Seorang pria berusia enam puluhan, dengan badan tinggi besar tengah menatap awas pada putrinya. Pria itu membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung mancungnya lalu berkata, "Jadi kapan kamu akan mengenalkan calon suamimu sama Papa, Mit?" Suaranya begitu tegas menembus gendang telinga siapapun yang mendengarnya.Di sampingnya, seorang wanita dengan rambut disanggul duduk dengan anggun ikut menatap ke arah Mita. Mita menghentikan aktivitasnya. Meletakkan sendok dan garpu kembali ke piring. Mita pun membalas tatapan Papa dan Mamanya kemudian menjawab. "Kasih Mita waktu, Pa, Ma. Mita, kan, baru sampai di Indonesia. Masa udah di kejar masalah calon suami?" Mita tersenyum simpul di ujung kalimatnya."Memangnya selama ini kamu tidak punya teman pria, hem?" Pak Gunawan–papanya Mita bertanya sambil memotong-motong sayur dalam piringnya. Lalu menusuknya dengan garpu dan menyantapnya."Papa, kan, juga tahu. Mita sibuk menyelesaikan pendidikan. Mana mungkin Mita sempat cari-cari teman
Pagi itu, Rendi bangun karena alarm yang berbunyi nyaring di atas nakas tepat berada di sebelahnya. Menoleh ke sisi kanan dimana biasanya membaringkan tubuh. Dan dia mendesah kecewa saat matanya tak melihat sosok sang istri di sampingnya. Biasanya, Maira akan selalu membangunkan dia saat wanita itu bangun terlebih dahulu. Namun, tidak dengan pagi itu. Sepertinya Maira masih menyimpan kesal padanya. Terbukti dengan wanita itu lebih memilih menyalakan alarm untuknya agar tidak telat bangun. Daripada harus membangunkannya sendiri.Menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya, Rendi lekas beranjak turun dari ranjang. Lalu pintu kamar terbuka dari luar. Reflek Rendi menoleh, dan ia mencoba tersenyum kepada istrinya."Sayang," panggilnya. Namun Maira terlihat masih tak acuh padanya. Wanita cantik itu hanya menanggapinya serupa gumaman. "Hem?" Setelah semalam wanita itu merajuk dan meninggalkannya tidur lebih dulu. Rendi sempat berharap, istrinya akan setelah bangun tidur dengan pera
"Dokter, kenal dengan wanita di depan itu?" ulang Bryan dengan mata memicing. Rendi sedikit salah tingkah, namun segera menguasai dirinya kembali. Mereka sama-sama lulusan Oxford. Namun, Rendi sangat paham kalau Bryan tidak akan mengenal Mita. Karena saat itu, Bryan termasuk mahasiswa paling aktif dan sangat jarang memiliki waktu untuk sekedar bersantai dengan teman-temannya. Apalagi untuk sekedar mengenal wanita. Mungkin, hal itu tidak masuk dalam kamus hidup seorang Dokter Bryan."Dia Mita–adik tingkat kita waktu di Oxford." jelas Rendi tanpa menatap Bryan. Otaknya masih sibuk mencerna tentang apa yang barusan Mita ucapkan di depan sana. 'Mita anak Pak Gunawan?' Rendi terus menggaungkan kalimat itu dalam hatinya. Sedikit perasaan tidak enak timbul di hatinya. Rendi tidak tahu firasat apa yang tengah menghampirinya itu. "Ternyata Anda masih sempat berkenalan dengan wanita selama di Oxford." Bryan melirik Rendi lalu menggaruk-garuk dagunya. Dia baru saja menyadari, ternyata dirinya
Maira meremas kuat ponselnya. Jantungnya berdenyut ngilu di dalam sana. "Kamu lagi sama siapa, Mas?" tanya Maira berusaha menstabilkan suaranya agar tidak terdengar bergetar. "Tadinya, Mas, cuma sendiri. Tapi—""Tapi apa, Mas? Kamu nggak lagi berbohong, kan, Mas?" Maira mendesak. Dia merasa rongga dadanya terasa semakin sesak."Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Mai. Percaya sama Mas. Mas, nggak ada bohongin kamu." Suara Rendi terdengar tegas dan sarat akan permohonan.Sebenarnya, Maira masih ingin mendengar penjelasan Rendi lebih lanjut. Baru saja ia akan membuka mulutnya, seorang pelayan restoran datang membawakan pesanannya. Ia merapatkan mulutnya kembali.Maira melihat pelayan itu meletakkan pesanan di meja dengan menggigit bibir. Lalu mengucapkan terima kasih setelah pelayan selesai meletakkan pesanan di meja."Mai, kamu dengar Mas ngomong apa, kan?" Suara Rendi kembali terdengar setelah beberapa saat mereka saling terdiam."Mas hutang penjelasan sama aku." Maira langsung mem
Maira menyentak napasnya. Menyatukan tangan di meja sambil membalas tatapan Riana. "Bukan aku yang mempermalukan Tante, tapi Tante sendiri!" "Apa kamu bilang?" Urat-urat leher Riana terlihat menonjol seiring dengan napasnya yang naik turun tidak teratur. "Kamu itu semakin lama semakin berani ya, Mai! Tante kira selama ini kamu benar-benar wanita yang lemah lembut, ternyata kamu masih punya sisi licik juga," cibir Riana dengan tangan mengepal."Sudah lah, Tante. Kenapa harus bertengkar seperti ini, sih? Kapan butiknya bisa semakin maju kalau Tante terus seperti itu. Tante nggak lupa, kan, siapa yang ditunjuk oleh Mama untuk mengelola butik ini? Kenapa sekarang seolah Tante tidak terima?" Maira menggelengkan kepala dengan sorot mata lelah. Jujur saja, ia sudah muak dengan segala drama yang dibuat oleh Riana. Kalau boleh ia memilih, Maira lebih memilih untuk mengelola restoran milik orang tuanya sendiri dibandingkan mengelola butik itu. Bukannya dia tidak menghargai mama mertuanya, tapi
Suasana ruang makan seketika menjadi hening. Daffa dan Raihan mendadak diam dengan tatapan bingung mengarah pada kedua orang tuanya. Seolah tahu, anak dan menantunya membutuhkan waktu untuk berbicara berdua, Bu Rani cepat-cepat menyelesaikan makan malamnya saat itu. Lalu mengajak dua cucunya naik ke kamar lebih dulu. Maira mengerling ke arah mama mertua dan kedua anaknya yang beranjak dari kursi mereka masing-masing. Maira bisa menebak langkah mereka terburu-buru menaiki tangga menuju lantai dua. Suara riuh tapak kaki menapaki anak tangga membuatnya yakin, mereka benar-benar sudah meninggalkan ruangan itu.Maira menyeret kursi dan menjatuhkan berat tubuhnya disana. "Aku hanya dari restoran, Mas. Nggak dari mana-mana." "Restoran mana? Ketemu orang spesial?" sinis Rendi melirik tajam.Maira tersentak dan menoleh cepat. Ia balas tatapan suaminya tak kalah tajam. "Apa maksudmu? Kamu yang diam-diam pergi sama wanita lain, kenapa jadi aku yang kamu tuduh seperti itu?" Rendi jadi gelagapa
"Jawab pertanyaan, Mas, Sayang. Kamu percaya sama Mas, kan?" Perasaan Rendi semakin gusar. Maira hanya diam dengan kesedihan yang tersirat lewat sorot matanya. "Sayang?" Suara Rendi tercekat, saat wanita di depannya itu menggeleng samar. Tubuhnya seketika merasa lemas."Entah lah, Mas. Aku tidak bisa percaya begitu saja," lirih Maira, kemudian meraih tangan suaminya yang menempel di pipi dan melepaskannya. Maira merangkak ke tengah ranjang, menyingkirkan ponsel sang suami dan mulai menarik selimut hingga menutup seluruh tubuhnya.Rendi melihat istrinya menarik selimut dengan hati nelangsa. Dia tahu, dia sudah salah telah menuduh istrinya macam-macam. Namun, apakah kesalahannya itu tidak pantas untuk mendapat pengampunan setelah dia mengakuinya?Rendi menjatuhkan berat tubuhnya di bibir ranjang. Menghela napas panjang-panjang dengan tatapan lurus ke depan dan dia mulai berbicara. "Namanya Mita, dia teman Mas, dari SMA. Lalu kami kembali bertemu saat di Oxford. Saat itu kami cuma salin
Sementara di tempat lain. Maira tengah bingung karena mobil yang dikendarai olehnya tiba-tiba oleng. Cepat-cepat ia menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia yakin ada yang tidak beres dengan roda mobilnya. Dan benar saja, saat dia keluar memeriksa, kondisiroda mobilnya telah kempes. Menyugar rambutnya, Maira berdecak kesal. "Ck, ada-ada aja, sih." Seketika Maira menjadi panik. Memijat pelan pelipisnya yang berdenyut nyeri sambil menyandarkan punggung di badan mobil. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Jalanan pagi itu cukup ramai karena memang jam berangkat kerja. Namun, dia tidak mendapati orang yang mungkin bisa dimintai bantuan.Membuka pintu mobil dan mengambil ponsel yang ia letakkan di dashboard. Maira mulai menggulir layar ponselnya. Bimbang harus menghubungi siapa. Sejenak Maira kembali menyandarkan tubuhnya di badan mobil sambil mengutak-atik ponselnya. Lalu nomor sang suami muncul di deret paling atas. Tanpa sadar mulutnya mengerucut membaca nama kontak itu. "Nggak, jang
Daniel tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya, saat mendengar papanya menyambut kedatangannya sangat antusias. Pria muda dengan pakaian sederhana itu menunduk lalu berbisik di dekat telinga Tiara. “Itu Kakek. Ayo, Salim dulu sama Kakek,” pintanya, Tiara langsung mengangguk dengan senyum tak pernah pudar dari bibirnya. Gadis kecil itu sedikit berlari menghampiri ranjang pasien, di mana Pak Gunawan tengah menatap mereka dengan wajah berseri-seri.“Siapa namanya, Cantik?” Pak Gunawan meraih wajah Tiara dengan satu tangan. Mata tuanya menatap lekat wajah gadis kecil berkuncir dua itu. “Namaku Tiara, Kek,” balas Tiara dengan wajah polos. Pak Gunawan terkikik mendengar kata sapaan gadis kecil itu padanya. “Apa papamu yang mengajari kamu memanggil Opa dengan sebutan ‘kakek’?” tanya Pak Gunawan, masih menatap wajah cantik cucu pertamanya. Gadis kecil itu mengangguk. “Iya, Kek.” Lalu, Pak Gunawan menatap anak dan menantunya yang berdiri sedikit jauh dari ranjang. Ia juga melihat bagaim
“Tunggu, Daniel!” Suara papanya yang serak dan lemah berhasil membuat langkah Daniel terhenti. “Tidakkah kamu kangen dengan Papa?” tanya Pak Gunawan dengan raut sedihnya.Dia tahu telah bersalah. Tidak seharusnya dia membuang putranya sendiri hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya masih bisa dimaafkan. Sejatinya, manusia tidak ada yang luput dari dosa, begitu juga dengan Daniel yang pernah berbuat salah. Namun, tuntutan kehormatan yang harus selalu terjaga membuatnya menutup mata saat itu. Daniel menoleh dan tersenyum tipis. “Aku sudah menemukan keluarga baru yang benar-benar menerimaku apa adanya, Pa,” ujarnya. Seolah kembali menegaskan dia sudah tidak butuh pengakuan dari papanya. Pak Gunawan manggut-manggut masih dengan ekspresi sedih. “Syukurlah, Papa senang mendengarnya. Mungkin … sekarang kamu yang malu memiliki seorang Papa narapidana.”Daniel mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan keluargaku, Pa.” Sakit, pedih. Lagi-lagi perka
Seberapa besarnya dendam Daniel pada papanya, jika sudah menyinggung tentang kondisi kesehatan sang papa hatinya tersentuh juga. Namun, lagi-lagi egonya kembali menguasai. Bagaimana kalau papanya belum menerima dirinya kembali? Juga … apakah hatinya sudah baik-baik saja?“Kamu benar-benar mau melihat Papa kalau sudah nggak bernyawa?” sengit Adrian, menatap jengkel ke arah Daniel yang berdiri kaku di ambang pintu tanpa ekspresi khawatir sedikitpun.“Mas.” Tania baru saja kembali ke depan setelah mendengar suara Adrian yang cukup keras. Wanita itu meraih lengan Daniel dan mengusap pelan.“Ikut saja, Mas. Kamu beruntung masih memiliki orang tua. Jangan sampai menyesal seperti aku. Aku bahkan tidak sempat membahagiakan orang tuaku hingga ajal mereka menjemput.” Mata Tania berkaca-kaca saat mengatakan hal itu membuat Daniel kembali berpikir.Benar. Yang namanya kehilangan selalu membuat penyesalan yang tiada ujungnya. Daniel mengangguk sementara Adrian melihatnya sudah sangat geram. Masih
Seperti pagi menjelang siang saat itu. Adrian baru saja sampai di gedung rumah sakit. Sedikit berlari pria itu mencari lift yang akan mengantarkannya ke lantai tiga. Di mana ruangan meeting para direksi berada.Melirik sisi lift yang mengkilap bagai kaca. Adrian lalu memperhatikan penampilannya sendiri. Bibirnya mencebik kesal menyadari kemejanya sedikit berantakan di bagian pinggang. “Gini amat ribetnya jadi pemimpin rumah sakit,” gerutunya sambil merapikan kemejanya yang masuk ke bagian celana. Lift berdenting, Adrian segera keluar dan berjalan tergesa menuju ruangan meeting. Dia berhenti sejenak untuk menarik napas sebelum membuka pintu besar yang di dalamnya telah berkumpul beberapa orang penting.“Selamat pagi semuanya,” sapa Adrian begitu kepalanya muncul dari balik pintu dan sapaan itu otomatis membuat seisi ruangan memusatkan perhatian padanya. Adrian tersenyum berwibawa.Seperti biasa beberapa orang yang memang tidak suka padanya akan melirik sinis sambil komat-kamit tidak
Hampir tujuh tahun sudah berlalu. Rupanya, sakit hati yang telah Pak Gunawan tancapkan di hati Daniel tak pernah memudar sama sekali. Bukan pria itu tak mau mencoba memaafkan, namun ingatannya selalu menolak lupa dengan bagaimana arogannya sang papa ketika itu. Daniel selalu terjebak dalam rasa sakit yang sangat dalam. Keluarganya sendiri yang telah membuatnya kehilangan harga diri hingga hancur. Ia telah kehilangan banyak hal dalam rentang waktu yang berdekatan. Kehilangan keluarga, cinta, juga kepercayaan.Beberapa menit berselang, Tania kembali ke kamar membawa kabar yang cukup mengusik ketenangan dalam sudut hatinya.“Mas, Pak Adrian bilang kondisi Kak Mita semakin parah. Kamu nggak mau melihatnya barang sebentar saja?” Tania mengusap lengannya dengan lembut. Daniel terdiam cukup lama, batinnya sedang berperang. Apakah ini sudah saatnya ia berdamai dengan keluarganya?“Mas, setidaknya bicaralah sendiri sama Pak Adrian. Aku nggak enak kalau kamu menghindar begini,” keluh Tania, la
Nasib Mita ….“Apa nggak ada cara lain lagi, Dok? Saya nggak mungkin terus menerus meminta Dokter Rendi mengunjungi pasien.” Adrian terduduk lemas di depan dokter kejiwaan yang memiliki paras tenang itu. “Sebenarnya tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha.” Dokter itu menatap lawan bicaranya serius. “Berbagai macam obat-obatan telah masuk ke tubuhnya. Saya khawatir kesehatannya semakin menurun. Berat badannya saja sudah turun sebanyak sepuluh kilogram dari awal dia masuk ke sini.”Adrian terdiam menyimak kalimat demi kalimat yang diutarakan oleh dokter. Entah apa yang harus ia lakukan lagi demi menyembuhkan kondisi mental Mita. Pagi itu, Adrian memaksa dokter untuk mengizinkannya masuk ke ruangan Mita di rawat.“Saya izinkan dengan satu syarat.”“Apa, Dok?” “Anda tidak boleh menuntut apa-apa pada pihak rumah sakit jiwa jika terjadi sesuatu yang merugikan Anda sendiri.”“Oke, saya setuju,” sahut Adrian, tanpa berpikir panjang. Ia hanya ingin mendekati Mita lalu mengajak
Daniel terdiam, ada keraguan dalam hatinya.“Aku pikir kalian pernah ada sesuatu. Tadi aku lihat kamu gugup banget waktu pertama kali Bu Maira mendekat,” ujar Daniel, matanya tidak fokus melihat acara televisi sebab pikirannya sedang berkelana dengan berbagai kemungkinan yang ia yakini sendiri.“Kamu nggak bohong, kan?” Tiba-tiba Daniel memiringkan wajahnya, menatap Tania yang bersandar di bahunya.“Enggak, kok, Mas,” dusta Tania. Daniel manggut-manggut meskipun hatinya merasa ada yang janggal. Bertanya lebih detail pada Tania sepertinya hanya akan membuatnya bertengkar lagi. Daniel diam dan memilih untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya telah terjadi. satu rencana sudah ia susun dalam kepalanya.***“Apa rencanamu selanjutnya, Mas?” Maira bertanya seraya mengusap-usap kepala suaminya yang berada di pangkuannya. Mereka tengah menikmati semilir angin sore di balkon kamar yang di bawahnya ada taman bunga yang berisi koleksi bonsai mahal.“Seperti rencana semula. Setelah ini M
Meskipun cukup lama tidak berjumpa, Maira merasa pernah mengenal sosok istri Daniel. Pelan-pelan kakinya melangkah mendekati perempuan yang sebagian wajahnya tertutup rambut hitam nan lurus sebahu.Tania beringsut mundur membuat Maira mengerutkan keningnya. “Mbak?” Maira justru semakin mendekatinya. “Nia,” panggil Daniel, memutar tubuh dan mendekati istrinya. “Ini Bu Maira, istrinya Pak Rendi. Pemilik butik ini,” lanjutnya, meraih tangan istrinya dengan sedikit memaksa. Ada rasa tak enak hati ketika istrinya seperti enggan berkenalan dengan Maira.Daniel semakin memepet tubuh istrinya. “Nia, jangan buat aku malu,” bisik Daniel tajam tepat di telinga istrinya. Semakin terdesak, sambil menahan rasa malu dan juga minder luar biasa, Tania akhirnya pasrah mengangkat wajah. Tubuhnya gemetar saat manik matanya langsung beradu pandang dengan Maira. Maira mundur selangkah, menutup mulutnya sendiri, kaget. Matanya membulat, tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan yang per
Daniel mencoba berjalan dengan percaya diri walaupun pakaian yang ia kenakan jauh dari merk mahal. Sedikit aneh memang. Di acara cukup besar seperti itu, dia nekat memakai pakaian apa adanya. Undangan dari Rendi yang cukup spesial membuatnya mau tak mau harus menghadiri acara peresmian butik itu. Tak ada pekerja kasar lain yang diundang, hanya dirinya. Mungkin itu karena Rendi telah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Namun sebenarnya, Daniel tak peduli tentang itu. Ia datang ke acara peresmian butik itu lebih karena rasa berterima kasihnya pada Rendi dan Maira. Rencananya, ia akan diangkat menjadi karyawan yang mengurus barang keluar masuk di sana. Ketangkasan Daniel dalam berhitung dan juga kecerdasan berpikirnya membuat Rendi dan Maira tak berpikir lebih banyak untuk memberikan pekerjaan padanya. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Daniel sedikit membungkukkan badan ketika tiba di hadapan Rendi dan Maira. Pria itu memasang senyum sewajarnya.Seketika, sekumpulan keluarga besar itu ter