Anggoro masih saja terpaku melihat sang ibu dengan sangat marah meninggalkannya begitu saja. Dia kembali terkejut saat seseorang menepuk pundaknya sebelah kanan dari belakang."Apa yang kau inginkan, Pamela? Kau sudah menjebakku," ucapnya lalu pergi meninggalkan wanita itu.Tentu saja Pamela tidak akan pernah menyerah. Kakinya melangkah dengan cepat mendahului Anggoro saat akan masuk ke dalam kamarnya."Apa yang harus aku lakukan di sini? Sayang, aku benar-benar merindukanmu," balas Pamela dengan sangat manja."Tidak usah bersandiwara. Aku tidak menyukainya. Kau pergi saja. Kita lupakan kejadian tadi.""Hahaha, melupakan?" Pamela kembali mendekat Bupati, memeluknya erat. Kemudian menyandarkan kepalanya di dada kekar Anggoro."Tolong jangan lepaskan. Anggoro, aku sangat kesepian. Bukankah aku sudah memuaskanmu tadi?"Anggoro menarik napas dengan panjang. Dia berusaha untuk tidak mengingat kejadian itu. Benar-benar sangat memalukan sekali. Bagaimana mungkin dia dengan liar melayani Pame
"Tuan Bupati. Sudah saatnya Anda masuk ke dalam." Parman kembali memberanikan diri untuk membuat Anggoro sadar dengan lamunannya. "Aku ...""Apakah Tuan membutuhkan obat atau sesuatu?" lanjutnya kini mendapatkan perhatian dari Anggoro. Parman segera menundukkan kepalanya. "Tuan, apa Anda baik-baik saja?""Kau juga mendengar bukan? Itu suara budakku. Sangat terdengar sekali kalau dia sudah berada di dalam. Aku menikahi wanita itu karena sebuah perjanjian dan dia sudah menyetujui itu untuk menjadi budakku. Tapi ... dia sudah berani melangkahiku.""Mungkin Tuan bisa memikirkannya nanti. Hari ini adalah hal penting yang harus Tuan lakukan. Pasti ada hal yang sangat serius hingga Gubernur memanggil Anda untuk pergi ke kediamannya." Parman berusaha untuk membuat Anggoro melupakan apa pun yang bisa memicu kemarahannya terhadap Sera. Dia sendiri juga tidak tega melihat Sera selalu mendapat kemarahan Anggoro yang sangat luar biasa."Baiklah, katakan kepada Gubernur jika aku datang."Parman se
Hati Sera benar-benar sakit. Sangat sakit sekali. Dia harus sadar. Dia tidak bisa mencintai Anggoro. Bayangan bersama dengan lelaki seperti Anggoro, harus dia hilangkan. Yang bisa mendampingi Anggoro adalah Pamela."Jadi kau akan membangun listrik di pedesaan yang sangat tidak memungkinkan kita untuk melakukannya? Bahkan Gubernur pun tidak pernah berpikiran untuk melakukan ini." Anggoro sangat terkejut ketika melihat Sera memberikan ide yang sangat sulit seperti itu."Selama bertahun-tahun aku selalu saja memberikan ide seperti ini dan dia selalu menolak, karena biaya yang dikeluarkan pemerintah itu sangat terbatas. Tapi kau bisa melakukannya?"Anggoro menarik napas panjang, kemudian mengusap wajahnya yang berkeringat. Dia sendiri tidak mengerti dengan keadaannya saat ini.Sera masih saja tidak menanggapi yang dikatakan oleh Anggoro. Dia terus menepuk-nepuk dadanya yang sangat sesak. Bayangan Anggoro bercinta dengan Pamela masih saja terus melintas di pikirannya."Jadi sekarang kamu ti
Mencintai? Bagaimana mungkin seorang budak berani mencintai majikannya? Walaupun Anggoro sebenarnya juga sedikit ada perasaan kepada Sera. Tapi dia tahu diri. Apalagi sekarang wanita itu sudah mengalahkannya. Bekerja sama dengan ibunya sendiri untuk membuat dia seolah-olah bodoh di mata semua orang!"Kau tidak pantas untuk mencintaiku. Kau tidak pantas bersanding denganku!" ucapnya keras. "Ingatlah perjanjian itu. Aku bersamamu karena sebuah tugas yang harus kau lakukan." Anggoro kini memalingkan wajahnya. Dia sedikit kecewa. Kenapa Sera harus mengutarakan isi hatinya? Siapa yang tidak mencintainya? Semua wanita pasti akan mencintainya."Kau sama seperti wanita lainnya. Menikah denganku dan pasti mencintaiku. Hmm, karena aku adalah lelaki yang kaya raya dan memiliki jabatan. Jangan munafik."Hati Sera semakin sakit. Sangat tertekan. Dia memang wanita bodoh. Apa yang dikatakan Anggoro adalah sebenarnya. Siapa yang tidak mencintai sosok seperti Anggoro? Sangat gagah, kaya raya, lelaki y
Pamela masuk kembali ke dalam kamarnya diikuti Maya yang masih tertawa kecil, melihat kekalahan Pamela secara mutlak di hadapannya.Saat menikah dengan Anggoro, Maya memang sedikit dekat dengan Pamela. Mereka berdua memiliki sifat yang sama. Ingin menguasai apa pun dan tidak ingin dikalahkan.Maya berasal dari keluarga berada. Ayahnya pengusaha yang juga bekerja sama dengan perusahaan Simbah. Tentu saja dia selalu berkumpul dengan keluarga Anggoro. Sejak dulu memang dia sudah menyukai Bima. Tapi sifat playboy Bima membuat Maya sedikit kesal. Apalagi mengetahui ternyata Bima suka dengan teman sebangkunya, yaitu Sera."Kau selalu menertawakan aku. Apa kau lupa aku tidak pernah bisa dikalahkan?" balas Pamela masih saja sedikit kesal. Dia duduk di kursi, tepat di depan kaca rias. Kemudian memandang wajahnya sendiri yang terpantul di cermin. "Aku tidak menyangka ada gadis desa memiliki mata seperti itu. Tapi ... apa kau sadar?" lanjutnya kini menghadap Maya yang berdiri sambil bersedekap t
"Dari mana kau mengetahui semua hal itu? Seharusnya para pelayan itu tidak mengatakan apa pun." Anggoro semakin kesal. Memang, saat dokter memeriksa Sera, ada dua pelayan yang sangat dekat dengan Pamela berada di dalam kamar."Anggoro, dengarkan aku." Pamela masih saja berusaha untuk meyakinkan Anggoro yang saat itu memalingkan wajah darinya. Sang Bupati tidak ingin memperkeruh masalah. Walaupun hal itu terjadi pun, dia juga tidak mau memperbesar. Apalagi kondisi Sera sekarang sedang hamil dan sangat lemah."Sudahlah Pamela. Apa yang mau kau lakukan? Kau tidak punya hak ikut campur dalam kehidupanku. Kita ini sudah berpisah. Walaupun kita belum cerai secara hukum, tapi secara agama kita sudah bercerai, Pamela.""Habis manis sepah dibuang. Itulah dirimu." Pamela berkacak pinggang, berdiri dengan sangat tegak. Mengangkat wajah seperti biasanya. Dia berusaha terlihat seksi di hadapan Anggoro. Namun, lelaki itu hanya menanggapinya seperti biasa saja.Maya yang berada di antara mereka pun
Simbah tersenyum sinis sebelum akhirnya meninggalkan Pamela yang berdiri kaku.Pamela bersama Maya segera menghubungi dua polisi yang sudah berhasil dibayarnya, untuk membuat seolah-olah Sera menggunakan obat terlarang. Pamela akan berusaha membuat Sera pergi dari sana, hingga dia dengan bebas bisa menarik perhatian Anggoro. Menggantikan posisi Sera. Membuat dia satu-satunya istri yang akan mendampingi Anggoro. Dengan begitu dia bisa menikmati kemenangannya."Apa aku bilang, jangan berbicara macam-macam jika di rumah ini. Kau harus bisa mengendalikan emosimu." Maya menarik lengan Pamela, kemudian mengajaknya pergi ke tempat yang sepi. Mereka berada di halaman belakang. Maya mengamati sekitar dan memastikan tidak ada siapapun di sana."Ingat ya, Pamela. Aku sudah berbuat banyak dan mempertaruhkan harga diriku untuk masalah ini. Jadi kau jangan merusak segalanya," lanjut Maya dengan kedua mata melotot tajam, sambil menunjukkan jemarinya dengan tegas, tepat di wajah Pamela."Yah, aku tid
Anggoro masuk ke dalam kantor kepolisian itu dan melepaskan baju kebesarannya. Semua orang tentu saja berdiri terkejut. Bahkan ada beberapa media massa di sana. Mereka tentu saja tidak akan pernah meninggalkan berita heboh yang terjadi. Istri Bupati sudah mengkonsumsi obat terlarang? Hal itu adalah sebuah berita yang sangat hangat dan pastinya diperbincangkan semua warga. Sebuah berita yang menjadi trending topik di kota itu."Pak Bupati!" teriak salah satu wartawan. "Bagaimana Anda mendapati masalah ini? Kenapa Anda sampai kecolongan memiliki istri seperti itu?" ucap salah satu wartawan yang segera mendekati Anggoro. "Pergilah!" Parman segera menghalangi mereka semua, sampai Anggoro benar-benar masuk ke dalam."Halangi mereka!" Parman dan beberapa pengawal, lalu dibantu beberapa polisi berusaha menghadang mereka yang berjumlah puluhan. Para wartawan itu memaksa untuk mendekati Anggoro."Lindungi Bupati!" teriak Parman.sang pengawal semakin menariknya dengan keras hingga akhirnya An
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu