"Rin," panggil Frans seraya menyadarkan Karin dari lamunannya.
Karin terperanjat, lalu menyahutinya. "Iya, Pak?""Malah bengong. Kenapa? Kamu keberatan kita cuma pergi berdua?""Ng–nggak kok, Pak. Saya sama sekali nggak keberatan. Dari pada menghabiskan waktu di sini, lebih baik kita ke dalam. Mau cari hadiah buat tunangan Bapak, kan?" Dari pada lama berduaan di tempat sepi, Karin lebih memilih mengajaknya untuk segera masuk ke dalam mal, segera menemukan apa yang diinginkan, setelah itu pulang."Ok. Kita ke dalam sekarang." Frans jalan lebih dulu, diikuti Karin dari belakang.Tempat pertama yang mereka datangi adalah butik langganan Frans bersama sang kekasih, Bella. Mereka berdua masuk ke dalam butik dan langsung disebut hangat oleh kedua pelayan yang berdiri di pintu masuk butik. "Selamat malam, Pak Frans.""Selamat malam.""Wah, senang sekali butik kami kedatangan pelanggan setia hari ini," ucap salah satu pegawai butik."Iya, saya baru ada waktu lagi untuk datang ke sini.""Sibuk ya, Pak.""Iya, begitulah." Frans tersenyum ramah."Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Tolong kamu carikan baju yang cocok untuk wanita spesial di sebelah saya." Setelah bicara demikian, Frans melingkarkan tangan pada pinggang Karin, lalu menariknya hingga ia bergeser lebih mendekat.Hal itu sontak membuat Karin terkejut, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, takut mempermalukan Frans di depan banyak orang, karena saat ini di sana bukan hanya ada dua pegawai, tetapi ada beberapa pelanggan yang sedang berbelanja."Oh untuk mbaknya, ya?" Tatapan wanita itu sempat berhenti di Karin, karena kali ini Frans tidak datang bersama Bella, melainkan bersama wanita lain."Iya," jawab Frans singkat."Baiklah. Mari ikut saya!"Pegawai butik itu berjalan lebih dulu menuju area baju pilihan terbaik juga termahal, diikuti Frans bersama Karin dari belakang. Begitu sampai di tempat khusus pelanggan yang memiliki banyak uang, pegawai butik itu pun mempersilahkan Frans juga Karin memilih baju mana pun yang mereka inginkan."Di sini Anda akan menemukan banyak pakaian yang cocok untuk wanita spesial di samping Anda," ucap wanita tersebut sambil tersenyum."Iya, terima kasih.""Jika Anda memerlukan bantuan, Anda bisa panggil saya. Saya standby di sudut kasir.""Oke.""Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak."Setelah pegawai butik itu pergi, Karin melayangkan protes. "Pak Frans, kenapa tadi Anda mengatakan kepada wanita itu kalau saya orang yang spesial buat Anda?""Terus, saya harus bilang apa? Pembantu? Nggak mungkin, kan? Lebih nggak mungkin lagi kalau aku bilang sama mereka kalau kamu calon istri aku.""Apaan sih, Pak?" protes Karin."Lupakan! Ayo, kamu bisa ambil berapa pun pakaian yang kamu mau.""Loh, kok saya sih, Pak?""Memangnya kenapa?""Bukannya saya disuruh Bapak pilih hadiah yang cocok buat pacar Bapak?""Bawa dua kantung belanjaan, yang satu kamu isi pakaian untuk pacar saya, yang satu kamu isi pakaian untuk kamu.""Saya juga mau dibelikan?" tanyanya lagi untuk memastikan."Iya dong, masa saya cuma beli buat pacar saya aja. Anggap saja saya kasih upah lebih untuk kamu, tapi ini berbentuk barang.""Oh, begitu ya, Pak. Ya udah deh, saya coba pilihkan baju yang menurut saya bagus ya, Pak. Tapi, postur tubuh pacar Pak Frans seperti apa?""Kamu. Tinggi juga kurusnya seperti kamu.""Oh, ya? Kenapa bisa pas begitu?"Frans mengangguk tanpa berkata, berdiri sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Ayo kita mulai cari."Karin berjalan di depan dan mulai memilih baju yang menurutnya bagus untuk dikenakan tunangan Frans. Sementara Karin memilih baju, Frans di belakang, dia berbalas pesan dengan sang kekasih.Frans: Aku lagi mengadakan pertemuan sama rekan kerja. Kita nggak bisa ketemu sekarang.Balasan yang Frans kirim kepada sang kekasih yang sejak lima jam lalu memintanya untuk bertemu.Bella: Setelah pertemuan selesai, aku tunggu kamu di hotel. Aku sangat merindukanmu, Sayang.""Nggak bisa, Bel. Ini pasti sampai malam."Setelah mengirim balasan, Karin memanggil Frans. "Pak Frans."Frans menoleh, seraya memasukkan handphonenya ke dalam saku jas. "Iya, ada apa?""Ini bagus nggak, Pak?""Kamu suka?"Karin mengangguk. "Suka.""Ya udah, ambil aja kalau kamu mau.""Baik, Pak." Karih memasukkan baju yang ditunjukkan tadi ke dalam kantung belanjaan yang isinya banyak. Kantung belanjaan milik Bella."Berapa baju yang ingin Bapak berikan kepada tunangan Bapak?" tanya Karin bertanya sambil menghitung baju di dalam kantung belanjaannya."Sebanyak yang mau mau.""Lima? Sepuluh?" tanyanya lagi."Terserah.""Kok terserah sih, Pak?""Menurut kamu gimana?""Kalau saya jadi tunangan Bapak, saya pilih semua yang ada di butik ini.""Ya sudah, kalau begitu kamu jadi tunangan saya saja."Pernyataan tersebut cukup mengejutkan. "Maksud Pak Frans?""Bercanda, Rin. Serius amat." Frans menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa ketertarikan dirinya terhadap Karin. Dia mengubah topik pembicaraan seputar rumah tangganya bersama Dani sambil memilih model baju yang lain."Dani pria yang baik?" Frans melontarkan sebuah pertanyaan, bukan pernyataan."Baik, dia sangat bertanggung jawab," jawab Karin berbohong sambil melihat salah satu jenis baju dengan model sabrina di bagian atasnya."Oh, ya? Dengan gaji satu setengah juta itu cukup buat satu bulan?" tanyanya lagi."Ya nggaklah. Mana ada satu setengah juta cukup buat satu bulan? Belum bayar kontrakan, bayar listrik, air, iuran bulanan ke RT. Kalau dihitung-hitung tinggal berapa sisanya? Pasti nggak bakal cukuplah," gumam Karin di dalam hati.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Frans memanggilnya lagi. "Karin.""Iya, Pak?" Karin menoleh."Kamu belum jawab pertanyaan saya.""Yang man, Pak?""Gaji suamimu cuma satu setengah juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan kamu selama satu bulan?""Dicukup-cukupin aja, Pak. Mau minta juga minta sama siapa? Kecuali gaji mas Dani ada kenaikan." Maksud Karin bicara seperti itu, siapa tau Frans akan menaikkan gaji suaminya, minimal jadi dua juta. Karin pun bicara seperti itu sambil tersenyum, agar tidak terlalu kelihatan serius."Naik gaji? Kalau aku naikkan, belum tentu juga Dani akan memberikan semuanya ke kamu.""Eh, kok. Dia kayak yang tau aja kalau aslinya mas Dani suka meminta sebagian gajinya?" batin Karin."Kenapa diam lagi? Apakah ucapan aku benar?" Frans tidak asal menebak, dia tahu persis pria modelan Dani begitu tidak akan memberikan semua uang gajinya kepada sang istri, padahal Dani sendiri punya uang lemburan yang cukup besar.Sebagai istri yang baik, Karin tidak mungkin membeberkan keburukan suaminya. Walau bagaimanapun dia tetep akan membela. "Nggak kok, Pak. Mas Dani menyerahkan semua uang gajinya." Kembali ia memilih model baju yang lain, berjalan ke barisan paling depan, diikuti oleh Frans dari belakang."Apakah tunangan Bapak akan menyukai warna ini?" Karin menunjukan dress dengan motif bunga berwarna dasar hitam kepada Frans."Kamu suka?" tanya Frans."Suka," jawaban Karin sambil mengangguk-anggukkan kepalanya."Tunangan saya akan menyukai semua warna yang kamu suka.""Kok seperti saya yang jadi tunangan Bapak, ya?""Kalau kamu mau, saya bisa menjadikan kamu tunangan saya."Mendengar pernyataan Frans, Karin pun tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Pak. Bapak ada-ada aja deh. Udah ah bercandanya."Mereka terus berbincang sambil memilih beberapa baju hingga akhirnya tidak terasa sudah dua jam mereka ada di butik tersebut dan dia kantung yang Karin bawa, sudah penuh dengan pakaian yang Karin pilih. Setelah mendapatkan apa yang diperlukan, mereka duduk berdua di sofa, sementara menunggu semua belanjaan sedang dihitung di kasir."Uang lembur malam ini sudah saya transfer ke rekening suami kamu. Sesuai dengan yang saya janjikan, sudah saya transfer sebanyak 5 juta.""Baik, Pak. Terima kasih.""Saya juga sudah bilang sama suami kamu, kalau itu upah kalian berdua dan harus dibagi rata.""Iya, Pak." Karin menganggukkan kepalanya. Secara diam-diam dia mengirim pesan kepada Dani yang berisi,Karin: Pak Frans bilang itu upah kita berdua, aku bagi setengahnya, Mas. Aku pengen beli baju.Masih menunggu, karena proses pembayaran belum selesai. Tidak lama handphone milik
Karin menerima kertas tersebut dan mulai membacanya. Setelah selesai membaca, Karin bertanya, "Kamu kena kanker?"Dengan memasang wajah penuh kepalsuan Dani mengangguk. "Iya, Rin.""Kok bisa sih, Mas? Selama ini kamu baik-baik aja?" Dahi Karin mengerut, menatap tidak percaya."Bukan aku baik-baik aja, Rin. Aku cuma berusaha baik-baik aja di depan kamu, aku nggak mau bikin kamu khawatir, aku nggak mau terlihat menyedihkan." Dani bicara sambil meneteskan air mata. Air mata dusta, penuh kepalsuan.Karin menghampiri suaminya, membawa sang suami ke dalam pelukannya seraya memberikan kekuatan. "Tenang, Mas. Kita akan menghadapinya bersama, kamu pasti sembuh.""Untuk sembuh itu membutuhkan beberapa rangkaian pengobatan, Rin. Dan, pengobatan itu memerlukan banyak uang, kita punya uang dari mana?""Aku nggak tau, Mas. Tapi aku yakin semu pasti ada jalannya.""Jalannya cuma satu, Rin. Yaitu aku menceraikan kamu, lalu kamu menikah dengan pak Frans."Karin melepaskan pelukannya dan langsung menol
"Berikan aku waktu untuk berpikir, Mas. Aku nggak bisa langsung tanda tangan begitu aja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan," lirih Karin yang hampir meneteskan air mata. Bagaimana mungkin dia melakukan itu? Mempermainkan pernikahan? Tentu ia tahu itu tidak benar."Adakah yang lebih penting dari nyawa aku, Rin?""Tapi, Mas. Kita juga punya orang tua, bagaimana dengan orang tua kita?"Sebelum menjawab pertanyaan sang istri, Dani bicara kepada Frans untuk meminta waktunya sebentar. "Pak, boleh saya bicara berdua dulu sama istri saya?""Silakan." Frans keluar dari ruangan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara berdua, walaupun sebetulnya dia tahu apa yang akan mereka bicarakan.Setelah Frans pergi, Dani kembali bicara kepada Karin. "Masalah keluarga, kamu nggak usah takut, Rin. Kita rahasiakan kejadian ini dari mereka, toh mereka juga tinggal jauh dari kita."Karin diam, menundukkan wajahnya sambil meneteskan air mata."Dengarkan aku sayang, ini cuma sementara. Kalau aku uda
Dengan tegas Karin menjawab, "Nggak. Saya nggak mau!""Ini perintah. Kalau kamu menolak, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Frans seenak jidat.Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya mereka pun sampai di tempat tujuan. Bukan rumah biasa seperti yang Frans katakan tadi, tetapi salah satu apartemen mewah yang ada di kota Jakarta."Katanya rumah, kok ke apartemen?" tanya Karin sambil berjalan mengikuti ke mana Frans melangkah kakinya menuju unit tempat dia tinggal. Sejak turun dari mobil, Frans terus menggenggam tangan Karin. Padahal Karin sudah berusaha melepaskan diri, tetapi Frans malah semakin mengeratkan genggamannya."Saya berubah pikiran. Saya rasa kamu lebih baik tinggal di apartemen saya yang jauh lebih aman. Di sini tidak akan ada tetangga yang usil, jahil, apa lagi tukang gosip.""Selama Anda bersikap sewajarnya, Anda tidak melakukan kesalahan, kenapa Anda takut jadi bahan gosip warga?""Karna saya tidak aka bersikap sewajarnya." Jawaban Frans cukup mengejutkan."Mak
"Bukan saya loh yang bilang," ujar Frans seraya mengangkat kedua tangannya."Ah, sudahlah. Anda bisa tinggalkan saya sekarang? Saya mau istirahat." Karin berjalan ke arah pintu, membuka pintu setinggi dua meter itu lebar-lebar."Kenapa saya harus keluar dari sini? Ini kan apartemen saya." Bukannya keluar, Frans malah duduk di ujung ranjang dengan santainya."Karna saya ada di sini, kita nggak mungkin tinggal satu unit.""Kata siapa? Justru kita akan sering tinggal satu unit, walau tidak satu ranjang. Kalau di antara kita ada batasan, buat apa saya bawa kamu ke sini? Sia-sia dong uang saya?"Karin memutar kedua bola matanya dengan malas."Saya nggak suka saat kamu memutar kedua bola matamu. Sekali lagi kamu lakukan itu di depan saya, saya tidak akan segan-segan melakukan hal gila yang nggak pernah kamu duga.""Kalau saya melakukannya lagi?" ucapan Karin menantang."Coba saja kalau kamu berani."Kali ini
"Jangan buka kunci dan tetap di dalam kamar." Perintah Frans dengan tegas."Baik, Pak."Setelah bicara dengan Frans, Karin mengakhiri panggilan, lalu mendekap handphonenya di dada, kembali mengintip keluar dan dia melihat Bella saat ini sedang berusaha menghubungi Frans dalam sambungan telepon."Kamu di mana?" tanya Bella, samar-samar Karin mendengar suaranya dari dalam.Entah apa yang Frans jawab, Bella langsung bertanya perihal kunci password. "Kenapa kamu ganti password-nya?"Setelah itu, Bella meminta password yang baru. "Ya udah kasih tau aku."Tidak lama Bella pun mengiyakan ucapan Frans yang entah apa, Karin hanya mendengar Bella berkata, "Janji, ya. Aku pulang sekarang." Setelah itu sambungan telepon pun berakhir, lalu Bella pun pergi meninggalkan apartemen."Ah, akhirnya." Karin mengusap dadanya lega.Setelah Bella pergi, Karin kembali ke kamar untuk beristirahat. Handphone yang katanya seharga motor it
Frans berjalan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa. Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan."Ini bukan lagi pagi, Karin. Ini pagi menjelang siang dan mustahil kalau kamu masih tidur, gerutu Frans tanpa menghentikan langkah kakinya menuju lantai bawah.Saat melewati ruang keluarga, sang ibu, Winda memanggilnya. "Frans!"Frans berhenti sebentar demi menyahuti panggilan sang ibu. "Ada apa?""Kamu mau ke mana sepagi ini?" tanya Winda seraya menggeser cursor maju pada pegangan kursi rodanya.Iya, Winda mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu, mengakibatkan kakinya mengalami cacat dan tidak bisa disembuhkan lagi walau sudah mendatangkan dokter ahli dari luar negeri."Ini udah siang, Bu. Jam sembilan," ujar Frans sudah tidak sabaran."Biasa juga kamu ke kantor jam sebelas.""Ada meeting penting, aku harus segera sampai di kantor, Bu.""I
Sesuai dengan permintaan Frans, dengan berat hati Karin pun berhenti bekerja. Dia meninggalkan tempat kerjanya setelah semua tugas selesai, lalu duduk di halte bis menunggu angkutan umum melintas. Baru saja duduk, ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih itu dari dalam tas kecil, tertera jelas nama suamiku pada layar ponselnya."Menyebalkan," gerutu Karin sambil menatap sebal."Mbak, bisa nggak teleponnya diangkat aja. Berisik," keluh seorang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya, yang merasa terganggu oleh dering ponsel yang tidak mau berhenti."Tau, baru punya handphone kayak gitu aja sombong," seru teman lainnya tatkala melihat merek handphone milik Karin yang disinyalir harganya tembus angka dua puluh jutaan.Tidak ingin mencari masalah dengan dua wanita itu, akhinya ia pun memutuskan untuk menjawab panggilan.Karin: Apa?Frans: Bisa nggak ngomong yang lembut?Karin: Nggak bisa!Frans: Sekali lagi b
Freya. Kamu di mana?"Erik terkejut saat bangun tidur, mendapati dirinya dalam keadaan polos tanpa busana. Dia menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, beringsut turun dari atas ranjang, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa pening.Dia tidak sanggup membayangkan kejadian semalam bersama Freya yang sama-sama dalam keadaan mabuk, menghabiskan malam yang panas penuh gairah. Erik mengambil kaus di atas ranjang, terkejut saat melihat bercak merah menodai sprei."Aku sudah menodai kesuciannya, aku telah merenggut mahkota yang seharusnya ia berikan kepada pria yang dia cintai. Maafkan aku, Freya. Sungguh aku minta maaf."Erik mengenakan kembali pakaiannya, lalu mengambil handphone di atas nakas hendak menghubungi seseorang. Namun, baru saja layar menyala, seseorang mengirimi ia pesan. Pesan tersebut berisi,Freya: Jangan pernah om menemui aku lagi! Anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi.Tidak ingin dianggap pria pecundang, Erik pun langsung membalas pesan tersebut.Erik:
Setelah tiga puluh menit menunggu di depan rumah, akhirnya pintu pun terbuka. Erik dan Freya yang saat ini sedang duduk di kursi teras pun menoleh ke samping secara bersamaan."Lama banget sih," seru Erik sambil berdiri. Begitupun dengan Freya yang ikut berdiri."Tadi lagi nanggung," jawab Frans ketus.Setelah bicara kepada Erik, Frans melirik ke arah Freya yang tengah berdiri di samping sang kakak, lalu bertanya, "Siapa dia?"Erik meraih tangan Freya, menggenggamnya dengan erat, lalu menjawab sambil tersenyum lebar. "Seseorang yang ingin aku perkenalkan kepadamu dan dia adalah wanita yang selama ini mengisi kekosongan hati aku.""Oh, ya? Kenapa aku nggak percaya, ya? Tapi, ya sudahlah. Minimal kamu sudah berusaha.""Maksud kamu?" Dahi Erik mengerut."Nggak ada maksud apa-apa, ayo masuk!" ajak Frans seraya membuka lebar-lebar pintu utama, lalu ia berjalan masuk.Setelah Frans masuk, Freya bicara kepada Erik, setengah berbisik. "Om, sepertinya adik Om nggak percaya deh kalau kita pacar
Aku udah punya pacar, Om. Nggak mungkin aku melakukan itu sama Om Erik, gimana sama pacar aku?" jelas Freya sangat hati-hati."Aku nggak minta kamu melakukan apa-apa, cukup jadi pacar di depan keluarga aku, terutama adikku, Frans.""Setelah itu?""Sudah, drama selesai."Freya diam, menatap wajah Erik sambil berpikir akan menolongnya atau tidak? Satu sisi Freya takut sandiwaranya diketahui sang kekasih, tetapi di sisi lain Freya tidak tega menolak karena Erik begitu baik kepada keluarga juga dirinya."Gimana?" tanya Erik lagi."Hem ... gimana ya, Om?""Ayolah, Freya. Tolong aku!" Erik memohon seraya melipat kedua tangannya di depan. "Atau kamu mau apa sebagai imbalan? Sebutkan. Akan aku berikan."Untuk sekarang aku lagi nggak mau apa-apa. Tapi, oke deh. Satu kali ini aja ya, Om.""Iya, cuma satu kali aja."Satu masalah teratasi, akhinya Erik bisa bernafas dengan lega."Terima kasih, ya."Freya menganggukkan kepalanya. "Iya, Om.""Sekarang kamu mau aku antar ke mana? Pulang atau ke ruma
Frans tiba di kantor kakaknya dengan wajah merah padam menahan emosi dan pandangannya menatap tajam ke arah Erik. "Apa yang kamu lakukan?" Frans bicara dengan suara tinggi."Ada apaan ini?" tanya Erik mengalihkan pandangan dari layar komputernya. Dia melepaskan kaca mata yang sedang dikenakan, lalu meletakkannya di atas meja kerja."Siapa yang suruh kamu bayar hutang aku? Kamu mau merendahkan aku?""Merendahkan apanya?" Dahi Erik mengerut. "Siapa yang mau merendahkan kamu?""Dengan kamu membayarkan hutang aku, sama artinya dengan kamu merendahkan aku.""Aduh. Frans, Frans. Cetek banget sih pikiran kamu. Kita ini saudara, mana mungkin aku membantu kamu dengan tujuan mau merendahkan kamu? Di mana sih otak kamu?" Erik bicara sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya."Kalau bukan itu tujuan kamu, apa lagi? Oh, atau kamu mau menarik perhatian dari Karin? Kamu masih menyukai adik ipar kamu sendiri, Mas?"Erik tersenyum sinis, lalu mengusirnya. "Pergi sana, Frans! Nggak
Dari kejauhan Winda melihat Budi bicara dengan pria asing itu, tidak lama Budi kembali menghampiri dirinya, lalu Winda bertanya, "Kenapa?""Itu debkolektor, Bu. Pak Frans punya hutang dan hari ini sudah jatuh tempo.""Berapa hutangnya?" tanya Winda lagi."Satu miliar.""Apa? Sebanyak itu?" Winda membulatkan matanya karena terkejut."Iya, Bu.""Bawa aku ke sana, aku akan bicara kepada orang itu.""Baik, Bu."Budi mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu sang majikan duduk di kursi rodanya. Setelah duduk di atas kursi roda, Budi mendorong kursi roda tersebut menghampiri Karin yang dari kejauhan tampak masih bicara dengan pria tadi."Ada apa ini?" tanya Winda begitu sampai di teras rumah Karin.Pria itu menoleh ke arah Winda, lalu bertanya, "Siapa Anda? Jangan ikut campur urusan saya.""Saya adalah mertua dari wanita yang tadi kamu dorong sampai jatuh. Berani kamu melakukan itu kepada menantuku?""Kenapa memangnya? Dia punya hutang sama atasan kami dan ini sudah jatuh tempo. An
Keesokan harinya, saat Karin mengantar Frans ke teras hendak pergi bekerja, Dani datang menggunakan motor metik. Dia memarkirkan motornya di depan rumah, lalu turun dari motor seraya melepaskan helmnya."Waw, udah di sini aja? Takut keduluan, ya? Cepet banget ada di sini." Setelah meletakkan helmnya di atas jok motor, Dani berjalan menghampiri mereka."Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Frans kepada Dani."Ada larangan aku ke sini?"Frans diam, lalu Karin bicara. "Pergilah, Mas Dani. Kami nggak butuh kamu lagi.""Kamu memang nggak butuh aku, tapi Rafa sangat membutuhkan aku." Saat dia bicara seperti itu, dia melihat Rafa ada di depan pintu bersama sang mantan mertua."Ayah!" Rafa lari berhamburan menghampiri Dani dan langsung minta digendong. "Ibu, Ayah pulang."Karin tersenyum kepada Rafa, lalu tiba-tiba Siti keluar dari rumah, berjalan menghampiri Dani dan langsung merebut Rafa dari dekapan ayahnya. "Lepaskan!""Loh, kenapa, Bu?" Kening Dani mengerut.Bukan cuma Dani, Rafa pun melayan
Apartemen sudah terjual, tunggakan gaji karyawan sudah terbayar, rumah sederhana sudah dibeli, untuk penghasilan ke depannya Frans mengandalkan dari kafe yang belum lama ini ia buka. Kafe tersebut ia beli dari seorang pengusaha yang akan meninggalkan Indonesia dengan harga yang lumayan mahal, karena Kafe tersebut sudah banyak pelanggannya.Tidak semudah yang dibayangkan, sekali pun kafe tersebut sudah memiliki pelanggan, tetap saja ketika kepemilikan berubah, nasib pun berubah dan tidak akan sama. Entah ini takdir, atau ada campur tangan manusia, yang pasti setelah berbeda kepemilikan, Kafe pun mendadak sepi."Hanya ada dua puluh pelanggan untuk per hari ini, Pak. Semoga masih bisa bertambah malam nanti." Seorang karyawan yang bertugas memberikan laporan sambil berdiri di depan meja kerja Frans."Iya, semoga saja ya, Pak. Kira-kira apa yang kurang ya, Pak? Apa kita perlu memberikan diskon kepada pelanggan?""Jangan dulu sekarang, Pak. Kita lihat satu Minggu ke depan dulu, baru kita pa
Waktu berlalu, keterpurukan mulai dirasakan oleh Frans, ketika banyak perusahaan yang memutuskan untuk berhenti bekerja sama dengan berbagai macam alasan, juga kerugian mencapai ratusan miliar akibat dari nilai penjualan yang terjun bebas ke angka 0. Semua itu berlangsung dalam waktu singkat, bahkan sekarang saja Frans belum mampu membayar upah karyawan selama satu bulan."Frans, beberapa karyawan mogok bekerja. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Erik yang saat ini tengah duduk di sofa ruang kerja sang adik, hendak mendiskusikan jalan keluar dari keterpurukan ini."Satu-satunya cara, aku harus keluar dari perusahaan ini, Mas. Barulah pak Prayoga tidak akan menggangu jalan perusahaan.""Apa nggak ada cara lain, Frans?" tanya Erik lagi.Frans menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma itu satu-satunya cara untuk memulihkannya.""Tapi, Frans ... perusahaan juga butuh kamu.""Perusahaan membutuhkan kita berdua, tapi aku yakin mas Erik bisa menangani semuanya sendiri. Dalam keadaan
Begitu tiba di rumah, Frans bertemu dengan Winda yang saat ini sedang bermain-main dengan Agam di ruang keluarga. Dia menghampiri sang ibu, lalu duduk di sebelahnya."Hei, kamu udah pulang? Cepet banget?" tanya sang ibu.Frans mengangguk. "Iya, pestanya membosankan," jawab Frans dengan ekspresi terjeleknya.Agam langsung berlari menghampiri Karin dan langsung memeluknya. "Tante juga pulang?"Karin tersenyum."Sudah aku bilang, jangan pergi ke pesta. Pesta orang dewasa itu membosankan. Sekarang lebih baik kita main-mainan, aku punya mainan baru, Tante. Tante mau main sama aku?""Boleh," jawab Karin seraya mengusap lembut puncak rambut anak itu."Tapi nggak malam ini ya, Gam. Kami ada keperluan sebentar," ujar Erik."Itu kelamaan, Ayah. Aku mau sekarang.""Nanti ya, Sayang. Sekarang Agam main dulu sama bibi di kamar, ya."Setelah bicara kepada putranya, Erik memanggil sang asisten rumah tangga. "Ayu!" Dia memanggilnya beberapa kali, tidak lama yang dipanggil pun datang."Iya, Pak?" ucap