"Selamat siang, Pak William." Kanaya segera bangkit dari duduknya, dan mengulurkan tangan pada William. Jantung Kanaya berdegup dengan kencang saat ini, dia belum mempersiapkan diri untuk bertemu dengan William Alessandro. Ada rasa bersalah dan tidak enak pada pria itu setelah keluarga Danendra menolak perjodohan mereka tiga tahun yang lalu. Dan secara tidak langsung menjadi penyebab kematian dari George Alessandro. Kanaya terlalu sibuk membantu Zico mengurusi pernikahan Anindya dan Ivander. Dia melupakan keberadaan William yang memiliki peran penting dalam pernikahan ini, karena pria itu merupakan Ayah kandung Ivander. Kanaya meneguk kasar ludahnya, merasakan ketakutan apabila William akan balas dendam atas penolakan tiga tahun yang lalu. Dan di pernikahan Ivander dan Anindya yang hanya terhitung beberapa hari lagi, William menyuruh Ivander untuk membatalkannya. Lalu, bagaimana dengan nasib Anindya yang sedang hamil nantinya? Keringat sudah membasahi pelipis Kanaya saat ini, d
"Jadi, Pak William ngerestuin pernikahan Anindya dan Ivander?"Kanaya bertanya selepas dari rasa terkejutnya. Hatinya kini begitu tenang mendengar ucapan William. Ternyata kemarahan William terhadap keluarga Danendra, tidak membuat William mengabaikan bayi dalam kandungan Anindya yang merupakan cucu kandungnya. William terdiam sejenak, dia menatap lekat Anindya yang kini menatap dirinya dengan rasa terkejutnya. Wanita menatap khawatir padanya yang kini kembali mengeluarkan suara. "Saya memang nggak setuju sama pernikahan kalian berdua, tapi keadaan kali ini nggak bisa buat saya terus bertindak egois. Saya restuin pernikahan ini, mungkin ini takdir untuk kalian berdua berjodoh."Selepas bertemu dengan Ivander dua hari yang lalu, William memikirkan tentang Anindya dan Ivander semalaman. Dia bahkan rela tidak tidur untuk memikirkan apa yang telah terjadi pada Anindya dan Ivander. Dia merasa keduanya sudah ditakdirkan untuk berjodoh, terbukti dengan Anindya yang awalnya menolak perjodoh
"Nggak mungkin mereka nikah!" Lingga menggeleng menolak percaya atas berita yang kini tersebar di berbagai media. Dia meremas ponsel yang berada di genggaman tangannya, melihat berita yang terpampang pada televisi yang berada di depannya. Meskipun, Anindya sudah memberitahu dirinya tentang pernikahannya dengan Ivander. Lingga tetap tidak bisa mempercayainya, lebih tepat tidak ingin mempercayainya. Anindya tidak mungkin semudah itu melupakan dirinya dan menggantikan posisi diirnya di hati wanita itu. Lingga tahu sebesar apa perasaan Anindya selama ini untuknya, Anindya begitu sabar menghadapi sikap dirinya yang selalu cuek dan juga hinaan dari kedua orang tuanya. Aninsya masih terus bertahan karena rsa cintanya yang begitu besar pada Lingga. Ini hal yang mustahil untuk Anindya, mungkin ada alasan lain di balik pernikahan Anindya dengan Ivander. "Lingga, bilang kalo berita pernikahan Anindya itu palsu!" Melani berteriak saat memasuki kamarnya. Mengejutkan Lingga yang terjeba
"Jangan gila, Melani! Apa yang mau kamu lakuin sama, Nindy?!" Seketika wajah Lingga langsung berubah, kilatan matanya kini menyorot Melani dengan tajam. Dia benar-benar tidak mempercayai sikap Melani beberapa Minggu terakhir, semenjak skandal perselingkuhan bersama dirinya tersebar. Padahal sebelumnya, Melani yang dia kenal itu memiliki hati selembut sutra, tutur katanya yang sopan, dan sangat anggun. Yang membuat Lingga jatuh cinta pada Melani, bukan karena kecantikan wanita itu saja atau karir wanita itu sebagai aktris yang sedang naik daun. Alasan Lingga menikahi Melani dan meninggalkan Anindya yang statusnya menjadi istrinya sahnya setelah pernikahan mereka satu bulan. Bahkan, ketika Melani dan dirinya menikah secara agama keadaan Melani sedang hamil. Ya, Lingga memang sudah memiliki hubungan dengan Melani jauh sebelum pernikahannya dengan Anindya. Andai saja saat itu dia tidak memikirkan karir Melani yang sedang naik daun, rumah tangga dirinya dengan Melani sudah bahagia
"Sayang, kamu ngapain keluar kamar? Mama kan udah bilang kalo butuh sesuatu panggil Mama aja biar nanti Mama yang anterin ke kamar!" Melihat kehadiran Anindya yang menuruni anak tangga, Kanaya segera menyambutnya dengan Omelan panjangnya di pagi hari. "Mama baru aja nyiapin sarapan di meja, setelah Papa kamu turun Mama bakal anterin sarapan buat kamu ke atas!" lanjut Kanaya lagi membuat Anindya terkekeh pelan. Kanaya ingin memastikan Ardiaz sarapan sekalian berpamitan, sebelum dia ke kamar Anindya untuk menyuapi putrinya itu sarapan pagi. "Aku bosen 3 hari di kamar aja, Ma. Aku juga mau keluar, sarapan bareng Mama sama Papa di meja makan!" Anindya menerima uluran tangan Kanaya yang ingin membantu Anindya berjalan memasuki ruang makan. Semenjak keluar dari rumah sakit sore hari itu, Kanaya, Ardiaz dan juga Ivander begitu membatasi pergerakan Anindya. Bahkan, Ivander mengatakan padanya jika pria itu menginginkan Anindya untuk tinggal bersamanya agar Ivander bisa memastikan
"Sayang, Mama pergi dulu, ya. Kamu di rumah sama BI Ira, jangan kemana-mana sampe Mama pulang, oke?" Kanaya memasuki kamar Anindya sudah rapi dengan gaun berwarna merah yang tampak elegan menempel pada tubuhnya. Dia menarik tungkak kakinya mendekati Anindya yang sedang duduk di atas kasur sambil membaca sebuah novel yang dia beli sepulang dari syuting satu Minggu yang lalu. Meskipun, Anindya merupakan seorang penulis novel yang namanya sudah terkenal di seluruh kota Pandora. Bahkan, novelnya saat ini diangkat menjadi film layar lebar di mana Anindya menjadi pemeran utama dalam film adaptasi novelnya. Sungguh keajaiban yang sangat luar biasa, kehidupan Anindya begitu menderita selama 3 tahun pernikahannya dengan Lingga. Dan Tuhan memperbaiki kehidupannya satu persatu dengan cara yang sangat tak terduga. Anindya tersenyum sambil menutup novel di tangannya. Dia meletakan buku novel yang begitu tebal itu dengan asal, lalu dia mulai merubah posisinya dengan menurunkan kedua kakinya d
"Non Anin, mau kemana?" Bi Ira berjalan tergesa-gesa mendekati anak majikannya yang menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Dia mendapatkan pesan dari Kanaya untuk menjaga Anindya di rumah saat wanita itu pergi. Bahkan Kanaya menyuruh dirinya untuk melarang Anindya keluar dari kamarnya. Sehingga melihat Anindya yang menuruni anak tangga dengan lincah. Tidak lupa dengan pakaian rapi seperti ingin keluar rumah. "Bibi, aku ingin pergi sebentar aja. Ada keperluan yang buat aku kepaksa harus keluar." Anindya menghentikan langkahnya di depan Bi Ira yang menatap dirinya khawatir. "Non, kalo butuh apa-apa langsung kabarin Bibi aja. Biar Bibi yang keluar, Non Anin di rumah aja." Bi Ira mencegah Anindya yang ingin keluar. Dia melirik tas jinjing kecil yang berada di tangan Anindya. Anindya dengan cepat menggeleng mendengar ucapan Bi Ira. "Nggak perlu, Bi. Biar aku yang keluar sendiri, lagian aku udah baik-baik aja, kok." Anindya begitu panik melihat tatapan memicing dar
"Gimana, Lingga? Kamu berhasil, kan buat dia pingsan?" Melani melirik Anindya yang kedua matanya tertutup. Mungkin, benar jika Anindya berhasil dibuat pingsan oleh Lingga yang menutup mulut wanita itu dengan sapu tangan yang diberikan obat bius. Seperti yang mereka rencanakan sebelumnya. "Cepat buka pintunya, berat sekali ini!" Lingga yang kini menggendong tubuh Anindya dalam pelukannya, tubuh wanita itu begitu berat. Ini pertama kalinya bagi Lingga mengangkat Anindya dalam gendongannya. Melani berdecak kesal mendengar nada bicara Lingga yang ketus sejak tadi. Padahal Melani tidak merasa memiliki salah dengan suaminya itu. Dia menuruti perintah Lingga yang meminta dibukakan pintu mobil dan memasuki Anindya ke belakang kursi penumpang. Setelah itu, Melani masuk ke dalam kursi penumpang bagian depan dan Lingga memasuki bangku pengemudi. "Kamu udah mastiin kalo tadi nggak ada yang liat, kan?" Melani hanya ingin memastikan, dia takut jika nanti rencananya gagal dan ketahuan ole
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar, me
"Dengar, ya, Lingga. Saya akan lepasin kamu malam ini juga, tapi jangan pernah katakan apa yang telah terjadi padamu selama hampir satu minggu ini." Ivander melipatkan kedua tangan di depan dada. Di samping pria itu, Bima berdiri dengan jaket kulit berwarna hitam menggunakan topi hitam, kaca mata hitam, dan juga masker berwarna hitam. Bima selalu menggunakan pakaian serba hitam selama hampir seminggu menyiksa Lingga dan juga Rizhar, dia rela menginap di gudang eksekusi milik Ivander.Saat menyiksa Lingga, Bima tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Mulutnya diam, tapi tangan dan kakinya tidak. Rasanya begitu puas setiap kali mendengar teriakan penuh kesakitan dari Lingga, tubuh kekar pria itu dipenuhi oleh luka-luka dan juga memar bekas pukulan besi yang dilayangkan oleh dirinya. "Nggak bisa kaya gini! Apa yang kamu dan anak buahmu lakukan itu udsh keterlaluan. Kamu nyulik dan nyiksa saya sama Rizhar, saya nggak mungkin diem aja." Lingga dengan suara lemah melayan
"Bajingan kaya kamu nggak layak untuk hidup." Ivander dengan tak berperasaan menendang Lingga yang tengah memejamkan kedua matanya di sisi Rizhar. Lingga dan juga Rizhar lagi dan lagi mendapatkan pukulan dari anak buah Ivander, serangan yang diberikan oleh anak buah Ivander membuat Lingga pingsan. Sedangkan Rizhar masih menahan kesadarannya sambil menahan sakit. Lingga yang terkejut dengan tendangan keras Ivander, reflek membuka matanya. Dinding yang catnya sudah pudar dilapisi oleh jamur menjadi hal pertama kali yang Lingga lihat selama beberapa hari terakhir berada di tempat ini. Ivander mendorong dada bidang Ivander, kaki Ivander yang terbalut sneakers itu menekan dada Lingga sampai pria itu terdorong ke belakang. Punggungnya menempel pada tiang besi yang terpasang rantai yang melingkar di kedua tangan Lingga. Napas Lingga terasa sesak, dia mencoba meraup udara segar untuk mengurangi rasa sesak pada rongga dadanya yang penuh. Tangan Lingga mencengkeram kaki Ivander yang
"Pak Ivander, gawat. Marisa mau lapor ke polisi atas kehilangan Lingga!" Suara Bima terdengar panik di sebrang sana. Membuat pergerakan Ivander yang tengah mengeringkan rambut menggunakan handuk. Ponselnya dia letakan di atas nakas dengan mengeraskan suaranya. Ivander meletakan handuknya di atas kasur, lalu dia mengambil ponselnya mendekatkan pada telinganya. "Bagaimana ini, Pak?" Suara Bima kembali terdengar panik. "Tunggu dua puluh menit, saya ke sana sekarang." Tanpa menunggu respon dari Bima di sebrang sana. Ivander segera memutuskan panggilan telepon secara sepihak. Dia melempar asal ponselnya di atas kasur, Ivander segera mengenakan kaos polo untuk menutupi tubuh atletisnya. Ivander terpaksa harus pergi meninggalkan Anindya di villa seorang diri. Padahal ini hari pernikahan dirinya dengan Anindya, Ivander sangat ingin makan malam bersama Anindya dengan status mereka yang sudah menjadi sepasang suami istri. Ivander menyambar ponselnya kembali dan memasukkannya k
"Aku nggak tau harus bersikap kaya gimana di depan Ivander!" Anindya menatap pantulan dirinya di depan cermin dengan gusar. Dia termakan omongan wanita semalam yang mengatakan Ivander hanya ingin membalas dendam padanya saja. Itu yang membuat Anindya terus meragukan perasaan Ivander, di sisi lain dia dapat melihat ketulusan hati dan sikap Ivander padanya. Namun, bisa saja apa yang dilakukan Ivander padanya hanyalah akting. Namun, jika benar itu akting kenapa terlihat sangat natural? Ah, sial rasanya Anindya ingin berteriak untuk melampiaskan rasa stressnya. Kepalanya terasa penuh, dia tidak pernah bisa merasakan tenang sedikitpun. Ada saja hal yang harus dia pikirkan. "Sebenarnya motif kamu buat nikahin aku itu apa?" Anindya menatap penuh keseriusan pada cermin di depannya. Seolah sosok Ivander berada tepat di depannya. "Bukannya niat kamu cuma tanggung jawab aja, kan?" Anindya menggeleng miris dengan tatapan sendu. "Seminggu yang lalu aku baru aja keguguran, bayi dalam kandung
"Yang kamu maksud sampah itu Melani?" Anindya menutup mulutnya menahan tawa. Ternyata suaminya yang kaku ini bisa membuat dirinya tertawa juga, karena merasa lucu dengan ucapannya. Sekedar menyebut Melani dengan sebutan sampah, Anindya ingin tertawa detik ini juga. Ivander mengangguk membenarkan tebakan Anindya. "Ketawa aja, Sayang. Nggak usah ditahan!" Akhirnya Anindya melepaskan tawanya dengan tangan yang menutupi mulutnya dengan anggun. Membuat Ivander ikut terkekeh pelan melihat Anindya yang sempat murung kembali ceria lagi. Mudah sekali Anindya merubah ekspresinya. "Ivan, maaf ya aku mau ngomong sesuatu. Kamu jangan marah sama aku, ya?" Anindya menghentikan tawanya. Kini tatapannya terlihat begitu serius berhasil mengundang kerutan pada dahi Ivander yang kini merasa bingung. "Mau ngomong apa? Aku janji nggak bakal marah!" Ivander tidak bisa marah pada Anindya, bahkan saat Anindya menolak dirinya tiga tahun yang lalu dan lebih memilih menikah dengan Lingga. Dia hanya b
"Pemandangannya sangat indah. Aku jadi terinspirasi buat bikin novel baru dengan latar tempat di dekat pantai. Mungkin, kedua pemeran utama nanti selalu menikmati keindahan senja di sore hari dengan nuansa romantis." Binar penuh kekaguman terlihat jelas pada tatapan Anindya saat menatap langit sore. Langit yang semula biru tenang kini berubah warna menjadi perpaduan antara warna merah, oranye dan juga ungu yang mulai menyatu dalam sebuah keindahan yang tak bisa diabaikan. Mentari yang perlahan tenggelam di ufuk barat, setelah menyelesaikan tugasnya hari ini. Seolah memberi salam perpisahan yang menyinari laut dengan cahaya keemasan yang berkilau. "Setelah project film Dalam Jejak Cinta selesai. Apa rencana kamu nantinya, Anindya?" Ivander sejak tadi tak melepaskan pandang sedetikpun dari wajah cantik Anindya. Melihat senyum indah pada wajah Anindya, tanpa sadar menular pada Ivander yang kini ikut mengukir sebuah senyuman tipis. Kebahagiaan Anindya sangat sederhana, hanya meli