saat masuk semester pertama ada satu mahasiswa yang mengutarakan perasaannya kepadaku. Saat itu aku langsung menolaknya dan membuat dia marah. Dia memfitnah dan menjadi orang pertama yang menyebarkan berita bahwa aku suka dengan sesama jenis. Sejak saat itu aku trauma dan selalu menjaga jarak dengan laki-laki. Hingga saat ini belum ada laki-laki yang bisa membuat jantungku berdebar saat berhadapan dengannya. Apa karena aku sudah mati rasa?Tak pernah tebersit dalam pikiran untuk memulai suatu hubungan dengan laki-laki. Aku sudah cukup nyaman dengan duniaku saat ini. Entah kapan aku akan menemukan sosok itu, untuk saat ini aku hanya bertekad untuk menyelesaikan kuliah dan bekerja. Menjalani hidup dengan bebas tanpa tekanan dari siapa-siapa. **"Pagi!"Aku baru keluar kamar saat Jo menyapa. Kami berjalan bersisian menuju lift yang sama. Aku tidak tahu apa pekerjaan Jo, tapi setiap hari dia selalu memakai kemeja dan juga dasi dengan begitu rapi."Kamu hari ini mulai kerja di mana?" tanyanya. Mungkin karena melihatku memakai kemeja putih dan celana hitam. "Di PT Asfindo grup."Kami pun masuk ke dalam lift bersamaan. Biasanya aku tak secanggung ini, apa karena kemarin Jo mengungkapkan perasaannya, ya?"Nanti siang makan bareng, ya.""Lihat nanti," jawabku.Kami berpisah di parkiran. Anehnya kenapa aku tidak kesal seperti biasanya? Aku justru merasa bersalah dan canggung saat bertemu dengan Jo.Aku tak begitu kesulitan saat hari pertama bekerja, hanya belum terbiasa saja dengan lingkungan baru yang harus berinteraksi dengan banyak orang. Untuk awal-awal memang rekan kerjanya masih terbilang asyik dan ramah. Entah kalau suatu saat nanti. Aku harus terbiasa dengan sifat dan watak orang yang berbeda denganku. Setidaknya aku harus berusaha tetap nyaman di mana pun tempatnya.Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.15. Aku baru sempat menyalakan ponsel sejak pagi dan langsung membuka pesan dari Imel."Miir, gimana hari pertama? Masih OK, kan?""Gue selalu OK. Lo tenang aja.""Iyalah, namanya juga baru naik ke satu tangga pasti belom kerasa capeknya. Coba kalo udah naik dua puluh tangga, pegel dah, lo."Aku ketawa. Perumpamaan yang sungguh di luar saklar.Setelah membalas pesan dari Imel dengan emot jempol berderet, aku membuka pesan dari Joshua. "Gimana hari pertamanya?"Aku yang semula malas membuka pesan darinya, kenapa kali ini malah merasa berbeda? Rasanya enggak enak kalau enggak dibalas, tapi ...."Mir? Makan siang dulu, aku pesenin makanan lewat ojol, ya?"Pesan dari Jo datang lagi, padahal yang awal saja belum dibalas. "Gak usah, aku beli dekat sini aja." Balasku."Oke, deh. Happy lunch, dear."Aku tidak membalas lagi. Makin lama aku makin enggak beres.**Aku tak langsung pulang sore ini karena masih harus absen ke kampus. Setelah dari kampus aku mampir ke tukang fotokopi untuk mencetak beberapa dokumen dan juga file dari dosen.Sembari menunggu berkasku selesai, aku melihat-lihat sekeliling. Di seberang jalan terdapat bangunan sekolah dasar swasta cukup terkenal di kota ini. Aku menajamkan mata ketika melihat Jo turun dari mobil dan masuk ke dalam bangunan itu. Apa dia bekerja sebagai pendidik di sana?Aku berdiri agar bisa melihat lebih jelas, raut wajah Jo seperti sedang khawatir sehingga dia berjalan dengan terburu-buru. Aku baru ingin menyeberang, tapi Jo telanjur menghilang. "Udah, Mbak."Aku kembali duduk, membayar pada tukang fotokopi dan memilih pulang.**Aku merasa aneh saat menyadari bahwa aku sudah berkali-kali mengecek kepulangan Jo sore ini. Entah sudah berapa kali aku membuka pintu kamarku dan memastikan apakah Jo sudah pulang atau belum.Hingga lewat jam tujuh malam, Jo baru kelihatan. Aku pura-pura sedang menelepon saat kepergok olehnya."Nungguin aku, ya?"Ish! "Udah makan malam? Bareng, yuk!"Aku seperti terhipnotis. Bukannya kembali masuk ke dalam apartemen, aku malah mengikuti langkah Jo untuk masuk ke dalam lift dan turun ke restoran. Restoran sop iga menjadi menu pilihan Jo malam ini. Aku ikut saja karena memang belum makan sejak siang di kantor tadi."Berat gak hari pertamanya?" tanya Jo, saat kami sedang menunggu pesanan."Lebih berat ngerjain skripsi, sih."Jo ketawa. "Kenapa gak fokus kuliah aja?""Pengen punya duit sendiri. Biar gak minta mulu ke mami sama papi. Mereka udah capek, udah waktunya istirahat di rumah, gak mikirin biaya hidup gue lagi.""Good. Kamu masih muda, tapi pikiran kamu sangat dewasa."Baru kali ini aku tersipu sama pujian dari Jo. "Aku pernah kenal sama wanita. Saat dia seumuran kamu, dia enggak sedewasa kamu. Yang dia tahu cuma gimana caranya bisa bersenang-senang, tapi enggak mau tahu perasaan orang yang berusaha membuat dia senang.""Dia selalu merasa layak dibahagiakan, tanpa peduli apakah orang di sekelilingnya bahagia atau tidak."Jo menjeda sejenak, kemudian kembali bicara."Dia tidak peduli bagaimana prosesnya, tapi dia selalu ingin melihat hasilnya. Bahkan di usia orang tuanya yang sudah tidak lagi muda, dia tetap saja manja. Bukan dia yang berusaha membahagiakan orang tua, tapi orang tua harus selalu berkorban untuk dia."Jo kembali diam saat pramusaji datang mengantarkan pesanan kami."Pacar kamu, ya?" tanyaku.Jo menyeruput kuah sop iga yang masih mengepulkan asap itu sambil tertawa kecil."Kamu sendiri, sudah kenal dengan laki-laki seperti apa sebelumnya?"Aku menggeleng. "Belum pernah."Jo meletakkan sendok yang dipegangnya, kemudian menatapku intens."Really? Why? Apa karena seleramu tinggi?"Aku hanya menarik ujung bibir dan mulai menyuap.Kami makan dalam diam untuk beberapa saat hingga akhirnya ponsel Jo berbunyi. Dia sedikit menjauh saat menerima telepon yang entah dari siapa. Saat kembali ke meja
"Obat capek gue tuh jalan sama jajan. Selama gue bisa jalan-jalan sambil jajan, artinya gue gak akan capek. Kalo gue pengen jalan sama jajan artinya gue harus punya uang, harus kerja. Kan, gitu konsepnya."Imel masih saja ngoceh meski di mulutnya penuh dengan makanan. Aku kadang heran, kok, ada aja yang diceritain sama dia? Kayak gak pernah kehabisan ide buat ngomong, gitu loh."Lo gak mau pacaran lagi, Mel?" tanyaku. Setelah putus dari pacarnya setahun lalu, aku belum melihat Imel punya teman laki-laki baru."Capek gue, Mir. Ntar kalo dah waktunya juga dateng sendiri. Di umur segini tuh butuhnya cuma uang, uang, uang. Kalo pacar baru gue bisa ngasih uang, ya bisa kali dipikirin lagi."Bener-bener konyol. Aku jadi teringat sesuatu."Mungkin itu yang mami gue pikirin makanya gak pernah punya waktu buat gue ya, Mel. Bagi Mami, uang tuh sumber kebahagiaan.""Ya, bener. Tanpa uang, kita bakal kesurupan.""Mana ada?""Iyalah. Kan, kebanyakan bengong meratapi hidup." Imel ketawa. Sialan!**
Sarapan pagiku kali ini berupa curhatan dari Imel. Dia menelepon sejak jam lima pagi tadi dan ngoceh seperti burung. Seperti biasa aku hanya meletakkan ponsel dan mendengar ocehannya sambil mondar-mandir menyiapkan sarapan."Lo tahu, gak?! Masa bos gue tu mau nikah lagi, mana calon istri keduanya tuh, ya, baweeeel banget! Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngomel. Gak seru banget. Kalo gue jadi istri pertamanya udah gue racun tu calon madu. Sumpah, nyebelin banget orangnya!"Imel memang kadang suka enggak sadar diri. Dia sendiri bawel, tapi kalau ada orang yang bawel ke dia, dia ngereog. Pantas saja dia awet bersahabat denganku karena aku orangnya alim. Uhuk. "Asal lo tahu aja, ya. Masa cuma gara-gara pendapatan kemarin kurang cepek aja tu cewek jam empat pagi udah ngomelin gue. Baru jadi calon istri bos aja udah kayak mak lampir, gak kebayang gue kalo mereka beneran nikah!""Udah, sabar. Gue aja selama ini sabar ngadepin kebawelan lo yang brutal itu," kataku, berusaha menenangkan."Sial
"Gimana? Udah baikan?"Untuk pertama kalinya aku menjawab telepon dari Jo. Mulanya aku sedikit ragu, tapi karena aku merasa harus berterima kasih, aku pun menggeser tombol hijau di layar ponsel. "Udah. BTW, makanannya enak. Makasih, ya.""Kamu suka?""Suka. Apalagi es strawberry-nya."Aku mendengar dia tertawa. "Nanti malam mau makan bareng enggak? Sekalian ngobrol."Aku diam beberapa saat. Biasanya saat suasana hati sedang kacau, aku memilih untuk berdiam diri di kamar hingga berhari-hari. Namun, sepertinya kali ini aku memutuskan untuk menerima tawaran dari Jo saja. "Boleh. Di mana?""Nanti aku jemput.""Eh, enggak usah. Aku bisa berangkat sendiri.""Aku tahu, tapi emangnya enggak boleh, ya, kalo aku pengen semobil sama kamu?""Bo-leh, sih.""Nah, sip! Nanti aku kabarin lagi, ya. Aku kerja dulu."Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar begini? Argh, sial! Aku kenapa, sih? Padahal jelas-jelas Joshua itu bukan tipeku. Aku bener-bener pemilih waktu deket sama cowok sebelumnya, tapi kenap
Aku malah bengong karena enggak tahu harus bagaimana. Bukankah kalau di drakor, menerima bunga artinya menerima cinta dari si pemberinya?Tetapi, kenapa Jo enggak menyatakan cintanya? "Gak suka, ya? Sama, sih, aku sendiri lebih suka bunga bank. Ini ide temen kantorku sebenernya."Jo ketawa. Akhirnya dengan sedikit canggung aku pun menerima bunga dari Jo. Sekuntum mawar merah itu kuletakkan di sebelah kanan, berdekatan dengan jendela."Aku baru pertama dikasih bunga sama cowok, jadi agak syok," kataku kikuk."Masa? Kalo gitu tiap hari aku kasih, deh, biar terbiasa."Kami sama-sama ketawa."Gimana kuliahnya?"Obrolan kami terjeda karena pelayan mengantarkan minuman. Jo memesan es americano sementara aku es strawberry. Paduan strawberry yang asam, susu, dan sodanya sangat cocok di lidahku. Meminumnya seketika membawa energi baik yang mengalir hingga ke ujung kaki."Lancar, tinggal nunggu wisuda aja.""Setelah wisuda mau ngapain? Kerja atau nikah?""Nggak tahu belum kepikiran. Palingan
Sadar dengan itu, aku segera menarik tanganku dan mengusapnya. Tentu saja Jo ketawa dan meminta maaf setelahnya. Aku sendiri merasa ada yang tidak beres. Jantungku bergetar hebat hingga membuatku kembali duduk. Takut sewaktu-waktu tak sengaja bersentuhan lagi dengan dia."Deg-degan nggak?"Ish! Aku tak menjawab. Setelah jantungku kembali normal, aku pun memutuskan untuk meninggalkan kamar Jo. Laki-laki itu mengantarku hingga pintunya sambil melambaikan tangan. Aku buru-buru masuk dan segera duduk di sofa. Kupegangi dadaku yang masih berdegup kencang. Ada apa denganku?Aku mengacak rambut, kemudian berlari menuju kamar mandi. Berendam di dalam bathup membuatku sedikit rileks. Tiba-tiba aku teringat hal konyol tadi dan tiba-tiba juga tersenyum sendiri. Wajah Jo seketika memenuhi kepalaku. Aku segera menggeleng dan membasuh wajahku.**Jam dua belas siang aku sudah berada di kantor Imel. Melihatku sudah duduk menunggunya, tentu saja Imel langsung berlari menujuku. Tanda-tanda reog pun mu
Aku menggeplak kepalaku sendiri, kemudian kembali masuk mobil dan pulang ke apartemen. Kayaknya emang lama-lama otakku mulai geser. Aku masih saja berusaha mengingat dan memastikan, apakah Jo tadi bilang love you atau see you?Lagi-lagi aku menggeleng dan gelimpungan di kasur. Aku sudah benar-benar tidak waras! Telingaku juga sepertinya harus sering-sering dibersihkan biar bisa mendengar dengan jelas.Aku meraih ponsel, mengetuk nama Joshua di aplikasi chating. Aku bertanya-tanya sendiri, haruskah aku mengirimkan pesan kepada Jo? Memilih bangkit dan duduk bersila, aku memutuskan untuk mengetik sesuatu di sana.Namun, ponsel itu kembali kulempar dengan asal. Aku harus mengetik apa? Terserahlah. Aku memilih untuk kembali rebahan sambil menutup wajah dengan bantal.Tiba-tiba pintu apartemenku diketuk. Aku bangkit dengan malas dan berjalan menuju pintu."Jo?""Ada waktu nggak, Mir?""Kenapa?""Aku ada meeting sama klien dan aku perlu asisten buat nemenin. Nanti kamu bantuin merangkum poi
"Mir, temenin aku makan malam, ya? Aku lagi butuh temen."Sontak saja mataku membulat sempurna. Aku segera duduk, hendak membalas pesan dari Jo, tapi Imel si kepo malah ikutan duduk dan melihat ke layar ponselku."Kenapa lo?""Apa, sih, Meeel? Kepo, deh." Aku meninggikan HP agar Imel tak bisa melihatnya. "Dih, aneh." Imel kembali rebahan.Aku mengetik balasan untuk Jo. "Boleh. Tunggu sebentar aku harus ganti baju dulu.""Lo di sini aja, ya, Mel. Gue lagi ada urusan."Aku melompat dari kasur dan memilih baju. Kali ini aku tidak akan memakai hodie lagi. Setelan blouse dan rok ala korea menjadi pilihanku malam ini. Imel yang semula tiduran seketika duduk saat melihatku sibuk."Lo mau ke mana pakai baju kayak gitu?""Gue ada urusan. Lo di sini aja jaga rumah.""Sama siapa, heh?""Ntar gue cerita. Gue udah ditunggu."Aku buru-buru meninggalkan Imel karena Jo sudah menunggu di mobilnya. Saat tiba di parkiran, Jo menyambutku dengan senyuman."Cantik," kata Jo.Aku seketika tersipu dan menye
"Morning, Dear!" "Morning, Miss!"Aku masih mengucek mata saat membuka pintu apartemen. Joshua dan Joseph sudah tampak rapi dengan kemeja dan ... kue di tangan mereka. "Happy birthday, Miss!" Aku menekuk lutut, menjajarkan tinggi badan dengan Joseph sambil tertawa."Tapi, hari ini Miss Mira nggak ulang tahun," kataku."Daddy bohong, ya!" Joseph langsung melotot pada daddy-nya, begitu juga denganku.Sementara laki-laki yang sedang dalam pusat perhatian itu malah tertawa."Prank!' katanya.Aku tertawa ketika melihat Joseph berlari mengejar Joshua. Kubawa dua potong kue tadi ke atas meja dan memotongnya. Kupanggil dua manusia kembar beda usia itu ke meja makan dan menikmati potongan kue red velvet dengan toping buah strawberry diatasnya.Aku selesai lebih dulu dan pergi mandi, berganti baju, dan juga berdandan. Dua laki-laki yang duduk di sofa menungguku itu tampak asyik dan saling bercanda. Setelah siap, aku pun menemui mereka."Are you ready?" tanyaku."Yes, i'am ready!" Joseph ber
"Feeling gue mafia sebenernya tu malah Bastian, deh, Mel.""Sepemikiran!""Tapi, dia cuci tangan. Membuat orang lain terlihat seperti tokoh jahat untuk menutupi kejahatannya.""Sepakat!""Kasihan, ya, Bianca."Kali ini Imel menjawab. "Gak sepakat buat yang ini. Kasihan dari mana? Salah dia sendiri, kok, mau-maunya.'"Dia terpaksa kali, Mel.""Terpaksa karena duitnya.""Bisa jadi.""Lo tahu nggak, Mel? Bianca bilang setelah menikah bakal pindah ke Singapore. Dia bakal tinggal di sana sama Bastian dan Joseph.""Baguslah. Kalo mereka beneran ke Singapore kayaknya gue nggak bakal jadi babunya Bianca lagi.""Kalo bener Bianca keguguran karena ide dari Bastian, gue harus cari cara biar hak asuh Joseph turun ke tangan Joshua secepatnya. Gue takut Joseph kenapa-kenapa.""Kan, udah gue bilang Pak Bastian tu nggak suka anak-anak. Istrinya aja yang punya satu anak langsung diselingkuhin, diceraiin.""Ngeri juga, ya."Aku dan imel menunggu operasi sambil makan kuaci. Mataku sudah hampir terpejam
Aku masih mematung di tempat karena tidak tahu harus berbuat apa. Kalau aku pulang sekarang, Joseph masih harus minum obat satu kali lagi. Aku takut Bianca tak peduli dan Joseph tidak minum obat malam ini. Sebaiknya aku tunggu saja jam minum obatnya kemudian pulang.Aku ikut duduk di sofa, sedikit berjarak dengan Bianca. Namun, bisa kulihat dengan jelas bahwa wajah Bianca pucat dan kelihatan gelisah. Apa yang terjadi dengannya?"Bu, wajah ibu pucat sekali. Apa ibu sakit?" tanyaku.Bianca hanya menggeleng, tapi tangan kirinya memegang perut. Aku membelalak. Jangan-jangan?"Bu, sebaiknya kita pergi ke dokter. Saya takut Bu Bianca kenapa-kenapa."Aku mencoba mendekat, tapi Bianca menepis tanganku. "Tolong ambilkan air hangat dan obat saya di mobil."Aku mengangguk dan bergerak cepat. Bertambah lagi beban di kepalaku. Bukan hanya Joseph, tapi Bianca juga sakit sekarang. Lantas apa yang harus aku lakukan?Bianca merebahkan tubuhnya di sofa, tangan kirinya masih menempel diatas perut dan m
Aku masih mengeratkan pelukan sambil menatap pada pintu. Entah apa yang mereka bicarakan diluar, aku sangat penasaran dengan keputusan yang akan mereka ambil. Tak terasa isak tangis Joseph sudah tak terdengar, saat kulihat ternyata dia tertidur di pelukanku. Mungkin dia terlalu lelah karena menangis cukup lama.Aku meraih ponsel dan menelepon Imel, berharap dia tidak sedang dalam perjalanan. Namun, sepertinya Imel memang belum sampai di kosan karena panggilanku tidak dijawab olehnya. Kulihat lagi undangan pernikahan Bastian dan Bianca yang Imel kirim beberapa hari yang lalu, acara akan diselenggarakan tepat satu bulan lagi, pantas saja Bianca tak begitu peduli dengan Joseph dan sibuk pulang-pergi.Apakah ini bisa menjadi bukti di persidangan nanti? Jika Bianca terbukti akan menikah lagi, apakah peluang Joshua mengambil alih hak asuh Joseph akan menjadi lebih banyak?Joshua masuk dengan wajah tegang, sementara Bianca entah kemana. Dia duduk di sofa sambil mengusap wajahnya. Pelan-pelan
Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan
Aku menepikan mobil di sebelah motor Imel. Dia masih nongkrong diatas motornya, tak ikut masuk ke dalam."Udah mau lahiran?" tanyaku yang langsung dijawab dengan toyoran kepala."Yakaliii udah mau lahiran. Periksa doang kali. Bener, kan, apa kata gue? Dia hamil.""Kok, bisa dia nyuruh lo yang nganter?""Lo gak tahu, ya, kalo gue tuh babu dia di kantor? Jabatan gue staf administrasi, tapi semenjak tu nenek lampir dateng ke kantor, gue kudu nurut sama semua perintah dia. Lo bayangin betapa gilanya gue tiap hari ngadepin dia? Makanya gue pengen resign aja.""Maksud gue kenapa nggak sama Bastian gitu?""Gue aja disuruh tutup mulut. Aneh, kan? Hamilnya nggak sama Bastian kali.""Hust!" Sontak aku menutup mulut Imel. Mataku membelalak saat melihat Bianca sudah keluar dari klinik. Aku sontak menutup kaca mobil dan menunduk agar dia tidak melihatku. "Langsung ke rumah Bastian aja, ya, Mel," kata Bianca."Siap, Bu," jawab Imel.Saat suara motor Imel mulai menjauh, aku pun menyalakan mesin dan
Aku kembali ke apartemen jam tujuh malam. Akan tetapi, hingga saat ini Jo belum juga membaca pesan dariku tadi siang. Aku mengetik pesan lagi di sana untuk menanyakan keadaan Joseph. Terkirim. Namun, lagi-lagi hanya centang dua abu-abu yang terlihat. Joshua pasti tidak mau melewatkan momen sedetik pun saat bersama Joseph.Aku merasa begitu kosong dan hampa. Baru beberapa hari hatiku terisi, kini sudah hilang lagi. Rasanya aneh saat akhirnya aku sadar bahwa aku mulai jatuh cinta dengan Joshua. Kemarin-kemarin aku masih berusaha mengelak dari rasa yang timbul itu, tapi sekarang benar-benar terasa. Aku membutuhkan Joshua.Mataku mulai terpejam karena merasa sangat lelah hari ini. Aku merasa baru sedetik terlelap, tapi saat aku membuka mata sudah hampir jam sepuluh malam saja. Ternyata sudah tiga jam aku tertidur di sofa.Aku terbangun karena suara ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari Joshua dan dua pesan yang baru sempat kubaca."Joseph baik-baik aja. Dia baru tidur, makanya aku
Seorang perawat yang hendak membawa Joseph menuju ruang rawat inap membuat Bianca dan Joshua seketika diam. Aku hanya berjalan perlahan di belakang, menyusul mereka dan memilih berhenti di ruang tunggu. Aku duduk di kursi sembari mengatur napas dan juga menata hati. Apa yang terjadi denganku?Aku tiba-tiba khawatir. Mengkhawatirkan hal yang jelas tidak mungkin terjadi. Apakah aku sedang cemburu? Melihat mata Bianca saat menatap Joshua membuatku bertanya-tanya, mungkinkah masih ada cinta di tatapan matanya?Lalu, bagaimana dengan Joshua? Bagaimana jika mereka sepakat memperbaiki diri agar bisa bersama kembali? Lantas bagaimana denganku yang ternyata sudah jatuh hati kepada laki-laki itu?Aku menunduk semakin dalam, hingga akhirnya mendongak saat sebuah tangan hangat menyentuh tanganku yang dingin.Dia hanya menggenggam tanganku, tapi tak bicara apa-apa. Tatapannya lurus kedepan. Aku pun mengeratkan genggaman dan bertanya, "ada apa? Joseph belum bangun, ya?"Dia menggeleng. "Bantu aku
Pemeriksaan selesai. Bersama Joshua, Joseph akhirnya mau melakukan USG, CT scan perut dan juga rontgen dengan lancar. Sembari menunggu hasilnya, Joshua mengajak Joseph membaca buku cerita. Wajah Joseph sudah tak sepucat tadi, anak itu justru terlihat begitu bahagia bersama daddy-nya. Aku terharu melihatnya.Mereka sangat kompak dan sangat mirip saat tersenyum. Aku hanya memandangi mereka dari sofa sambil memegang ponsel."Si anjir! Anaknya sakit malah sibuk ngurus pernikahan aja mereka."Imel mengirimkan foto Bianca dan Bastian yang entah di mana."Lo di mana? Mereka di mana?""Gue diajak milih-milih souvenir pernikahan. Bayangin aja, kalo otaknya gak geser pasti Bianca milih nungguin anaknya. Emang gak waras ini orang, ya!"Aku geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya, ya, anak lagi sakit, tapi dia malah sibuk dengan hari bahagianya? Aku menatap Joseph dengan hati yang terluka. Pasti Joseph pun sangat terluka."Kalo udah mau pulang kasih tahu, ya, Mel." Balasku kepada Imel."Pulangnya nant