"Apa kamu sedang merisaukan sesuatu, Sayang?" bisik Serena di telinga suaminya.
Kenzo terhenyak dari lamunannya. Sekilas dia melirik menggunakan ekor matanya ke arah orang yang berbisik di telinganya. Seketika dia menghela nafasnya, setelah mengetahui sosok tersebut adalah istri pertamanya. Tadinya dia sudah menyadari jika Serena lah pemilik suara tersebut. Hanya saja pria beristri dua itu ingin memastikannya. "Ada apa, Serena? Apa ada yang kamu inginkan?" tanya sang suami dengan malas, tanpa menoleh ke arahnya. Serena menyeringai. Dia tahu sikap suaminya saat ini yang terlihat seolah sedang tidak mengharapkannya. Tanpa meminta ijin dari suaminya, Serena mencoba untuk menebar pesonanya, seperti kebiasaannya pada tiap pria yang ada di sekitarnya. Sontak saja Kenzo membelalakkan matanya, ketika merasakan sesuatu yang mengenai bagian intinya. Serena tersenyum melihat reaksi sang suami yang terkejut mendapati dirinya sedang duduk di atas pangkuannya. Kedua tangannya melingkar pada leher suaminya sambil bergerak aktif menggodanya. Sehingga bagian inti Kenzo menegang, seolah ingin memberontak keluar dari kain segi tiga yang melindunginya. "Hentikan, Serena," ujar Kenzo sembari berdesis, menahan hasratnya. "Apa kamu menyukainya, Sayang?" tanya Serena sambil menggoyangkan pantatnya yang masih berada di pangkuan sang suami. Kenzo mengeratkan gigi-giginya, berusaha untuk menghalau lenguhan yang hendak keluar dari bibirnya. Serena semakin bersemangat untuk menggoda suaminya. Goyangannya pun semakin kencang diiringi dengan senyuman lebarnya yang menunjukkan kepuasannya. Istri pertama dari Kenzo merasa bahagia telah berhasil membuat sang suami terlihat sedang tersiksa menahan hasratnya. Seperti biasanya, Serena Hogan tidak akan berhenti sebelum sang pria meminta ampun padanya atau pun mengalahkannya. Namun, Kenzo berusaha keras untuk menahan hasratnya yang semakin membuncah karena ulah sang istri pertamanya. "Berhenti, Serena," tutur Kenzo dengan mengeratkan gigi-giginya, hingga urat-uratnya dapat terlihat dengan jelas. "Kenapa? Apa kamu sangat menikmatinya, Sayang? Apa kamu ingin kita berpindah ke kamar?" tanya sang istri dengan suara menggoda, sambil bergerak lebih agresif, hingga membuat suaminya semakin resah. "Berhentilah. Kita sedang berada di ruang terbuka. Apa kamu tidak malu, jika ada orang yang melihat kita seperti ini?" tanya Kenzo dengan suara tercekat, berusaha menahan gejolak dalam tubuhnya. Serena menghentikan gerakannya. Dia menatap serius pada kedua suaminya, sembari bergerak untuk berpindah posisi duduknya. Kenzo tidak bisa berkutik. Pria yang sedang berjuang untuk menahan hasratnya tersebut hanya bisa diam dan pasrah. "A-apa yang kamu lakukan?" tanya Kenzo yang terlihat terkejut dengan situasi mereka saat ini. "Apa ada yang salah, Sayang?" tanya Serena sambil tersenyum manis pada sang suami. Kenzo melihat sekitarnya. Entah mengapa dia takut jika terlihat oleh orang lain. Berbeda dengan Kenzo dahulu yang bebas mengumbar keromantisan di mana pun mereka berdua berada. 'Gawat! Bagaimana jika Luna melihat kami. Pasti dia akan sedih dan salah paham lagi,' batin Kenzo yang sedang resah. Keresahan hati Kenzo dapat dirasakan oleh Serena. Sebagai istri pertamanya, dia tidak ingin sang suami berpindah hati atau menyerahkan hatinya pada istri keduanya. "Apa terjadi sesuatu, Sayang? Kenapa kamu resah begitu? Apa milikmu sudah tidak bisa dikendalikan lagi?" tanya Serena dengan gaya menggodanya, sembari mengusap lembut bagian inti sang suami yang sedang didudukinya. Kenzo semakin gusar. Pria beristri dua tersebut reflek menggigit bibir bawahnya. Merasakan sentuhan tangan sang istri yang sudah biasa memanjakannya. "Serena, tolong. Duduklah di kursi sebelah. Bukankah kamu ingin berbicara denganku?" tanya Kenzo sambil menahan sesuatu yang memberontak pada bagian tubuh bawahnya. Serena hanya tersenyum dan lebih gencar menggoda suaminya. Sungguh posisi mereka saat ini membuat sisi kelaki-lakian Kenzo memberontak. Pasalnya, Serena duduk menghadap ke arah suaminya, sehingga mereka saling berhadap-hadapan. Bukan hanya itu saja, kedua tangan Serena melingkar pada leher suaminya. Tidak berhenti sampai di situ saja, istri pertamanya itu bergerak-gerak lincah, layaknya sedang bergoyang dengan semangat di pangkuan suaminya. "Serena," panggil Kenzo dengan suara tertahan. "Hentikan," sambungnya kembali dengan ekspresi yang sama. Serena melenguh dengan suara seksinya, seolah mereka sedang melakukan kegiatan suami istri di atas sofa yang ada dalam ruangan tengah pada rumah mewah tersebut. 'Sudah! Aku sudah tidak tahan!' seru Kenzo dalam hati. Kenzo berusaha memindahkan tubuh sang istri dari pangkuannya menuju ke sofa yang ada di samping mereka. Sayangnya Serena bisa merasakan apa yang akan dilakukan oleh suaminya. "Aku akan turun, tapi dengan syarat," ucap Serena dengan cepat, ketika suaminya berusaha untuk berdiri dari duduknya. Seketika Kenzo menghentikan gerakannya. Dia kembali duduk untuk mendengarkan syarat yang akan dikatakan oleh sang istri. "Syarat apa?" tanyanya dengan tidak sabar dan melihat resah pada sekelilingnya. Serena mengeratkan kaitan tangannya pada leher suaminya. Kemudian, dia menempelkan bagian pahanya pada perut Kenzo dan kedua kakinya saling mengunci, agar tidak terlepas dari tubuh sang suami. "Apa-apaan ini, Serena?" tanya Kenzo sambil berusaha melepas tangan sang istri. "Bawa aku ke dalam kamar kita. Setelah itu, aku akan turun dan berbicara denganmu di dalam kamar" pinta sang istri sembari merajuk padanya. "Apa kamu sudah gila? Kamar kita berada di lantai atas, Serena. Apa kamu tidak bisa berjalan sendiri seperi biasanya?" tanya Kenzo dengan menahan kesal. Serena menggelengkan kepala dengan gaya manjanya. Wanita licik itu tidak melepaskan suaminya begitu saja. Semua rencana yang ada dalam kepalanya sudah tersusun rapi dan sempurna. Bahkan dia mempersiapkan rencana alternatifnya, jika rencana utamanya gagal. Wajah Serena semakin mendekat, sehingga dengan refleknya Kenzo menggerakkan kepalanya, bermaksud untuk menghindari istri pertamanya yang terkenal sangat nekat. "Gendong aku ke kamar, Sayang. Aku mempunyai hadiah yang sangat menarik untukmu," bisiknya dengan manja. Sontak saja Kenzo membelalakkan matanya dan menatap tidak percaya pada istri pertamanya. "Apa kamu tidak ingin mengetahui apa saja yang mereka bicarakan tadi? Apa saja yang mereka lakukan tadi? Aku yakin kamu sangat ingin mengetahuinya," bisiknya kembali seraya menyeringai. "Apa maksudmu, Serena?" tanya Kenzo sembari mengernyitkan dahinya. Serena menggerakkan kepalanya ke arah lantai atas yang merupakan kode bahwa dirinya menginginkan sang suami untuk menggendongnya ke kamar mereka. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Kenzo untuk menolak keinginan istri pertamanya. Dengan terpaksa, dia pun menggendong sang istri dengan posisi di depan. "Kenapa kamu berniat sekali merepotkan aku, Serena?" tanya Kenzo lirih setelah menghela nafasnya sambil berjalan keluar dari ruangan tersebut. "Sayang. Panggil aku dengan sebutan dayang seperti biasanya," tutur Serena sembari tersenyum manis pada suaminya. Namun, sang suami tahu jika dibalik senyuman manisnya itu tersimpan kelicikan yang membahayakan. Tiba-tiba saja kaki Kenzo berhenti melangkah. Matanya terbelalak melihat seseorang yang bertatap mata dengannya. "Sa-sayang?!" celetuknya dengan gugup sambil menggelengkan kepalanya, seolah memberitahukan pada istri keduanya bahwa apa yang dilihatnya saat ini tidak seperti yang dipikirkannya. Mata Luna berkaca-kaca menatap sang suami dengan penuh kebencian. Bibirnya bergetar, tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. "Kenapa kamu menatap Kenzo seperti itu? Bukankah kamu tahu, jika kami adalah sepasang suami istri? Jadi, tidak seharusnya kamu marah pada kami," ujar Serena sembari menyeringai. "Sayang, aku--"Luna berlari kecil masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak bisa menerima alasan apa pun yang akan diberikan oleh suaminya. "Sayang!" seru Kenzo, berusaha untuk menghentikan istri keduanya yang sedang salah paham padanya. "Berhenti, Ken!" bentak Serena dengan tegas.Seketika Kenzo menghentikan kakinya yang hendak melangkah mengejar wanita pujaan hatinya. Pandangan matanya beralih menatap sang istri pertama yang ada dalam gendongannya. "Dia salah paham. Aku harus menjelaskannya. Sebaiknya aku menurunkan mu di sini. Berjalanlah ke kamar sendiri. Aku harus menyusul Luna," tutur Kenzo dengan serius pada istri pertamanya. "Jika kamu menurunkan ku, kamu akan kehilangan kesempatan untuk tahu yang sebenarnya antara Luna dan Dokter Ludwig," ujar Serena dengan cepat, bermaksud untuk menghentikan niat sang suami yang hendak menurunkannya.Dahi Kenzo mengernyit. Dia menatap sang istri pertama dengan tatapan penuh tanya. "Apa maksudmu, Serena?! Cepat katakan padaku! Jangan coba-coba mempermainkan a
Air mata Luna sudah tidak bisa dibendung lagi. Rasa sakit dalam hatinya sudah semakin dalam dan terkoyak saat ini. Kedua matanya yang berkaca-kaca, tidak henti-hentinya meneteskan air mata. Bibirnya bergetar seiring rasa sakitnya yang semakin terasa sakit, ketika mengingat kemesraan sang suami bersama dengan istri pertamanya."Nek," panggilnya dengan diselingi isakan tangisnya.Seketika Wanita tua yang menjadi kepala pelayan di rumah mewah tersebut meraih tubuh mungil itu dan membawanya dalam pelukan. Telapak tangan yang penuh dengan kasih sayang tersebut terasa hangat mengusap lembut punggung Luna. "Kenapa rasanya sangat sakit, Nek?" tanya Luna dengan isakan tangisnya. "Sabar. Nenek tahu bagaimana perasaanmu, Sayang. Kamu harus tetap kuat dan sehat demi anak-anak yang masih dalam kandunganmu. Sabar ya, Sayang," tutur sang nenek sambil mengusap lembut punggung wanita muda itu.Wanita tua itu tahu bagaimana sang istri kedua dari tuannya berjuang melawan rasa cintanya pada sang suami.
"Apa maksudmu?" tanya Kenzo sambil mengernyitkan dahinya dan menatap curiga pada istri pertamanya. Serena tersenyum, sehingga membuat suaminya bertambah curiga dan kesal padanya. "Jangan berbelit-belit, Serena!" ujar Kenzo dengan meninggikan suaranya. "Sayang! Panggil aku dengan sebutan sayang!" bentak Serena dengan melebarkan bola matanya. Kenzo mendengus kesal. Dia menatap wanita yang berstatus sebagai istrinya seolah ingin menghabisinya."Cepat katakan semuanya apa yang ingin kamu beritahukan padaku," pinta Kenzo dengan menahan emosinya. Serena menatap sang suami seolah memberikan kode bahwa ada yang kurang dengan kalimat permintaannya. Kenzo mengerti. Pria beristri dua tersebut menghela nafasnya dan bersiap untuk melakukan permintaan dari istri pertamanya. "Katakan padaku semuanya, Sayang," ucap Kenzo dengan ragu-ragu. Secepat kilat serena bergerak mendekati suaminya dan mendaratkan bibirnya pada bibir suaminya.'Aku tahu, jika kamu mengatakannya dengan berat hati. Bukan ma
Pikiran Kenzo sangat kacau sejak diberitahukan oleh istri pertamanya tentang hubungan kedekatan istri keduanya dengan Dokter Ludwig, dokter spesialis yang menangani kandungannya. Bahkan dia tidak bisa memejamkan matanya untuk sekedar mengistirahatkan badannya. Bayangan kedekatan Luna dan Dokter Ludwig selalu saja menghantuinya. Pagi ini tubuhnya terlihat sangat lelah. Bagaimana tidak, semalaman dia tidak bisa memejamkan matanya. Percuma saja dirinya memaksa kedua matanya untuk terpejam, tetap saja tidurnya tidak bisa nyenyak. Bahkan bisa diibaratkan hanya matanya saja yang terpejam, tapi hati dan pikirannya tetap terjaga, sehingga membuatnya semakin frustasi ketika membuka kedua matanya. Tidak ada senyuman atau pun semangat dari dirinya untuk menyambut pagi yang sangat cerah saat ini. Di dalam ruangan kantornya, sang dokter yang mendapatkan label sebagai seorang dokter jenius tersebut sedang duduk lemas dengan menatap secangkir kopi di hadapannya. Bahkan berkali-kali dia menghela na
Curahan hati para lelaki tersebut diakhiri dengan saling memberi nasehat sebagai jalan keluar untuk permasalahan yang mereka hadapi. Sayangnya hati Kenzo masih merasa gundah memikirkan kedua istrinya dengan masalah mereka masing-masing. Sang dokter yang akan mewarisi rumah sakit terbesar di negeri ini sedang duduk gelisah menatap jam yang melingkar di tangan kirinya. "Apa lebih baik aku tidak usah pulang saja?" gumamnya sambil berpikir. Helaan nafasnya memperlihatkan betapa berat beban pikirannya saat ini. Dia menyeringai menertawakan dirinya sendiri yang tidak bisa menangani kebimbangan hatinya."Dokter Kenzo Matteo. Seorang dokter jenius yang terkenal mahir dalam segala bidang medis. Tapi, sekarang dia sedang bingung hanya karena memutuskan untuk pulang atau tidak. Ada apa denganmu Kenzo?" tanyanya pada diri sendiri, sembari menertawakan kebodohannya. Untuk urusan hati, Kenzo memang tidak pandai. Selama masa sendirinya, dia tidak seperti laki-laki lain yang mempunyai hubungan den
"Hubungan kami tidak seperti itu, Ken. Hubungan kami lebih seperti sahabat dekat. Ya, bisa dikatakan seperti itu," ucap Damian sambil tersenyum getir. "Sahabat dekat?" tanya Kenzo sembari mengernyitkan dahinya. Damian merasa tidak nyaman dengan cara sang putra menatapnya yang seolah ingin menghakiminya. Pria paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya sembari memaksakan senyumnya."Sahabat dekat yang berbagi ranjang?" tanya Kenzo kembali dengan tatapan menyelidik."Rupanya kamu belum tahu, Ken. Kami berdua sepakat memakai ranjang single. Jadi, ada dua ranjang dalam kamar kami," jawab Damian dengan lancar, tanpa menutup-nutupi dari putra kandungnya. "A-apa?!" celetuk Kenzo dengan ekspresi terkejutnya.Damian tersenyum. Dia sangat tahu, reaksi dari sang putra setelah mendengar jawabannya. Hanya saja dia sudah berjanji pada dirinya untuk mengatakan semuanya pada Kenzo, putra kandungnya, setelah memberitahukan pada sang putra alasannya menikahi Kania waktu itu. "Bukankah Papa sudah me
Luna menatap bingung pada sang nenek yang berjanji akan selalu menjaga, dan menjadi penolongnya. Hanya saja wanita tua tersebut belum mempersiapkan alasan yang tepat untuk meyakinkan istri pertama dari tuannya. Wanita tua yang menjadi kepala pelayan di rumah mewah tersebut bergegas menghampiri Luna, dan memegang kedua lengannya untuk membantu wanita hamil itu beranjak dari kursinya. "Kita harus pergi sekarang. Tidak baik jika membuat Tuan Ron Matteo menunggu terlalu lama."Kemudian sang nenek mengalihkan pandangannya pada istri pertama Kenzo untuk berpamitan padanya. "Maaf, Nyonya Serena. Kami harus pergi sekarang juga. Permisi," ucapnya dengan sopan. "Tapi, bagaimana dengan semua makanan ini? Berapa lama kalian akan pergi? Aku akan menunggu untuk makan bersama," ujar Serena untuk menghentikan sang nenek dan Luna yang telah berjalan beberapa langkah.Seketika kaki kedua wanita berbeda usia tersebut berhenti melangkah. "Kenapa dia bersikeras sekali untuk mengajak Luna makan bersam
Sang nenek menghela nafasnya. Kemudian, wanita tua itu mengalihkan pandangannya dari rumah besar yang ada di hadapannya pada wanita di sebelahnya. "Nenek juga tidak tahu, Luna. Maafkan Nenek. Tadi Nenek hanya ingin membawamu pergi dari hadapan Nyonya Serena," ucap sang nenek dengan penuh penyesalan.Luna tersenyum. Dia meraih tangan sang nenek yang merasa bersalah. "Kenapa Nenek meminta maaf padaku? Harusnya Luna yang berterima kasih pada Nenek. Jika bukan karena Nenek mengajakku untuk datang ke sini, maka mungkin saja aku sekarang sudah seperti ikan paus yang terdampar karena kekenyangan," ucapnya sambil terkekeh. Nenek pun ikut tertawa menanggapi candaan dari istri kedua tuannya. Wanita tua tersebut menatap dalam kedua mata sang nyonya muda, dan mengatakan sesuatu padanya. "Nenek hanya ingin mengingatkanmu. Luna, di dalam perutmu ada buah cintamu dengan Tuan Kenzo. Kalian juga menikah di hadapan Tuhan. Keluarga besar Matteo yang menjadi saksi pernikahan kalian. Jadi, kamu punya
"Tidak!" seru Serena dengan tatapan yang mengisyaratkan betapa marahnya dia saat ini pada suaminya. Kenzo menatap heran pada istri pertamanya. Dia bingung bagaimana caranya menenangkan sang istri yang terus menolak untuk mendengarkannya. Dengan perlahan kakinya melangkah untuk menghampiri sang istri, berusaha untuk menenangkannya. "Tidak, Ken! Aku tidak mau mendengar mu!" serunya seraya meletakkan telapak tangannya ke arah sang suami untuk menghentikannya. Sontak saja Kenzo berhenti melangkah. Dia menatap serius pada istri pertamanya."Ada apa, Serena? Kenapa kamu seperti ini? Aku hanya ingin mengajakmu pulang."Seketika Serena dan Kania terperangah. Kedua wanita tersebut bergelut dengan pikirannya masing-masing. "Apa hukuman kami sudah selesai?" tanya Kania penasaran. "Tidak. Hukuman tetaplah hukuman, tidak ada toleransi bagi Kakek," jawab Kenzo tanpa berpikir terlebih dahulu. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya pada mereka.Kedua wanita angkuh itu saling memandang, seolah berk
"Maafkan Papa, Carla."Tiba-tiba saja terdengar suara pria yang membuat Carla terhenyak dari lamunannya. Wanita muda itu menoleh ke arah sumber suara yang sangat diyakininya milik Damian, papa tirinya. "Papa," ucapnya lemah sambil memaksakan senyumnya. Damian tersenyum menanggapinya. Pria paruh baya tersebut duduk di samping putri tirinya, dan menatap ke arah yang sama dengannya. "Papa tidak mengira jika kamu sudah mengetahuinya," tukas Damian sembari menatap lurus ke depan."Maafkan Carla, Pa. Bukan maksud Carla untuk menutupi atau berada di pihak Mama. Carla hanya butuh waktu untuk membuktikan kecurigaan Carla selama ini pada Mama," tutur putri tiri Damian dengan penuh penyesalan. Pria paruh baya yang berkarisma itu menoleh ke arah sampingnya, di mana putri tirinya sedang duduk bersamanya. "Kenapa kamu meminta maaf pada Papa? Kamu sama sekali tidak bersalah, Carla. Semua ini terjadi karena Papa. Jadi, jangan menyalahkan atau membenci mamamu."Senyuman Damian yang tulus membuat
Tubuh Kania lemas seketika. Tak pernah sedikit pun dia mengira, jika sang suami mengetahui perselingkuhannya. "Bagaimana bisa itu terjadi?" gumamnya sembari duduk lemas di lantai, dan bersandar pada dinding. "Kenapa, Ma? Apa Mama tidak mengira jika Papa Damian akan mengetahuinya?" tanya Carla dengan sinis. Wanita muda itu menyeringai melihat sang mama lemas tidak berdaya, seolah telah kehilangan semangat hidupnya. Kania menatap kesal pada putri tunggalnya. Bagaimana tidak, Carla yang notabenenya adalah putri kandungnya, malah memihak papa tirinya. "Hilangkan pikiran jelek Mama tentangku. Carla tidak memihak siapa pun, Ma. Carla hanya berada di pihak yang benar. Jika memang Mama sudah tidak mencintai Papa Damian, lebih baik katakan baik-baik padanya, dan mintalah untuk berpisah secara baik-baik pula. Carla ingin hubungan baik kita tetap baik dengan keluarga Matteo," tutur Carla yang mencoba menebak isi hati sang mama ketika melihat tatapan kesalnya. "Sok tahu sekali kamu, Carla! K
Luna terkesiap mendengar pertanyaan dari sang ibu yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Dia tidak menyangka jika ibunya mengetahui tentang buah hatinya bersama dengan Kenzo yang masih dalam kandungannya."I-ibu," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk meneruskan apa yang ingin dikatakannya pada sang ibu.Tangan wanita paruh baya itu bergerak perlahan untuk mengusap air mata putrinya. Dia tersenyum tipis, dan menatap dalam pada kedua mata putri kesayangannya. Sang ibu melihat ada kesedihan yang teramat mendalam pada mata indah tersebut. "Maafkan Ibu, Luna," ucapnya dengan susah payah. "Tidak. Tidak, Bu. Ibu tidak salah," sahut Luna dengan cepat, sembari menggelengkan kepalanya. Tanpa sadar air matanya pun kembali menetes di pipinya. Suasana haru itu berlangsung beberapa saat. Ibu dan anak tersebut saling melepaskan kerinduannya. Luna pun menceritakan semua yang terjadi padanya selama sang ibu berada di rumah sakit. Han
Kenzo dapat melihat kekhawatiran sang istri yang mengarah pada kecemburuan. Pria beristri dua itu tersenyum, dan mendekati sang istri, seraya memperlihatkan layar ponselnya. "Dari rumah sakit, Sayang. Sebentar ya, aku akan menjawab panggilan ini dulu. Siapa tahu panggilan ini sangat penting, dan mungkin saja mereka sedang membutuhkanku," ucapnya dengan lembut, sembari tersenyum pada sang istri. Luna menganggukkan kepalanya. Dia mengijinkan suaminya untuk menjawab panggilan tersebut. Hanya saja, wanita yang sedang hamil itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sang suami. Bahkan dia memasang baik-baik indera pendengarnya untuk bisa mendengarkan percakapan suaminya dengan si penelpon. "Apa?!" ujarnya terperanjat kaget, sembari beranjak dari duduknya. Sontak saja Luna terhenyak, dan berusaha untuk mencari tahu dengan mendekati suaminya. "Lalu, bagaimana keadaannya sekarang? Apa ada yang tidak beres?" tanyanya dengan cemas pada seseorang di seberang sana. Kenzo bernafas lega. Ad
Setelah berkali-kali tersedak, Serena masih saja mengalami kesialan. Madam Anna mengharuskannya untuk mencuci peralatan makan yang telah dipakainya. "Sialan! Apa mereka kira aku pembantu?!" umpatnya sambil berjalan menuju dapur. Omelannya turut menyertai sepanjang perjalanannya menuju dapur yang terletak di ujung paling belakang rumah tersebut. Karena sibuknya merangkai umpatan, Serena tidak memperhatikan sekelilingnya. Keadaan lorong dan sekitarnya yang sangat sepi pun tidak disadarinya. Wanita angkuh itu berjalan dengan sangat percaya diri dengan membawa piring yang di atasnya terdapat sendok, garpu, dan juga gelas bekas dipakainya. Bahkan ketika masuk ke dalam dapur yang sunyi itu pun Serena masih saja mengomel tanpa henti. Piring beserta pelengkapnya itu diletakkan dengan keras pada sink pencuci piring, hingga mengeluarkan bunyi yang membuatnya kaget."Apa piringnya pecah?" gumamnya sembari melihat keadaan piring tersebut. Seketika dia tersenyum melihat kondisi piring tersebut
Selama perjalanan, Luna memperlihatkan wajah kesalnya. Di dalam mobil pun dia duduk menjauh dari suaminya. Melihat hal itu, Kenzo tidak tahan. Apalagi dijauhi oleh istri kesayangannya, ibu dari anak-anaknya. Kenzo meraih pinggang sang istri, dan menariknya hingga berdempetan dengannya. Luna terkesiap. Dengan reflek dia menoleh ke arah sang suami. Kedua mata mereka pun saling bertemu."Sayang, jangan kesal seperti ini. Aku sangat tersiksa," ucap Kenzo sembari mengiba dengan tatapan matanya.Hati Luna benar-benar tidak tega melihatnya. Rasa cintanya pada sang suami begitu besar, sehingga mengalahkan rasa kesalnya pada pria yang berstatus sebagai suaminya. "Aku mohon," sambungnya dengan penuh harap.Hati Luna bergetar. Egonya mengatakan untuk tetap bersikap kesal, dan mengacuhkan suaminya. Akan tetapi, dia tidak bisa membohongi hatinya. Cinta seorang wanita yang telah mengandung buah hati dari pria tersebut, membuatnya luluh. Tanpa sadar dia pun menganggukkan kepalanya.Seketika senyum
Kenzo menghempaskan tangan istri pertamanya, dan menghampiri istri keduanya. Pria beristri dua tersebut memeluk erat istri keduanya, dan menatap tajam pada istri pertamanya. "Luna akan tetap bersamaku. Di mana pun dia berada, aku akan selalu ada di sampingnya," ucapnya dengan tegas. Serena terperangah melihatnya. Kini, dia bagaikan seorang istri yang terbuang. Parahnya lagi posisinya telah digantikan oleh madunya. Semua orang menatapnya seolah sedang menertawakannya. "Baguslah. Ayo kita pulang sekarang. Badanku sudah sangat lelah," ujar Kania sembari memijit tengkuk lehernya. "Tetap di tempat! Semua sudah diputuskan. Hukuman kalian bertiga harus tetap dilakukan hingga selesai. Jika kalian tidak melakukan hukuman dengan baik, maka akan ditambah satu hari lagi untuk setiap kesalahan," tutur Ron Matteo dengan tegas. "Tapi, Pa--" "Diam!" bentak Ron Matteo menyahuti sang menantu yang ingin memprotesnya. Seketika Kania bersembunyi di belakang tubuh suaminya. Tangannya mence
"Ayo turun!" bentak seorang polisi yang membukakan pintu mobil untuk mereka. Kania, Serena, dan Carla turun bergantian dari dalam mobil. Kaki mereka terasa berat, sehingga enggan melangkah. "Kenapa masih berdiri di sini?!" tanya polisi tersebut dengan tegas.Ketiga wanita itu saling mendekat, merasa takut akan wajah garang polisi yang menggertak mereka. "Cepat jalan!" bentak polisi tersebut dengan mempertegas wajah garangnya. Sontak saja mereka bertiga saling mendorong untuk berjalan terlebih dahulu. Tidak hanya itu saja, bahkan suara mereka layaknya lebah yang mendengung untuk saling memerintah."Sepertinya peluru ini tidak akan meleset, meskipun dari jarak jauh," ujar sang polisi dengan meninggikan suaranya. Seketika badan mereka menegang. Saat itu juga ketiga wanita tersebut berjalan cepat, seolah sedang berlomba menuju bangunan yang berjarak tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Para polisi terkekeh melihat tingkah ketiga wanita yang akan dihukum oleh keluarga Matteo, kelua