"Aku nggak tau isi hati orang itu kaya gimana. Bisa aja di depan aku dia kaya gimana dan di belakang aku bakal beda lagi." Yang dimaksud oleh Anindya adalah Ivander. Dia sengaja menyindir pria itu tanpa menyebut langsung nama Ivander. "Itu bisa aja terjadi, bahkan sering kali aku Nemu orang kaya gitu," lanjut Anindya menambahkan lagi. Ivander mengusap wajahnya kasar, dia menarik kembali kursi dan mendudukkan diri di sana. Dia mengangkat satu kaki bertumpu dengan kaki lainnya. Ivander menatap wajah Anindya yang kini menatap dirinya. Terlihat jelas keraguan dari wajah Anindya, wanita itu tidak mempercayai dirinya. Anindya tidak bisa melihat ketulusan Ivander, wanita itu hanya menganggap semua yang Ivander lakukan itu hanya sekedar rasa tanggung jawab saja. Anindya tidak tahu bahwa Ivander menyimpan perasaan pada wanita itu selama tiga tahun ini? Ivander mengira setelah Anindya tahu bahwa Ivandrr adalah pria yang dijodohkan oleh Anindya tiga tahun yang lalu. Kenyataannya Iv
"Nindy, kamu kenapa nangis?" Daren menatap khawatir pada Anindya yang kedua matanya sembab. Dia baru saja kembali dari lokasi syuting, Daren berinisiatif mengambil barang-barang milik Anindya yang tertingal di sana. Anindya dengan cepat menggeleng, sambil tersenyum pada Daren. "Aku nggak papa, Daren. Makasih, ya!" Dia mengucapkan terima kasih, Karena Daren rela kembali ke lokasi syuting untuk mengambil barang-barang miliknya. "Kamu kenapa nangis, Nindy?" Daren mengulang kembali pertanyaannya yang belum mendapatkan jawaban yang pasti dari Anindya. "Kamu nangis karena Kakak?" Daren kembali melempar pertanyaan lain. Dia berpikir alasan Anindya nangis karena Ivander. Keduanya sempat berdebat, Daren tahu watak Ivander seperti apa. Mungkin pria itu telah menyakiti Anindya sampai membuat wanita itu menangis. "Aku nggak papa, Daren." Suara Anindya begitu serak sehabis menangis tadi. Daren berdecak pelan, dia memilih untuk tidak bertanya lagi. Dia tidak ingin membu
"Anindya, Mama kan udah bilang sama kamu buat istrirahat. Lihat, sekarang kamu harus di rawat di rumah sakit karena kamu nggak mau dengerin omongan Mama!" Dia detik setelah membuka pintu ruangan Anindya, Kanaya langsung menyemburkan kata-kata mutiaranya. Membuat Anindya dan Ivander yang berada di dalamnya menoleh dengan ekspresi terkejut. Pasalnya, Kanaya tidak mengucapkan basa-basi terlebih dahulu. Wanita itu seakan sudah menyusun beberapa kalimat untuk mengomeli Anindya, sehingga saat membuka pintu dia langsung mengeluarkannya tanpa ada jeda sedikitpun. Anindya semakin meringis mendengar ucapan Kanaya. Dia sedikit bernapas lega melihat kedatangan Kanaya yang tepat waktu, dirinya sangat tidak nyaman berduaan dengan Ivander yang sejak tadi diam saja sejak pria itu masuk kembali ke dalam ruangannya. Ivander hanya sibuk bermain ponsel tanpa mengucapkan satu kata pun pada Anindya. Itu sangat menyebalkan untuk Anindya yang tidak menyukai situasi seperti itu. Biasanya pria itu bany
"Mama mau liat reaksi mantan suami kamu sama wanita jalang itu pas tau kamu mau nikah sama Ivander." Kedua tangan Kanaya sibuk mengupas buah apel di tangannya untuk Anindya, tapi tatapannya sesekali melirik layar lebar televisi yang menampilkan berita panas pagi ini. Pernikahan Anindya dan Ivander resmi diumumkan pagi ini, membuat berapa media menampilkan kabar mengejutkan dari pria yang paling berkuasa di kota Pandora akan menikah dengan putri tunggal keluarga Danendra dalam waktu dekat ini. Hal itu sangat ramai dibicarakan oleh banyak orang di kota Pandora. Hal yang tidak disangka-sangka, karena sebelumnya keduanya tidak ada interaksi intens di antara Ivander dan Anindya. Namun, ada beberapa akun sosial media yang memposting sebuah foto Anindya dan Ivander di depan lokasi syuting saat Ivander mengantar jemput Anindya. Hal itu membuat berita pagi ini semakin panas. Anindya menoleh sambil memasukan satu potong apel ke dalam mulutnya. Dia menatap punggung tangan sebelah kirinya
"Selamat siang, Pak William." Kanaya segera bangkit dari duduknya, dan mengulurkan tangan pada William. Jantung Kanaya berdegup dengan kencang saat ini, dia belum mempersiapkan diri untuk bertemu dengan William Alessandro. Ada rasa bersalah dan tidak enak pada pria itu setelah keluarga Danendra menolak perjodohan mereka tiga tahun yang lalu. Dan secara tidak langsung menjadi penyebab kematian dari George Alessandro. Kanaya terlalu sibuk membantu Zico mengurusi pernikahan Anindya dan Ivander. Dia melupakan keberadaan William yang memiliki peran penting dalam pernikahan ini, karena pria itu merupakan Ayah kandung Ivander. Kanaya meneguk kasar ludahnya, merasakan ketakutan apabila William akan balas dendam atas penolakan tiga tahun yang lalu. Dan di pernikahan Ivander dan Anindya yang hanya terhitung beberapa hari lagi, William menyuruh Ivander untuk membatalkannya. Lalu, bagaimana dengan nasib Anindya yang sedang hamil nantinya? Keringat sudah membasahi pelipis Kanaya saat ini, d
"Jadi, Pak William ngerestuin pernikahan Anindya dan Ivander?"Kanaya bertanya selepas dari rasa terkejutnya. Hatinya kini begitu tenang mendengar ucapan William. Ternyata kemarahan William terhadap keluarga Danendra, tidak membuat William mengabaikan bayi dalam kandungan Anindya yang merupakan cucu kandungnya. William terdiam sejenak, dia menatap lekat Anindya yang kini menatap dirinya dengan rasa terkejutnya. Wanita menatap khawatir padanya yang kini kembali mengeluarkan suara. "Saya memang nggak setuju sama pernikahan kalian berdua, tapi keadaan kali ini nggak bisa buat saya terus bertindak egois. Saya restuin pernikahan ini, mungkin ini takdir untuk kalian berdua berjodoh."Selepas bertemu dengan Ivander dua hari yang lalu, William memikirkan tentang Anindya dan Ivander semalaman. Dia bahkan rela tidak tidur untuk memikirkan apa yang telah terjadi pada Anindya dan Ivander. Dia merasa keduanya sudah ditakdirkan untuk berjodoh, terbukti dengan Anindya yang awalnya menolak perjodoh
"Nggak mungkin mereka nikah!" Lingga menggeleng menolak percaya atas berita yang kini tersebar di berbagai media. Dia meremas ponsel yang berada di genggaman tangannya, melihat berita yang terpampang pada televisi yang berada di depannya. Meskipun, Anindya sudah memberitahu dirinya tentang pernikahannya dengan Ivander. Lingga tetap tidak bisa mempercayainya, lebih tepat tidak ingin mempercayainya. Anindya tidak mungkin semudah itu melupakan dirinya dan menggantikan posisi diirnya di hati wanita itu. Lingga tahu sebesar apa perasaan Anindya selama ini untuknya, Anindya begitu sabar menghadapi sikap dirinya yang selalu cuek dan juga hinaan dari kedua orang tuanya. Aninsya masih terus bertahan karena rsa cintanya yang begitu besar pada Lingga. Ini hal yang mustahil untuk Anindya, mungkin ada alasan lain di balik pernikahan Anindya dengan Ivander. "Lingga, bilang kalo berita pernikahan Anindya itu palsu!" Melani berteriak saat memasuki kamarnya. Mengejutkan Lingga yang terjeba
"Jangan gila, Melani! Apa yang mau kamu lakuin sama, Nindy?!" Seketika wajah Lingga langsung berubah, kilatan matanya kini menyorot Melani dengan tajam. Dia benar-benar tidak mempercayai sikap Melani beberapa Minggu terakhir, semenjak skandal perselingkuhan bersama dirinya tersebar. Padahal sebelumnya, Melani yang dia kenal itu memiliki hati selembut sutra, tutur katanya yang sopan, dan sangat anggun. Yang membuat Lingga jatuh cinta pada Melani, bukan karena kecantikan wanita itu saja atau karir wanita itu sebagai aktris yang sedang naik daun. Alasan Lingga menikahi Melani dan meninggalkan Anindya yang statusnya menjadi istrinya sahnya setelah pernikahan mereka satu bulan. Bahkan, ketika Melani dan dirinya menikah secara agama keadaan Melani sedang hamil. Ya, Lingga memang sudah memiliki hubungan dengan Melani jauh sebelum pernikahannya dengan Anindya. Andai saja saat itu dia tidak memikirkan karir Melani yang sedang naik daun, rumah tangga dirinya dengan Melani sudah bahagia
"Tapi kondisi kalian cukup mengkhawatirkan," petugas polisi menimpali. "Dan lokasi kecelakaan itu perlu kami tinjau, memastikan tidak ada hal yang mencurigakan." Rizhar merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika polisi menelusuri lebih jauh, mereka bisa menemukan jejak penculikan Ivander. Dan jika itu terjadi, Rizhar tahu masalah ini tidak akan berhenti di sini. "Kami sudah melewatinya, Pak." Lingga akhirnya berbicara, suaranya terdengar sedikit serak. "Kami hanya ingin pulang, bertemu keluarga, dan melupakan kejadian itu. Kami tidak ingin memperpanjang masalah." Petugas polisi saling bertukar pandang, tampaknya tidak puas dengan jawaban mereka. "Begini, Tuan Lingga—" "Tolong, Pak," Lingga memotong dengan suara yang lebih tegas. "Kami hanya ingin pulang." Keheningan mengisi ruangan. Marisa tampak semakin cemas. Sedangkan, Melani yang sejak tadi memperhatikan Lingga dari kejauhan melangkah mendekat. Dia terlalu syok melihat kehadiran Lingga dengan jarak satu meter di de
"Lingga, akhirnya kamu kembali, Nak!" Marisa yang melihat presensi Lingga yang melangkah memasuki kantor polisi segera berteriak dengan lantang. Dia berlari menerjang putranya dengan pelukan erat. "Astaga, Lingga!" Suaranya bergetar penuh emosi. Pelukannya begitu erat, seolah berusaha memastikan bahwa putranya benar-benar nyata berada di depannya. Seminggu tanpa kabar, seminggu penuh kecemasan yang menggerogoti hatinya setiap detiknya. Lingga meringis pelan saat pelukan sang Ibu menyentuh luka pada punggungnya. Pukulan besi yang dilayangkan oleh anak buah Ivander pada punggungnya menyisakan luka dengan rasa sakit yang luar biasa. Marisa yang mendengar Lingga meringis kesakitan. Buru-buru melepaskan pelukannya. Dia memeriksa tubuh Lingga dengan rasa khawatir dan panik yang begitu kentara. "Maaf, Mama nggak tau, Nak. Bilang sama Mama mana yang luka!" Marisa segera memeriksa seluruh tubuh Lingga. Untuk mengecek semua luka yang memenuhi tubuh putranya. Namun, dengan cepat Li
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap
"Dasar bajingan!" Dengan penuh Geraman, Lingga mengumpati Ivander Meskipun takut pada Ivander, Lingga dan Rizhar tetap menyimpan marah pada Ivander. Belum selesai rasa kesal mereka terhadap kemunculan Ivander, suara mesin lain yang lebih bising mendekat dari arah yang sama. Jaguar XJ, dengan desain yang tajam dan elegan, melesat melewati mereka seperti bayangan hitam. Dalam mobil tersebut, Lingga bisa melihat sekilas Zico di kursi pengemudi dan Bima di sebelahnya, wajah mereka tertutup oleh bayangan lampu kabin. Lingga merasakan darahnya mendidih. Kedua mobil itu melaju dengan angkuh, meninggalkan jejak debu yang naik ke udara malam. Mereka tidak hanya melewati Lingga dan Rizhar—mobil-mobil itu seperti simbol ejekan atas ketidakberdayaan mereka. Tapi Lingga tahu bahwa mereka tidak punya pilihan. Membalas dendam sekarang berarti membuka diri terhadap bahaya yang lebih besar. "Liat aja nanti. Hidup kalian akan hancur sebelum kalian menghancurkanku!" Lingga meantap penuh dendam pa
"Kapok aku nggak mau berurusan sama Ivander lagi!" Suara Rizhar terdengar penuh penyesalan. Seandainya hari itu dia menolak ajakan Lingga untuk menculik Anindya, bahkan dia secara tidak langsung menjadi penyebab Anindya mengalami keguguran. "Kenapa kamu nggak bilang kalo mantan istri kamu itu udah punya suami kaya iblis itu!" lanjut Rizhar menyalahkan Lingga yang sejak tadi diam berjalan tertatih di sampingnya. Dengan langkah berat keduanya terus menyusuri lahan luas yang terbentang di depan mereka. Pepohonan kering di sekitar danau menciptakan bayangan menakutkan di bawah cahaya bulan yang redup. Angin malam yang dingin menusuk kulit mereka, membawa aroma hutan yang lembap dan asing. "Aku nggak tau kalo Anindya saat itu lagi hamil." Lingga menjawab dengan napas yang memburu. "Aku pikir nggak akan terjadi apapun kalo aku merkosa Anindya saat itu. Karena, mau gimanapun Anindya itu mantan istri aku."
"Tutup mulut, dengan begitu hidup kalian berdua aman." Ivander menatap mereka berdua yang telah bebas dari rantai besi yang selama ini membelenggu. "Saya bisa menghancurkan hidup kalian kapan saja jika hal ini bocor. Paham?" Lingga dan Rizhar berdiri di depan Ivander, tubuh mereka lemah dan gemetar. Keduanya tampak kehilangan kekuatan setelah seminggu menerima siksaan fisik tanpa henti. Kaki mereka terasa seperti jelly, nyaris tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri setelah terbelenggu dan tak bergerak terlalu lama. Rizhar mengangguk ketakutan. Wajah pria bertato itu terlihat pucat, mencerminkan rasa takut yang mendalam terhadap Ivander. Pria itu, dengan tatapan dingin tanpa emosi, telah menunjukkan bahwa ia tak memiliki rasa iba sedikit pun. Semua siksaan, dari pukulan hingga tendangan, dilakukan tanpa ekspresi—seolah teriakan mereka adalah sesuatu yang tak pernah sampai ke telinganya. "Saya berjanji tidak akan bicara tentang ini. Tolong lepaskan saya," suara Rizhar bergetar,