"Ya ampun, Kak Ola. Repot banget kamu nganterin ke sini. Padahal tadi WA aja sih." Ola tersenyum sambil menyerahkan satu kotak dus berisi buku-buku mata kuliah kepada Irma. Salah seorang adik tingkat, yang meminta agar buku-buku materi yang Ola punya diwariskan padanya. "Nggak apa-apa. Aku sekalian buang sampah tadi." "Makasih banyak, Kak. Misal kamu perlu bantuan lagi tinggal bilang ya, Kak." "Udah beres semua kok, Ir. Tinggal cabut aja." "Wah, sukses terus ya buat kamu, Kak. Semoga ke depannya makin lancar. Insyaallah aku datang ke wisudaan ntar." Ola menatap suasana kosan tiga lantai ini dari bawah. Akhirnya datang, hari di mana dia meninggalkan tempat yang sudah menjadi rumahnya selama hampir lima tahun ini. Saksi perjuangannya selama menjadi mahasiswa. Ola pasti akan merindukan kos-kosan yang terawat ini. Ola memutar langkah. Namun, baru saja hendak kembali ke lantai dua ponselnya berdering. Dia merogoh saku celana dan melihat layar ponselnya berkedip menampilkan nama Galen
"Mas Gyan harus bayar kompensasi ke aku. Pelit banget, masa cuma kasih kamu cuti dua hari?" "Kerjaan benar-benar lagi padat banget, Ola." Bumi menyingkirkan anak rambut Ola yang menjuntai. "Kamu akan tahu gimana sibuknya kami kalau udah kerja di sana." "I can't wait kerja bareng kamu." Ola tersenyum sampai matanya menyipit, lalu memeluk Bumi erat-erat seolah tidak mau melepasnya lagi. "Kayaknya kamu menikmati banget hidup jauh dari aku?" tanya Bumi, mengingat beberapa bulan terakhir gadis itu benar-benar mengabaikannya. "Kata siapa? Bukannya sebaliknya? Di pusat kan banyak karyawan cantik-cantik. Kamu betah kan di sana? Bebas godain mereka karena nggak ada aku. Kamu pasti udah kepincut salah satu dari mereka, makanya males balesin chat-chat aku."Mendengar itu Bumi memutar bola mata. Kenapa wanita suka sekali memutar balikan fakta? Bumi tidak punya waktu untuk hal-hal yang tidak berguna seperti itu."Gimana dengan Galen? Kayaknya akhir-akhir ini kamu intens ketemu dia? Ada yang ak
Bumi menangkap tangan Ola yang bergerak nakal di dadanya. Dia menyunggingkan senyum dan menahan tangan gadis itu agar tidak bisa bergerak lagi. Napasnya berembus pelan. "Yang tadi belum cukup?" tanya Bumi dengan mata terpejam, ngantuk. "Memang kita pernah cukup?" Ola bergerak memeluk pria itu setelah berhasil menarik tangannya kembali. "Kak..." "Hm..." "Setelah prosesi wisuda besok, kamu bakal umumin hubungan kita kan?" Ola berharap Bumi bisa menjawab pertanyaan dengan segera. Namun beberapa lama menunggu pria itu belum juga bersuara. "Kak... Kamu tidur?" Kepala Ola terangkat. Mata Bumi memang terpejam, tapi dia tahu lelaki itu belum tidur. "Kak, jawab dong. Jangan malah pura-pura tidur. Sudah lebih dari dua tahun kita backstreet, aku juga udah lulus. Mau sampai kapan kita main rahasiaan terus sama mereka?" Bumi masih bergeming. "Kamu nggak niat rahasiain ini selamanya kan?" Melihat belum ada tanggapan dari pria itu Ola beranjak menjauh. Dia menarik selimut dan bergerak memungg
"Mas Gyan keterlaluan. Ini kan masih cutinya Kak Bumi. Bisa-bisanya Mas nyuruh Kak Bumi kerja!"Ola berkacak pinggang sambil memelotot garang. Beberapa menit lalu dia dan Gyan baru saja mengantar Bumi yang akan pergi menemui klien. Di saat mereka harusnya masih berada di suasana bahagia atas kelulusan Ola. Bumi malah langsung cabut begitu makan-makan bersama selesai. Gyan meringis sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Sori ya, Dek. Terpaksa. Mbak kamu lagi tantrum dari kemarin. Mas harus bujukin dia dulu supaya moodnya balik lagi.""Tapi kan—" Belum juga lanjut mengomel pria itu sudah kabur. Seharusnya ini menjadi momen yang membahagiakan, tapi dia malah ditinggal sendirian. Daniel dan Delotta sudah lebih dulu masuk ke kamar hotel lantaran kelelahan. Kavia dan Javas entah ke mana rimbanya. Lalu Gyan, dia masih sibuk bujukin istrinya yang sedang uring-uringan. Ceritanya akan beda kalau Yara dan Galen masih ada di sini. Namun kedua sahabatnya itu langsung pulang ke Jakarta
"Geser dikit ke atas. Nah! Begitu. Terus agak kencengan biar enak." "Kak, pegel nih.""Belum selesai, Ola. Kamu tekan dikit lagi pake tenaga.""Ini udah paling pol!" "Agh! Enak banget, Sayang." "Kamu yang enak, tanganku pegel. Kapan nih selesainya? " "Ini belum ada satu jam." Ola mendesah. Hampir menangis lantaran tangannya sudah kelelahan memijat kaki panjang Bumi yang sekeras batu. "Kasih diskon waktu, Kak." "Mana ada hukuman pake diskon. Udah, lanjutin aja. Jangan banyak protes. Siapa suruh nggak nurut." Masih dengan posisi tengkurap dengan kepala merebah nyaman di atas bantal, Bumi tersenyum geli melihat Ola manyun. Wajah gadis itu masam, tapi herannya masih terlihat begitu cantik dan menggemaskan. "Ini hari kelulusanku. Tega-teganya kamu hukum aku begini," keluh Ola lagi. Untuk ke sekian kalinya. "Dari pada nyuruh aku pijat, mending Kak Bumi panggil terapis spa hotel aja." Sontak kepala Bumi terangkat dan menoleh ke belakang punggung. "Memang kamu nggak keberatan kalau t
Kemunculan Gyan yang tiba-tiba membuat Bumi terpaksa sembunyi di kamar mandi. Sementara Ola dengan malas menyeret kaki ke pintu. "Mana aku tau, Mas Gy kan bosnya!" sahut Ola begitu membuka pintu. Bibir Gyan berkerut selaras dengan pangkal alisnya yang ikut mengeriting. "Aneh banget. Harusnya dia udah balik." Dia melirik pergelangan tangan. "Aku kira dia main sama kamu. Ya udah aku ke bawah dulu. Lebih baik kamu turun juga. Mami sama papi udah nunggu buat makan malam sama-sama." "Hm, iya." Ola mengibas-ngibaskan tangan meminta Gyan segera pergi. Dia terus memperhatikan pria itu menjauh. "Apa?" tanya Ola saat Gyan menoleh lagi dan menatap heran padanya. Mungkinkah pria itu curiga?"Telpon Bumi, suruh dia juga cepet turun ke bawah," seru Gyan lagi sebelum benar-benar hilang di telan belokan koridor. Ola segera masuk dan menutup pintu dengan embusan napas kasar. Saat matanya melirik ke arah kamar mandi, Bumi sudah keluar dengan wajah basah. Seperti habis cuci muka. "Cap bibir kamu b
"Minum dulu, Mbak." Ola menyodorkan air mineral yang tutupnya sudah dia buka kepada Resta. Bukan hanya wanita itu yang terkejut, Ola pun sama terkejutnya saat melihat istri Gyan itu ada di koridor. Sekarang dia terserang panik, meskipun sebisa mungkin tetap menunjukkan raut baik-baik saja. Ola bahkan langsung mengevakuasi Resta sebelum wanita itu lari ke kamarnya sendiri dan laporan ke Gyan. Ola memang ingin semua keluarga tahu tentang hubungannya dengan Bumi, tapi caranya bukan seperti ini. "Kalian..." Seolah kembali sadar, Resta menatap Ola dan Bumi secara berganti. "Nggak mungkin punya hubungan kan?" wanita itu menatap keduanya dengan tatapan jeri."Mbak..." Ola yang duduk di bawah segera meraih tangan kakak iparnya. "Mbak tau kan kalau Kak Bumi nggak ada hubungan darah sama kami, anak-anak mami dan papi?" tanya Ola hati-hati. Yang dibalas anggukan pelan istri kakaknya itu. "Please, janji sama aku nggak ngasih tau siapa pun dulu." "Maksudnya kalian pacaran tapi nggak ada yang t
"Capek?" Ola yang bergelayut ke lengan Bumi menggeleng. Meski rambutnya sudah kusut dan wajah gadis itu tampak mengantuk, aura cantiknya terpancar begitu alami. Jika bukan di tempat umum, Bumi sudah melarikan bibirnya, mencicipi bibir Ola yang masih tampak mengkilap karena sapuan lip gloss. "Mau makan sesuatu dulu?" tanya Bumi lagi. Saat ini keduanya sudah mendarat di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat setelah menempuh perjalanan udara kurang lebih sekitar 6 jam. Perjalanan untuk ke lokasi masih belum selesai. Setelah ini keduanya akan lanjut melakukan perjalanan laut menggunakan kapal cepat menuju Waisai. Salah jika Ola pikir ini adalah liburan ala-ala honeymoon. Ketika Ola sedang sibuk membereskan baju yang akan dia bawa ke sebuah travel bag, Bumi menggeleng dan malah memberinya sebuah backpacker dengan alasan akan lebih ringkas jika menggunakan tas punggung. "Nggak, kita nggak akan sendiri. Dari Waisai ada orang resort yang akan menjemput kita dan tamu lainn
Tepuk tangan bersahutan ketika Bumi berhasil memotong pita, tanda dibukanya bengkel baru di Kota Surabaya. Senyum lebar serta ucapan terima kasih dia layangkan. Jabatan tangan bersama pemilik perusahaan otomotif yang bekerjasama dengannya pun terayun erat. Setelah pemotongan pita para tamu yang hadir lantas berkeliling untuk melihat area bengkel. Area bengkel yang luas serta peralatan yang lengkap membuat bengkel ini bisa menampung lebih banyak mobil yang akan diservis. Fasilitas juga ditambah, seperti ruang tunggu yang nyaman juga area play ground. Selain memperkenalkan bengkel baru, mereka juga memperkenalkan tipe mobil keluaran terbaru yang beberapa bulan lalu launching. Banyak promo yang ditawarkan baik dari showroom mau pun bengkel di acara grand opening ini. Ola memilih duduk di sofa lantaran merasa kelelahan. Sejak bangun pagi tadi, sebenarnya dia merasa kurang enak badan. Namun karena ini hari penting bagi Bumi, dia bersikap seolah tidak ada masalah. Sejauh ini dia bisa men
Ola meletakkan satu gelas susu hangat di meja kerja Daniel ketika pria tua itu tengah fokus membaca sebuah dokumen. Daniel mengangkat wajah, dan sontak tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Langkah Ola lantas bergerak ke belakang kursi sang papi dan melihat apa yang yang tengah pria itu baca. "Apa nggak sebaiknya papi istirahat aja?" tanya Ola saat tahu apa yang papinya baca itu sebuah proposal pendirian perusahaan baru milik Bumi. "Papi akan istirahat setelah baca proposal milik suamimu ini. Kenapa kamu nggak tidur?" "Sebenarnya aku sudah tidur. Aku tadi haus jadi kebangun. Terus liat ruang kerja papi lampunya masih nyala." Ola menunduk, lantas mengambil alih proposal itu dari tangan Daniel. "Papi minum susu itu terus pergi tidur." Kepalanya menggeleng ketika mulut Daniel terbuka dan terlihat ingin mengambil kembali proposal tersebut. Ola tidak memberi kesempatan papinya untuk protes. Dia tersenyum menang ketika Daniel tampak menyerah. "Oke, papi akan minum susu buatan my
"Ada opening bengkel baru di Surabaya, kamu mau ikut?" Enam bulan belakangan, selain sibuk mengurus tetek bengek pembukaan pabrik, Bumi juga sibuk mengurus pembukaan cabang bengkelnya yang baru di Surabaya. Satu per satu bengkel miliknya didirikan secara berkala di kota-kota besar bergabung dengan sebuah showroom perusahaan mobil yang bekerjasama dengannya. "Kapan?" "Pekan depan. Sekalian berkunjung ke rumah Kakek Gunadi.""Boleh, tapi aku nggak bisa lama. Kamu kan tahu aku masih belum diizinin Mas Gyan buat ambil cuti."Bumi terkekeh kecil lantas menekan kakinya agar ayunan yang dirinya tempati bersama Ola bergoyang. Saat ini keduanya memang tengah bersantai menikmati sore di taman belakang yang berdampingan dengan kolam renang. Biasanya tempat ini dikuasai Daniel dan Delotta jika sore menjelang. Namun kali ini sepasang suami istri itu sedang tidak ada di rumah. "Gyan itu masih pelit banget kalau ngasih cuti. Harus ada alasan yang urgent banget baru bisa dikabulin permohonan cuti
"Aku tau akhirnya pasti begini." Kekehan Bumi terdengar lirih saat mendengar kalimat itu. Sekarang ini dirinya masih merebah di atas kasur dengan Ola yang memeluknya seperti guling. Salah satu paha wanita itu menindih perutnya. Sehingga Bumi bisa dengan bebas mengusap paha terbuka itu dengan mudah. "Nggak sabaran," ucap Ola lagi. Dia bergerak menarik kakinya, tapi dengan cepat Bumi menahannya. "Kak!" "Sebentar, kamu mau ke mana sih?" "Sebentar lagi pasti Bibi nyuruh kita turun buat makan malam. Terus kita mau selimutan terus begini?" Ola menyingkir karena dia merasakan milik Bumi sudah kembali menegang. Kalau harus tambah satu permainan lagi, dia akan lebih lama terkurung di kamar. Akibatnya papi pasti ngomel karena mereka tidak ikut makan malam lagi. Lagi? Ya, karena kejadian seperti itu tidak cuma sekali dua kali sejak mereka pulang dari Raja Ampat. Bumi memiliki hobi baru yaitu mengurung Ola di kamar setelah wanita itu pulang kerja. Dengan gemas Bumi mencium pipi Ola. "Ngga
"Memang kalian nggak bosan ke Raja Ampat? Atau suami lo nggak mampu biayain honeymoon? Ola, kalau lo butuh sponsor, bilang dong!" Kalimat itu terlontar dari mulut seorang Galen. Pria itu memasang wajah meremehkan saat Ola bilang baru balik dari Raja Ampat. Terang saja hal itu membuat Ola jengkel dan rasanya ingin menyiram muka sohibnya itu dengan air kobokan. "Bukannya laki gue nggak mampu, ya. Tapi kami emang udah janji mau balik ke sana kalau kami dapat izin nikah. Jadi ini tuh semacam utang yang wajib kami penuhi," ujar Ola dengan nada gemas. Dengan kesal dia menyambar jus jeruknya. Langit Jakarta mulai gelap lantaran mau hujan, tapi dada Ola malah kepanasan. "Poinnya itu, bukan ke mana kita pergi. Tapi dengan siapa kita pergi," timpal Yara. "Meski perginya ke surga, tapi kalau ke sananya sama lo, jelas nggak bakal bikin happy si Ola." "Nah!" Merasa dapat pembelaan, Ola kembali bersemangat. Dia kembali tersenyum puas ketika melihat wajah Galen memberengut. "Asyik enggak kemari
Sudah lebih dari tiga hari di Raja Ampat, kegiatan yang Bumi dan Ola lakukan hanya di seputar pantai dan kamar. Tidak peduli pada kegiatan diving atau jelajah alam yang diatur oleh pihak resort. Mereka berdua memilih menghabiskan waktu di sekitar resort. Lebih tepatnya Bumi yang ingin tetap di dalam resort. "Capek, Yang. Kita kan udah pernah. Mending di kamar, kelonan. Sama juga olahraga kan?" sahut Bumi sambil malas-malas di dalam selimut ketika Ola berinisiatif mengajaknya ikut rombongan diving. "Memangnya kamu nggak bosan, Kak?" Sambil menarik pinggang Ola mendekat, pria itu berujar. "Mana mungkin aku bosan kalau bisa peluk kamu gini." Tangannya yang nakal lantas bergerak pelan menggelitiki perut Ola, sampai wanita itu tertawa geli. "Seenggaknya kita harus renang. Aku mau meluncur di dekat dermaga."Mendengar kata renang dan meluncur, sebuah ide terlintas di kepala Bumi. "Kamu mau coba hal baru nggak?" tanya Bumi sambil menahan senyum. "Aku yakin kamu pasti suka." Alis Ola men
Desahan Ola kembali mengudara ketika puncak dadanya kembali tenggelam di mulut hangat suaminya. Genggamannya pada kain yang mengalasi tempat tidur terlepas ketika hawa panas tubuhnya kembali tinggi. Telapak tangan Bumi yang tidak mau berhenti meraba membuat libidonya naik seketika. Rasa sakit di bawah sana pun mendadak tersamarkan. "Kamu merasa lebih baik?" tanya Bumi sesaat setelah melepas kulumannya. Dengan wajah memerah Ola mengangguk. Sakit tapi juga nikmat. Itu hal yang tidak bisa dia ungkapkan sekarang. "Boleh aku bergerak sekarang?" Bumi merasa perlu izin karena tidak ingin membuat istrinya kesakitan lagi. Dan lagi-lagi pertanyaannya hanya dibalas anggukan. Perlahan dia pun menggerakkan pinggul. Terlihat sangat hati-hati. Namun sepelan apa pun dia bergerak, wajah Ola masih terlihat kesakitan. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanya Bumi sekali lagi untuk memastikan lanjut atau berhenti. Dua tangan Ola terjulur dan menyentuh bahu Bumi. Dia memang masih merasakan nyeri, tapi jug
Ola menggigit bibir melihat Bumi berdiri di bawah siraman air shower dengan kepala menunduk. Setelah membuat pria itu kecewa, Ola terlihat begitu menyesal. Mungkin saat ini Bumi tersiksa karena harus menahan hasrat. Pria itu tidak mengatakan apa pun, tapi Ola tahu Bumi pasti sangat kecewa padanya. Bukankah selama ini dia yang selalu menggoda? Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, Ola menyelinap masuk ke kamar mandi. Berjalan pelan mendekati Bumi, lalu memeluk tubuh pria itu dari belakang, hingga dirinya ikut tersiram air dari shower kamar mandi dengan konsep natural itu. Bumi yang tengah mendinginkan tubuh, agak tersentak ketika sepasang lengan mendekapnya. Dia tahu itu Ola, istrinya. "Maafin aku, Kak," bisik wanita itu kemudian. Bumi menarik napas sebelum melepas pelukan Ola dan memutar badan. "Kenapa kamu nggak istirahat?" tanya pria itu seraya mengusap rambut Ola yang basah. "Kak, aku mau melakukannya sekali lagi." Sejak berdiri di ambang pintu kamar mandi dan melihat
"Se-sebentar?"Dahi Bumi mengernyit ketika Ola menahan dadanya ketika dia hendak mendekat. "Ada apa?" "I-itu, apa bisa masuk?" tanya Ola dengan wajah ragu. Sejujurnya dia masih syok dengan sesuatu yang dilihatnya. Oke, fine. Dia sering iseng ingin menyentuh atau melihat sebelumnya, tapi ketika Ola benar-benar bisa melihat benda itu, dia merasa ngeri sendiri. Apa bisa benda panjang dan besar itu menembus miliknya yang hanya memiliki lubang kecil, sekecil lubang semut? Ya Tuhan! Bumi terkekeh melihat wajah tegang sang istri. Dengan lembut dia menyentuh sisi wajah Ola. "Tentu saja bisa, Sayang. Kenapa nggak bisa? Milik wanita kan elastis. Mungkin awalnya sakit, tapi setelahnya enggak lagi.""Ka-kamu yakin?"Bumi terkekeh. Merasa geli melihat ekspresi Ola saat ini. "Kamu takut? Bukannya kamu yang biasanya suka godain aku biar ini..." Ola terperanjat ketika Bumi menyentak pangkal pahanya hingga benda itu tepat mengenai perutnya. "...bisa masuk ke dalam kamu." Ola meringis dengan alis m