Sera mendekati Anggoro dan melewati Pamela begitu saja. Mengambil tas hitam yang berada di genggaman Bupati. Entah kenapa Anggoro hanya terdiam. Padahal, dia sangat marah dengan istrinya. Simbah pun juga tidak menyangka saat melihat anaknya. Sosok Anggoro selalu saja meluapkan emosi ketika dikhianati. Namun, kenapa sekarang diam?"Sangat percaya diri sekali," balas Pamela dengan terkekeh pelan. Dia mengusap kepala Satria dengan tersenyum, lalu berjalan mendekati Sera. Sambil berkacak pinggang dia berkata, "Apa yang bisa dilakukan wanita murahan seperti dirimu? Pendidikan rendah. Gadis desa yang tidak memiliki apa pun." Suara itu pelan, disertai senyuman mengejek.Sera hanya memandang suaminya yang juga membalas tatapannya. Rasa cemburu seketika menyelimuti hati Pamela. Dia bergelayut manja di lengan kekar suaminya, karena tidak mau terlihat kalah."Aku masih istrinya," ucapnya sekali lagi dengan tersenyum. "Sayang, dia sudah bersama Bima. Ingatlah itu."Anggoro melepaskan jemari Pamel
Sera masuk ke dalam kamar Bupati. Meninggalkan Pamela yang masih memendam amarah. Namun, langkahnya terhenti. Tatapan tajam sudah menyambutnya. Ingin sekali menusuknya tanpa ampun. "Tuan, saya akan--""Jangan pikir kau ke sini karena aku menginginkannya." Anggoro membalikkan tubuhnya. Berjalan mendekati jendela, lalu mengambil satu gelas air dan meminumnya. Lelaki itu diam saja. Tidak berbicara apa pun, atau membahas sesuatu yang sebenarnya ingin sekali Sera jelaskan.Sera masih menunggu. Sampai beberapa menit, dia akhirnya gelisah dan hanya menunggu sambil berdiri.Sera ingin sekali menolong suaminya. Dia hanya bisa mengandalkan Bima. Dengan nekat, Sera ketika itu melakukan permintaan Bima. Dia juga tidak menyangka akan melihat Bima di depan vila milik Anggoro. Ketika itu Sera tidak bisa berpikir jernih dan hanya ingin Bima membantunya menyelesaikan masalah Bupati. Wanita itu sangat berani masuk ke sana dan mengikuti Bima."Hmm, apa kau ingat vila itu?" tanya Bima terkekeh sambil me
Sera semakin melotot tajam. Dia tak menyangka Bupati ..."Kenapa kau membuatku seperti ini? Hah ...""Apakah dia ..."Sera masih saja mendengarkan suara yang semakin membuatnya menelan ludah dengan susah payah. Dia memang sangat polos dan tidak mengetahui apa pun tentang seks. Tapi ... ini semakin membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana bisa, Bupati yang sangat dingin itu bisa melakukan hal itu?"Kenapa dia tidak memintanya? Apakah dia memang tidak mau menunjukkan--"Brak!Saat Sera masih saja menempelkan telinganya, tanpa dia duga pintu itu terbuka dan membuat dia akan terjatuh. Sera memejamkan kedua matanya dengan sangat ketakutan. Namun, ternyata dia tidak menyangka berada di dalam dekapan Bupati. Apalagi sang Bupati hanya mengenakan handuk yang menutup tubuhnya bagian bawah."Tuan, maafkan--""Apa yang kau lakukan!" bentak Anggoro. "Kenapa kau bangun tengah malam?" Bupati segera menarik Sera menuju ke ranjang. "Sekarang kau cepat tidur saja. Jangan pernah melihat aku," uc
Pamela tidak menyangka ketika mendengar sang anak mengatakan hal yang sangat luar biasa mengejutkan. Wanita itu tetap terlihat tenang dan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan."Satria anakku. Apa yang kau katakan? Tentu saja Ibu ke sini karena dirimu. Ibu merindukan kamu. Ibu akan membalas dendam apa yang sudah dia lakukan kepadamu." Pamela semakin mendekati Satria, kemudian menundukkan tubuhnya dan menatap dengan tajam. Dia lanjut, berkata, "Aku akan melakukan apa pun untuk membalas wanita itu. Bukankah kau ingin menjadi pemain sepak bola? Satria, dia sudah menghancurkan cita-citamu. Ibu berjanji akan membuat dia lumpuh seperti dirimu.""Bukankah saat di mobil Ibu mengancam ayahku? Membuat ayahku sangat marah sampai kalian bertengkar hebat. Hingga ayahku tidak melihat seorang wanita melintas di jalanan." Satria kini mengusap rambut Pamela yang sedikit berantakan. Kemudian lanjut berkata, "Aku juga pernah melihat Ibu akan meracuni Ayah. Apa yang sebenarnya Ibu akan lakukan? Aku ragu
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa kau menembaknya? Apa kau sudah gila!" teriak Bima. Dia ingin sekali menyentuh tubuh Sera. Tapi Anggoro segera menamparnya dengan sangat keras.Plak!!"Dia adalah istriku. Hanya aku yang bisa menyentuhnya." Tidak peduli semua orang menatapnya, Anggoro segera menggendong tubuh istrinya. Namun, dia terkejut tidak ada darah yang keluar dari tubuh Sera. Dia melihat kalung berlian berwarna biru itu dan ternyata peluru kayu kecil yang seharusnya mengenai dada Sera, tertancap di sana. Sera pun perlahan membuka kedua matanya. Kemudian segera turun dari gendongan Anggoro. Kembali menatap tajam semua warga."Aku tidak akan pernah mati," ucapnya sambil menepuk-nepuk dadanya yang masih sangat sesak. Dia terus memaksakan dirinya, walaupun pandangannya semakin kabur.Peluru itu untung saja bukan peluru api yang biasanya digunakan untuk menembak musuh. Sebuah peluru kecil yang biasanya digunakan untuk melumpuhkan binatang yang terbuat dari kayu. Namun, tetap saja jant
Anggoro semakin tidak mengerti. Gubernur mendadak ingin menemuinya? Pasti kabar para warga yang berdemo sudah sampai di sana. Namun, kenapa Sera harus ikut andil dengan semua pekerjaan yang harus dilakukannya? Anggoro sangat cemas dengan hal ini."Apa kau tidak sadar juga, Bupati yang terhormat? Istrimu sudah mempesona semua orang ... termasuk Gubernur. Pasti berita kau diselamatkan istrimu itu sudah tersebar sampai kepala pemerintahan itu." Willem mendekati Bupati yang kini hanya bergeming kaku dan memikirkan semuanya."Mungkin Bima yang pantas menggantikanmu. Kau sama sekali tidak pantas menjadi seorang pemimpin," ejek Willem dengan terkekeh pelan."Katakan saja apa yang kau inginkan? Ya, terserah kau mau berkata apa. Yang jelas aku tidak akan pernah mau melihatmu berada di sini. Apalagi mendekati istriku. Seharusnya kau malu. Banyak sekali wanita di luar sana. Untuk apa menjadi lelaki perebut istri orang?""Dia budakmu. Dia bukan istrimu. Jika dia istrimu, dia tidak akan pernah kau
Sera hanya bisa menundukkan kepala. Tamparan itu semakin membuatnya bergetar. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Anggoro pun hanya terdiam lalu meninggalkan semuanya dan masuk ke dalam kamarnya. Pamela semakin tersenyum sambil bersedekap. Dia sangat puas menatap Sera akhirnya kalah mutlak di hadapannya."Aku yang membantumu ketika itu. Aku bisa saja membiarkanmu di sana bersama Bima. Bagaimana jadinya jika anakku menemukanmu di kamar itu?" Simbah semakin mendekati Sera dan mengangkat tongkatnya. Menunjuk tepat di wajah Sera yang masih saja menundukkan kapala."Kau berjanji akan menolong anakku. Jangan pernah membuatnya celaka. Waktumu bertahan hanya satu bulan. Ingat itu."Pamela mendekati Sera setelah Simbah meninggalkan ruangan. "Kau tidak tahu apa pun, budak. Ah, mana mungkin kau mengerti. Seorang budak tanpa pendidikan. Yang diketahuinya hanya melayani karena memang tugasnya adalah pembantu.""Selain pembantu, dia adalah pengkhianat. Mana mungkin istri Bupati bisa menemui calon su
Sera menatap anak itu. Satria pun membalas dengan tatapan tegang. Simbah menarik napas panjang, dan terus berpikir. Memang sejak kehadiran Sera, masalah datang bertubi-tubi. Wanita desa yang kumuh dan sangat berantakan datang ketika itu, yang dianggapnya bisa menurut seperti robot, justru kebalikannya. Sangat pintar dan membahayakan."Waktu saya hanya satu bulan saja bukan?" sela Sera mengejutkan Simbah. Dia berjalan mendekati wanita itu yang masih menatap tegang. "Apa yang bisa seorang budak lakukan? Apalagi malam-malam masuk ke dalam ruangan suaminya. Mencuri? Ya, itulah yang dituduhkan dan aku tidak menyangkal. Untuk apa aku membela diriku sendiri. Seorang budak pasti akan selamanya menjadi maling.""Mengakui diri sendiri. Baguslah, kalau begitu. Sekarang kemasi semua barangmu dan enyahlah--""Cukup, Pamela!" balas Simbah keras. "Tidak akan ada yang pergi dari sini.""Mbok!" teriak Simbah. "Bagaimana dengan dokternya?""Simbah, dokter sudah berada di depan.""Cepat suruh masuk."Mb
Mereka berdua masih saling bertatapan. Selang beberapa detik Willem mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau Sera membahas tentang apa pun. "Hanya masalah pekerjaan biasa yang selalu membuatku pusing. Sudah kita lebih baik kembali saja. Kau ingin bertemu dengan Satria kan?" Lelaki Belanda itu menarik tangan kanan Sera dan menggenggamnya dengan erat. Wanita itu berjalan dengan sangat pelan karena perutnya yang terasa sangat nyeri. Sesekali dia memegangnya. "Aduh Pak. Maafkan saya. Tadi saya mencari Nyonya kemana-mana. Syukurlah dia sudah bersama Bapak," ucap sang sopir sambil menarik nafas lega. "Jadi kau membiarkan dia masuk ke sana sendirian?" Willem dengan tegas menatap lelaki itu yang hanya menundukkan kepala. "Sudahlah. Ngapain dia ikut masuk ke dalam? Itu kan khusus untuk wanita. Lagi pula aku sudah bertemu denganmu. Ayo kita masuk ke dalam mobil." Sera bergegas masuk ke sana. Willem masih saja berusaha mengatasi emosinya. Dia tidak mau terlihat panik dan cemas. "Menca
Anggoro tidak mengerti kenapa Pamela pergi dari hadapannya begitu saja seperti orang ketakutan. "Pamela! Kenapa kamu pergi Pamela? Kita belum selesai bicara Pamela!" Padahal sebelumnya dia tidak mau bertemu dengan Pamela. Tapi karena gelagat Pamela yang mencurigakan seperti itu membuat Anggoro tertarik untuk menemui wanita itu. Anggoro berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Sebenarnya dia tidak boleh melakukannya. Melihat Anggoro yang hendak meninggalkan ruangan, beberapa polisi yang terduduk spontan berdiri dan menarik lengan sang Bupati. "Pak! Sudah ku katakan kalau Bapak itu tidak boleh keluar tanpa seizin kita. Kenapa? Jangan-jangan Bapak melakukan kekerasan lagi kepada Nyonya Pamela. Ayo ngaku!" teriak polisi sambil menunjuk Anggoro yang terus menatap Pamela sampai keluar dari kantor kepolisian. "Pasti anda melakukan sesuatu dengan Nyonya Pamela. Aduh seharusnya Nyonya Pamela itu bersama dengan pengacaranya. Lihatlah dia keluar ke jalan cepat seperti itu." Polisi lainn
Oh tidak. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa Sera tiba-tiba memberikan tugas itu kepada Willem? Jelas-jelas tugas itu adalah suatu hal yang tidak akan pernah dia lakukan. Pamela sangat kesal ketika Satria mengancamnya. Dia masih saja setengah mabuk saat itu. Apa yang bisa dia lakukan? Tidak ada yang bisa dia minta bantuan kecuali Willem. Tanpa basa-basi Pamela menelepon lelaki Belanda itu dan mengatakan semuanya. "Satria bisa mengancam hidupku. Jika aku tertangkap, aku akan membawamu juga." Ucapan Pamela saat itu membuat Willem sangat emosi. "Apa kau tidak memiliki perasaan apapun terhadap anakmu? Dia adalah anak kandungmu dan kenapa kau tidak bisa mengatasinya?" Willem masih saja meminta Pamela untuk tidak berbuat bodoh. Apalagi itu adalah anaknya sendiri. Tapi apa hasilnya? Pamela hanya menginginkan kemenangan. "Bawa dia pergi. Tapi jangan pernah kau sakiti dia," balas Pamela kemudian menutup panggilan. "Sialan. Dia selalu memberiku pekerjaan yang sangat bodoh seperti ini. A
Willem tersenyum sambil melebarkan kedua matanya. Dia masih belum bisa menjawab apa yang menjadi permintaan Sera. "Kenapa?" tanya Sera dengan suara pelan. "Aku sangat merindukan anak itu dan aku memiliki janji yang belum aku lakukan. Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya. Bukankah kau bisa melakukan apa pun yang aku inginkan? Pertemukanlah aku dengan Satria." Willem menarik nafas panjang untuk mengatasi rasa gelisah di dalam dirinya. Dia sudah berjanji kepada Sera. Mempertemukan Sera dengan Satria adalah hal yang bisa dia lakukan dengan sangat mudah. "Jika kau tidak bisa melakukannya, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Mungkin aku akan meminta bantuan Bima. Dia adalah paman dari Satria. Pasti dia bisa mengabulkan keinginanku," lanjut Sera tidak menyerah. "Tidak," sela Willem. "Akan aku lakukan apa pun yang kau inginkan." Lelaki Belanda itu menatap sang sopir dari kaca spion dan lanjut berkata, "Kita akan menuju ke rumah Anggoro. Kita akan bertemu Satria di sana." Sa
Maya mendekati Bima, berusaha untuk menjaga lelaki itu agar tidak mengejar Sera yang sekarang sudah dibawa oleh Willem keluar dari kantor persidangan. "Aku tahu kau ingin mengetahui sesuatu bukan? Kau sudah menyelidiki semuanya. Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Aku akan tetap menjagamu untuk menikahi Sera karena itu merupakan pembalasan dendam yang harus aku lakukan untuk membuatmu menderita." "Sudah jelas-jelas aku salah memilihmu. Bahkan Ibuku sekarang tidak menyukaimu. Untuk apa kau mempertahankan diriku sementara aku sama sekali tidak tertarik padamu?" balas Bima sambil mengawasi Maya dari atas sampai bawah. "Kau sama sekali tidak memiliki apa pun untuk menarik perhatianku. Jadi lebih baik kau berkaca sebelum kau mencari yang lain, karena aku yakin tidak akan ada lelaki yang tertarik kepadamu." Bima akan melewati Maya begitu saja. "Oh ya. Aku memang tidak akan pernah melepaskanmu dan melampiaskan diriku pada lelaki lain." Maya mendekati Bima kemudian tertawa dengan s
"Bupati tidak ada di ruangan!" teriak salah satu polisi. "Ke mana dia? Tadi dia bertemu dengan Nyonya Maya tapi sekarang dia menghilang begitu saja," lanjutnya dengan sangat panik, membuat beberapa anggota polisi lainnya berlari berhamburan dan memeriksa semua ruangan. Ketika ada salah satu yang akan memeriksa ruangan sebelah, mendadak anggota polisi lainnya menahan gerakannya. "Bukankah kita sudah memeriksa ruangan itu dan mengembalikan kursi yang dilempar itu? Tidak ada siapa-siapa di dalam. Ayo jangan buang waktu. Pasti dia kabur tidak jauh dari sini." Mereka akhirnya pergi dari sana. Sera yang semula mendorong tubuh Anggoro agar bibirnya bisa lepas itu tidak jadi ketika Anggoro menggelengkan kepala. Mereka berdua masih saja dimabuk asmara. Tidak peduli mereka mendengar keributan terjadi di luar. Anggoro pun tidak peduli jika dia nantinya akan mendapatkan hukuman tambahan karena menghilang begitu saja dan membuat semua orang panik. Ketika Anggoro sudah melakukannya dengan san
Anggoro masih terdiam mendengar apa yang dikatakan Maya. Wajah mereka memang sangat mirip. Awalnya Anggoro tidak mencurigai apa pun. Kebanyakan orang yang berasal dari luar Indonesia memiliki fisik yang sama. Kedua mata mereka memiliki warna yang khas. Anggoro tidak pernah memusingkan hal itu. "Tentu saja mereka sangat mirip. Seharusnya kita paham dari awal. Sera itu bukan orang Indonesia. Walaupun dia memiliki orang tua dari Indonesia. Tapi ... ibunya adalah seorang wanita penghibur. Yang aku dengar, dia pernah menjalin hubungan dengan orang Belanda," lanjut Maya sambil terus bersedekap disertai senyuman sinis ke arah Anggoro yang masih terdiam kaku. "Kau tidak boleh menikahkan mereka sebelum mereka melakukan tes DNA," imbuh Maya dengan jari telunjuk tepat ke arah wajah Anggoro. "Omong kosong apa ini? Aku tidak akan pernah melakukannya. Umur mereka sangat jauh." Anggoro kini berdiri dan mendekati pintu kemudian lanjut berkata,"Aku dan Willem memang satu kampus. Tapi aku jauh leb
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu