Hari demi hari berlalu dengan suasana yang kian suram di kehidupan Betran. Setelah insiden histeris yang dialami Veronica, dokter menyarankan agar ia dirawat intensif di rumah sakit jiwa. Keputusan itu berat bagi Betran, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Mental Veronica kian memburuk, bahkan tidak lagi mengenali kenyataan. Veronica kini menghabiskan hari-harinya di kamar putih tanpa jendela, sering kali berbicara sendiri sambil memeluk perutnya. “Bayiku akan baik-baik saja… kau akan lihat, Betran. Kita akan jadi keluarga bahagia…” kalimat itu terus diulanginya, seolah menjadi mantra yang menahan pikirannya dari kehancuran total.Di Ruang Direktur Rumah Sakit Jiwa“Veronica akan membutuhkan waktu lama untuk pulih, jika itu memungkinkan,” ujar seorang psikiater yang duduk di hadapan Betran. Betran mengangguk lemah, wajahnya tak lagi memancarkan kebanggaan yang dulu selalu ia tunjukkan. “Lakukan apa pun yang perlu, Dok. Aku hanya ingin dia tidak menderita lagi…” Psikiater itu menata
Tidak terasa, Kehamilan Aluna sudah memasuki usia delapan bulan. Perutnya membesar, namun ia tetap terlihat anggun dengan balutan gaun rumah berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kaisar semakin perhatian. Dia selalu memastikan Aluna tidak kelelahan, bahkan mengatur jadwal pekerjaan Aluna agar tidak terlalu padat. Kaisar memandang perut Aluna dengan senyuman bangga. “Bagaimana hari ini? Bayi kecil kita sudah mulai menendang lagi?” Kaisar bertanya sambil duduk di samping Aluna di sofa besar. Aluna terkekeh kecil. “Bayi ini memang aktif. Setiap malam, dia seperti berlatih menari di perutku.” Kaisar menatap Aluna penuh kasih, lalu mengelus lembut perutnya. “Aku tahu dia bukan anak kandungku, tapi aku akan mencintainya sepenuh hati. Dia adalah anak kita, Aluna. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Senyuman Aluna menghangat. Ia merasa begitu bersyukur memiliki Kaisar di sisinya, seseorang yang tidak pernah mempermasalahkan masa lalu, melainkan fokus pada masa depan m
Kania duduk dengan raut wajah serius di depan Betran. Sejak kehilangan segala-galanya, hanya Kania, ibunya, satu-satunya orang yang masih bisa ia ajak bicara. Meskipun hidup Kania kini juga berantakan, ia tetap merasa ada kesempatan untuk kembali berdiri jika bisa memanfaatkan Aluna. “Betran, kau harus bangkit,” ucap Kania dengan suara penuh tekanan. “Kau tahu Aluna itu masih istri sahmu, kan? Sebelum dia melahirkan dan benar-benar bercerai, kau punya hak penuh atasnya.” Betran yang tengah meminum segelas alkohol menghentikan gerakannya. “Aku sudah mencoba, Mom. Aku sudah datang ke mansionnya. Tapi Aluna dingin seperti batu. Dia tidak akan memaafkanku.” Kania mendengus, menatap Betran dengan sinis. “Kau ini lemah sekali! Tentu saja dia tidak akan langsung menerima kalau kau hanya datang dan merengek. Kau harus punya rencana. Kau harus lebih pintar!” “Rencana apa?” Betran menatapnya dengan malas. “Kaisar Amartha selalu berada di sisinya. Lelaki itu sempurna, kaya, dan berkuasa.
Setelah Betran pergi, Kaisar mengajak Aluna ke taman. Angin sore berhembus lembut di sekitar taman yang dipenuhi bunga bermekaran. Aluna, yang kini sedang hamil besar, berjalan perlahan di samping Kaisar. Tangannya digenggam erat oleh pria itu, memberikan rasa aman dan nyaman. Kaisar selalu memastikan setiap langkahnya terasa ringan, sesekali menatapnya dengan penuh perhatian.“Kau ingin istirahat sebentar? Kita bisa duduk di bangku dekat air mancur itu,” tanya Kaisar sambil menunjuk sebuah bangku di bawah pohon rindang.“Boleh,” jawab Aluna sambil tersenyum kecil.Namun, belum sempat mereka mencapai bangku itu, langkah Aluna terhenti. Di depannya berdiri Kania, mantan mertuanya, yang kini tampak berbeda dari biasanya. Pakaian mahal yang dulu selalu dikenakan Kania telah tergantikan dengan gaun sederhana. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tapi matanya tetap penuh tekad.“Aluna,” suara Kania bergetar. “Aku ingin bicara.”Aluna menatap Kania dengan dingin, mengangkat dagunya sedikit. “Ad
Setelah kembali ke rumah, Kania melempar tasnya ke sofa dengan kasar. Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh amarah. Langkah-langkahnya menghentak lantai, mempertegas betapa kesalnya dia. Tak lama, Betran muncul dari ruang kerjanya, mendengar kegaduhan yang dibuat oleh ibunya. "Ada apa lagi, Mom?" tanya Betran, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski dia tahu percakapan ini pasti tidak akan menyenangkan. Kania berbalik, menunjuk Betran dengan jari telunjuknya yang bergetar. "Kau tahu apa yang baru saja terjadi padaku, Betran? Kau tahu apa yang wanita itu—Aluna—lakukan padaku?" Betran menghela napas panjang, lalu duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. "Mom, aku sedang sibuk. Jangan bawa masalah ini sekarang." "Sibuk?!" Kania memekik. "Aku dihina, dipermalukan oleh wanita itu, dan kau malah bilang kau sibuk? Kau ini anakku atau bukan, Betran?" Betran berdiri, mencoba menenangkan Kania. "Mom, duduklah dulu. Ceritakan apa yang terjadi." Kania menepis tangan
Dua hari kemudian, Betran berjalan keluar dari sebuah gedung perkantoran dengan wajah muram. Jasnya yang sudah lusuh menunjukkan betapa terpuruknya hidupnya sekarang. Lamaran kerjanya kembali ditolak. Sudah kali keempat dalam minggu ini. Ia tidak bisa lagi mengandalkan koneksi lamanya karena nama Betran telah masuk daftar hitam di hampir semua perusahaan besar, berkat kekuatan Chandra Grup. "Dasar Kaisar," gumam Betran dengan suara penuh amarah saat berjalan menuju mobilnya yang sudah tua. "Dia pikir dia siapa, mengatur seluruh dunia untuk menjatuhkanku? Ini belum selesai." Ia menyalakan mesin mobilnya dan melaju tanpa arah. Hatinya terus bergemuruh, penuh dengan rasa frustrasi dan dendam yang semakin membara. Di tengah perjalanan, teleponnya berdering. Ia mengangkatnya dengan malas tanpa melihat siapa yang menelepon. "Halo?" suaranya terdengar kasar. "Bagaimana hasilnya, Betran?" suara Kania terdengar di seberang. Betran menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Ditolak l
Esok nya, Kaisar baru saja selesai menghadiri sebuah rapat penting di salah satu vila pribadinya di luar kota. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk tidak membawa bodyguard. Kaisar bukan orang yang sembarangan, tetapi kadang-kadang ia merasa terlalu banyak pengawalan membuatnya kehilangan privasi. Saat mobilnya melaju di jalanan sepi menuju kota, dua SUV hitam mendadak memotong jalannya. Sopir Kaisar panik, mencoba mundur, tetapi dari belakang sudah muncul mobil lain yang memblokir. Dalam hitungan detik, pintu mobil Kaisar dibuka secara paksa oleh beberapa pria bertopeng. Salah satunya adalah Roy. “Kaisar Amartha, akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu,” Roy berkata dengan nada mengejek, wajahnya tak ditutupi topeng. Kaisar menatap Roy dengan tenang meskipun keadaan jelas berbahaya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin. Roy tersenyum sinis. “Hanya sedikit waktu dan perhatianmu, Tuan Besar. Tapi jangan khawatir, kami akan membawamu ke tempat yang nyaman untu
Aluna duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggam tangan Kaisar yang terbaring dengan tubuh penuh luka. Matanya sembap karena menangis tanpa henti sejak tadi malam. Selang-selang infus dan alat bantu pernapasan membuat sosok Kaisar terlihat begitu lemah, jauh berbeda dari pria tangguh yang selama ini menjadi pelindungnya. “Kaisar…” bisik Aluna dengan suara serak, nyaris tidak terdengar. “Bangunlah, aku butuh kamu. Kamu yang selalu bilang akan melindungiku, tapi kenapa sekarang malah seperti ini?” Air matanya kembali mengalir deras, membasahi pipinya. Seorang dokter masuk ke ruangan dengan langkah pelan, diikuti oleh seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Kaisar tanpa banyak bicara, memberikan pandangan penuh simpati kepada Aluna sebelum keluar lagi. Aluna mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengumpulkan keberanian. Pikirannya berkecamuk, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan orang yang menyakiti Kaisar lolos begitu saja. ****Di ruang keluarga mansion,
Aluna turun dari mobil dengan wajah lelah. Hari ini benar-benar panjang, ditambah pikirannya masih kacau setelah berbicara dengan Kaisar. Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia langsung disambut oleh babysitter yang terlihat panik. "Nyonya Aluna, Baby Alva rewel sejak tadi. Susah makan, susah minum susu juga," ujar babysitter itu cemas. Aluna mengerutkan kening. "Kenapa? Apa dia demam?" Babysitter menggeleng. "Tidak demam, tapi terus menangis. Saya sudah mencoba berbagai cara, tapi tetap saja dia menolak makan." Tanpa menunggu lebih lama, Aluna segera menuju kamar Baby Alva. Sesampainya di sana, ia melihat putranya yang masih terisak di tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, matanya sembab karena menangis. "Sayang, Mama di sini," ujar Aluna lembut, segera mengangkat tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Baby Alva mengusap matanya dengan tangan mungilnya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Aluna. "Ada apa, hm?" Aluna membelai rambutnya pelan. "Kenapa tidak mau maka
Aluna mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka topik yang sejak tadi mengganggu pikirannya. “Kaisar, sebenarnya ada hal lain yang ingin aku bicarakan,” ujar Aluna dengan nada serius. Kaisar mengangkat alis, memusatkan perhatiannya pada Aluna. “Apa itu, Aluna?” “Perusahaanku, Chandra Grup, sedang dalam masalah.” Aluna menyerahkan laporan yang sudah ia siapkan di dalam tasnya. “Ada penurunan signifikan dalam pasar penjualan kita. Setelah diselidiki, ada kejanggalan. Tampaknya seseorang mencoba merusak reputasi perusahaan dari dalam.” Kaisar membuka laporan itu, membaca dengan seksama. Wajahnya berubah serius. “Ini bukan sekadar kejatuhan pasar biasa. Tampaknya ada sabotase.” “Itulah yang aku khawatirkan,” Aluna mengangguk. “Aku sudah meminta tim investigasi internal, tapi hasilnya nihil. Sepertinya mereka yang terlibat sangat pandai menutupi jejak.” Kaisar menatapnya dalam. “Aku akan mencoba membantu menyelidiki. Mungkin dari sisi lain, kita bisa me
Aluna duduk di kursi kerjanya dengan wajah tegang. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia mencoba menemui Kaisar di rumah sakit, namun selalu gagal. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi tetap saja bayangan Kaisar terus muncul di kepalanya. "Asisten," panggil Aluna dengan suara tegas. Seorang wanita muda bernama Siska segera masuk ke dalam ruangannya, membawa setumpuk dokumen.Ya, sudah tiga hari ini Aluna mengganti asistennya. Asisten sebelumnya sedang cuti beberapa bulan, tugasnya ia serahkan pada Siska, sepupunya. "Ada perkembangan dari laporan yang aku minta?" tanya Aluna, menyandarkan punggungnya ke kursi. Siska mengangguk, meletakkan beberapa lembar kertas di meja. "Setelah saya dan tim melakukan penyelidikan, kami menemukan adanya kejanggalan dalam pasar." Aluna mengambil laporan itu dan mulai membacanya dengan seksama. Dahinya mengernyit. "Penjualan turun drastis di beberapa wilayah utama, terutama yang sebelumnya menjadi pasar terbesar kita
Aluna melangkah dengan cepat memasuki lobi rumah sakit, dadanya berdebar kencang. Setelah mendengar kabar bahwa Kaisar—atau sekarang dikenal sebagai Raja—sudah dipindahkan dari ICU ke ruang rawat biasa, ia tak bisa lagi menahan diri untuk menemuinya. Namun, baru saja ia hendak menuju lift, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri menghadangnya. “Jangan harap kau bisa menemuinya,” suara dingin Ratu menyentak telinga Aluna. Aluna menatap wanita itu dengan tajam. Ia tahu sejak awal Ratu bukan wanita sembarangan, tapi tak disangka, Ratu bisa sekejam ini. “Aku datang bukan untuk bertengkar, aku hanya ingin melihatnya,” ucap Aluna, mencoba menahan emosinya. Ratu menyilangkan tangan di dadanya. “Tidak perlu. Dia sudah punya aku. Dia tidak butuh kau lagi.” Aluna tersenyum miring. “Raja adalah Kaisar, bukan?” tanyanya tegas. Ratu mendengus. “Lalu?” “Kaisar adalah tunanganku,” lanjut Aluna, tatapannya semakin tajam. Ratu terkekeh sinis. “Benar, dia memang Kaisar. Tapi kau
Beberapa hari berlalu. Raja terbaring tak berdaya di ruang ICU rumah sakit. Meski matanya terpejam dan tubuhnya lemah, ada perasaan yang menggelora dalam dirinya. Ingatannya yang hilang perlahan kembali, seperti sepotong puzzle yang mulai tersusun. Ketika perlahan matanya terbuka, rasa sakit di kepalanya terasa amat perih. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu terang. Sensasi itu seolah mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa hari lalu, kecelakaan yang menyebabkan semuanya menjadi kacau. Raja menatap langit-langit rumah sakit, mencoba mengingat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan, bayangan-bayangan dalam memorinya yang hilang kini mulai muncul kembali. Sosok dirinya—Kaisar Amartha—muncul dalam pikirannya, begitu jelas dan begitu nyata. "Aku... Kaisar Amartha," gumamnya pelan, kebingungan dan kebahagiaan bercampur dalam hatinya. Namun, perasaan itu tak bisa bertahan lama. Di tengah kebingungannya, ia mendengar suara langkah kak
Raja menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang setelah keluar dari rumah Raini. Pikirannya dipenuhi berbagai hal—tentang Aluna, Baby Alva, dan perasaannya yang semakin jelas. Ia tak menyadari sebuah truk besar di depannya tiba-tiba berhenti mendadak. “BRAK!” Benturan keras terdengar ketika mobil Raja menabrak bagian belakang truk. Kepalanya membentur setir dengan keras meskipun airbag terbuka. Darah segar mengalir di pelipisnya, tubuhnya lemas, dan kesadarannya mulai menghilang. Orang-orang di sekitar tempat kejadian segera berlari mendekat. “Panggil ambulans!” teriak seseorang. Tak lama kemudian, ambulans datang dan membawa Raja ke rumah sakit. Wajahnya penuh darah, dan kondisinya terlihat mengkhawatirkan. Saat tiba di rumah sakit, dokter langsung membawanya ke ruang operasi karena benturan di kepalanya cukup parah. *** Di ruang tunggu rumah sakit, Ratu mondar-mandir dengan wajah panik. Air matanya terus mengalir, tak bisa disembunyikan lagi. Ia menggenggam ponselnya erat
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil