Kepala Ola menyembul ke permukaan dengan napas yang agak tersengal. Tangannya meraup wajahnya yang basah sebelum dia bergerak ke tepian. Beberapa detik lamanya, Bumi pun keluar dengan kondisi sama. Ola menoleh ke balik punggung dan melihat Bumi tengah menyugar rambutnya yang basah. Lengan Bumi yang terangkat menonjolkan bentuk bisepnya, membuat Ola sedikit terpaku. Mata Ola berkedip secara perlahan ketika Bumi mengibaskan kepala. Di ufuk barat sana matahari yang bersiap akan terbenam menjadi latar belakang keindahan itu. Sosok Bumi pun tampak seperti siluet yang memukau. Bumi bergerak menghampiri Ola yang masih terpaku di tempat alih-alih menuju ke tepian. "Kenapa bengong?" tanya Bumi sembari menyentuh lengan gadis itu. Ola sedikit terkesiap, tapi kemudian terkekeh pelan. "Kak..." Gadis itu merapatkan diri, memeluk Bumi. Kulitnya yang basah bersentuhan langsung dengan kulit Bumi yang sama basahnya. Lima hari telah berlalu, dan sekarang adalah malam keenam mereka di pulau ini s
Ola menahan napas saat kecupan basah Bumi menyusuri sepanjang garis punggungnya, sementara tangan pria itu dengan intens memijat buah dadanya yang masih tertutup strapless dari two pieces yang dia kenakan. Sekujur tubuh rasanya gemetar saat sensasi asing itu kembali menjalar. Ola mendesah dan menjatuhkan kepalanya ke belakang ketika tanpa aba-aba jemari Bumi menarik pucuk dadanya. Refleks gadis itu merapatkan kaki, meningkahi rasa tak nyaman di sela dua pangkal pahanya. "Ola," bisik Bumi pelan. Embusan napasnya yang hangat menyentuh cuping telinga Ola. "What do you feel?" Tidak bisa. Ola tidak bisa menjawab pertanyaan Bumi dalam kondisi begini. Alih-alih menjawab, yang dia keluarkan malah rintihan dan desahan. Terlebih saat merasakan tangan pria itu merambat turun ke area lipatan paha. Ola sedikit terkejut. Ini di luar kebiasaan pria itu. Sebelumnya Bumi tidak pernah berani menyentuh area itu. Meskipun hanya di bagian luar saja, tetap ini merupakan hal luar biasa. "Kak..." Ola men
Jika bukan karena Bumi segera menahan tubuhnya, mungkin Ola sudah jatuh merosot ke lantai kayu kamar mandi. Kaki Ola terasa lemas, nyaris tidak bisa menopang tubuhnya sendiri begitu ledakan itu terjadi. Rasa asing yang luar biasa hebat baru saja dia raih untuk pertama kali di sepanjang usianya. Dan yang lebih luar biasa, Bumi-lah yang membuatnya tidak berdaya seperti ini. "Kak...," desah Ola masih menyembunyikan wajah ayunya di ceruk leher Bumi. "I-itu tadi aku baru pernah merasakan itu. A-aku nggak tau kalau rasanya sehebat ini." Perlahan Ola menjauh, lalu mendongak untuk melihat wajah Bumi. Mata sayu Bumi tertumbuk langsung dengan mata sendu Ola. Wajahnya lantas sedikit menunduk untuk menyentuh lagi bibir Ola yang terbuka. "Apa ada yang sakit?" tanya pria itu dengan suara yang terdengar serak. Ola menggeleng dengan wajah memerah. "A-aku nyaman, Kak." Ola kembali memeluk Bumi saat merasakan pipinya kembali memanas. "Habis ini kamu istirahat." Bumi menggapai kepala shower lantas m
Setelah satu bulan lebih bermalas-malasan di rumah orang tuanya, hari di mana Ola harus gabung dengan perusahaan Daniel pun datang. Itu pun sepertinya sang mami agak keberatan bungsunya sudah mulai akan bekerja. "Mami sendirian lagi. Membosankan," gerutu Delotta dengan wajah cemberut. Reaksi itu kontan membuat Ola terkekeh dan langsung merangkul wanita cantik itu. "Aku kan masih tetap tinggal di sini, Mam. Aku janji nggak bakal misah kayak Mas Gyan dan Mbak Kavi," ujar Ola lantas menempelkan pipinya ke pipi Delotta. Daniel yang sedang membaca berita daring sampai memelorotkan kacamata bacanya. "Sudah waktunya Ola merasakan pahitnya dunia kerja, Baby. Biar nggak melulu cuma bisa habisin uang papi.""Ih papi, memang buat apa semua yang kita punya kalau nggak buat anak? Papi jangan pelit-pelit ah," balas Delotta merasa tidak setuju dengan opini sang suami.Merasa dibela, Ola kembali merangkul Delotta. "My Mom is the best!" Daniel di depan mereka cuma berdecak, tidak ingin menimpali da
Mata Bumi memicing ketika melihat Ola dari dalam meeting room sebuah restoran. Jika bukan karena ruangan itu memiliki dinding kaca transparan, dia tidak akan menemukan gadis itu yang tampak ketawa-ketawi dengan seorang lelaki. Ya, Ola baru saja keluar dari salah satu kafe yang berada tepat di seberang restauran tempat Bumi melakukan lunch meeting dengan klien. Gadis itu tidak sendiri. Ada Galen di sebelahnya. Entah mereka bercerita apa, yang pasti wajah Ola tampak berbinar dan sesekali tertawa memperhatikan Galen yang tengah bicara. Refleks pemandangan itu membuat tangan Bumi mengepal. Fokusnya buyar seketika. Bahkan dia tidak merespons ketika Gyan memintanya untuk melanjutkan penjelasan produk kepada klien. Gyan sampai harus berdeham keras untuk mengembalikan kesadaran Bumi. Pria itu melotot saat Bumi terlihat kaget, dan sadar semua orang di sana sedang memperhatikannya. "Maaf, tadi sampai mana?" tanya Bumi mengembalikan ekspresi wajahnya yang sempat mengeras. Beruntung klien tid
"Kamu sangat tahu keseriusanku, Ola. Aku memang belum bilang ke papi, tapi itu nggak lantas membenarkan tindakan kamu jalan sama laki-laki lain!" "Kenapa nggak benar?" tantang Ola dengan nada sinis. "Toh nggak ada yang tau kalau kita pacaran." Ola mengangkat bahu, lalu beranjak duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruangan itu. Bumi menempati apartemen yang lumayan elite, tapi minim perabot di dalamnya. Terkesan kosong malah. Sama halnya ketika di Bandung dulu. Kalau bukan karena sentuhan tangan Ola, apartemen itu pasti tampak gersang. Persis seperti apartemen ini. Bumi memejamkan mata sembari menarik napas panjang. Mencoba meredam emosinya. Dia sangat tahu keinginan kekasihnya. Sebenarnya dia bukan tidak berusaha sama sekali. Beberapa kali dia mencoba bicara dengan Daniel. Hanya saja ketika kata-katanya sudah di ujung lidah, ada saja hal yang membuatnya harus menelan kembali kata-katanya. Seperti Minggu lalu ketika dia tidak menemukan Ola di rumah. Pria itu lantas terlib
"Kalau bikin kamu sakit begini, kenapa dipaksain?" "Biar cantik.""Tanpa pake ini pun kamu udah cantik, Ola." Bumi kembali menekan ibu jarinya dari pergelangan kaki bagian belakang menyusur naik hingga ke pangkal betis mulus milik Ola. "Ya masa aku ngantor pake sneaker?" Ola memejamkan mata, menikmati rasa nyaman yang Bumi berikan dia area bagian kakinya yang pegal lantaran setiap harinya gadis itu menggunakan heels. "Why not? Sneaker bagus kok. Marketing nggak perlu terlalu kaku." Sesi terakhir, Bumi mengangkat dua kaki Ola dan menyilangkannya. Dia menekuk kaki itu dengan sedikit menekan hingga mengeluarkan bunyi 'krttk' pada persendian, membuat Ola seketika terpekik. "Agh!" Dua kali Bumi melakukakan gerakan itu sebelum mengakhiri kegiatannya memijat kaki Ola. "Done. Better?" tanya pria itu. Ola berbalik dari posisi tengkurap menjadi terlentang. "Enakan." Dua tangannya terulur, meminta Bumi mendekat. "Nggak ada laki-laki lain yang kamu peluk kayak gini kan?" tanya Bumi begitu
Ola mengempaskan diri ke ranjang big size di kamar Bumi. Setelah mandi air hangat matanya terasa berat. Terlebih perutnya sudah dikenyangkan spageti karbonara buatan Bumi. Rasanya tidur adalah pilihan terbaik berikutnya. Suara gemiricik air di kamar mandi masih terdengar ketika perlahan kelopak mata Ola mulai menutup. Masih tersisa beberapa jam lagi sebelum dia pulang ke rumah. Mungkin karena badannya yang terasa enak atau tempatnya yang terlampau nyaman, Ola dengan cepat bisa terlelap, tidak peduli dengan handuk yang masih membelit tubuhnya. "Ola, kam—" Bumi yang baru saja keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya dengan handuk mengerjap melihat Ola tertidur di atas ranjangnya. Yang membuat kepalanya lantas menggeleng, gadis itu tertidur sebelum mengganti pakaian. "Anak ini..." Bumi terpaksa menarik selimut, menutupi tubuh Ola. Dia akan membiarkan gadis itu tidur sebelum mengantar pulang ke rumah. Satu jam berlalu belum ada tanda-tanda Ola terjaga dari tidurnya. Menggel
"Kamu nggak bosan seumur hidup bareng aku terus? Dari kecil, dari kamu umur lima tahun." Ola menggeleng dan tersenyum kecil mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia makin merapatkan diri. "Meski hubungan kita nggak mulus, tapi aku bahagia seumur hidup sama kamu. Justru yang harusnya tanya itu aku. Emang kamu nggak capek ngadepin sifat childish aku dari dulu sampai sekarang?""Sebenarnya sih capek." Jawaban Bumi sontak membuat Ola menjauhkan kepala dan menatap lelaki ituu dengan alis tertaut. "kok gitu?!" Reaksi Ola membuat Bumi terkekeh. Pria itu kembali meraih kepala Ola untuk bersandar di pundaknya lagi. "Nggak dong, Sayang. Kalau capek mana mungkin bisa bertahan sampai anak tiga." Mendengar itu Ola ikut terkekeh dan makin merapatkan diri. Matanya terpejam saat tangan Bumi menyentuh perutnya yang sudah makin besar. "Nggak nyangka anak manja seperti kamu bisa melahirkan anak-anak hebat seperti mereka." "Sekarang aku udah nggak manja lagi loh, Kak." "Iya, sekarang Ola si manja da
Jika biasanya Ola liburan ke Eropa bersama keluarganya, kali ini dia memilih destinasi New Zealand. Sesuatu yang tidak dia rencanakan karena terlintas begitu saja. Bumi bilang itu kado kehamilan ketiganya. Ola membuang napas, rasanya jahitan di perut baru saja kering. Membayangkan perutnya akan dibedah ketiga kalinya membuat Ola merinding. "Kamu ibu yang kuat, kamu pasti bisa," ucap Bumi menyemangati dan menenangkan saat Ola gelisah dengan segala pikiran buruk yang ada. "Tapi janji ini yang terakhir ya." "Hu-üm." Kehamilan Ola kali ini tidak seperti kehamilan sebelumnya. Dia menjadi gampang lelah, dan haus. Bahkan morning sick tidak bisa dihindari. Jadi, selama seminggu liburan dia tidak bisa menikmati dengan maksimal. Lebih banyak tinggal di hotel daripada berwisata musim semi. "Aku nggak mau tau, setelah anak ini lahir kamu harus mengajakku ke sini lagi," rengek Ola saat baru keluar dari kamar mandi memuntahkan isi perutnya. Wajahnya memucat, keringat dingin keluar begitu deras
Bumi menyentak tangan Ola yang berdiri di dekatnya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Niat Ola menghampiri anak-anaknya yang sedang asyik main pasir pantai pun urung lantaran Bumi memeluknya begitu erat. Terlebih dengan iseng pria itu mulai mengendus pundaknya yang terbuka. "Kak, nanti anak-anak liat," tegur Ola ketika tangan Bumi menyelinap ke balik kain pantai yang dia pakai. "Anak-anak lagi sibuk sendiri," sahut Bumi, lantas mengecup lembut punggung Ola. Dia terkekeh ketika tubuh istrinya berjengit. Ola masih begitu sensitif dengan sentuhannya. "Kak, udah. Aku harus temeni anak-anak main." Ola berusaha menyingkirkan tangan Bumi yang masih bergerak naik turun di atas pahanya. Alih-alih berhenti pria itu makin menjadi. Ola sampai melebarkan mata saat merasakan tangan Bumi merambat ke dadanya. Buru-buru dia menjauhkan tangan nakal itu dari sana dan menggeram. "Ada Gyan dan Javas, mereka aman. Kita kembali ke cottage dulu, ya," bujuk Bumi saat Ola berusaha lepas dari kungkung
Kaki-kaki kecil berlarian di lantai rumah besar milik Daniel. Suara celotehan anak-anak terdengar meriah di setiap penjuru ruangan. Sesekali suara tangisan saling bersahutan saat mereka saling berebut mainan. Sebentar kemudian tawa-tawa lucu mereka bersusulan. Pemandangan itu-lah yang Daniel inginkan. Menghabiskan masa tua dengan cucu-cucunya yang melimpah ruah. Daniel sedang menikmati teh hangat yang sudah Delotta sajikan saat suara tangisan Vyora--anak kedua Ola--melengking. Hampir saja dia menyemburkan isi mulutnya sebelum bergegas meletakkan cangkirnya kembali. Dengan cepat pria tua itu melangkah mendekati sang cucu yang mukanya sudah memerah. "Hei, hei, cucu kesayangan Opa kenapa?" tanya pria itu sambil menggendong anak perempuan berusia satu tahun itu. "Adek digigit semut, Opa," jawab Vion--anak pertama Ola--seraya sibuk dengan mainan di tangannya. "Digigit semut? Mana coba Opa liat." Vion langsung meninggalkan mainannya lalu menunjuk paha chubbi Vyora yang memerah. "Tuh li
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari