"Saya tidak bisa, Ma!" Ageng menggelengkan kepala untuk mempertegas keputusannya. "Saya sangat mencintai Queen, dan saya akan mempertahankan pernikahan saya bagaimanapun caranya.""Mau pakai cara apa lagi? Queen tidak mencintaimu, lalu apa yang akan kamu pertahankan dari pernikahan tanpa cinta seperti ini?" cecar Laras dengan nada penuh emosi.Sampai saat ini Laras masih sangat kecewa dengan Queen yang diam-diam memasang IUD di rahimnya. Bagi Laras apa yang dilakukan oleh Queen adalah sebuah kesalahan fatal yang tidak termaafkan."Jika dia mencintaimu, tentu dia akan dengan senang hati melahirkan anak-anakmu,” sambung Laras berharap bisa meyakinkan Ageng dan membuatnya mengubah Keputusan."Ma!" sergah Arya Suta sambil menggelengkan kepala memberi jika dia tidak sependapat dengan sang istri. "Anak-anak sudah dewasa, Ma! Biarkan mereka menentukan hidup mereka sendiri-sendiri, mereka sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi biarkan mereka menentukan apa yang menurut mereka ada
“Nenek rasa kalian butuh waktu untuk bicara berdua untuk menyelesaikan masalah dengan baik-baik. Apa pun nanti keputusan kalian, nenek harap kalian tetap bisa berhubungan dengan baik.”Ageng tertegun dan kecewa saat mendengar ucapan Kartika yang secara tersirat mendukung jika mereka berpisah. Pikiran buruk pun memenuhi benak Ageng, ada rasa takut, jika selama berada di rumah sang nenek Queen telah dicuci otaknya agar segera meninggalkan dirinya.Sementara itu Queen masih tetap diam, dia masih tidak percaya melihat Ageng sudah berdiri di hadapannya. Terasa seperti mimpi yang menjadi nyata, seperti harap yang telah terwujud. Bahkan untuk saat ini Queen sudah lupa tujuan awal dia meninggalkan Ageng, hingga membuatnya terdampar di rumah sang nenek yang sudah lama tidak dia kunjungi.“Nenek keluar dulu.” Kartika pamit undur diri, tetapi seperti masih ada hal yang mengganjal di hatinya dan harus dia ungkapkan di hadapan pasangan muda di depannya itu. “Bicarakan masalah kalian dengan baik-ba
Pada saat sang nenek dan juga sepupunya sedang cemas memikirkan keselamatannya, Queen justru sedang menikmati puncak kenikmatan bersama Ageng. Dengan tubuh yang bersimbah keringat, Ageng belum ada niat untuk menutupi tubuh bagian atasnya, dipeluknya dengan erat tubuh sang istri seolah jika longgar sedikit saja, Queen akan kembali meninggalkan dirinya.Begitu juga dengan Queen, dia masih ingin menikmati kebersamaan dengan Ageng. Queen terlihat begitu nyaman saat kulit tubuhnya masih menempel di tubuh Ageng. Dengan manja Queen menyandarkan kepalanya di dada Ageng sambil memainkan jemarinya di dada kekar tersebut. Dalam posisi yang seperti ini Queen bisa menikmati aroma tubuh sang suami dan juga mendengarkan irama detak jantung Ageng, Aroma parfum yang bercampur dengan keringat, terasa membawa kekhasan tersendiri pada tubuh Ageng.“Maafkan aku yang telah menyakitimu.” Dengan tatap mata yang nanar, Ageng mengusap lembut punggung Queen. “Atas semua kesalahan yang telah aku lakukan, aku har
Kartika berjalan beriringan dengan Ari Nugraha menuju ke mobil. Tiba-tiba perempuan sepuh itu ingin menginap di rumah cucunya, dengan alasan sudah rindu kepadan cicitnya. Tentu hal itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Kartika, karena sebenarnya dia hanya ingin memberi waktu kepada Queen dan Ageng untuk menyelesaikan masalah berdua.“Aku datang malah nenek pergi,” ucap Queen terdengar manja dan merajuk setelah mengetahui jika neneknya akan ikut Ari Nugraha.“Mumpung ada Ageng di sini, jadi nenek bisa puas- puasin main sama cicit. Nanti kalau sudah gede dikit sudah pada pergi dan lupa sama yang tua ini.” Secara tidak langsung Kartika mengucapkan keluh-kesahnya yang harus hidup sendiri, sementara anak-anak dan cucunya sudah memiliki kehidupan sendiri-sendiri.“Aku nggak, aku masih sering ke sini.” Ari Nugraha membantah ucapan sang nenek.Kartika mengusap lembut lengan Ari Nugraha, satu-satunya cucu yang masih sering mengunjunginya. Bahkan tiap akhir pekan mereka berkumpul, entah di
“Di mana Nenek, dari tadi aku tidak melihatnya?” tanya Ageng sambil memeluk Queen yang sedang memasak makan malam di dapur.“Nenek ikut ke rumah Ari,” jawab Queen apa adanya sambil melanjutkan kegiatannya yang sebentar lagi selesai.“Pengertian banget.” Ageng langsung melabuhkan kecupan di leher Queen setelah mengetahui jika hanya mereka berdua yang tinggal di rumah tersebut.Queen segera mematikan kompor setelah yakin masakannya sudah matang. Dia segera membalikkan tubuhnya agar bisa beradu pandang dengan suaminya.“Nenek memberi waktu agar kita menyelesaikan masalah.”“Aku akan melakukan apa pun agar kau bersedia kembali kepadaku.”Ageng semakin mengeratkan pelukannya pada Queen, disandarkannya kepalanya dengan manja di bahu sang istri seperti anak kecil yang sedang merayu ibunya. Tentu Ageng tidak ingin perjalanan jauh yang sudah dia tempuh bahkan harus meninggalkan pekerjaan dan melawan sang mama harus berakhir dengan sia-sia.“Makan dulu yuk!” Queen berusaha melepaskan dirinya da
Tidak mudah untuk meyakinkan Queen atas keputusan yang sudah dia ambil, tetapi hal itu tidak membuat Ageng menyerah begitu saja. Ageng merapikan selimut untuk menutupi tubuh polos Queen, dia harus segera kembali karena baru saja sang papa menghubunginya untuk membantu mengurus perusahaan. Keadaan Laras yang belum sepenuhnya pulih membuat Ageng tidak bisa mengabaikan panggilan sang papa begitu saja.Ageng melabuhkan kecupan singkat di dahi Queen sebagai salam perpisahan. Dalam hati dia berjanji, saat kedatangannya nanti hubungan mereka sudah jauh lebih baik, dan Queen akan bersedia untuk kembali mendampinginya.Bukan bermaksud tidak menghormati Kartika, kala Ageng hanya berpamitan dengan menghubungi perempuan sepuh itu melalui ponsel, tetapi urusan dengan sang papa memang sangat mendesak. Ageng berharap sang nenek bisa memaklumi tindakannya tersebut, dan masih memberi kesempatan untuk menemui Queen setelah semua urusannya selesai.Setelah menempuh perjalanan antar kota yang cukup menyi
“Kau sudah bangun?” Suara lembut itu menyapa Queen dengan begitu hangatnya.Queen tidak langsung menjawab, tatap matanya menyapu seisi ruangan mencari keberadaan Ageng. Tidak ada, lelaki yang tadi malam mengucapkan berulang kali kata cinta, mengucap janji akan melakukan segala cara untuk mempertahankan pernikahan mereka, pada kenyataannya hari ini tidak terlihat batang hidungnya.“Ya,” jawab singkat Queen yang terlihat enggan dan kecewa.“Mama sudah membuatkanmu steak tenderloin kesukaanmu, tentunya dengan saos lada hitam. Mama harap kau suka.” Dengan cekatan Rania mempersiapkan masakannya di meja makan, menu masakan yang dahulu menjadi favorit keluarganya saat dia masih bersama Eddy.Queen pun menelan ludah kala menyaksikan makanan yang sudah terhidang. Saat sendiri, menikmati steak tenderloin adalah cara Queen untuk mengobati rasa rindu akan masa lalu yang bahagia, saat keluarganya masih utuh dan rukun sebelum badai prahara menerjang. Namun, saat melihat sang mama kembali menghidang
Queen masih berada di posisinya semula, melihat drama sang mama. Meskipun Queen merasa kecewa dengan keputusan sang mama di masa lalu, tetapi hatinya terasa teriris saat mendengar tangis wanita yang telah melahirkannya ke dunia. Sementara itu di sisi yang berbeda, Ari Nugraha hanya bisa diam memberi kesempatan kepada eyang dan juga bibinya untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Tatap mata pengacara muda itu mencari sepupunya tersebut, berharap masalah ini tidak membuat Queen semakin terpuruk. “Kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati, tapi kamu juga tanpa perasaan memasuki rumah tangga orang lain,” ucap Kartika yang terlihat menahan amarah. “Bukan seperti itu ceritanya, Bu!” Sebagai seorang suami Surya Wijaya akan selalu berusaha untuk melindungi Rania, istri yang sangat dia cintai. Kartika menatap tajam ke arah menantunya. Meskipun Surya Wijaya lahir dari keluarga yang kaya, tetapi sejak awal Kartika tidak menyetujui hubungannya dengan Rania. Penghinaan yang pernah diberikan
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l