Hari itu, untuk pertama kalinya, Hardika ingin memeluk seorang perempuan. Bukan karena cinta. Dia hanya ingin memeluknya, menyeka air matanya, mencium bibirnya yang gemetar.Dalam keheningan yang mencekam, Hardika kembali bertanya, "Kenapa kamu ingin bercerai?"Di ambang pintu, Lionel membalikkan tubuhnya bersama Frenny. Dia menatap sahabatnya dengan tatapan dingin, suaranya begitu menusuk. "Hardika, kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan? Kalau nggak sadar, pergi ke rumah sakit sana, biar otakmu diperbaiki dulu."Hardika berdiri perlahan. "Aku sadar sepenuhnya. Dari awal, aku selalu sadar. Kamu sendiri sadar nggak? Kalau kamu sadar, kamu seharusnya tahu Frenny sudah nggak cinta kamu. Kamu bisa menahannya satu atau dua tahun, tapi nggak seumur hidup."Lionel tertawa dingin. "Dia masih istriku sekarang."Hardika tidak menanggapi.Di samping, Nadya menarik lengan kakaknya, bertanya dengan hati-hati, "Kak, kamu suka sama Kak Frenny ya?"Hardika mengiakan dengan pelan.Gelas di tangan Nad
Lionel membawa Frenny dan membuka pintu suite dengan kartunya. Ini adalah pertama kalinya mereka menginap di hotel.Di dalam ruangan yang gelap gulita, semua indra seolah-olah menjadi lebih tajam. Sebelum Frenny tersadar kembali, tubuhnya sudah terdorong ke pintu yang keras. Bibirnya pun dipaksa berciuman dengan Lionel.Aroma aftershave yang halus dan bau tembakau segar dari tubuhnya menyebar lewat ciuman liar itu, meresap ke sekujur tubuh Frenny sampai kakinya gemetar, sulit untuk berdiri dengan tegak ....Mereka menuju sofa dengan terhuyung-huyung. Lionel melepaskan mantel tebalnya, lalu disusul oleh stoking Frenny. Kaki jenjangnya menempel pada celana hitam Lionel, tubuhnya bergetar pelan.Tangan pria itu mengusap wajahnya. Suaranya penuh tuntutan. "Katakan kalau kamu nggak suka Hardika."Frenny menolak. Dia memang tidak punya perasaan semacam itu kepada Hardika, tetapi dia juga tidak mau berpura-pura setia di depan Lionel. Lionel sendiri sering bermain api di luar sana, kenapa Fren
Frenny tentu saja paham. Itu sebabnya, dia tidak langsung menolak. Siapa pula yang bisa menolak uang?Namun, dia juga bukan orang bodoh. Tawaran besar dari Lionel ini jelas tidak diberikan secara cuma-cuma. Mendapatkan uang darinya bukan hal mudah. Frenny tersenyum tipis dan bertanya, "Lalu, aku harus memenuhi kewajiban apa?"Lionel menatapnya, jawabannya lugas dan gamblang. "Bekerja sama dalam Proyek Amasia dan tidur denganku.""Lionel!""Aku juga punya kebutuhan biologis sebagai pria."Frenny tidak langsung menyetujui, hanya menjawab dengan tenang, "Akan kupertimbangkan."Lionel mengeluarkan sebuah dokumen dari saku jasnya dan menyerahkannya. "Ini kontraknya. Untuk detailnya, kamu bisa minta pengacara periksa. Kalau ada syarat lain, masih bisa kita diskusikan.""Frenny, antara kita mungkin nggak ada cinta, tapi paling nggak kita masih keluarga. Pikirkan baik-baik."....Frenny bilang akan mempertimbangkannya, tetapi dia tetap ingin pergi malam itu. Dia berkata tidak akan menginap.Li
Setelah Frenny pergi, Lionel menuju suatu tempat.Di atap Tower Fullson, angin malam berembus kencang, membuat mantel hitam kedua pria itu berkibaran seperti elang malam yang membentangkan sayap, siap memburu dalam gelap. Aura keduanya sama kuat, tidak ada yang mengalahkan satu sama lain.Lionel menyalakan sebatang rokok putih, menggigitnya di bibir, dan mengisap dalam-dalam. Wajahnya yang tirus terlihat semakin tegas karena sorotan cahaya yang samar.Setelah mengisap hampir setengah batang, Lionel menatap Hardika. Suaranya dingin dan tajam. "Batalkan kerja sama. Untuk kasus perceraian dengan Frenny, sementara nggak perlu dilanjutkan. Kalau di masa depan diperlukan, akan ada orang lain yang menanganinya."Hardika mengernyit. "Kenapa?"Lionel melempar sisa rokok ke lantai dan menginjaknya dengan sepatu kulit. Suaranya seketika menjadi lebih dingin. "Hardika, kamu tanya kenapa?"Detik berikutnya, Lionel mengayunkan tangannya dan meninju rahang Hardika. Hardika menerima pukulan itu tanpa
Frenny sangat berterima kasih kepada Cantika. Tepat saat dia sedang dilanda kebimbangan, telepon dari rumah Keluarga Pramudya masuk. Fergus ingin mengundang Frenny berbicara.Telepon itu dari Irsyad. Tata krama di Keluarga Pramudya sangat ketat. Saat ini, Frenny dianggap sebagai tamu Fergus, jadi Irsyad pun berbicara dengan sangat sopan.Irsyad berkata, "Nggak peduli gimana hubunganmu dengan Lionel, hargai kakekmu sedikit. Beliau sangat menyukaimu."Frenny pun menyanggupi.....Musim dingin tiba, halaman rumah Keluarga Pramudya selalu penuh pesona sepanjang tahun.Frenny memarkir mobilnya. Saat turun, dia melihat Irsyad datang sendiri untuk menyambut. Irsyad yang mengantarnya menemui Fergus. Sepertinya pertemuan ini sangat penting.Sepanjang perjalanan, Irsyad berbasa-basi dengannya, tetapi sama sekali tidak menyebut nama Lionel. Frenny juga tidak menyebutnya.Sesampainya di depan ruang kerja Fergus, sekretaris Irsyad datang dan membisikkan sesuatu ke telinganya.Saat mereka berbicara,
Frenny berusaha melepaskan diri. "Belum."Lionel berkata, "Kalau begitu, putuskan sekarang."Suara Frenny menjadi dingin. "Ini ancaman atau bujukan? Lionel, jangan anggap aku bodoh."Sebelum Lionel sempat menjawab, terdengar suara Fergus dari dalam ruangan. "Kalian kalau mau pamer kemesraan, pergi jauh sedikit. Jangan mengganggu kakek tua yang sebatang kara ini."Suasana menjadi hening untuk beberapa saat.Lionel menunduk menatap Frenny, lalu menggenggam tangannya dan menariknya ke mobil. "Aku antar kamu ke rumah Paman Dennis."Setelah masuk ke mobil, Frenny baru sadar ini adalah mobil Maybach hitam, yang mereka pakai selama 2 tahun awal pernikahan.Saat itu, mereka hidup saling bergantung, hanya ada mereka berdua. Banyak kenangan yang sangat membekas.Frenny tersenyum tipis. Demi tujuannya, Lionel memang rela melakukan apa pun.Dia mengenakan sabuk pengaman dan berkata dengan suara tenang, "Jangan kira aku akan berubah pikiran cuma karena bantuanmu untuk urus masalah Nenek."Lionel me
Frenny tidak terlihat sombong. Dia turun dari dipan empuk, menuangkan segelas air hangat untuk Lionel, lalu duduk di tepi ranjang bambu dan menyerahkannya kepadanya.Dengan nada datar, dia berkata, "Kamu sudah tidur 2 jam. Sekarang hampir jam empat sore.""Kamu buru-buru? Ada janji?" Lionel menerima gelas itu, tetapi malah meletakkannya di meja samping ranjang. Setelah itu, Frenny langsung ditarik ke dalam pelukannya. Tubuh mereka pun bersentuhan erat hanya dipisahkan oleh mantel wol tipis.Tubuh Lionel kekar dan panas, membuat Frenny tidak nyaman dan berseru pelan, "Lepaskan aku!"Namun, dengan kelembutan di pelukannya, mana mungkin Lionel mau melepaskan? Dia berbisik di dekat telinga Frenny, suaranya serak dan menggoda karena pengaruh alkohol, "Jadi ... gimana pertimbanganmu soal kita? Hm?"Frenny tidak ingin membahasnya, tetapi Lionel terus mendesak.Lionel mencium tanpa henti. Wajahnya merah karena alkohol, dagunya terangkat, auranya sungguh menggoda. Tangannya membelai pinggang ra
Pukul delapan malam, Frenny dan Lionel kembali ke Vila Imperium. Sudah beberapa hari berlalu, semuanya terasa berbeda.Para pembantu di vila itu memang selalu menyukai Frenny. Begitu tahu nyonya mereka kembali, mereka berbaris rapi di pintu depan dan menyambut dengan wajah gembira." Akhirnya Nyonya pulang. "" Selamat, Tuan dan Nyonya sudah baikan. "" Tuan dan Nyonya mau makan bersama? Makanan sudah dihidangkan. "....Frenny tersenyum tipis, tampak letih. Lionel merangkul istrinya dengan lembut, berperan seperti suami yang penuh perhatian. Dia berkata kepada para pembantu, "Frenny mau istirahat. Makan malam nanti, sejam lagi."Begitu para pembantu pergi, Lionel menunduk menatap Frenny sambil bertanya dengan suara lembut, "Kamu capek? Mau mandi dulu?"Frenny mengangguk singkat, sikapnya tetap dingin. Lionel biasanya mudah marah, tetapi malam ini dia menahan emosinya sepenuhnya.....Di lantai dua, kamar utama, Frenny memandangi sekeliling.Semua barang yang dulu pernah dia hancurkan,
Di ruang presdir Grup Rahayu.Lionel bersandar di kursi kulit, tengah menganalisis dirinya sendiri dengan serius.Segala hal yang dia lakukan, semua demi menjaga kestabilan pernikahannya, demi seorang pewaris yang sah. Dia tidak membenci Frenny, bahkan sedikit menyukainya.Setidaknya dalam urusan itu, belakangan ini mereka cukup kompak. Pria memang makhluk penuh hasrat. Jika nafsu mereka terpenuhi di ranjang, mereka akan menjadi lebih murah hati.Lionel bersedia memperlakukan Frenny dengan baik, membiarkannya menikmati segala keuntungan dari sebuah pernikahan, memberi ilusi cinta kalau memang itu yang diinginkan Frenny.Namun, semua itu tidak ada hubungannya dengan cinta. Lionel tetap tidak mencintai Frenny.Saat dia tenggelam dalam pikirannya, Reyna mengetuk pintu dan masuk. "Pak Lionel, ada telepon dari Jenewa."Lionel menerima ponselnya, mengangguk ringan. "Kamu keluar dulu."Reyna kembali ke ruang sekretaris sambil berpikir dalam hati, 'Telepon dari Jenewa selalu datang seminggu se
Lionel menghampiri Frenny, sorot matanya dalam. "Kenapa kamu ke sini?"Frenny mengangkat tas dokumennya. "Bukan buat kencan."Tatapan Lionel semakin suram. Dia mengajak istrinya, "Temani aku makan sedikit lagi ya?"Frenny tidak memberi muka. Dia bahkan tidak melirik ke arah Molly, hanya berkata dengan suara datar, "Aku sudah kenyang. Lionel, kalian lanjutkan urusan kalian. Aku pulang dulu."Detik berikutnya, Lionel meraih pergelangan tangannya. Dengan alis berkerut, dia memanggil, "Frenny."Frenny hanya tersenyum tipis, memandang Lionel sambil berkata, "Bukankah kalian sedang bicara soal kerja sama? Aku nggak seposesif itu, apalagi kita cuma pasangan kontrak, 'kan? Kalau waktunya habis, kita bubar. Kamu mau sama siapa, itu bukan urusanku."Alis Lionel berkerut semakin dalam. Tentu saja dia tahu Frenny merajuk. Namun, karena dia merasa tersinggung, dia pun tidak memiliki kesabaran untuk membujuk dan langsung membiarkannya pergi.Frenny juga tidak menunjukkan sedikit pun rasa menyesal. D
"Istriku sangat baik, dia adalah wanita yang luar biasa. Tapi, aku nggak mencintainya.""Aku yakin, aku nggak punya perasaan cinta sebagai pria kepada wanita terhadapnya. Aku berhubungan intim dengannya hanya karena ingin punya ahli waris yang sah.""Tapi, entah kenapa aku seperti kecanduan. Padahal sebelumnya, aku ini pria yang selalu bisa menahan diri."Lionel benar-benar bingung.Beberapa saat kemudian setelah evaluasi, dokter berkata, "Pak Lionel, yang pertama-tama harus kamu pastikan adalah apa kamu benar-benar nggak mencintai istrimu? Perasaan antara pria dan wanita itu sangat sulit dipahami, bukan hal yang sepenuhnya subjektif maupun objektif."Lionel mengerutkan kening, menolak untuk berpikir ke arah sana. Karena di masa mudanya, dia pernah mencintai seseorang. Dia tahu betul seperti apa rasanya jatuh cinta.Setelah sesi konsultasi berakhir, Lionel mengancingkan jasnya dan keluar dari ruang konsultasi.Di luar, Reyna menunggu di depan pintu. Saat melihatnya keluar, Reyna bertan
Frenny sedang sakit, jadi tentu tidak mungkin melakukan hubungan suami istri. Dia kembali ke ranjang untuk beristirahat.Dari arah kamar mandi, terdengar suara gemercik air. Lionel sedang mandi. Suara air itu menenangkan, membuat Frenny mengantuk. Tanpa sadar, Frenny pun tertidur.Dalam mimpinya, Lionel masih saja terus mengganggunya, tidak mau melepaskannya. Saat terbangun lagi, waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.Di kamar hanya ada satu lampu baca yang menyala. Lionel bersandar di ujung ranjang, sedang membaca dokumen penting.Penampilannya memang luar biasa. Bahkan hanya dengan jubah mandi putih, dia tetap tampak memukau. Frenny sekalipun tidak bisa menahan diri untuk menatapnya beberapa kali.Gerakan kecil dari tempat tidur membuat Lionel menoleh. Dia menatap Frenny sambil bertanya pelan, "Sudah bangun?"Frenny mengangguk. "Sekarang jam berapa?"Lionel meletakkan dokumen di tangan, lalu membaringkan setengah badannya dan merangkul pundak istrinya. Suaranya terdengar lembut d
Tak lama kemudian, Lionel membuka pintu kamar utama.Kamar itu tenang dan sunyi. Di udara tercium samar aroma feminin. Saat melangkah lebih dalam, dia melihat Frenny terbaring di ranjang. Tampaknya sedang tertidur.Lionel berjalan mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang. Dia menyibakkan helaian rambut dari wajah Frenny dan menyentuh keningnya. Masih panas.Frenny terbangun, demam membuatnya tampak linglung. Tatapannya bertemu mata Lionel. Suara lembut keluar dari bibirnya. "Kamu sudah pulang?"Jantung Lionel berdebar-debar. Dia mengelus lembut wajah istrinya dan menjawab pelan, "Aku sudah minta mereka bawakan bubur ke atas. Makan sedikit, baru tidur lagi. Badanmu masih nggak enak ya?"Saat menyentuhnya, Lionel seperti mengelus anak anjing kecil. Frenny merasa sedikit canggung. Dia mengangkat tangan dan menyentuh kening Lionel. Pria ini tidak demam.Lionel terkekeh-kekeh, merasa kesal sekaligus geli. "Salah ya kalau aku perhatian? Dulu kamu selalu bilang aku kurang peka."Frenny bersand
Di ruang rapat, Lionel sedang memimpin rapat pagi saat Reyna masuk sambil membawa ponselnya. Lionel mengangkat alis, sedikit terkejut, lalu mengambil ponsel itu.Suara dari seberang adalah suara asisten rumah tangganya. "Tuan, Nyonya sakit. Demamnya sudah sampai 39 derajat, aku khawatir Nyonya nggak kuat."Meskipun agak dramatis, pesannya cukup jelas.Lionel hendak bicara, tetapi menyadari para eksekutif di ruang rapat sedang memandangnya, dia tersenyum ringan. "Frenny sakit. Dia telepon cuma buat manja-manja, suruh aku pulang cepat."Para eksekutif terdiam. Kalau bukan karena mereka tahu betapa parahnya pertengkaran Lionel dengan Frenny sebelumnya, mereka mungkin akan percaya.Setelah pamer kemesraan, Lionel berpesan kepada pembantu untuk menjaga Frenny baik-baik dan berjanji akan pulang lebih cepat. Tutur katanya penuh perhatian, seolah-olah dirinya adalah suami ideal.Setelah menutup telepon, Lionel lanjut memimpin rapat. Hal pertama yang diumumkan adalah Natasha dikeluarkan dari Pr
Lionel menyalakan sebatang rokok, lalu melangkah masuk ke ruang VIP di rumah sakit. Kebetulan saat itu, Dennis sedang melakukan konsultasi di sana.Melihat Lionel datang, Dennis menyapa dengan senyum tenang. "Lionel, kamu juga datang. Rencana operasinya sudah hampir beres, tinggal menentukan tanggal operasinya saja."Kondisi tubuh Tabita belum cukup kuat, jadi masih perlu pemulihan. Akhirnya, Dennis menetapkan operasi akan dilakukan dua minggu lagi. Frenny pun merasa lega.Dennis juga mengundang seorang teman lamanya. Lionel pun mengantar mereka sampai ke tempat parkir.Sepanjang jalan, Dennis terus memuji Frenny. Sebelum pergi, dia menepuk pundak Lionel sambil berpesan, "Perlakukan dia baik-baik. Dia gadis yang baik, aku bisa lihat itu. Kalau kamu lepasin dia, belum tentu dapat yang sebaik ini lagi."Lionel tersenyum tipis dan membukakan pintu mobil untuk Dennis. "Tenang saja, Paman Dennis."Dennis tertawa dan masuk ke mobil. Tak lama kemudian, mobil mewah itu perlahan melaju dan mele
Lionel berbaring di atas ranjang, tatapannya dalam dan kelam. Tak lama kemudian, dia juga turun dan masuk ke kamar mandi. Frenny sedang mencuci muka.Pria itu memeluk pinggang rampingnya dari belakang, dagunya bertumpu di bahu sang istri. Suaranya rendah dan serak. "Tunggu dua tahun lagi ya? Setelah aku 30 tahun, kita baru punya anak. Kamu 'kan selalu bilang ingin melakukan sesuatu."Frenny mengangkat kepala, menatap wajah tampan Lionel di cermin, seolah-olah sedang melihat orang asing.Setelah hening beberapa saat, Frenny tersenyum tipis. "Lionel, trik apa lagi yang kamu mainkan?"Ucapan itu menohok. Hati Lionel terasa sakit. Dia tidak menjawab, hanya langsung mengangkat tubuh Frenny, menggendongnya sampai ke depan jendela besar kamar. Di bawah cahaya matahari pagi, dia terus mencium Frenny ....Tirai putih melambai ringan ditiup angin pagi. Tubuh wanita itu lembut dan halus bagaikan sutra.....Menjelang siang, pasangan suami istri itu baru keluar dari kamar. Frenny masih harus menje
Di luar dugaan, Lionel berhenti bergerak. Dia menunduk menatap Frenny yang berada dalam pelukannya. Jakunnya bergerak naik turun, menunjukkan betapa berusaha dia menahan diri.Beberapa saat kemudian, Lionel bangkit dari tubuhnya. Bisa dibilang, dia melepaskan wanita itu malam ini. Dengan ekspresi datar, Lionel berkata, "Mandi sana."Ketika Frenny bangkit, kedua kakinya terasa lemas dan gemetar. Saat tertatih-tatih menuju kamar mandi, dia bahkan terkejut melihat bayangannya sendiri di cermin, terlalu berantakan dan kacau.Di kamar tidur, Lionel membalikkan tubuh. Setelah menarik napas beberapa kali, dia meraih laci di samping tempat tidur, mengambil sebungkus rokok, lalu meletakkan sebatang rokok di bibirnya.Kemudian, dia berjalan ke depan jendela besar di ruang tamu untuk duduk, membuka sedikit celah, dan berdiri di sana sambil perlahan mengisap rokoknya.Cahaya lampu kekuningan menyinari wajah Lionel. Bagian wajah yang terkena cahaya terlihat bersih, sementara kelopak matanya membent