Pamela tertawa dengan keras. "Hahaha!" Dia menggelengkan kepala, kemudian menatap semua warga yang masih terpaku dengan drama yang berada di hadapan mereka. Para wartawan pun segera memasang kedua telinga mereka dan bersiap untuk mencatat apa pun yang bisa menunjang berita mereka. Kejadian hari ini adalah sesuatu yang sangat menarik dan bisa membuat perusahaan mereka menjadi laris manis. Sebuah berita yang sangat ditunggu masyarakat. Yaitu kehidupan dari keluarga kaya raya Anggoro, yang selalu menjadi sorotan dan selalu asik untuk diperbincangkan."Lihatlah!" teriak Pamela. "Hmm, bagaimana bisa ... wanita sangat anggun seperti diriku dan berkelas melakukan hal bodoh seperti itu?"Pamela membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah foto dan menunjukkan ke semua orang."Ini adalah sebuah bukti jika istri Bupati sudah melakukan perselingkuhan di belakang suaminya."Semua warga kini memaki Sera. "Istri tidak berguna!" Menunjuknya tanpa henti dan menghakimi Sera dengan makian yang sangat kasar."M
Willem mendekati Pamela. Dia lanjut berkata, "Kita memiliki tujuan yang sama sebenarnya. Aku tidak menyukaimu. Tapi aku tidak punya pilihan lain dan kau pun seperti itu." Nadanya cukup pelan. Tapi pandangannya tetap saja masih tajam."Kita akan membicarakan ini," jawab Pamela singkat, kemudian menggelengkan kepalanya ke arah parkiran. Dia berjalan ke sana diikuti dengan lelaki Belanda itu. Kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam mobil Pamela."Kenapa kau kembali Pamela?" tanya Willem tiba-tiba. "Hmm, yang aku dengar kau sudah pergi bersama dengan seorang pengusaha kaya raya dari Belanda. Kebetulan dia temanku. Kau tahu kan, dia sangat marah saat kau mendadak meninggalkannya." Willem masih menatap Pamela yang duduk di kursi kemudi sambil bersedekap."Tidak perlu kau bahas. Untuk apa aku mengatakan semuanya kepadamu? Semua itu bukan suatu hal yang harus aku ceritakan." Pamela kali ini sedikit kesal."Justru kau yang harus mengatakan tujuanmu. Tidak aku sangka selera kalian, para lelaki
"Satria, kau masih kecil. Tidak perlu ikut campur dengan semua yang berhubungan dengan masalah di rumah ini!" Anggoro mendekati anaknya, kemudian akan memutar kursi roda itu dan membawanya keluar. Namun, Satria segera menekan tombol yang berarti menghentikan roda itu."Aku tahu siapa yang meracuni Ayah. Bahkan aku merekamnya." Satria segera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan kepada Simbah yang hanya terdiam. Dia memang melihat Pamela yang melakukannya."Aku sudah menduga wanita itu adalah kuman di rumah ini," ucap Anggoro dengan nada dingin. "Dia bisa saja membunuhku atau membunuh siapa saja. Ibu, dia yang harus diusir!" Anggoro berkata dengan tegas, namun ternyata sang Ibu tetap menggelengkan kepala."Dia tidak akan pernah pergi," balas Simbah masih saja mengejutkan Anggoro."Ayah mendengar Nenek bukan? Ya, Ibu Pamela tidak akan pergi dari sini. Sementara, Ibu tiriku yang akan pergi."Anggoro masih saja semakin tidak mengerti. Kenapa mereka berdua seperti itu? Dia tidak akan pern
"Makanya, jadi orang itu jangan songong!" Salah satu narapidana masih saja menjambak Sera. Dia menamparnya berkali-kali dan melempar tubuh Sera hingga tersungkur ke lantai. Semua narapidana beramai-ramai akan menginjaknya."Ada apa ini? Kenapa kalian seperti itu?!" teriak salah satu petugas dan segera membuka pintu jeruji besi.Semua narapidana wanita menyingkir. Sementara, Sera masih berada di lantai dan merintih kesakitan."Apakah kalian tidak tahu wanita ini sedang hamil. Kalian sudah membunuh anaknya!" teriak petugas itu sekali lagi. Dia segera memapah Sera untuk berdiri dibantu dengan petugas lainnya yang berada di sana. Bergegas mengeluarkan Sera dari sana dan membawa ke klinik yang berada di dalam kantor."Kenapa kalian tidak mencegah keributan itu? Seharusnya kalian berjaga di depan penjara itu. Sudah tahu penjara wanita itu benar-benar merepotkan, kenapa kalian tinggal?" Kepala komandan sangat marah. Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya jika semua narapidana itu akan meluk
"Apa yang kau lakukan?" Sera berusaha meronta. Namun, tangan kekar sudah menutup mulutnya dengan sangat keras. Dia semakin melotot tajam saat mengetahui siapa yang melakukan itu.Bupati yang melakukannya? Bagaimana bisa Anggoro berada di sana dan menemukan dia seperti itu? Sera tidak pernah menduga itu sama sekali. Anggoro terus menggelengkan kepala. Sera akhirnya menatap ke depan. Dan ternyata benar. Ada beberapa petugas kepolisian yang melewati jalanan di depan. Para petugas itu hampir saja mengetahui keberadaan Sera."Kalau aku tidak menemukanmu? Pasti kau tidak berada di sini. Kau akan masuk ke dalam jeruji besi itu lagi," bisik Anggoro dengan sangat pelan. Sera akhirnya menurut. Dia masih saja dia menunggu para petugas itu yang akhirnya beberapa menit pergi dari sana setelah rokoknya habis.Anggoro melepaskan tubuh Sera, kemudian menariknya untuk pergi dari sana.Anggoro terus berjalan hingga sampai masuk ke dalam mobilnya yang berada di seberang jalanan. Sera hanya terdiam dan
Sera tidak bisa berkata apa pun. Semua yang dilakukan Anggoro seketika membuat dia terdiam. Lelaki itu selalu berhasil merebut hatinya. Memang selama ini dia mengenal Bima. Sosok lelaki yang sempat menggetarkan hatinya saat duduk di bangku SMA.Sera kala itu mendapatkan beasiswa masuk ke sana karena kepintarannya. Dia masuk ke sekolah SMA swasta yang cukup mahal, yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang kaya. Walaupun sekolah di sana sangat membanggakan, tentu saja dia hampir saja dibully karena berasal dari kalangan miskin. Tetapi ketika itu Maya mau berteman dengannya, karena Sera selalu membantu dirinya mengerjakan tugas. Mereka bersahabat cukup lama hingga kehadiran Bima merusak persahabatan mereka dan menjadi musuh bebuyutan."Sekarang diam dan jangan banyak bicara atau aku akan melakukannya lagi." Bupati melepaskan bibirnya, kemudian keluar dari mobil. Tidak peduli semua tetangga melihatnya. Dia memutari mobilnya dan membuka pintu mobil Sera. Membantu wanita itu keluar dari san
Anggoro berjalan mendekati Sobar dan mengamatinya. Dia lanjut berkata, "Tidak ada yang sama. Anak bapak itu wajahnya seperti orang luar. Kedua matanya abu-abu. Sementara Bapak itu wajahnya sangat Indonesia sekali.""Bapak, tidak ada yang disembunyikan bukan? Karena aku tidak ingin ada rahasia. Semuanya harus dibicarakan. Bapak sudah berjanji sama aku." Sera terus memandang Sobar yang kini menutup mulutnya rapat. Dia tidak tahu harus berkata apa."Kenapa Bapak diam? Ayo Pak, katakan sesuatu. Tadi Bapak dengar sendiri kan, aku tidak akan pernah bisa ke sini kalau sudah keluar dari rumah ini," lanjut Sera sambil memegang kedua pundak bapaknya dan mengoyaknya cukup keras. Sobar pun masih terdiam dan tidak tahu harus berkata apa."Benar! Bapak Bupati ada di dalam bersama dengan istrinya." Salah satu warga berteriak dengan kencang.Anggoro yang semula berdiri di depan Sobar, kini berjalan cepat menuju jendela dan membuka sedikit tirai itu. Ternyata ada beberapa petugas kepolisian yang sudah
Sera tidak bisa berkata apa pun. Yang dikatakan Anggoro selalu mengejutkan. Kadang lelaki itu bersikap sangat manis dan romantis. Tapi, terkadang bersikap sangat menyebalkan dan masih menganggap dia seorang budak, yang melakukan perjanjian dengannya."Tuan, aku masih--," ucapnya terhenti ketika tiba-tiba lengendara kuda itu menghentikan kereta."Pak Bupati, saya mohon maaf. Saya ini mau mengantar sampai di depan rumah Simbah. Tapi ternyata ... saya tidak berani. Maaf, saya lupa kalau saya sudah berjanji tidak akan pernah membawa kereta yang penuh sayuran melintas. Karena sayuran yang jatuh bisa mengotori jalanan di sekitar rumah Simbah. Saya nanti bisa terkena marah seperti dulu dan bisa dipecat.""Saya tidak akan pernah melupakan jasamu. Saya akan memberikan imbalan. Tunggu saja." Anggoro menerima jabatan lelaki muda itu, kemudian menuruni kereta kuda dan membantu Sera melakukannya.Tanpa berbicara apa pun, Anggoro menarik Sera hingga akhirnya dia masuk ke halaman belakang rumahnya.
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu