Rendi berlari menuju ruang praktek lalu mengambil tasnya. “Sus, saya ada keperluan mendadak. Tolong handle dulu pasien-pasien saya. Tidak ada yang darurat, kan?” Rendi bertanya sambil memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya.Seorang asisten yang diajak bicara, segera menanggapinya. “Tidak ada yang darurat, Dok. Semua masih aman.” jawabnya yakin.“Baiklah, saya tinggal dulu, ya.” Setelah mengatakan itu Rendi bergegas keluar dari ruang praktek.Rendi berjalan setengah berlari menuju parkiran mobil. Saat ini, yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana caranya dia cepat menemukan Maira dan membawa istrinya itu kembali. Rendi sudah bersiap untuk melajukan mobilnya. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nama sang mama tertulis dalam layar berkedip itu. “Hallo, Ma? Ada apa?” tanya Rendi sambil membelokkan mobil menuju jalan raya. Ia menunda untuk masuk ke jalan karena suara sang mama yang terdengar terisak lirih. “Ma? Ada apa?” Rendi mengulangi pertanyaannya. Perasaannya tidak enak
Maira merasa ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh suaminya. Dahinya berkerut dalam, tanda ia sedang berpikir. “Mereka semua baik-baik saja, kan, Mas?” Maira duduk menyamping demi melihat wajah sang suami. Rendi menggigit kuat bibir bawahnya. Kedua tangannya mencengkram erat kemudi. Dia diam saja, takut salah berbicara. Mama dari anak-anaknya itu baru saja mengalami petualangan yang tidak mengenakkan. Berat rasanya untuk mengatakan kondisi Pak Cahyo saat itu.“Mas Rendi?” Maira menyentuh lengan kekar itu dan sedikit mengguncang. Rendi menghela napas besar lalu menoleh sekilas. “Mas fokus nyetir dulu, ya, Sayang. Perjalanan ke kota lumayan jauh dari sini.” Rendi kembali memperhatikan arah depan.“Baiklah, Mas.” Maira kembali menghadap ke depan. Ia mencoba memejamkan matanya, namun tidak bisa. Padahal, sejak semalam ia tidak bisa memejamkan matanya barang semenit pun. Firasatnya merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Mendadak cuaca berubah mendung, gerimis mulai turun dari sin
Rendi reflek berlari ke dalam, saat melihat Maira jatuh terkulai di lantai. Sigap ia menggendong istrinya untuk dibawa ke ruang rawat agar segera mendapatkan pertolongan. Bu Rani ikut masuk ke dalam. Seketika suasana semakin tegang. “Ma, tolong jagakan Maira, Rendi harus segera mengurus administrasi pemulangan jenazah Bapak, dulu.” Bu Rani mengangguk sementara Bu Ratih semakin terisak. Ikut memeluk tubuh putri semata wayangnya. Saat itu pikiran Rendi benar-benar tumpang tindih. Berjalan ke sana ke mari mengurus istri dan proses pemakaman Bapak mertuanya seperti orang linglung. Pukul empat sore, Jenazah Pak Cahyo sudah sampai di rumah. Begitu juga dengan Maira yang langsung dibawa pulang.“Dok, saya turut berduka cita atas meninggalnya Bapak mertua Anda.” Bryan menepuk pelan bahu Rendi. Itu kali pertamanya mereka kembali berbicara setelah pertemuan tidak mengenakkan di mall beberapa waktu yang lalu. Rendi mengangguk dan mengusap sudut matanya. “Terima kasih, Dokter Bryan.” balas R
Rendi membuang napasnya kasar. Pria di depannya itu benar-benar menguras kesabaran.Baiklah, mungkin benar kata Pak Doni. Lebih baik ia mengalah dan pura-pura tak acuh terhadap kasus penculikan istrinya untuk sementara waktu. Rendi mengangguk-anggukkan kepala. “Terima kasih, sudah sudi bertandang kemari, Pak.” kata Rendi pada akhirnya. “Bersenang-senanglah dulu, Bapak Tua. Mungkin, tidak lama lagi senyum jumawamu itu akan berubah menjadi sebuah tangis yang memilukan.” Rendi melanjutkan kata-katanya dalam hati.Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, jenazah Pak Cahyo diantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Maira sudah terlihat lebih tegar dari kemarin. Namun tidak dengan Bu Ratih, wanita itu masih harus dipapah selama mengikuti prosesi pemakaman suaminya. Tidak ada yang menyangka, Pak Cahyo akan pergi secepat itu. Semua terasa begitu cepat dan tiba-tiba. Pak Cahyo yang terlihat sehat selama ini ternyata memang telah menyimpan satu penyakit yang disembunyikan pada keluarganya. Semua te
“Baik, sangat baik malahan.” Riana tersenyum lebar dengan wajah berseri-seri saat mengatakan hal itu. Ia lupa jika di rumah itu orang-orangnya tengah berduka.“Lalu? Ada apa dengan butik?” Maira tidak tahan melihat gelagat misterius yang ditunjukkan oleh Riana. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak benar. “Tante nggak berbuat aneh-aneh lagi, kan?” tanya Maira dengan mata menyipit. “Sayang, udah. Nggak usah terlalu mikirin butik dulu, ya.” Rendi merangkul istrinya. Memijat lembut pundak wanita itu.Riana mencebikkan bibir. “Kamu itu pikirannya buruk terus sama Tante. Pantas saja, diam-diam kamu punya musuh di luar sana.” “Riana!” sentak Bu Rani. Sorot matanya begitu tajam menatap adiknya. “Saya sudah menekankan, jaga bicaramu!” Sementara itu, dari samping tempat duduk Bu Rani, terdengar helaan napas jengah dari mulut Bu Ratih.Riana mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Wanita itu segera mencangklong kembali tasnya. “Aku tadi cuma mau bilang, kalau aku udah tanda tangan berkas ke
“Ini tidak bisa dibiarkan! Bu Rani harus tahu soal ini,” Maira meraih tas kerjanya dan mengeluarkan ponsel dari sana. “Bu Maira.” Siwi menatap wajah Maira dengan sorot mata sedih. “Ada apa lagi, Wi?” Maira urung untuk menelpon mama mertuanya.“Tapi … sepertinya, transaksi itu sudah selesai dilakukan, Bu.” sesal Siwi, merasa telat melaporkan.Sepasang mata bulat itu terbuka lebar. “Dari mana kamu tahu?” tanya Maira, mengerutkan kening. “Saya nggak sengaja menemukan bukti transfer sejumlah uang di meja Bu Riana, waktu itu saya disuruh mengambilkan berkas di ruangannya, Bu.”“Ya Tuhan ….” Maira memejamkan mata. Seketika kepalanya terasa pusing luar biasa. Hanya dalam tempo dua hari saja, Riana sudah berhasil membuat butik itu hampir beralih kepunyaan.***Suasana tegang melingkupi ruang Pak Gunawan siang itu.Rendi berada di sana bersama jajaran direksi rumah sakit, dengan Gunawan berada di tengah-tengah mereka. Pria bertubuh tambun itu terus menatapnya dengan sorot mata layaknya raja
Siang menjelang sore, saat itu Bu Rani tengah menikmati acara kesayangannya di televisi bersama cucu-cucunya. Menemani dua bocah kecil itu mewarnai buku bergambar dengan beraneka ragam bentuk hewan. Sesekali juga mengarahkan warna apa yang seharusnya dipakai. Saat Bu Rani tengah mengajarkan cara mewarnai yang benar pada Raihan. Tiba-tiba ponselnya di meja berdering.“Ihan lihat warna di contohnya, ya. Oma mau angkat telepon dulu.” katanya sambil meraih ponsel. Dahinya berkerut melihat nama sang menantu tertera di layar. Tumben telepon, pikir Bu Rani saat itu.“Iya, hallo, Mai.” Bu Rani diam mendengarkan suara Maira dari seberang. Lalu dalam waktu beberapa detik wajahnya berubah pias. Bu Rani mematikan sambungan teleponnya. Buru-buru memanggil pengasuh cucunya, meminta wanita muda itu menggantikan ia menemani Daffa dan Raihan.Bu Rani berjalan cepat ke kamarnya. Beberapa saat kemudian keluar lagi dengan pakaian berbeda. Mencangklong tas kesayangannya ia bergegas ke depan. “Mbak saya
“Ta–tapi … uang itu sudah habis terpakai, Mbak.” Suara Riana bergetar, kedua tangannya mencengkram tali tas di depan tubuhnya sambil menunduk.Mata Bu Rani membulat, syok. “Sudah habis? Kamu gunakan untuk apa, An? Uang itu nggak sedikit, loh! Jangan main-main kamu!” hardik Bu Rani. Riana semakin menundukkan kepalanya. “Aku nggak mau tahu. Pokoknya, uang itu harus kamu kembalikan!” tekan Bu Rani, menunjuk wajah Riana. Menghela napas besar lalu kembali duduk di sofa. ***Satu Minggu kemudian ….“Ada apa ini? Kenapa baju-bajunya pada diambil?” Maira baru saja sampai di butik. Seminggu ini, dia menjadi lebih rajin berangkat pagi-pagi. Semenjak butik itu tidak utuh menjadi milik mama mertuanya, Maira menjadi lebih waspada akan keberlangsungan butik itu.“Maaf, Bu Mai. Kata Bu Nastiti, ini mau diganti dengan model-model terbaru.” kata salah satu karyawan butik mencoba menjelaskan. Memandang Maira dengan sorot mata serba salah.“Apa?” Maira terkejut, “Baru beberapa hari bergabung, sudah be
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter