Satu minggu kemudian ….Pagi itu, seperti biasa, Maira akan mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah sebelum ke butik. Semua berjalan lancar tidak ada kendala apapun. Hingga tiba saat bel sekolah berbunyi tanda anak-anak harus segera masuk kelas. Maira melepas kedua buah hatinya untuk masuk mengikuti pelajaran. Bersamaan dengan itu. Sebuah mobil sedan mewah hitam mengkilat berhenti tidak jauh dari gerbang sekolah. Saat itu, Maira tidak terlalu memperhatikan. Sampai saat seorang pria bertubuh tinggi besar berjalan menuju halaman sekolah. Maira berusaha tak acuh walaupun merasa ada yang aneh. Sambil menunggu anak-anaknya belajar di dalam, Maira kembali membuka ponsel untuk mengecek pekerjaannya di butik. “Dengan Bu Maira?” tiba-tiba pria berpakaian serba hitam itu bertanya dan berdiri tidak jauh di depan Maira. “Siapa, ya?” Maira balik bertanya. Matanya menyipit untuk memperhatikan lebih jelas wajah lawan bicaranya. Namun sayangnya, wajah itu benar-benar asing baginya. “Benar ini
Gila! Ini benar-benar gila. Maira tidak yakin pria yang tengah mengajaknya bicara itu orang yang waras otaknya. “Katakan saja apa maumu! Saya pasti akan memenuhi, asal kamu bersedia meninggalkan suamimu!” Lagi, kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Gunawan.Maira meremas tas yang dia pangku. “Saya sudah memiliki semua itu, Pak. Jadi maaf, saya tidak butuh tawaran seperti itu! Harga diri suami saya terlalu tinggi dibandingkan dengan harta yang Bapak miliki!” Maira berbicara dengan hati menahan kesal setengah mati.Sekalipun ditukar dengan seluruh harta milik pria paruh baya itu. Maira tidak akan pernah melepaskan suaminya. “Sombong sekali kamu! Kamu hanya tidak pernah tahu, jika suamimu tidak lagi bekerja di rumah sakit milik saya. Bisa kamu banyangkan, akan seperti apa nasibnya?” Lalu Gunawan tertawa terbahak-bahak seperti orang tak memiliki akal sehat. “Saya bisa saja mem-blacklist nama suami kamu agar tidak diterima di rumah sakit manapun. Dan … kamu tahu apa yang akan terjadi
Bertepatan dengan waktu istirahat siang. Rendi segera melajukan mobilnya menuju sekolah TK anaknya. Beruntung, jalanan siang itu tidak terlalu padat. Rendi bisa membawa mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.Begitu gerbang sekolah anak-anaknya terlihat, Rendi buru-buru menghentikan mobil tepat di samping mobil Maira yang masih di sana. Seorang wanita berseragam pengajar terlihat menemani kedua anaknya tidak jauh dari gerbang sekolah. Rendi segera keluar dari mobil dan berlari kecil. “Maaf, saya sudah merepotkan Ibu. Saya juga minta maaf atas keteledoran saya dalam menjemput anak-anak.” ujar Rendi ketika sudah berdiri di depan anak-anak dan gurunya. Wanita berseragam pengajar itu tersenyum ramah. Nampak sekali kelegaan yang terpancar dari raut wajahnya. “Tidak apa-apa, Pak. Syukurlah Anda sudah sampai di sini. Anak-anak sepertinya juga sudah capek.” sahut wanita itu sambil melihat Daffa dan Raihan. Lalu dua bocah itu berpindah ke sisi Rendi. “Terima kasih sudah bersed
“Saya tidak ada maksud menggurui, Pak. Maaf jika Bapak tersinggung.” Rendi mengalah. Ia sadar tidak akan menang jika melawan pria itu di rumah sakit. Sadar diri, ia juga tengah bernaung pada rumah sakit milik pria itu.“Akhir-akhir ini saya sering mendengar ataupun melihat sendiri Dokter Rendi melanggar peraturan rumah sakit.” Gunawan menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Rendi. Rendi menutup berkas yang tengah ia periksa.“Saya minta maaf, Pak. Saya janji tidak akan mengulangi lagi.” kata Rendi, dalam hatinya ia tak yakin bisa menepati janjinya yang baru saja ia ucapkan itu. Semenjak Mita hadir di sana. Rendi merasa rumah sakit sudah seperti neraka yang menyiksanya pelan-pelan.“Saya pegang janji kamu! Saya harap, ini terakhir kalinya kamu menerobos aturan! Jangan bawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan.” Pria bertubuh tambun itu membenarkan letak kacamatanya. Berdiri dan meninggalkan Rendi sendiri di ruangnya.Sementara di tempat lain ….“Makanlah, ini sudah sore! Jangan siksa d
Terlalu fokus dengan ambisinya mencelakai Maira. Gunawan menjadi tidak terlalu mendengar suara pintu ruang kerjanya yang di buka. Jantungnya nyaris melompat dari tempatnya saat tiba-tiba suara sang istri terdengar dari arah belakang. “Ya Tuhan … Papa!” pekik Nastiti, kelopak matanya terbuka lebar begitu melihat benda pipih yang dijatuhkan oleh suaminya. Gunawan langsung memutar kursi dan berdiri. “Ma–Mama … sejak kapan Mama berada di situ?” tanyanya. Raut wajahnya begitu gugup saat manik mata mereka saling bersirobok. “Kok, pertanyaannya seperti itu? Biasanya juga Mama langsung masuk, Papa nggak pernah mempermasalahkan?” Nastiti masuk membawa nampan berisi satu cangkir kopi hitam–minuman favorit Gunawan. Meletakkan nampan di meja, lalu Nastiti berjongkok memungut ponsel yang baru saja dijatuhkan Gunawan. Wanita itu menggeleng samar saat memungut ponsel yang sudah terbelah menjadi dua.Sementara itu, pria bertubuh tambun itu mematung, tubuhnya menegang seiring dengan gerakan Nastit
Melihat Rendi berdiri, Bu Ratih juga Bu Rani ikut meninggalkan kursinya, lalu menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.“Bagaimana kondisi Bapak saya, Dok?” tanya Rendi langsung menyongsong kedatangan dokter itu.Dokter itu menatap tiga orang di depannya satu persatu. Menghela napas berat lalu ia berkata, “Kondisi pasien masih kritis. Pasien belum sadarkan diri. Sebentar lagi, pasien akan kami pindahkan ke ruang ICU.” ujar dokter itu dengan nada berat.Bu Ratih nyaris ambruk setelah mendengar hal itu. Bu Rani segera membawa besannya itu untuk kembali duduk di kursi besi. “Lakukan yang terbaik untuk Bapak saya, Dok.” Rendi menatap pria ber-jas putih itu dengan sorot mata memohon. Dia benar-benar merasa lemah kali itu. Cobaan kembali datang bertubi-tubi menggerus mentalnya. Dokter itu mengangguk dan kembali ke dalam ruang UGD. Beberapa menit kemudian, pintu kembali terbuka, dua orang perawat mendorong brankar yang di atasnya telah terbaring tubuh Pak Cahyo menuju ke rua
Keesokan harinya …“Aku baru saja tidur, dan kamu udah bangunin aku seperti ini?” gerutu Adrian sambil kembali meringkuk. Menarik kembali selimutnya.Maira memandang pria itu dengan geram. “Dari semalam aku sudah berniat tidak merepotkanmu lagi. Tapi kamu yang bersikukuh mau menolongku.” Maira menjeda ucapannya. Mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi rongga dadanya. “Dan sekarang … kamu keberatan?” Maira melanjutkan ucapannya seraya mengusap sudut mata yang berair.“Berikan kunci kamarnya, biar aku pulang sendiri!” seru Maira berjalan mendekati sofa. Adrian baru saja mengucek mata saat Maira menarik paksa selimut yang menutupi tubuhnya. “Iya … iya, Sabar! Aku ke kamar mandi dulu sebentar.” Adrian menurunkan kaki dan memakai alas kakinya kemudian berlalu ke kamar mandi. “Jangan lama-lama!” pesan Maira. Waktu masih menunjukkan pukul empat pagi. Di luar masih gelap. Ia yakin, ini kesempatan bagus untuk keluar dari rumah itu.Adrian mengurungkan niat mendorong pintu kamar mandi. Pr
“Hei! Apa yang kamu lakukan!” teriak satpam baru itu mengejar Adrian ke gerbang. “Saya minta kamu buka gerbang! Kenapa harus tanya ke sana ke mari. Kamu sadar nggak, itu sangat merugikan saya. Banyak waktu saya yang terbuang sia-sia. Dasar bodoh. Mana kunci gerbangnya?” Adrian melotot tajam. Satpam baru itu gelagapan. Ia benar-benar tidak tahu mana yang benar, dan mana yang salah. Yang ia tahu, ia bekerja di rumah itu karena seseorang bernama Angga sedang membutuhkan tenaga keamanan tambahan. “Tunggu sebentar. Kepala keamanan rumah ini akan datang ke mari. Jangan buat gaduh. Saya mohon. Saya orang baru di sini. Saya belum tahu siapa kamu.” elak satpam baru bernama Sapto itu.Adrian berkacak pinggang. “Apa kurang jelas, apa yang aku katakan tadi?” Mata Adrian menatap tak suka satpam itu. Benar saja dugaannya, keluar dari rumah itu tidak lagi mudah semenjak ada Maira yang jadi incaran Gunawan. Adrian meyakini, papa angkatnya itu pasti tidak akan percaya jika Maira sudah meninggalkan r
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter