Anggoro masih saja menatap Sera. Dia tidak percaya wanita itu masih saja mempesona semua orang, seolah-olah melupakan apa yang terjadi dan video perkenalan Pamela saat itu."Kau selalu membuatku terkejut," ucapnya kemudian menarik Sera masuk ke dalam ruangannya. Anggoro meletakkan rantang itu begitu saja di atas meja. Parman yang melihat situasi tidak mengenakan itu pun segera keluar dari ruangan dan membiarkan mereka berdua menyelesaikannya."Kau ingin mempesona setiap orang melakukan hal ini? Seolah-olah kau yang paling baik kepada semua orang, agar semua yang berada di sini dan warga satu kota ini menyukaimu lalu membenciku?"Anggoro mendekati Sera kemudian memegang kedua pundaknya dan mengamati sangat tajam. "Apa yang ingin kau lakukan sebenarnya, Sera? Sudah cukup memperlakukan aku seperti ini. Aku sudah tidak mau lagi berhubungan denganmu. Aku mohon, kau tidak bisa seperti ini. Sekarang pulang saja dan bawa semua makan siang itu. Para pegawaiku sudah menyiapkan makan siang yang
Para wartawan itu semakin senang mendapatkan sebuah kabar berita yang akan sangat populer.Seorang Bupati melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada istri pertamanya, karena akan menikahi istri muda yang sudah diperkenalkan kepada semua orang. Ditambah menyembunyikan istri pertamanya. Ini adalah hal yang sangat menarik."Semua yang berada di sini cepat keluar!" teriak Parman bersama dengan beberapa pengawal. Mereka menarik para wartawan yang berjumlah puluhan untuk keluar. Sementara pegawai yang berada di dalam pun masih saja kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa."Baiklah ini yang aku mau. Suasana sangat kacau di dalam kantor Bupati itu. Pasti Anggoro akan mendapat balasannya. Dia tidak akan pernah bisa menduduki jabatannya lagi, dan dia akan sangat malu. Bahkan jika dia keluar menemui warga, hmm ... pasti warga akan membencinya. Meminta dia turun," ucap Bima dengan tersenyum dari kejauhan. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bima diam-diam selalu saja mengamati
Pamela masih saja mengamati Sera. Wanita itu tidak segan-segan mengeluarkan ponsel Willem yang diberikan kepadanya. Tidak peduli Anggoro kini mengetahui hal itu. Sera terus menunjukkan sebuah bukti. Para wartawan itu menatap Sera dengan tajam, sangat serius sekali.'Sialan! apa yang sudah dia lakukan? Apa yang terjadi?' batin Pamela kemudian berjalan cepat mendekati Sera dan menarik tubuh wanita itu."Yang kau tunjukkan ini sebuah fitnah. Tidak ada yang harus kau tunjukkan. Jadi kau mengikutiku dan diam-diam? Lalu merekam apa yang terjadi di dalam rumah? Ini pelanggaran karena kau sudah melampaui batas!" ucap Pamela sambil menunjuk Sera. Kemudian wanita itu menatap semua wartawan yang semakin asyik melihat drama yang berada di hadapan mereka."Apa yang akan terjadi ketika kita berada di dalam rumah, ternyata ada penguntit yang diam-diam merekam semua yang kita lakukan? Bukankah itu sebuah kejahatan?" lanjut Pamela masih saja mengamati Sera dengan sangat serius. Tidak dipungkirinya, ja
Anggoro kini membalikkan tubuhnya. Sera pun terkejut. Kali ini dia tidak bisa membela Anggoro karena semua yang dikatakan Pamela ada sedikit benarnya. Posisi kamarnya berada di belakang. Bahkan Pamela pun sempat tinggal bersama dengan Anggoro dan menempati kamar itu. Hal itu sangat tidak baik."Aku bilang hentikan, Pamela. Sudah cukup!" Anggoro tidak peduli lagi. Di depan semua wartawan dia sangat marah dan menarik Pamela yang menahan tangannya. Wanita itu masih saja berakting dan terus menangis, seolah-olah menjadi wanita yang sangat menderita."Ayolah Bapak Bupati. Kau jangan kasar seperti itu. Dia ini wanita." Willem tiba-tiba mendekat dan menarik tangan Anggoro agar tidak mencengkeram lengan Pamela."Semua ini bisa terselesaikan jika semua dibuktikan secara nyata," lanjut Willem.Anggoro kini sadar. Pamela dan mantan sahabatnya itu sudah merencanakan dengan sangat matang dan dia terkena jebakannya.Anggoro harus menenangkan dirinya. dia tidak bisa terjebak dengan situasi itu.Namu
Maya semakin membuat Sera terkejut. Dia berkata di depan semua warga dan membela Anggoro.'Kenapa dia melakukannya?' Sera yang berada di sebelahnya pun hanya terdiam dan mengikuti arus. Maya juga berhasil membuat semua wartawan itu akhirnya pergi dari sana. Kini suasana menjadi sangat tenang."Apa yang kau inginkan, Maya? Kenapa kau berubah seperti ini?" ucap Sera dengan berbisik, sambil mengamati sekitar. Dia tidak ingin seseorang melihatnya seperti itu."Apa kau merencanakan sesuatu? Tolonglah, permasalahanku sudah sangat rumit. Jangan menambah beban lagi." Sera melanjutkan dengan pandangan tajam."Sebaiknya kita berbicara di tempat yang tenang saja. Jangan berada di sini. Aku memang sudah sangat kasar denganmu dan jahat. Tapi kali ini percayalah kepadaku," ucap Maya sambil menganggukkan kepala sebagai isyarat jika Sera harus mengikutinya.Mereka berdua pun berjalan menuju ke halaman belakang di kantor itu yang cukup luas. Sera masih sangat cemas jika seseorang melihatnya berbicara
Pada saat Sera akan masuk ke dalam ruangan Bupati, Dia melihat Pamela berdiri di halaman belakang bersama Willem.Sera benar-benar memiliki perasaan sangat tidak enak. Dia akhirnya mengikuti Pamela. Dugaannya benar. Pamela dan mantan sahabat Anggoro itu sudah bekerja sama untuk menjatuhkan Bupati."Aku tidak akan pernah membiarkannya, Pamela. Apa pun yang kau lakukan, aku tidak akan pernah membiarkan hal itu. Apa kau mengerti?" ucap Sera tegas sambil menunjuk Pamela yang malah terkekeh pelan."Gadis desa yang sekarang sangat berani. Hmm, mencoba untuk mempesona semua orang. Tentu saja itu tidak akan pernah terjadi. Apa kau mengerti," balas Pamela dengan sangat percaya diri. Dia tersenyum ketika melihat istri Wakil Bupati datang bersama dengan beberapa istri pejabat dan pengusaha kaya raya yang mendadak mengunjungi kantor Bupati."Jadi ini istri pertama Bupati?" tanya istri Wakil Bupati dengan tersenyum menatap Pamela. Semua wanita yang berada di belakangnya pun ikut tersenyum. Mereka
Ada apa ini? Kenapa semua terjadi? Bupati hanya terdiam. Bahkan Parman pun tidak bisa melakukan sesuatu. Pengawal itu berjalan cepat mengikuti beberapa polisi yang sudah menuju ke sebuah mobil yang terparkir di halaman. Semua media masih setia mengambil gambar itu."Pamela, kau benar-benar tidak tahu diri. Lihat saja aku akan membalasmu, Pamela." Sera menarik tangan Pamela kemudian mendorong tubuhnya. Wanita itu tidak mau tinggal diam. Dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai seolah-olah Sera sudah mendorongnya dengan sangat keras."Lihatlah, istri Bupati yang tidak tahu diri!" Istri Wakil Bupati berteriak dengan keras, membuat semua orang kini menatap Sera. "Tentu saja dia seperti itu, karena dia tidak memiliki pendidikan yang sangat bagus dan sangat buruk seperti kelakuannya!" lanjutnya dengan keras "Aku sudah katakan. Aku ini sangat menderita berada di dalam rumah Bupati. Bahkan aku selalu mendapatkan perlakuan kasar. Banyak sekali bekas pukulan yang berada di tubuhku ini!" teriak Pamel
Sera masih terpaku melihat keadaan Anggoro yang sangat mengenaskan seperti itu. Dia perlahan mendekati sang suami yang sudah duduk bersila dan memejamkan kedua matanya di dalam jeruji besi. Kali ini dia sendirian. Tidak ada narapidana lain yang menemani Anggoro.Sementara, Sera menatap televisi yang berada di depan tempat duduk para petugas polisi yang berjaga. Mereka semua mendengarkan sebuah berita. Para warga mulai berdemo menginginkan Anggoro untuk turun. Terus memakai Bupati dengan sangat kejam."Pasti Pamela dan semua yang terlibat suka melihat hal ini. Kenapa Willem melakukannya? Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu," gumam Sera terus berjalan hingga akhirnya dia berdiri tepat di depan jeruji besi itu. Memegang besi itu dengan kedua telapak tangannya sangat erat sekali.Anggoro masih memejamkan kedua matanya. Bahkan dia tidak melihat Sera yang sudah berada di sana. Sera pun tidak mau mengganggu Anggoro. Dia hanya terdiam dan tidak berkata apa pun."Waktu untuk menjenguk han
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu