"Apa maksudmu?" tanya Luna dengan kesal. Entah mengapa hari ini dia merasa kesal setiap suaminya mengatakan sesuatu yang seolah sedang menuduhnya.Serena mendengarnya. Seketika dia menatap wanita yang menjadi madunya. "Apa kamu ada hubungan asmara dengan dokter bodoh itu, Luna?" tanyanya sembari menyeringai. Luna menatap tajam padanya. Tidak ada rasa takut yang menghantuinya saat ini. Bahkan dia terlihat tidak gentar sedikit pun menghadapi istri pertama dari suaminya."Kenapa? Apa jangan-jangan kamu yang cemburu dan melimpahkannya padaku?" tanya balik Luna sambil menyeringai dan menatap curiga padanya. Seketika Serena tertawa. Luna mengalihkan perhatiannya. Dia tidak mau menanggapi ocehan dari istri pertama suaminya yang selalu berusaha menghinanya. "Aku? Suka pada dokter bodoh itu?" tanya Serena di sela tawanya.Luna tidak bergeming. Dia tetap tidak mempedulikan ocehan wanita angkuh tersebut. Hatinya sangat kesal mengingat tentang permintaan Serena yang sangat memberatkannya. "
Tubuh Kania menegang mendengar nada dering khusus yang diberikannya pada salah satu nomor pada kontak telponnya. "Ma! Kenapa diam?" tegur Carla dengan tatapan curiga pada mamanya. "Ti-tidak. Tiba-tiba saja kepala Mama merasa pusing. Mama mau istirahat dulu di kamar," jawabnya dengan gugup.Dahi Carla mengernyit. Pandangan matanya tidak lepas dari wajah sang mama yang sama sekali tidak terlihat pucat. Malah wanita paruh baya tersebut terlihat salah tingkah."Mama akan beristirahat di kamar mana?" tanya Carla dengan tatapan curiga. Seketika Kania sadar, jika saat ini mereka sedang berada di rumah anak tirinya, Kenzo Matteo. "Kamar tamu," ucapnya tanpa menatap putrinya.Setelah berpamitan pada mertuanya, Kania bergegas masuk ke dalam rumah. Ponselnya kembali berdering tepat di saat kakinya melangkah masuk melewati pintu. Dan nada dering itu pun kembali terdengar.Wanita paruh baya tersebut melihat ke sekelilingnya. Setelah merasa tidak ada orang di sekitarnya, dia pun segera menjawab
Suara lenguhan memenuhi ruang kamar hotel yang sedang dihuni oleh Kania dan seorang pria. Ranjang yang beralaskan kain putih, kini tidak lagi rapi seperti sebelumnya. Banyaknya peluh yang menyelimuti tubuh polos mereka, tidak menghentikan kegiatan panas tersebut. Mereka berdua bergantian saling memanjakan satu sama lain. Tidak ada penolakan sama sekali dari keduanya. Mereka terlihat saling menikmati pergulatan panas di ruangan dingin itu. Berkali-kali ponsel Kania berdering. Akan tetapi, si pemilik ponsel tersebut seolah tidak mendengarnya, sehingga semua panggilan telpon tersebut, berakhir menjadi panggilan tidak terjawab.Namun, si penelpon seolah tidak menerima penolakan. Dia mengirimkan pesan pada nomor Kania. Suara notifikasi pesan yang terdengar berkali-kali pun tidak mengganggu kegiatan panas sepasang manusia tersebut. Keduanya menulikan pendengarannya agar tetap fokus pada kegiatan bersenang-senang mereka. Setelah beberapa lama, suara lenguhan panjang pun mengalun merdu di
Seketika Luna dan Kenzo terperanjat mendengar suara seseorang yang seolah sedang memergokinya. Sepasang suami istri tersebut saling menatap, kemudian mereka menoleh ke arah sumber suara. Kenzo menghela nafas melihat sosok yang berdiri di belakangnya. Benar dugaan mereka berdua, Serena lah pemilik suara tersebut. Dia berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Sejak kapan kamu menempati kamar ini?" tanya Serena dengan ketus. Sebagai istri pertama dari si pemilik rumah, Serena merasa kecolongan, tidak mengetahui tentang kamar baru madunya. Harga diri dan martabatnya seolah terinjak-injak di hadapan istri kedua suaminya. "Serena, tenanglah. Biarkan Luna beristirahat terlebih dahulu. Kita berbicara berdua di ruangan lain," tegur sang suami, berusaha membujuk istri pertamanya agar tidak lagi membuat keributan. Serena beralih menatap suaminya. Wanita angkuh itu menatap marah padanya. "Kamu keterlaluan, Ken! Bukankah itu kamar tamu yang hanya dibuat khusus untuk Kakek?! Kena
Tubuh Kenzo bergerak reflek dengan sendirinya. Dia meraih tubuh Luna dan membawa tubuh mungil itu dalam pelukannya. Hati dan pikirannya tidak dapat dibohongi. Pria beristri dua tersebut ingin memeluk dan melindunginya. "Jangan menangis, Sayang. Hatiku terluka jika melihat air matamu. Kamu harus tahu, aku sangat senang mendengarnya. Terima kasih karena telah memberikan hatimu padaku. Aku sangat bahagia karena rasa cintaku tidak bertepuk sebelah tangan," tutur Kenzo sambil memeluk erat istri mudanya. Pernyataan tulus dari Kenzo sangat menyentuh hati Luna. Air mata kesedihannya, kini berubah menjadi air mata bahagia. Luna pun membalas pelukan suaminya. Tanpa ragu, dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang suaminya dengan begitu erat, seolah mereka takut kehilangan satu sama lain. Ron Matteo tersenyum bahagia melihat cucu kesayangannya telah menemukan cinta sejatinya, meskipun dengan jalan yang tidak biasa. Terlebih lagi cinta mereka telah membuahkan hasil yang luar biasa. Sehingg
"Oke. Siap. Laksanakan," ucap Anna lirih, sambil tersenyum.Wanita tersebut merapikan rambut panjangnya yang berwarna golden brown, sembari melihat wajahnya dari kaca bedaknya. "Sepertinya wajahku kurang segar. Aku harus memakai bedak kembali," gumamnya seraya memakai bedak.Tidak hanya sampai situ saja. Anna memakai kembali lipstik merahnya untuk memperlihatkan kesan seksi dan menawan. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat garis-garis halus di wajahnya telah tertutup sempurna oleh makeup yang digunakannya. "Aku merasa kembali muda," ucapnya lirih sambil menahan tawanya. Kemudian, dia berdiri dari duduknya dan merapikan short dress ketat berwarna merah yang dipakainya. Tanpa menunggu lama, dia berjalan anggun menghampiri Damian dan membawa tas dari brand ternama dengan penuh percaya diri. "Bukankah anda Dokter Damian?" tanyanya ketika berdiri di depan pria yang sejak tadi sudah menjadi targetnya.Pria paruh baya dengan penampilan rapi tersebut menatap wanita yang menyebut namany
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
"Aku bertaruh untuk Nyonya Serena. Kalian mau bertaruh untuk siapa?" tanya lirih seorang pelayan wanita, sembari menengadahkan tangannya di hadapan kerumunan para pelayan yang sedang bersembunyi di balik tembok ruang makan untuk menguping. "Kamu mengajak kita taruhan?" tanya pelayan kepercayaan Serena dengan setengah berbisik. Pelayan wanita tersebut menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menunjuk tangannya yang masih dalam posisi menengadah dengan menggunakan dagunya. Tanpa berpikir panjang, pelayan yang merupakan kepercayaan sang nyonya merogoh sakunya dan meletakkan dua lembar uang kertas pada telapak tangan tersebut, sembari menyebutkan pilihannya. "Tentu saja aku bertaruh untuk Nyonya Serena," ucapnya dengan penuh keyakinan. Satu per satu dari mereka pun memilih Serena untuk dijagokan. Sang nyonya memang tidak pernah membiarkan dirinya kalah dari siapa pun. Terlebih lagi dari Luna, istri kedua suaminya yang kini tinggal bersama mereka. "Ada apa ini?!" Tiba-tiba saja terde
"Berhenti!" seru Luna sembari berdiri dari duduknya. Sontak saja semua pasang mata yang ada di ruang makan tersebut mengarah padanya. "Kamu tidak berhak mengatakan itu pada Carla. Dia hanya menyampaikan pesan dari Dokter Ludwig padaku," ujarnya dengan ekspresi datar. Seketika Kenzo sadar bahwa emosinya telah tersulut oleh api kecemburuannya pada Dokter Ludwig. Dengan gerakan cepat, dia meraih kedua tangan istri keduanya, berharap sang istri tidak marah padanya. "Sayang, maaf. Maafkan aku," ucapnya dengan tatapan mengiba pada istrinya yang sedang hamil.Luna menghempaskan tangan suaminya. Wajah dinginnya membuat sang suami mengetahui betapa marah dan kecewanya saat ini. "Aku akan pergi menemui Dokter Ludwig bersama dengan Carla," tuturnya tanpa meminta ijin pada sang suami, seperti sedia kala. Kenzo kembali meraih tangan sang istri, berusaha untuk bisa meyakinkannya. "Aku tidak akan melarang mu, tapi aku akan ikut denganmu," pintanya dengan penuh harap. Carla memang sakit hati
Makan malam kali ini berbeda dengan malam sebelum-sebelumnya. Serena berada dalam satu meja makan dengan madunya. Suasana di ruangan tersebut begitu damai. Bahkan sang nyonya bersikap ramah dan selalu tersenyum pada istri kedua suaminya.Hidangan makanan dan minuman yang tersaji di meja pun sangat beraneka ragam. Semuanya merupakan menu andalan dari keluarga tersebut. Bisa dikatakan jika semua menu makanan kali ini merupakan kesukaan Kenzo. "Apa mataku tidak salah melihat?" celetuk Carla sambil menatap takjub pada semua makanan yang ada di meja makan. "Sebaiknya sekarang juga kamu ke rumah sakit untuk memeriksakan matamu. Jangan mengganggu makan malam kami," ujar Serena dengan ketus.Sayangnya Carla tidak terpengaruh dengan ucapan Serena. Dia bersikap layaknya seorang bocah yang ketika dilarang melakukan sesuatu, maka larangan tersebut malah dikerjakannya."Terima kasih," ucap Carla sambil tersenyum setelah duduk di kursi yang berhadapan dengan sang nyonya.Sontak saja Serena menat
Seketika Serena menoleh ke arah sumber suara. Dia menatap tidak suka pada si pemilik suara yang sedang berdiri di belakangnya. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan sewot pada sosok wanita yang baru saja menyapanya. "Kenapa kamu peduli dengan kehadiranku di rumah ini?" tanya balik sang wanita pada sang nyonya rumah tersebut. Serena membalikkan badannya. Dia menatap wanita tersebut seolah sedang menantangnya. "Aku adalah nyonya di rumah ini. Semua yang terjadi di rumah ini harus atas sepengetahuanku," ujarnya sembari menyeringai dan menaikkan dagunya.Sang tamu wanita tersenyum, seolah sedang meremehkannya. Dia menatap nyonya rumah tersebut dengan penuh percaya diri. "Begitu pula dengan tamu. Aku berhak menerima atau mengusir tamu yang tidak aku inginkan," tutur sang nyonya sembari memberikan tatapan layaknya penjahat yang sedang mengancam korbannya. Sang tamu wanita tidak gentar sedikit pun. Kakinya melangkah maju, sehingga berada tepat di hadapan wanita angkuh te
Wajah kesal Kenzo bertahan seharian. Pasalnya, dia tidak terima jika Dokter Ludwig mempunyai nomor Luna, istri keduanya yang kini telah mengandung anaknya. Pikirannya tidak tenang berpisah dengan sang istri, meskipun hanya beberapa jam saja. Sang dokter tidak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan makanan yang ada di hadapannya pun hanya dilihat dan diaduk-aduk saja, seolah enggan untuk memakannya. Damian yang sedang makan di depan sang putra pun menyadari kerisauan hati putranya. Seketika dia teringat akan perkataan papanya. Pria paruh baya itu tersenyum tipis menyadari persamaan di antara mereka berdua."Apa rencanamu selanjutnya, Ken?" tanya Damian ketika sedang makan siang bersama sang putra.Kenzo mengalihkan pandangannya pada sang papa yang sedang menunggu jawaban darinya. Dia menatap malas pada pria paruh baya tersebut, seolah tidak ada tenaga untuk berbicara. "Apa malammu tidak menyenangkan?" tanya sang papa kembali. Kenzo menghela nafas mengingat malam yang sangat menguras hati
Saat itu juga Kenzo dan Serena menoleh ke sumber suara. Serena tersenyum puas melihat sosok wanita yang sedang berdiri dan terlihat syok dengan mata yang berkaca-kaca. Berbeda dengan Kenzo, sontak saja matanya terbelalak, terkejut dengan kehadiran wanita tersebut."Luna?!" celetuk Kenzo tanpa sadar, seraya menatapnya tidak percaya. Seketika Luna merasa tubuhnya lemah, tidak bertenaga, sehingga dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Bahkan untuk memaki suaminya saja tidak sanggup. Matanya berkaca-kaca menahan sekuat tenaga air matanya yang terkumpul di pelupuk mata. Bibirnya bergetar, menahan suara tangisnya yang ingin keluar dengan sendirinya. Hati Kenzo benar-benar merasa sakit saat melihat wajah sedih belahan jiwanya. Tanpa sadar kakinya pun melangkah dengan sendirinya. Seketika kaki Luna reflek bergerak dengan sendirinya. Kekuatannya terkumpul karena rasa kecewanya yang begitu dalam pada sang suami."Sayang! Tunggu aku!" seru Kenzo sambil berjalan cepat
Pagi harinya Kenzo kembali dipusingkan dengan keinginan dari kedua istrinya. Setelah pengakuan cinta Kenzo di hadapan istri pertamanya dan sang kakek, Luna seperti mendapatkan kekuatan untuk melawan kelicikan Serena. Akibatnya, kini sang suami yang kerepotan memenuhi keinginan mereka berdua. "Kenapa aku yang harus mengalah dengan wanita udik itu?! Dia yang hadir dalam rumah tangga kita. Dia yang merebut perhatianmu dariku! Seharusnya kamu lebih mengutamakan aku, dibandingkan dengan dia, Ken!" protes Serena meluapkan kekesalannya pada sang suami."Tapi dia sedang hamil anakku, Sayang," ucap Kenzo dengan tatapan mengiba pada istri pertamanya. Saat ini Kenzo hanya ingin ketenangan dalam rumah tangganya. Dia tidak ingin terjadi perdebatan lagi di dalam rumahnya. Karena itulah pria beristri dua tersebut mencoba mengambil hati istri pertamanya, agar tidak lagi membuat masalah dan mau menerima nasehatnya. "Ingat status dia, Ken! Dia hanyalah wanita yang kita sewa untuk menjadi ibu penggan
"Tadi aku sempat jalan-jalan di luar sebelum kalian ada di sini," sahut Kania sambil tersenyum palsu. Ron Matteo mengernyitkan dahinya. Dia menatap tidak percaya pada cucu menantu pertamanya.'Ternyata dia bisa berbohong juga,' batinnya sembari menahan seringainya. Kania terlihat gugup dan salah tingkah. Dia menyadari pandangan kakek mertuanya yang berbeda dari biasanya. 'Apa Kakek mengetahui kebohonganku?' tanyanya dalam hati. Damian menatap istrinya seolah sedang mencari sesuatu darinya. Entah apa yang akan akan ditemukan oleh pria paruh baya itu nantinya, kejujuran atau mungkin kebohongan. Tentu saja dia berharap pikiran buruk tentang istrinya salah.Kania merasakan tatapan suaminya yang membuat dirinya tidak nyaman. 'Sepertinya dia tidak mempercayaiku. Apa dia tadi melihatku di hotel?' batinnya sambil memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya. "Sayang, apa kita bisa pulang sekarang? Kepalaku masih sedikit berat. Mungkin aku harus beristirahat lebih lama lagi," pinta
Damian reflek menengadahkan kedua tangannya untuk menahan tubuh Anna yang akan jatuh ke arahnya. 'Mission complete!' batin Anna sambil tersenyum tipis ketika merasakan kedua tangan sang dokter yang berada di punggungnya. 'Sial! Kenapa dia malah pingsan?' umpat Damian dalam hati sembari melihat sekitarnya. Sontak saja tiga orang pria berpenampilan serba hitam berlari menghampirinya. Mereka sangat peka melihat situasi yang sedang dialami bosnya. "Serahkan saja pada kami, Tuan," ucap salah satu dari ketiga pria tersebut. Damian pun menyerahkan tubuh wanita paruh baya yang berpakaian seksi tersebut padanya. Dua orang dari mereka membopongnya dan meletakkan tubuh wanita itu di salah satu sofa yang ada di sekitar mereka. "Maaf, Tuan. Nyonya Kania sudah keluar dari hotel ini," bisik pria yang berpakaian serba hitam pada sang dokter. Seketika Damian membelalakkan matanya. Pandangan matanya beralih pada pintu hotel tersebut. "Apa kamu serius? Kapan dia keluar?" tanyanya dengan tidak sa